Berjalan menuju arah rimbunnya pepohonan pinus dari secuil wilayah Tay Forest Park, Ren merasa kagum dengan pemandangan belakang vila. Cahaya yang bersembunyi pada dedaunan pohon meninggi, dari agak kejauhan tampak induk rusa dengan dua anaknya merumput.
Mereka kemudian berhenti tepat pada sebuah bangunan balok dengan rolling door aluminium. Dari luar fasadnya tampak kecil, namun saat itu dibuka ternyata lebih lebar yang dikira.
Saat mereka hendak masuk, Bibi Mildsven heran dengan Cake yang memandang salah satu pohon pinus seberang garasi. Bukan karena tinggi subur dan makmur, tapi karena ada sesuatu seperti rumah kayu dengan sedikit jerami yang terlihat.
“Ada apa, Mr. Cake?” tanya Bibi Mildsven.
“Kira – kira apa yang ada di sana?” Tunjuk Cake pada pohon pinus yang dekat pintu garasi. Grunt yang agak tertarik lalu menyipitkan matanya mengikuti arah yang Cake maksud. Sesuatu seperti rumah kayu dengan lubang lingkaran kecil yang tampak sedikit jerami terlihat.
“Well, saya tidak tahu apakah anda memang belum pernah melihat itu sebelumnya. Tapi..., hey! Mungkin saya bisa masukkan itu di lukisan berikutnya. Itu sarang burung, Mr. Cake!” kata Grunt sedikit bersemangat, sambil tangannya digerakkan membingkai seakan memotret sesuatu.
Garasi itu ternyata berbagi tempat dengan gudang tanpa dipisahkan tembok. Namun telah tertata rapi, tempat untuk dua mobil yang tak terlalu berdempat dengan beberapa perkakas dan rak – rak di sisi sebelah kanan.
“Kami bisa antar kalian dengan ini,” Bibi Mildsven membuka pelindung yang menutupi mobil. Mereka tampak terkejut dengan mobil jenis SUV mewah yang familiar dan menjadikan status sosial tersendiri. Tidak ada yang tak mengenal tulisan Range Roover.
“Wow! Keren sekali!” Sistine terkagum – kagum. Ia mengitari mobil itu, memegang pintu hingga bodi depan belakang warna emas kalem.
Grunt dan Cake pada akhirnya ditarik kuat aura mewah mobil itu. Mereka terkesima pada SUV bongsor, kokoh dan estetik.
Ren pun merinding di hadapan mobil bongsor itu. Bukan karena takut hal lain, tapi karena mobil yang mahal itu membuatnya berpikir berapa tahun gajinya bisa meraih kendaraan idaman itu.
“Wah, aku tak tahu kapan harus berhenti kagum!” ucap Ren terkesima, sambil meraba plat mobil itu yang bertuliskan SCO - 7P. Faktanya, plat nomor unik di seluruh britania harganya ditafsir sekitar ribuan pounds.
“I-ini sih, spektakuler!” Grunt yang tampak lebih meledak dari dua kawannya itu. Matanya seakan melompat – lompat kegirangan. Maklum, mobil mewah dan lelaki seperti sahabat yang melekat melengkapi satu sama lain.
“Saya tidak mengira Lady De Polcester punya kuda kesayangan secantik itu. Tapi tentunya ia sangat cinta warna emas,” komentar Cake pada Bibi Mildsven.
“Well, wanita suka emas dan warna turunannya saya kira, ohohoho!” Bibi Mildsven tertawa kecil.
Namun Cake segera memalingkan pada satu mobil lainnya yang tertutup pelindung abu – abu polyester. Dari bodinya, siapapun pasti tahu kalau kendaraan itu berjenis sedan.
“SUV Range Roover mutlak keren. Tapi sebagai orang praktis, saya pada si sedan ini. Bolehkah saya lihat, Mademoiselle Agnes?”
“Oh…? Kebetulan saya tipikal klasik juga…,” Manik mata wanita itu melebar sedikit dan berkaca – kaca hijau bagai emerald, lalu dibukanya perlindung abu – abu itu.
Logo kotak biru putih dengan lingkaran hitam itu yang terkenal di kalangan pebisnis, apalagi grill mobil yang bentuknya mirip lensa kaca mata itu. Awak mobil hitam yang kinclong, fasad yang sederhana namun tidak mengurangi nilai elegannya.
“C'est charmant (ini menawan), mademoiselle. Saya tahu merk jerman yang satu ini tak pernah gagal membuat saya senyum – senyum sendiri. Si Ramping Cantik,” Cake menggerakkan sedikit spion kirinya.
Kalau SUV tadi sebutannya adalah si bongsor estetik, maka Cake punya sebutan Si Ramping Cantik pada mobil yang satu ini. Ren, Grunt dan Sistine juga menyempatkan diri memeriksa keindahan sedan yang satu itu.
Cake berjongkok dan memandangi plat mobil itu dengan heran yang seheran – herannya.
“Saya tak akan bertanya berapa kekayaan Lady De Polcester,” kata Cake sambil menghela nafas.
Lagi – lagi tertulis plat nomor yang mahal, 5C0T – CAR.
“Yeah…, tolong jangan. Itu setidaknya… mengobati rasa iri orang lain,” kelakar Bibi Mildsven.
“Sebenarnya…,” Agnes menggaruk kepalanya sambil mendengus kecewa, “Maunya ingin berkeliling sebentar dengan mobil ini, tapi…,”
Agnes berjalan memutar pada pantat mobil. Ia berjongkok tepat pada ban belakang sedan sebelah kanan, sekitar 100 cm dari tembok garasi. Cake dan Tiga orang ikut memeriksa.
Tampak ban yang tidak bulan. Permukaannya saat memijak pada tanah mirip jeli yang basi dan lembek.
“Entahlah…, sesuatu… harusnya melukai kaki si cantik ini….” Tangan Agnes mengelus pantat mobil dekat lampu sein belakang sedan.
“Yeah, saya paham perasaan itu,” kata Grunt mengangguk yakin, seolah saling memahami sesama pecinta mobil.
“Kenapa tidak ditambal atau diganti saja, Bibi Mild?” Ren berpaling pada wanita lansia itu.
Bibi Mildsven mengangkat bahunya sambil menggeleng ragu. “Apakah anda pernah bertemu satu bengkel mobil di sekitar, Nona Shiomi?”
“Well, soal itu…,” Ren balik meragukan ucapannya sendiri. Pasalnya yang menjadi fokus mereka kemarin hanyalah penginapan. “Sedikit susah kalau di tengah hutan dan jalan sepi seperti ini…,”
Garasi itu sebenarnya gelap. Namun karena siang hari, sedikit cahaya menunggu di depan mulut pintu garasi. Tiga orang itu, setelah menyaksikan mobil mewah yang akan ditumpanginya bila satu atau dua hari lebih lama menginap, memutuskan merubah rencananya.
“Well, anggap saja balas budi,” ucap setuju Sistine menutup kesepakatan.
Kini mereka masuk lebih dalam. Terdapat sebuah generator listrik dengan berbagai macam kabel. Ren dan Sistine memandangi beberapa yang penuh dengan kebutuhan montir seperti oli, aki, dan tampak seperti kotak sparepart lainnya.
Cake melihat isi lemari aluminium yang berisi banyak perkakas, seperti cangkul, sabit, pisau, gunting rumput, palu, bor dan lain sebagainya. Namun yang menjadi sorotan menariknya adalah dua bingkai hitam yang ditaruh berjajar di antara dua lemari aluminium tersebut ditempati senjata tajam.
Cake meraba pada dasaran bingkai hitam yang terasa halus. Lalu tangannya meraba pada besi hitam laras panjang yang terasa dingin penuh misteri dan dihinggapi perasaan curiga.
“Laras panjang?” ucap Cake lirih sambil mengerutkan keningnya. “Apa yang dilakukannya di tempat ini?”
Tiga orang itu mendekat dan melongo, terutama Ren yang lebih tertarik pada bingkai satunya.
“Kami pikir setidaknya ada satu atau dua alat pertahanan di dekat garasi. Mengingat tempat kami yang cukup terisolasi bagai kalkun yang dikelilingi serigala,” jelas Bibi Mildsven. Saat alis Cake terangkat ke atas dengan maksud meminta izin, wanita lansia itu awalnya sedikit ragu.
“Well… silahkan,” katanya setelah menghela nafas agak keberatan. Dahinya yang tadinya terangkat kini datar bagai jembatan.
Tiga orang dengan perasaan sedikit takut, agak dari Cake saat mengambil senapan api laras panjang itu. Lihainya Cake membuka tempat amunisi, mengangkat badan senapan, memeriksanya dengan intim senapan itu, perlahan menggantikan perasaan takut jadi kagum.
“Picantiny Rail cocok untuk scope atau tambahan senter…, jenis semi auto…, stocknya nyaman tak terlalu menyakitkan dada, peluru 12 gauge, 15 inchi barel, panjang sekitar… empat puluh enam? Total amunisi delapan. Hm…,” jelas Cake seakan telah menginterogasi senapan itu.
Diangkat sekali dengan mudahnya, seakan mengangkat plastik mainan. Ia berjalan mengarah sinar matahari yang sempat membuat dua pelayan De Polcester merasa getir.
“Ah, saya kira warna hitam, ternyata biru tua. Remington Versa Max memang pilihan standar untuk pertahanan beruang, eh?” kata Cake, lalu mengembalikan senapan itu pada tempatnya.
“Katanya, buatan amerika sangat cocok untuk pertahanan semacam ini,” ujar Bibi Mildsven, lalu mengangkat bahunya.
“12 gauge tak masalahasal pelurunya jenis slugs sudah cukup untuk beruang. Itulah yang dikatakan orang - orang, Madame Mild,” jelas Cake, lalu ia memeriksa bingkai satunya sambil bergumam. “Sebuah pedang, eh?”
“Ah, itu yang dikatakan Agnes…, tapi syukurlah kalau itu benar,” tambah Bibi Mildsven.
“Itu harusnya katana, Mr. Cake,” Ren memberitahu lalu menghampirinya. Diambilnya pedang itu dengan hati – hati dengan dua tangan, satunya memegang gagang, satunya dekat ujung bilang.
Sarung pedang pipih bewarna biru laut dengan ukiran naga mengkilat keemasan dan pita kuning, sedangkan gagangnya dari kayu dan kulit warna biru motif belah ketupat kuning.
Suara sring yang mantap dan agak menggema saat mata bilah baja karbon berkualitas tinggi diizinkan keluar dari persembunyiannya.
“Menakjubkan!” Ren memutar pergelangan tangannya dengan hati – hati. Manik matanya yang berkilauan bertemu dengan kilatan metal. “Saya bahkan tak butuh usaha keras memegang ini, enteng sekali!”
Benda dengan kualitas seni yang tidak main - main, sebanding dengan kualitas cara pemakaiannya. Pernyataan itu tegas dan akurat bagi siapapun yang memandang pedang itu, apalagi memegang fasadnya sekali.
“Well, itu adalah pemberian teman Lady De Polcester. Kalau tidak salah pedang itu dari tokino atau apalah…,” kata Bibi Mildsven
“Boboo~ salah. Dari Tokyo,” Agnes memberitahu, memutar matanya seolah tidak terlalu peduli.
“Diam Agnes. Sebenarnya, ehem…,” Bibi Mildsven berdeham sedikit malu. “Ngomong – ngomong, katanya itu dibuat oleh pengrajin pedang ternama, meski kami sendiri tak bisa memastikan dan hanya menelan mentah – mentah,”
“Barangkali… masih ada wadahnya atau semacam sertifikat otentik?” Ren segera menyarungkan kembali pedang itu.
“Dari awal pemberiannya sudah begitu,” kata Bibi Mildsven, menggeleng ringan.
“Anda tahu banyak tentang pedang itu, Mlle. Shiomi?” tanya Cake heran. Sebelum dikembalikan, ia memegangi fasadnya penuh dengan takjub.
“Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, bukan begitu? Anda sudah langsung paham kalau Ren ini blasteran,” kata Grunt. Ia lalu menepuk ringan pundak Cake. “Kesampingkan hal itu, bukankah anda yang seharusnya jadi bahan pembicaraan?”
“Tidak semua tamu di toko adalah yang kami tunggu – tunggu, kadang juga kami berharap mereka tak pernah datang,” tambah Cake sambil mengangkat bahunya seolah yang ia katakan tidak ada yang salah. “Hanya seperti tipikal orang – orang pada umumnya, melindungi apa yang menjadi hak meskipun pada akhirnya yang terpenting adalah, saya selamat,”
Grunt sedikit terkesan, memaparkan wajah paham seolah mendengar nasehat bijak dari seniornya.
“Well, saya mungkin perlu memikirkan hal itu,” kata Grunt agak serius dengan penuh pertimbangan.
“Anda ingin buka toko?” tanya Cake yang segera mendapat anggukan singkat dari Grunt.
Ia sebenarnya ingin mengumpulkan uang untuk membuka sebuah bisnis meski belum ada gambaran. Grunt mengangguk kecil lalu meminta sedikit saran pada Cake. Entah kenapa itu sedikit menjadi perbincangan bagi hampir semua orang di tempat, kecuali Ren. Ren merasa seseorang melihat mereka dari kejauhan.
Bukan…, mungkin itu aku, debat Ren dalam hatinya. Persis saat ia memalingan kepalanya sedikit dengan bantuan lirikan matanya, Ren berhasil memandang figur yang mengintip dari samping mulut garasi.
Seorang wanita yang cerdik, memanfaatkan bayangan pohon yang menjuntai tinggi menyamarkan miliknya…. Tatapannya melotot diikuti lingkar matanya yang menghitam, senyuman menyeringai dengan nafas yang terengah – engah tak beraturan.
Lady De Polcester?! Ke-kenapa ia menatapku seperti itu? ucap Ren berkali – kali dalam pikirannya, merinding dan ngeri bagi di film – film psikopat.
ns216.73.216.22da2