"Tolong!! Jangan bunuh Aku Sato!!! Aku masih punya anak istri!! Jangan Sato!"
Seorang pria dengan wajah berlumuran darah sedang duduk terikat di atas sebuah kursi kayu. Pria tersebut terus mengiba agar nyawanya tidak dirampas paksa oleh Sato. Tubuhnya yang cukup besar terus bergerak, memberontak, mencoba melepaskan ikatan kawat besi yang melilit sekujur tubuh.
Di sekeliling tubuh pria itu berjejer belasan orang dengan kostum seragam, jas hitam dan celana kain gelap, necis mirip pekerja kantoran, mungkin yang membedakan penampilan mereka dengan para eksekutif muda adalah peralatan yang kini mereka genggam satu persatu. Samurai, pisau lipat, dan martil berada dalam genggaman para pria itu. Dari raut wajah dingin yang mereka tampakkan sepertinya rintihan kesakitan dari sang pria yang sedang terikat di atas kursi tak pernah dihiraukan.
Sato masih bersikap tenang, menikmati segelas wine dan duduk di atas sofa panjang yang terletak 10 meter dari kursi si pria. Raut wajahnya tak kalah dingin dengan orang-orang yang berdiri mengelilingi tubuh sang pria.
"Sato, dengarkan Aku dulu!! Kesalahpahaman ini bisa Aku jelaskan!! Tolong Sato dengarkan Aku dulu." Pria tersebut masih terus mengiba, berharap ucapannya bisa menyelamatkan hidupnya malam ini.
"Seharusnya Kau tak perlu merasakan penyiksaan ini jika tak mengkhianati Klan Yoshinawa." Kata Sato setelah meletakkan gelasnya di atas meja kaca yang terletak tepat di depannya.
"Ta..ta..tapi Sato..Semua informasi itu salah. Aku tak pernah mengkhianati Klan Yoshinawa!! Seluruh hidupku selama ini Aku abdikan untuk kebesaran Klan Yoshinawa, untuk kehormatan Iwao!!"
Sang pria mencoba memberi penjelasan pada Sato, harapannya untuk hidup masih begitu besar. Sato melepaskan jas hitamnya, di berdiri dari sofa dan mulai berjalan mendekati tubuh sang pria.
"Hiroshi, sungguh kemalangan ini sebenarnya tak pantas Kau dapatkan." Sato kini sudah berdiri tepat di depat kursi si pria yang bernama Hiroshi itu.
"Sato! Tolong Aku! Jangan pernah lupakan jika Aku adalah Pamanmu! Tolong Aku Sato.." Airmata Hiroshi mulai bercucuran, ketakutannya semakin besar saat Sato telah berada di depannya.
"Kau juga harusnya sudah mengerti Paman Hiroshi, jika dalam bisnis ini hubungan darah tak ada artinya, apalagi bagi seorang pengkhianat." Nada bicara Sato yang pelan namun dalam semakin menambah kadar ketakutan yang dirasakan oleh Hiroshi.
"Tapi Aku bukan tipe orang yang tak punya rasa hormat Hiroshi! Apalagi terhadapmu, orang yang pertama kali mengenalkanku pada bisnis ini, mengajakku untuk mengabdi pada Klan Yoshinawa."
Sato melanjutkan kalimatnya sambil melipat lengan kemejanya. Seseorang menghampiri Sato sambil membawakan satu buah martil dan sebuah pisau kecil.
"Sato...Jangan bunuh Aku...Tolong..."
Hiroshi masih terus mengiba. Dari belakang kursinya seseorang mengendurkan kawat yang sedari tadi mengikatnya, dengan susah payah orang itu melepaskan ikatan yang melilit tubuh besar Hiroshi. Hiroshi menjatuhkan tubuhnya di bawah kaki Sato setelah tak lagi terikat di atas kursi, tubuh besarnya bersujud di bawah kaki pria bernama Sato, tangan kanan Iwao bos besar Klan Yoshinawa yang tak lain adalah keponakannya sendiri.
"Tolong Sato..Jangan lakukan ini padaku...Tolong maafkan Aku..." Rintih Hiroshi.
"Cukup Hiroshi!" Teriak Sato sambil menjauhkan tubuh Hiroshi dari kakinya.
"Jangan Kau permalukan Aku dengan sikap pengecutmu ini!" Lanjut Sato masih dengan nada yang tinggi.
"Tolong Sato... Jangan lakukan ini kepadaku...Tolong..."
"Aku tidak akan melakukan apapun terhadapmu Hiroshi. Seperti yang Aku bilang, Aku orang yang menjunjung tinggi perilaku terhormat, maka kali ini Aku memberikan kehormatan padamu untuk mengakhiri ini semua." Sato memberikan pisau kecil pada Hiroshi.
"Ta..Taa..Tapi Sato..Aku belum mau mati...Tolong jangan lakukan ini kepadaku Sato...Tolong...." Hiroshi masih saja memohon pada Sato, gagang pisau yang diarahkan padanya oleh Sato juga masih tak diterimanya.
"Paman Hiroshi, Aku mohon kepadamu, jangan paksa Aku untuk menumpahkan darahmu dengan tanganku sendiri." Kata Sato dengan dingin.
Mendengar hal itu Hiroshi kembali meraih kaki Sato, tangisannya semakin keras terdengar, kedua tangannya juga semakin erat memegangi kedua kaki Sato. Raut wajah Sato yang sedari tadi sangat dingin kini berubah menjadi merah padam, seolah ada amarah yang ingin segera ditumpahkan.
"Kau benar-benar memalukan Hiroshi!" Teriak Sato sambil kembali mendorong tubuh Hiroshi menjauh dari kakinya, kali ini dorongan Sato ditambah dengan satu tendangan telak ke arah dagu Hiroshi, tendangan yang membuat Hiroshi terhuyung dan kemudian jatuh tersungkur.
"Kau telah memaksaku untuk melakukan ini Hiroshi..."
"AAARRGGHHTTTT!!!!"
Sato mengayunkan tangan kirinya yang memegang sebuah martil besi ke arah kening Hiroshi. Saking kuatnya ayunan tangan Sato membuat kening Hiroshi seketika remuk dan langsung memuncratkan darah segar ke segala penjuru arah. Tubuh besar Hiroshi langsung ambruk ke belakang, nafasnya tersenggal-senggal, dari mulutnya masih terdengar rintihan menahan rasa sakit akibat pukulan martil dari Sato.
"AAARRGGHHTTT!!!!"
Seperti tak mengenal rasa ampun, Sato kembali menghamtamkan martil ke arah kepala Hiroshi, hantaman demi hantaman martil yang dilakukan oleh Sato semakin lama bukannya semakin melambat, malah sebaliknya semakin cepat dan brutal. Darah yang menyembur keluar dari kepala Hiroshi bahkan membuat kemeja putih yang dikenakan oleh Sato berubah warna menjadi merah segar. Setelah beberapa menit, tubuh Hiroshi sudah tak bergerak, rintihannya juga tak lagi terdengar.
Kepalanya sudah tak lagi berbentuk, bahkan mata kanan Hiroshi terlihat telah copot dari lubangnya, kengerian benar-benar tercipta akibat kemarahan Sato yang meluap. Perlahan Sato berdiri, dilihatnya sekali lagi tubuh Hiroshi yang sudah tak lagi bernyawa, tatapan matanya kembali menjadi dingin seperti semula.
"Buang mayatnya ke laut!" Perintah Sato tegas pada belasan orang yang sedari tadi menonton adegan pembantaian dengan sangat tenang.
Beberapa orang kemudian menyeret tubuh Hiroshi keluar ruangan, beberapa orang lain membersihkan ceceran darah yang mengotori lantai.
64Please respect copyright.PENANA9iGGAngoBO
***
64Please respect copyright.PENANAHIlyORcGbW
Iwao melangkahkan kakinya menuju kamar putri semata wayangnya, Haruka. Besok adalah hari kebarangkatan anak tunggalnya itu ke Indonesia, penting baginya untuk memastikan Haruka dalam keadaan nyaman sebelum bepergian jauh. Apalagi ini adalah perjalanan pertama Haruka ke negara tempat lahirnya setelah belasan tahun mengikuti jejak Iwao untuk kembali ke Jepang.
"Persiapan untuk ke Indonesia sudah beres semua?" Tanya Iwao setelah memasuki kamar Haruka.
"Sudah, semuanya sudah Aku siapkan dengan benar." Jawab Haruka singkat tanpa melihat sosok Iwao yang berdiri tepat di belakangnya, matanya masih asyik menjelajahi layar laptop, sementara tangan kanannya sibuk menggerakkan mouse naik turun.
"So, 2 minggu?" Tanya Iwao kembali dengan nada bicara yang lebih berat, seperti ada ketidakrelaan Iwao untuk melepas Haruka pergi ke Indonesia.
Mendengar hal itu Haruka menghentikan aktifitasnya, gadis cantik itu membalikkan badannya, menghadap tepat ke arah Ayahnya yang masih berdiri.
"Ini kesempatan terakhirku untuk menemui Ibu sebelum Aku terpaksa menikahi Sato." Jawab Haruka, mata bulatnya menatap lekat wajah Iwao, keberanian yang selama ini dia pendam, terkubur terlalu dalam.
"Haruka."
"Ayah, Aku tidak ingin membicarakan hal itu lagi, lagipula Aku sudah menyetujui permintaanmu untuk mau menerima Sato sebagai suamiku. Jadi tolong jangan paksa aku untuk tidak menemui Ibuku!"
Haruka kini sudah berdiri dari kursinya, terlihat matanya berkaca-kaca, sekuat tenaga gadis itu menahan air matanya agar tidak tumpah di hadapan Ayahnya.
"Baiklah Haruka, semoga perjalananmu besok menyenangkan. Jaga selalu kesehatanmu."
Kata Iwao, sesaat kemudian pria tua itu meninggalkan kamar Haruka. Melihat Ayahnya berpaling dengan keadaan "dingin" seperti itu membuat Haruka tak bisa menahan lagi airmatanya. Gadis itu jatuh bersimpuh di lantai, terisak menyesali jalan hidupnya yang harus terlahir sebagai anak Iwao, pemimpin tertinggi Klan Yoshinawa, sebuah organisasi Yakuza terbesar di negara Jepang.
Dalam hati Haruka berniat untuk segera meninggalkan jejak kelam garis keturunannya itu, dan dengan pergi ke Indonesia adalah jalan pembuka untuk mewujudkan keinginannya itu. Lepas dari "sangkar emas" Klan Yoshinawa dan tentu saja tak harus menjalani biduk rumahtangga bersama Sato, orang yang telah dipilih Iwao untuk menjadi suaminya.
64Please respect copyright.PENANAFTLGf0lmBp
***
64Please respect copyright.PENANAvtp4aefecD
Esok harinya Rama sudah hampir setengah jam berdiri di depan pintu kedatangan terminal 2E bandara Soekarno-Hatta, salah satu tangannya memegang papan kecil warna putih bertuliskan "HARUKA". Beberapa penumpang pesawat GA885 tujuan Narita-Jakarta terlihat sudah keluar menuju pintu keluar kedatangan bandara, Rama mulai mengangkat papan yang dia bawa, berharap salah satu penumpang bernama Haruka mengetahui keberadaannya.
Setelah beberapa saat Rama melihat seorang gadis muda denga koper besar berderak pelan di samping kirinya dan ransel tanggung di punggung melangkah mendekati Rama. Dari deskripsi fisik, Rama yakin betul jika gadis itu adalah Haruka, wanita yang harus dia jaga selama 2 minggu ke depan.
"Indonesia de kangei!" Kata Rama sambil membungkukan badan setelah Haruka sudah berdiri di depannya. Haruka menatap sosok Rama dengan dingin, keramahan yang coba ditunjukkan oleh Rama seolah tak merubah kesan terhadap gadis itu.
"Aku bisa bahasa Indonesia." Jawab Haruka singkat, sesaat kemudian gadis itu kembali melangkahkan kakinya, meninggalkan Rama yang masih bengong dengan apa yang baru saja dia dengar.
64Please respect copyright.PENANAD6br3wUMu3
***
64Please respect copyright.PENANANLwFFrFFEK
"Bagaimana rencana pernikahanmu Sato?"
"Sejauh ini masih berjalan sesuai dengan rencana."
"Lalu kenapa Kau biarkan calon istrimu itu pergi ke Indonesia seorang diri?"
"Itu semua karena permintaan Iwao, bagaimanapun sebelum orang tua itu menyerahkan kekuasaan klan Yoshinawa kepadaku, Aku masih harus membungkukan badan di hadapannya."
"Lalu, bagaimana jika pernikahanmu dengan Haruka tak menghasilkan apa-apa?"
"Kau tenang saja, rencana ini Aku pastikan berhasil, sebentar lagi Aku akan menguasai klan Yoshinawa dan Kau akan menjadi pendampingku."
"Aku cuma mengkhawatirkanmu Sato."
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Kau hanya perlu untuk sedikit bersabar."
Sato mendekati tubuh wanita yang duduk di depannya itu, dengan lembut tangan Sato meraih dagu lancip sang wanita sambil mendekatkan bibirnya. Sesaat kemudian Sato mulai melumat bibir tipis wanita itu, detik berikutnya keduanya saling menjilat satu sama lain, kembali terbakar birahi untuk kesekian kalinya.
64Please respect copyright.PENANAAe2XpV2VBH
***
"Oh iya, kenalkan namaku Rama, Aku orang yang akan menemanimu selama berada di Indonesia." Rama mencoba membuka obrolan bersama Haruka setelah hampir setengah jam keduanya berjibaku dengan keheningan di dalam mobil.
"Hmmm...Ok." Jawab Haruka singkat tanpa ekspresi, kedua matanya masih terus menatap jalanan Jakarta yang macet, hal yang sama dia temui saat masih menetap di Jakarta dulu.
"Lalu apa rencanamu setelah ini?" Tanya Rama kembali.
"Tidur, dan tak ingin menjawab pertanyaan apapun darimu."
Rama hanya tersenyum mendengar jawaban ketus dari Haruka, sikap dingin yang Haruka tunjukkan sedari tadi tak membuat Rama bad mood atau jengkel, Rama bisa memahami sikap Haruka tanpa melibatkan perasaannya. Baginya tugas yang diberikan oleh Om Yosh untuk menjaga dan menemani Haruka selama gadis itu berada di Indonesia jauh lebih penting dibanding menanggapi ketusnya ucapan Haruka pada dirinya.
Rama sudah sangat ahli mengendalikan emosinya di hadapan seorang wanita, bahkan mungkin berbalik memainkan emosi si wanita, apalagi jika sudah berada di atas ranjang. Limabelas menit berlalu, mobil Rama memasuki area parkir sebuah gedung apartemen mewah di daerah Jakarta Pusat.
Setelah membantu Haruka mengeluarkan koper dan tas ransel dari bagasi, Rama melangkahkan kakinya menuju lift yang terletak di dalam lobi gedung, Haruka mengikutinya dari belakang, masih dengan raut wajah masam.
"Untuk hari ini kamu istirahat di sini."
Kata Rama setelah menekan angka 8 pada tombol lift, Haruka menanggapinya hanya dengan menghela nafas panjang. Rama sekilas melihat raut wajah Haruka, meskipun terlihat lelah karena perjalanan jauh dari Jepang, gadis dari negeri Sakura ini bisa dikatakan sangat menarik.
Kulitnya yang putih bersih seolah menegaskan kecantikan luar yang dimiliki oleh Haruka, meskipun tak begitu tinggi tapi postur tubuh Haruka terlengkapi dengan ukuran payudara dan bokong yang cukup besar. Belum lagi kilau rambut sebahu yang dimiliki oleh gadis itu, jika sedikit dipoles dengan peralatan makeup, Haruka akan berubah menjadi magnet bagi mata setiap laki-laki yang melihatnya.
"Sudah puas matamu menelanjangiku?" Tanya Haruka mengagetkan Rama, membuat pria tampan itu salah tingkah setelah kepergok menghabiskan 20 detik memandangi Haruka dari samping.
Setelah pintu lift terbuka, Rama segera menuju room 32A, apartemen yang disewa oleh Om Yosh untuk menjamu Haruka selama di Indonesia.
"Ok, ini kunci room mu, selamat beristirahat dan jika Kau membutuhkan sesuatu, room ku tepat di depan room mu." Jelas Rama sambil menyerahkan kunci apartemen pada Haruka.
Tanpa menjawab, Haruka langsung mengambil kunci dari tangan Rama dan langsung masuk ke dalam apartemennya, meninggalkan Rama yang sudah mulai memahami sikap dingin gadis Jepang itu.
64Please respect copyright.PENANAd5Qkdz8Hl2
***
64Please respect copyright.PENANALwPAJt8csD
"Sato, Aku mendengar jika Kau telah menghabisi Hiroshi." Tanya Iwao.
"Benar Bos."
"Tanpa persetujuanku?" Tanya Iwao kembali dengan mimik wajah yang berubah menjadi lebih serius.
"Maaf jika tindakan Saya menyinggung Anda, Tuan Iwao." Kata Sato sambil kembali membungkukan badannya, jauh lebih dalam agar penyesalannya jelas tergambar di mata Iwao.
"Jangan karena Kau akan menikahi putriku lalu Kau bisa melakukan sesuatu yang melampaui kewenanganmu!"
"Sekali lagi saya menyesal telah mengecewakan Anda, Tuan Iwao."
"Kali ini Aku masih bisa memaafkanmu, tapi harus Kau ingat, Aku masih menjadi ketua klan Yoshinawa!"
"Anda memang penuh kemurahan, Tuan Iwao."
"Sudah ada kabar dari Jakarta?"
"Haruka sudah mendarat 2 jam yang lalu Tuan, Jakarta sudah menyambutnya dengan baik." Jawab Sato.
"Bagus, terus kabari Aku tentang kabar Haruka di Jakarta." Kata Iwao sebelum meninggalkan Sato di ruang kerjanya.
BRAK!!!
Sato menghantamkan pukulannya ke meja kaca yang terletak di tengah ruang kerjanya, komplain dari Iwao ternyata membuat darah pria itu mendidih.
BRAAKKKK!!
PRAAANKKK!
Satu pukulan terakhir berhasil memecahkan meja itu, selain menghancurkan meja, amarah Sato juga membuat tangan kanannya terkoyak akibat pecahan kaca, darah segar mengalir deras dari tangan Sato.
"Tua bangka itu harus segera disingkirkan!" Geram Sato dengan penuh emosi.
64Please respect copyright.PENANAJtbgz6qxW0
BERSAMBUNG
ns3.144.104.136da2