Ainun melangkah masuk ke rumah Bayu dengan langkah yang lebih mantap dibandingkan hari pertama, meski dadanya masih berdebar pelan. Jilbab biru tua yang ia kenakan hari ini terasa sedikit lebih nyaman, meski ujungnya tetap sedikit berjumbai karena usia. Tas kain kecil di tangannya bergoyang pelan saat ia menaiki tangga menuju kamar Naya. Suara air mancur di halaman masih terdengar samar, bercampur dengan kicau burung dari pohon di luar. Rumah besar itu tetap terasa sepi, tapi sekarang ada keakraban tipis yang mulai Ainun rasakan setelah beberapa hari bekerja di sini.
Di kamar Naya, bayi itu sudah bangun, duduk di ranjang bayinya dengan mainan plastik berbentuk bintang di tangan. Matanya yang bulat menyala saat melihat Ainun masuk. “Bu-bu,” oceh Naya, tangan kecilnya meraih udara ke arah Ainun.
“Hai, cantik,” kata Ainun, suaranya lembut seperti biasa. Ia mengangkat Naya, mencium pipi montoknya yang wangi susu. Naya terkikik, tangannya meraih jilbab Ainun dan menariknya pelan. Ainun tersenyum, menepis tangan Naya dengan hati-hati. “Jangan nakal, ya. Jilbab Ibu nanti lepas.”
Ia membawa Naya ke ruang tamu, tempat Nyonya Tuti sudah menyiapkan botol susu di atas meja marmer. Ainun duduk di sofa, menyangga Naya di pangkuannya, dan mulai menyuapi bayi itu. Gerakan tangannya lincah, terlatih setelah bertahun-tahun merawat Arfan. Tapi di tengah ritme yang sudah biasa, ia merasakan kehadiran seseorang di ambang pintu. Bayu berdiri di sana, bersandar di kusen, kemeja putihnya sedikit terbuka di kancing atas, memperlihatkan sedikit kulit di dadanya yang kecokelatan.
“Pagi, Ainun,” sapa Bayu, suaranya rendah dan hangat, seperti kopi yang baru diseduh. Ia melangkah masuk, tangannya dimasukkan ke saku celana kain yang terlihat mahal.
“Pagi, Pak,” jawab Ainun, menunduk sekilas sebelum kembali fokus pada Naya. Ia merasa matanya Bayu tertuju padanya, tapi ia tak berani menatap balik. Ada sesuatu dalam cara Bayu berbicara yang membuatnya merasa diperhatikan—bukan hanya sebagai pengasuh, tapi sebagai perempuan.
“Dia makin betah sama kamu,” kata Bayu, duduk di sofa di seberang Ainun. Ia menyilangkan kaki, posturnya santai tapi matanya tajam, mengamati setiap gerakan Ainun. “Cara kamu ngomong sama Naya… lembut banget. Kayak lagu.”
Ainun tersenyum kecil, wajahnya memanas. “Biasa aja, Pak. Anak kecil kan suka kalau diajak ngomong pelan-pelan.”
Bayu mengangguk, tapi matanya tak berpaling. Ia memperhatikan cara Ainun mengusap kepala Naya, jari-jarinya yang ramping bergerak lembut menyisir rambut ikal bayi itu. Ada sesuatu dalam gerakan itu yang membuat Bayu terdiam lebih lama dari biasanya. Ainun merasakan tatapannya, seperti hembusan angin panas yang menyapu kulitnya meski tak ada sentuhan fisik. Ia mencoba mengabaikannya, fokus pada Naya yang mulai mengantuk, tapi jantungnya berdetak lebih cepat.
“Kamu dulu nyanyi buat anakmu, nggak?” tanya Bayu tiba-tiba, suaranya masih santai tapi ada keingintahuan yang tak biasa.
Ainun menoleh sekilas, lalu kembali menunduk. “Pernah, Pak. Arfan suka kalau aku nyanyi lagu-lagu anak. Tapi sekarang dia udah besar, malu kalau dinyanyiin.”
Bayu tertawa kecil, suaranya dalam dan sedikit menggema di ruangan yang sepi. “Pasti lucu lihat anak laki malu-malu gitu. Kamu… kelihatan sabun banget sama anak-anak.”
Ainun hanya mengangguk, tak tahu harus menjawab apa. Kata-kata Bayu terdengar seperti pujian, tapi nadanya—ada kelembutan yang membuatnya merasa aneh, seperti ada garis tak kasat mata yang perlahan dilanggar. Ia mengusap punggung Naya, mencoba mengalihkan perhatian dari tatapan Bayu yang terasa semakin berat.
Sore itu, setelah Naya tertidur, Ainun membantu Nyonya Tuti membereskan dapur. Piring-piring kecil Naya dicuci dengan hati-hati, dan Ainun menyeka meja marmer hingga mengilap. Nyonya Tuti bercerita tentang tetangga sebelah yang baru beli mobil, tapi Ainun hanya setengah mendengarkan. Pikirannya melayang ke tatapan Bayu tadi pagi, ke cara suaranya terdengar saat menyebut namanya. Ia menggigit bibir dalam-dalam, mencoba menepis perasaan yang tak seharusnya ada.
Saat ia kembali ke ruang tamu, Bayu sudah ada di sana lagi, berdiri di dekat jendela besar yang menghadap halaman. Cahaya senja menyelinap masuk, memantul di wajahnya yang tegas. Ia memegang cangkir kopi, uapnya naik perlahan. Ainun berhenti di ambang pintu, ragu apakah harus masuk atau berbalik.
“Ainun,” panggil Bayu tanpa menoleh, seolah tahu Ainun ada di sana. “Makan malam di sini aja. Tuti masak banyak tadi.”
Ainun menggeleng pelan, meski Bayu tak melihatnya. “Makasih, Pak. Tapi saya harus pulang. Arfan nunggu di rumah.”
Bayu akhirnya menoleh, matanya menangkap Ainun dengan tatapan yang sulit dibaca. “Arfan pasti bangga punya ibu kayak kamu,” katanya, melangkah mendekat. “Kamu… beda. Lembut, tapi kuat. Jarang ada yang kayak gitu.”
Ainun merasa wajahnya memanas lagi. Ia menunduk, jari-jarinya memainkan ujung jilbabnya. “Biasa aja, Pak. Saya cuma ibu-ibu biasa.”
Bayu tersenyum, tapi ada sesuatu di senyumnya yang membuat Ainun merasa seperti sedang dilihat telanjang—bukan tubuhnya, tapi sesuatu yang lebih dalam. “Nggak ada yang biasa dari kamu, Ainun,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti bisik. Ia melangkah lebih dekat, berdiri hanya beberapa langkah dari Ainun. Bau kopi dari cangkirnya bercampur dengan aroma parfumnya, tajam dan maskulin, mengisi udara di antara mereka.
Ainun menarik napas dalam, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. “Saya… cek Naya dulu, Pak,” katanya cepat, berbalik menuju kamar bayi. Langkahnya terburu-buru, seolah lari dari sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Di kamar Naya, Ainun duduk di sisi ranjang bayi, menatap wajah kecil yang tertidur pulas. Napasnya masih tak teratur, dadanya naik-turun lebih cepat dari biasanya. Ia mengusap wajahnya sendiri, merasa pipinya masih hangat. Tatapan Bayu, kata-katanya, suaranya—semua itu terasa seperti jarum kecil yang menusuk kulitnya, meninggalkan sensasi yang tak ia pahami. Ia bukan perempuan yang mudah terbawa perasaan, tapi ada sesuatu dalam cara Bayu memperhatikannya yang membuatnya sadar akan dirinya sendiri—sadari tubuhnya, suaranya, gerakannya.
“Ainun?” Suara Bayu kembali terdengar, kali ini dari ambang pintu kamar Naya. Ainun tersentak, hampir menjatuhkan mainan kecil yang ia pegang. Bayu berdiri di sana, tangannya masih memegang cangkir kopi yang sekarang kosong. “Maaf kalau tadi aku kelewatan. Aku cuma… kagum sama cara kamu ngurus Naya.”
Ainun menunduk, jari-jarinya meremas mainan plastik itu. “Nggak apa-apa, Pak,” katanya pelan, suaranya hampir tak terdengar. “Saya cuma lakuin tugas saya.”
Bayu mengangguk, tapi ia tak bergerak dari tempatnya. Matanya masih menatap Ainun, mengikuti garis jilbabnya yang membingkai wajahnya, lalu turun ke tangannya yang bergerak gelisah. “Kamu nggak cuma ngurus Naya, Ainun,” katanya, suaranya lebih lembut sekarang. “Kamu bikin rumah ini… nggak terlalu sepi.”
Ainun merasa jantungnya berhenti sejenak. Ia tak tahu harus menjawab apa, tak tahu apakah kata-kata itu seharusnya membuatnya tersanjung atau takut. Ia hanya mengangguk, berpura-pura sibuk merapikan selimut Naya. Tapi di dalam dadanya, ada gelombang kecil yang bergulung—campuran cemas, bersalah, dan sesuatu yang tak ia kenali, sesuatu yang membuat kulitnya terasa lebih hidup dari biasanya.
Saat ia akhirnya bersiap pulang, Bayu mengantarnya sampai ke pintu depan. Langit sudah gelap, lampu-lampu taman menyala lembut, menciptakan bayangan panjang di halaman. Sopir sudah menunggu di mobil, tapi Bayu masih berdiri di teras, tangannya di saku.
“Besok datang lagi, ya,” katanya, suaranya hampir seperti permintaan. “Naya butuh kamu.”
Ainun mengangguk, menarik napas dalam untuk menenangkan diri. “Iya, Pak. Insyaallah.”
Ia melangkah menuju mobil, merasa tatapan Bayu masih menempel di punggungnya. Di dalam mobil, ia menatap keluar jendela, melihat rumah besar itu menjauh. Tapi bayangan Bayu—matanya, suaranya, senyumnya—tetap tinggal di pikirannya, seperti suara lembut yang terus bergema dari balik jilbabnya. Dan untuk pertama kalinya, Ainun merasa ada bagian dari dirinya yang terbangun, bagian yang selama ini tertidur di bawah lapisan kelelahan dan kewajiban sebagai istri dan ibu.
24Please respect copyright.PENANA8EszJttcKH
Bersambung
24Please respect copyright.PENANABIG1QG5LD8
https://sites.google.com/view/cerita-sprachgewandt/home?authuser=0
ns216.73.216.25da2