Hatiku mencelos. Rasanya seperti ditampar kenyataan pertama dari kehidupan ibukota. Rani memang merekomendasikan kos-kosan ini dua minggu lalu. Karena dia pernah kos disini saat kuliah. Dia sempat menghubungi pemilik kos dan katanya ada kamar kosong. Kesalahanku adalah seharusnya aku membooking kamar kosong itu agar tidak diambil orang. Tapi aku malah ngobrol dengan Rani hal-hal lain layaknya dua sahabat lama yang baru kembali saling kontak.
"Tidak apa-apa, Bu," jawabku mencoba tersenyum meski lelah mulai menguasai tubuhku. Koper dan tas besar yang kubawa terasa semakin berat, membuatku sedikit terhuyung.
Ibu pemilik kos sepertinya memahami kondisiku. Matanya menatapku penuh simpati. "Kalau memang sudah butuh sekali kamar di seberang jalan depan kos ini ada kos-kosan juga. Mau saya antar buat nanya kalau ada kamar kosong?"
Seperti mendapat secercah harapan, aku mengangguk penuh syukur. Ibu itu kemudian denganku menyeberangi jalan yang cukup ramai dengan kendaraan. Dia meminta aku meninggalkan koper dan barang bawaanku di kosan dia biar memastikan dulu kalau memang ada kamar kosong. Gedung bertingkat dua dengan cat yang sudah sedikit mengelupas terlihat di seberang. Tidak ada papan nama khusus, hanya tulisan "Kos-kosan" yang tertera di depannya.
"Assalamualaikum, Bu Marni," panggil ibu itu pada seorang Ibu yang sedang duduk di teras sambil memainkan HPnya. "Masih ada kamar kosong tidak?"
Ibu Marni, yang sepertinya pemilik kos tersebut, melirik sekilas ke arahku sebelum mengangguk. "Waalaikumsalam. Ada, Bu Ijah. Masih ada tiga yang kosong."
Ibu pemilik kos Asyifa yang ternyata bernama inu Ijah menoleh padaku dengan dengan senyum. Kemudian berbisik. "Nak, kos ini... agak berbeda dengan kos Asyifa. Ini kos campuran, dan penghuninya laki-laki dan perempuan. Kos-kosan bebas. Tapi untuk sementara kamu bisa kok tinggal."
Aku menelan ludah, tapi mencoba menenangkan diri. Aku butuh tempat tinggal, setidaknya untuk malam ini. Karena aku capek kalau masih harus jalan lagi mencari kos di daerah yang aku tidak kenal.
Meski begitu rasa cemas muncul juga di hatiku. Kos bebas? Kemungkinan besar bersebelahan dengan kamar laki-laki? Ini jelas bertentangan dengan prinsip hidup yang selama ini kupegang. Aku terbiasa hidup dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, kesopanan dan batasan pergaulan. Aku wanita berhijab yang menjaga interaksi dengan lawan jenis.
"Gimana nak?" Ibu pemilik kos Asyifa menyentuh pundakku, mungkin menyadari kebimbanganku.
Tapi apalah dayaku? Matahari mulai terbenam, dan aku tak punya kenalan lain di Jakarta. Uang yang kubawa pun terbatas, tidak cukup untuk tidur sementara di penginapan ataupun hotel sambil mencari kos baru besok.
"Baiklah bu, saya mau tinggal di sini," jawabku akhirnya, suaraku nyaris seperti bisikan.
Ibu Marni mengangguk, kemudian memandu kami menaiki tangga kayu yang sedikit berderit. Lorong kos terasa pengap dan sempit, dengan beberapa pintu kamar yang terbuka. Dari salah satu kamar, terdengar suara musik keras dan tawa beberapa orang. Di kamar lain, asap rokok mengepul keluar, membuatku sedikit terbatuk.
"Nah, ini kamarnya," ibu Marni menunjuk sebuah pintu di ujung lorong. "Sebelah kanannya kamar Mas Deni, sebelah kirinya Mbak Sinta."
Aku mengintip ke dalam kamar. Ukurannya mungkin sekitar tiga kali tiga meter, dengan tempat tidur single yang terlihat tua, lemari kayu kecil, dan meja belajar yang sudah agak goyah. Kamar mandi dalam yang disebutkan ternyata hanya berupa bilik kecil dengan shower dan kloset duduk, tanpa wastafel. Lumayanlah untuk jadi tempat aku tinggal hanya masalah kos ini campuran itu yang jadi ganjalan buat aku.
Setelah membereskan pembayaran di muka untuk sewa kos aku kembali ke kos-kosan Asyifa untuk mengambil barang-barang aku sambil tak lupa mengucapkan terima kasih pada Ibu Ijah pemilik kos Asyifa.
Aku memasuki kamar baruku. Pintu ditutup, dan aku langsung menguncinya rapat-rapat. Suara musik dan percakapan dari kamar sebelah menembus dinding kamar, membuatku sadar betapa minimnya privasi di tempat ini.
Duduk di tepi ranjang yang sedikit berderit, aku mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan pada orangtuaku, memberitahu bahwa aku telah sampai dengan selamat dan telah mendapatkan tempat tinggal. Tentu saja aku tidak menceritakan detail kondisi kos yang kutempati. Tak ingin membuat mereka cemas.
Malam pertama di kamar kosong berukuran 3x4 meter itu terasa begitu panjang. Jumlah kamarnya cukup banyak dan penghuninya juga banyak. Suara percakapan dan suara tawa dari kamar mudah sekali menembus ruanganku. Suara itu berasal dari kamar sebelah kanan yang kata pemilik kos ini ditempati lelaki bernama Deni seperti yang sempat kudengar dari pemilik kos saat ia menunjukkan kamarku.
"Ya Allah, lindungi aku," bisikku pelan, menarik selimut tipis hingga menutupi dagu. Suara langkah kaki di lorong, pintu yang dibuka-tutup, dan suara asing yang tak kukenal membuat jantungku berdegup kencang. Jakarta telah menyambutku dengan cara yang sama sekali tak kuduga—memaksaku keluar dari zona nyaman dan menghadapi realitas metropolitan yang keras.
Aku memejamkan mata, berusaha mengabaikan kegaduhan di sekitarku. Aku harus bisa bertahan sebulan lamanya di kosan ini, aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku menerima gaji pertamaku, aku akan mencari kos-kosan lain. Tempat yang lebih renang dan tentu saja yang lebih sesuai dengan nilai-nilaku sebagai seorang muslimah. Tapi untuk malam ini bahkan bulan ini, aku harus bertahan. Karena aku sudah bayar kosan di muka untuk sebulan ke depan. Bayar dulu baru tinggal untuk penghuni baru.
Aku terbangun subuh dan segera sholat. Ini pertama kalinya aku bangun tidur di daerah baru. Karena hari ini masih hari minggu aku tidur lagi karena masih mengantuk, aku terbangun oleh suara ketukan di pintu.
"Assalamualaikum, ada penghuni baru ya?"
Suara perempuan ramah itu membuatku buru-buru membuka pintu. Di hadapanku berdiri seorang perempuan berhijab dengan senyum hangat. Wajahnya lumayan cantik berusia mungkin setahun dua tahun lebih tua dariku
"Waalaikumsalam. Iya, saya baru kemarin," jawabku sambil terseyum seramah mungkin.
"Oh, aku Sinta, tinggal di sebelah kiri kamarmu," ujarnya sambil mengulurkan tangan. "Kalau ada yang mau ditanyakan atau yang kamu belum ngerti soal kos-kosan ini atau soal kota Jakarta ini, bisa tanya-tanya ke aku. Siapa tahu bisa membantu."
Aku tersenyum lega. Setidaknya ada satu wajah ramah di tempat ini.
“Ayuk duduk di teras depan kamar aku. Aku buatkan kopi.”
‘Wah terima kasih udah merepotkan.”
“Ah gapapa kok. Gak usah sungkan-sungkan.”
Setelah ngobrol-ngobrol sambil minum kopi aku jadi tahu Sinta ternyata berasal dari Sumatra dan bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan swasta. Kelihatannya dia tipe orang yang mudah bergaul dan terlihat sangat aktif.
"Kamu baru terangkat jadi CPNS ya?”
“Iya mbak Alhamdulillah.”
“ Wah, keren! Aku dulu juga mau daftar, tapi gagal di tes kedua,"
“Bisa coba lagi kan mbak sapa tau tahun depan lulus.”
“Aku merasa bahwa jadi pegawai swasta lumayan juga. Jadi aku rasa sudah cukup bagiku coba-coba ikut test CPNS. Btw ini aku masak nasi goreng kamu makan ya!” Katanya sambil menawarkan nasi goreng buatannya.
"Wah, makasih, Mbak. Baik banget!"
"Hitung-hitung menyambut penghuni baru. Santai aja," balasnya sambil tertawa.
Percakapan dengan Sinta memberikanku sedikit harapan bahwa mungkin, hidup di Jakarta tidak akan seseram yang kubayangkan. Tekad aku kemarin untuk mencari kos-kosan baru hari ini mulai goyah.
Saat sarapan bersama Sinta di teras depan kamar kosnya aku melihat tetangga kamar sebelah kanan yang bernama Deni.
"Yang itu namanya Deni. Dia desainer grafis. Tapi kerjanya Freelance. Anak kos sini lebih sering menyebut dia pengangguran terhormat," jawab Sinta menjelaskan soal Deni tetangga kamar aku itu sambil tertawa.
“Emang dia banyak di kamar kosnya doang ya?”
“Iya sih. Meski terlihat santai, Dia sebenarnya orang yang cerdas loh dan punya semangat kerja tinggi.” Kata Sinta.
Aku memang sempat melihatnya saat lelaki itu tersenyum saja dan tidak berusaha kenalan meski aku baru saja jadi tetangga kamarnya.
***
Pemilik kos, Ibu Marni, adalah seorang janda berusia sekitar 50 tahun. Ia tinggal di lantai bawah dan terkesan tidak terlalu peduli dengan aktivitas penghuni kosnya.
Yang penting baginya adalah bayaran kos penghuni lancar. Di ujung lorong, ada kamar yang ditempati oleh Rudi, seorang pemuda berusia 28 tahun yang jarang terlihat bekerja. Ia lebih sering duduk di teras sambil merokok dan mengobrol dengan teman-temannya yang datang silih berganti.
"Eh, penghuni baru ya?" sapanya saat aku pulang dari minimarket melewati dia.
Aku hanya mengangguk singkat sambil senyum, tapi aku berusaha menghindari obrolan lebih lanjut. Aku memang ingin konsisten dengan prinsip aku yang memilih untuk menghindari interaksi berlebihan dengan lawan jenis.
***
Masih banyak penghuni lain yang belum aku kenal satu persatu. Selain penghuni tetap, ada juga Mbak Wati yang sering terlihat ada di kosan ini, dia seorang penjual nasi uduk yang di izinkan oleh ibu Marni untuk membuka laoaknya di teras depan kos setiap pagi. Ia sudah seperti ibu kedua bagi penghuni kos.
"Neng, jangan lupa sarapan!" teriak Mbak Wati dari gerobak nasi uduknya kepada salah satu penghuni kos.”Eh ada anak baru ya?”
“Iya mbak. Baru kemarin.” Jawab aku sambil tersenyum. Lalu membeli seporsi.
‘Neng kuliah apa kerja?” tanya mbak Wati lagi.
“Kerja mbak. Tapi baru CPNS.” Sahut aku.
Nasi uduk bukan menu sarapan familiar buat aku tapi ternyata cocok dengan lidah aku dan aku mulai menyukainya.
"Hari pertama kerja ya? Semoga sukses!" Ucap Mbak Wati.
"Aamiin, Mbak," jawabku sambil menatap jalanan yang sudah ramai oleh kendaraan.
Hari ini adalah hari pertamaku akan berangkat kerja ke kantor sebagai CPNS. Aku memakai hijab terbaikku dan berdoa agar semuanya berjalan lancar.
Jakarta ternyata tidak hanya tentang gedung-gedung tinggi dan kemacetan. Ia juga tentang orang-orang dengan beragam karakter, tentang perjuangan untuk bertahan tanpa kehilangan jati diri.
Pagi itu, langit Jakarta masih kelabu ketika aku melangkah keluar dari kos-kosan. Jantungku berdegup kencang—seperti burung kecil yang baru pertama kali terbang dari sarangnya. Aku memegang erat tas berisi dokumen-dokumen penting, memastikan ijazah, SK CPNS, dan surat-surat lainnya tidak tertinggal.
Bersambung1703Please respect copyright.PENANAOpoyZsItzD