(Bagaikan utara dan selatan, sekitar 7 jam-an, nyaris tengah siang bolong sampai di tempat sejak berangkat dari pukul empat pagi. Saya pikir hanya rumah tingkat biasa, ternyata sekelas mansion.)
Mobil hitam Cake segera diinstruksikan untuk berbelok dan mengambil jalur menanjak. Jalur menanjak itu membawanya menuju masuk ke pekarangan mansion besar. Cake terkejut, tiga orang menunggu di teras. Dua insan yang pakaiannya sama membuat Cake yakin bahwa satu yang memakai pakaian yang berbeda, adalah si pengirim pesan.
Mobil hitam Cake buatan jerman itu berhenti tepat di depan teras dengan posisi horizontal. Cake menurunkan kaca mobil. Seseorang datang menghampiri, lalu membuka pintu mobil.
“Maaf tiba – tiba merepotkan,” ucap wanita berambut pendek keriting coklat, manik matanya kuning hijau melirik tajam mirip mata kucing. “Di belakang ada garasi, mari parkir si cantik ini di sana.” Tangan Agnes mengelus dasbor mobil seolah kepala anak kecil.
Cake segera menginjakkan gasnya, lalu menaikkan kembali kaca samping mobil.
“Siapa nenek lansia itu, Agnes?” Cake memutar stir mobil ke arah kiri.
Wanita yang dipanggil Agnes itu memalingkan wajahnya ke arah kaca, matanya diputar ke arah berlawanan dengan Cake. Ia tampak tak terlalu tertarik.
“Ah, dia bekas militer di bagian dapur. Tapi karena saat konfrontasi di Afrika kekurangan orang, terpaksa dia dimajukan di garis depan. Setelah 40 tahun bekerja, akhirnya pensiun. Well, pada akhirnya ia memutuskan menjadi pembantu sekaligus penjaga Lady De Polcester. Mildie O’Svendanetine, panggil saja Mildsven. Itu saja yang kutahu,” jelas Agnes.
Agnes menyuruh Cake berhenti sebentar lalu ia keluar dari mobil untuk membuka pintu bagasi. Mobil diparkir bersebelahan dengan mobil lain. Cake turun, lalu bagasi itu ditutupnya kembali.
“Kenapa orang seperti itu di tempat ini, Agnes? Kau juga kemari untuk apa?” desak Cake bertanya. Namun Agnes, wajahnya yang mirip robot tanpa ekspresi, daripada berpaling ia memilih matanya saja yang melirik.
“Tambahan…,” ucap Agnes singkat.
“Tambahan? Tentang apa ini sebenarnya?”
Agnes tidak menggubris dan tetap berjalan.
(Memang seperti itulah Agnes. Sikapnya mirip robot, menjelaskan hal – hal menurutnya perlu. Sedangkan nenek lansia itu yang lengan pundaknya kekar, saya juga merasakan aura sedikit menyeramkan. Pada akhirnya perkiraan saya barangkali benar. Ini adalah perkara yang penting dan genting.)
“Terima kasih telah datang lebih awal, Monsieur Cake. Mari kita bicarakan di dalam.” Kedua tangan pucat dan kurang bertenaga, meraih tangan kanan Cake bersalaman. Di sekitar lingkar matanya hitam, mirip bekas insomnia.
“Y-ya, Lady De Polcester,” balas Cake, melebarkan senyuman tipis. Baru kali ini Cake merasakan tubuh insan yang abnormal. Seperti raga kosong melopong tanpa jiwa penggeraknya.
“Fogarty De Polcester. Panggil sesuka anda,” kata Lady De Polcester berpaling sejenak, lalu segera masuk ke vila.
Setelah Bibi Mildsven mempersilahkan, Caku masuk ke dalam tempat itu. Pintu itu ditutup, namun dikunci olehnya.
(Lady De Polcester, wanita anggun dengan satu diantara sejuta jenis yang membuatnya unik. Jelas sekali, tak berjiwa, kosong, dan pasrah. Suaranya lembut berkeibuan, menenangkan dan penuh kepastian. Tipikal wanita yang tidak bisa kulewati bercandaan kotorku begitu saja, dia wanita yang dihormati.)
(Fogarty De Polcester, wanita yang merepresentasikan kegigihan. Dari tangan, sorot matanya, dan kulit wajahnya, saya merasa wanita ini telah mengalami medan pertempuran yang tidak bisa dibayangkan. Berkali – kali menerima luka yang nyata walau tak tampak.)
(Bila tentara atau pejuang negara, menerima luka tembakan peluru, tergores pisau, terkena bom proyektil artileri, terkena peluru sniper dan lain sebagainya, hingga mereka terpingkal – pingkal hingga mati adalah sebuah anugerah kehormatan. Saat hidup diterima kembali, mereka terbangun dari rumah sakit dalam kondisi terobati, sembuh, atau hanya berbekas luka. Setelah menerima perawatan khusus, luka itu hilang beserta rasa sakitnya.)
(Sedangkan Fogarty De Polcester, ia mungkin pejuang atas dirinya sendiri. Tentu serangan peluru dan semacamnya mudah saja merenggut tubuh kurus lemasnya.. Yang pasti luka itu nyata tapi tidak tampak. Orang – orang ini biasanya menerima ketidakadilan, pengkhianatan, keputusasaan, kebohongan, ancaman hingga membuatnya gila. Membabi buta dan merusak, peristiwa yang setiap orang ingin menguburnya dalam inti bumi. Sekalinya luka itu menggores, separah apapun akibatnya, akan tetap sama. Tidak akan pernah hilang, tidak akan pernah sembuh rasa sakitnya.)
(Dengan begitu saya tidak punya pilihan lain selain menerima lalu mendiskusikannya. Atau apakah itu terlihat saya punya pilihan?)
Cake dibawa ke ruang makan yang tergabung dengan dapur. Hendak melewati dapur, matanya dialihkan sesaat melihat beberapa jenis kain pernak pernik indah. Ia sebenarnya ingin menyentuh salah satunya yang tidak ditutup rak, namun Cake agak terburu – buru.
Dapur itu terihat sederhana namun tanpa meninggalkan kesan mewah, berinterior cat putih polos terbuat dari kayu jati secara keseluruhan. Meja itu panjang dibuat mirip emas, dengan kursi yang sandarannya lebih tinggi dari kepala mirip tempat duduk diskusi para raja. Satu hal yang membuat Cake kepikiran, makanan dan minuman yang berjajar telah disiapkan.
Hanya saja… hanya saja… kenapa Lady De Polcester seakan tahu kalau aku pasti datang lebih awal dan menyipkan semua ini? Apakah beliau menebak? Itu terlali naif, pikir Cake yang belum – belum disambut keheranan.
Duduk sekitar lima menit, wanita itu mempersilahkan hidangan pada mereka, terutama Cake yang hampir delapan jam perjalanan. Agnes tanpa sungkan mengambil buah anggur, sementara Cake hanya menuang segelas sirup dan satu buah roti isi.
(Situasinya sangat canggung. Wajar itu karena saya, Lady De Polcester, dan Bibi Mildsven baru bertemu. Sedangkan Agnes, memang begitulah sikapnya dari dulu.)
Saat Cake meneguk segelas sirup setelah satu roti, matanya menelisik Lady De Polcester. Wanita itu tidak ikut makan, matanya menatap kosong ke arah bawah, pipinya kembang kempis kecildengan bibir sedikit terbuka, tandanya wanita itu menghela nafas.
(Jelas bagi orang yang melewatkan sarapan lalu berkelana selama hampir delapan jam perjalanan masih lapar hanya dengan satu roti. Tapi rasa khawatir Lady De Polcester, membuat perut saya kenyang dalam beberapa saat.)
Tangan Cake diulurkan segera ke dalam saku, segera ia menyeka bibirnya dengan sapu tangan. Tatapannya langsung condong pada Lady De Polcester.
“Madame, saya telah siap. Mari kita bicarakan apa yang perlu dibicarakan,” jelas Cake, membuat dua tiga orang lainnya terkejut.
“Ta-tapi, anda baru saja datang. Nikmati waktu anda-“
“Saya bisa tunda ini sebentar. Akan sedikit membuat saya tenang untuk menikmati hidangan mewah ini bila telah mendengar keluhannya,” kata Cake yang berusaha menenangkan mereka, terutama Lady De Polcester.
(Dengan begitu, meskipun terpaksa ada baiknya melakukan itu. Faktanya, makanan tidak akan pergi ke mana – mana. Bagi saya, hangat ataupun dingin tidak ada bedanya.)
Lady De Polcester meneguk air mineral sebelum memulai pembicaraan. Ia bahkan menepuk – nepuk ringan pipinya. Kemudian bibir kecilnya diangkat, matanya menyorot Cake tanpa berkedip.
(Lady De Polcester menceritakan tentang seorang anak yang ia titipkan di panti asuhan Wales. Katanya, ia tidak mau menceritakan alasannya, takut kalau saya berubah pikiran. Saya tidak keberatan, dan menyuruh beliau melanjutkan ceritanya.)
“Saya telah memantau anak itu sejak lama, petumbuhan dan perkembangannya. Bahkan rutin memberinya uang jajan dalam bentuk beasiswa. Tentu melalui orang lain, karena saya cukup sibuk dengan pekerjaan. Kurang lebih terpisah sejak 17 tahun, kira – kira saat ini dia sedang kuliah di Scotland.” Lady De Polcester menyerahkan foto tersebut.
Saat Cake menerima foto itu, bukan gambarnya yang menjadi perhatian. Tapi fisik kertas foto itu, yang terdapat banyak lekukan saat dibalik – balikkannya.
(Berjubel pertanyaan muncul. Kenapa Lady De Polcester memilih memantau daripada langsung menjenguknya? Kenapa ia memberi uang jajan dengan bentuk beasiswa? Saya tidak langsung mengutarakan karena menunggu orang tersebut yang memberitahu rasanya lebih afdol.)
“Lalu, apa yang anda inginkan dari gadis ini?” balik tanya Cake.
“Saya ingin dia kembali ke rumah ini! Lalu menganggap saya adalah ibunya. Karena memang dia anak kandung saya! Dia satu – satunya harta paling berharga yang ditinggalkan suami!” seru wanita itu agak dongkol..
Tangan Cake diulurkan, dikembalikannya foto itu. Mata Cake yang terpejam dengan roman mukanya kencang. Ia merasa muak dengan kasus semacam ini, kasus klise yang memancing frustasi.
“Anda memanggil saya untuk ini?” Cake beranjak dari duduknya.
(Sesaat saya berpikir bahwa dia contoh klise bagi ibu yang kurang baik. Namun…)
“Bu-bukan begitu! Sa-saya tidak punya pilihan lain! I-ini tidak seperi kelihatannya! Jika tidak begitu, maka saya hanya mengingat namanya, sebelum wajah manisnya tumbuh dewasa!”
(Mendengar itu, khawatir kalau saya berpikir terlalu cepat. Lagipula kehadiran Agnes seharusnya sudah cukup menjelaskan anomali kasus ini.)
“Apakah ini termasuk bagian alasan yang membuat anda takut saya menolak?” tanya Cake, mengonfirmasi.
Bibi Mildsven dan Agnes melirik kecil ke arah Lady De Polcester yang semakin terpojok. Dia melongo dan bingung. Namun saat Cake kembali duduk pada tempatnya, Lady De Polcester sadar bahwa ia tak punya pilihan lain.
“Sebenarnya, suami Lady De Polcester adalah pencuri dan pelarian dari sebuah organisasi….” jelas Bibi Mildsven dengan terpaksa. Ia memalingkan matanya, lalu menghela nafas.
“Organisasi? Organisasi apa?” Cake bertanya – tanya.
(Pada titik ini saya sebenarnya bisa menebak. Mengingat jejak rekam, bisa dibilang itu adalah musuh berbuyutan selama saya hidup. Dan yang lebih penting, saya bisa mengerti mengapa Lady De Polcester bertindak demikian.)
“Konsorsium kecil, Route54B,” kata Agnes.
ns3.19.54.41da2