Dapur kecil itu berbau bawang goreng dan asap minyak yang menempel di dinding keramik yang sudah menguning. Ainun berdiri di depan kompor, jilbab cokelatnya tersemat rapi, meski ujungnya sedikit basah karena cipratan air saat mencuci piring tadi. Tangan kanannya mengaduk sayur kolplay yang mendesis di wajan, sementara tangan kirinya memegang spatula kayu yang sudah aus. Di sudut ruangan, Arfan, anaknya yang berusia enam tahun, duduk di lantai, menggambar sesuatu di buku tulis bekas dengan pensil warna yang tinggal separuh. Suara televisi di ruang tamu sayup-sayup, menyiarkan iklan sabun cuci yang sudah Ainun hafal nadanya.
“Ain, minyaknya habis nggak?” tanya Hendra dari ruang tamu, suaranya datar, hampir tak peduli. Ia duduk di sofa, kaki disilangkan, memandang layar televisi tanpa benar-benar menonton.
Ainun menoleh sekilas ke arah pintu, tapi tak menjawab segera. Ia membuka tutup botol minyak di samping kompor, mengintip isinya. Tinggal setengah. “Masih ada, Mas,” jawabnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh desis wajan. “Tapi besok kudu beli lagi.”
Hendra hanya menggumam, tak jelas apa artinya. Ainun kembali fokus pada wajan, tapi pikirannya melayang. Tagihan listrik bulan ini belum dibayar. Gas elpiji juga tinggal sedikit, mungkin cukup untuk tiga hari. Dan Arfan, anak semata wayang mereka, mulai minta sepatu baru karena yang lama sudah robek di bagian tumit. Gaji Hendra sebagai sopir ojek online tak pernah cukup untuk menutup semua kebutuhan. Ainun sudah berhenti mengeluh, tapi dadanya terasa sesak setiap kali menghitung sisa uang di dompetnya yang lusuh.
“Bu, ini gambar apa?” Arfan mendongak, memamerkan coretan pensil warnanya. Gambar itu buram, tapi Ainun bisa melihat bentuk rumah dengan atap segitiga dan dua orang berdiri di depannya.
“Cantik, Fan,” kata Ainun, tersenyum tipis. “Itu rumah kita, ya? Sama Ibu sama Bapak?”
Arfan mengangguk antusias. “Iya! Tapi ini rumah besar, Bu. Kayak punya temenku, Dika. Ada garasinya!”
Ainun hanya mengangguk, tak tahu harus menjawab apa. Rumah besar, garasi, mobil—itu semua terasa seperti mimpi yang terlalu jauh. Rumah kontrakan mereka yang sempit ini, dengan tembok yang mulai retak dan atap yang bocor saat hujan, adalah kenyataan mereka. Ia menghela napas, mematikan kompor, dan menyendok sayur ke piring seng yang sudah sedikit penyok.
Malam itu, setelah Arfan tertidur di tikar di ruang tamu, Ainun duduk di samping Hendra yang masih menatap televisi. Cahaya layar memantul di wajahnya yang lelah, garis-garis kerut di dahinya semakin dalam. Ainun memainkan ujung jilbabnya, mencari kata-kata yang tepat.
“Mas,” panggilnya pelan. “Tadi siang aku ketemu Bu RT. Katanya ada kerjaan.”
Hendra menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Kerjaan apa?”
“Jadi baby sitter,” jawab Ainun, suaranya hati-hati. “Di rumah orang kaya, katanya. Anaknya masih bayi, bapaknya duda. Butuh orang buat jagain anaknya siang sampe sore.”
Hendra diam sejenak, matanya kembali ke televisi. “Emang gajinya berapa?”
“Belum tahu pasti, Mas. Tapi katanya lumayan. Bu RT bilang, orangnya baik. Namanya Pak Bayu. Pengusaha apa gitu.”
Hendra mengangguk pelan, tapi wajahnya tak menunjukkan antusiasme. “Kamu yakin mau kerja gitu? Nanti Arfan siapa yang jagain?”
Ainun menunduk, jari-jarinya meremas ujung jilbab lebih erat. “Arfan kan udah sekolah sampe siang. Aku pulang sore, masih bisa jemput dia. Lagian… kita butuh duit, Mas.”
Kata-kata itu keluar dengan nada yang lebih tajam dari yang Ainun inginkan. Hendra menoleh lagi, kali ini tatapannya lebih tajam. “Maksudmu apa? Aku kurang kasih nafkah?”
“Bukan gitu, Mas,” Ainun buru-buru menggeleng. “Cuma… tagihan listrik belum kebayar. Gas juga mau habis. Arfan minta sepatu baru. Aku cuma mau bantu.”
Hendra menghela napas panjang, tangannya menggosok-gosok wajahnya. “Ya sudah, kalau kamu mau, coba aja. Tapi jangan sampe Arfan keabaian. Dan…” Ia berhenti, menatap Ainun dengan mata yang sulit dibaca. “Jaga diri kamu. Orang kaya gitu, kadang suka macem-macem.”
Ainun tersenyum kecil, meski hatinya sedikit ciut. “Insyaallah, Mas. Aku cuma kerja, nggak lebih.”
Malam itu, Ainun tak bisa tidur nyenyak. Ia berbaring di samping Arfan, mendengar napas kecil anaknya yang teratur. Di sisi lain ranjang, Hendra sudah mendengkur pelan, bau keringat dan oli motor samar-samar tercium dari tubuhnya. Ainun menatap plafon yang mulai berjamur, pikirannya melayang ke tawaran kerja itu. Ia tak tahu banyak tentang Bayu, tapi kata-kata Bu RT tentang gaji yang lumayan terus bergema di kepalanya. Mungkin ini jalan keluar. Mungkin ini cara untuk memperbaiki keadaan—setidaknya untuk Arfan.
Pagi harinya, Ainun bersiap lebih awal. Ia memilih jilbab cokelat tua yang sedikit lebih rapi, meski ujungnya sudah sedikit berjumbai. Baju tuniknya sederhana, tapi bersih, wangi sabun colek yang ia pakai untuk mencuci. Hendra mengantarnya ke rumah Bu RT dengan motor bututnya, tak banyak bicara sepanjang jalan. Angin pagi terasa dingin di wajah Ainun, dan ia memegang erat pinggang Hendra, mencoba mengabaikan rasa gugup yang menggerogoti dadanya.
“Jaga diri, ya,” kata Hendra saat mereka sampai di depan rumah Bu RT. Suaranya masih datar, tapi ada sedikit kelembutan di matanya.
“Iya, Mas,” jawab Ainun, menurunkan kakinya dari motor. “Doain aku.”
Hendra hanya mengangguk, lalu memutar gas motor dan pergi. Ainun menatap punggung suaminya yang menjauh, merasa ada jarak yang tak bisa dijelaskan di antara mereka. Bukan cuma jarak fisik, tapi sesuatu yang lebih dalam, seperti retakan di dinding dapur mereka—kecil, tapi terus melebar.
Bu RT menyambut Ainun dengan senyum lebar. “Ainun, alhamdulillah kamu datang! Pak Bayu udah nunggu. Orangnya baik, kok. Anaknya lucu, baru setahun. Kamu pasti bisa.”
Ainun hanya mengangguk, mencoba menahan debaran di dadanya. Bu RT mengantarnya ke sebuah mobil yang sudah menunggu di depan gang. Sopirnya, pria tua dengan kopiah hitam, membukakan pintu untuk Ainun. Di dalam, ada seorang pria yang duduk di kursi belakang. Wajahnya tegas, tapi tak keras. Rambutnya pendek, sedikit beruban di pelipis. Ia memakai kemeja putih yang digulung sampai siku, dan matanya menatap Ainun dengan sopan tapi penuh perhatian.
“Assalamualaikum,” sapa pria itu, suaranya dalam dan tenang. “Ainun, ya?”
“Waalaikumsalam,” jawab Ainun, suaranya sedikit gemetar. Ia menunduk, tak berani menatap lama. “Iya, Pak.”
“Bayu,” katanya, memperkenalkan diri. “Terima kasih sudah mau datang. Anak saya, Naya, butuh perhatian ekstra. Istri saya… sudah nggak ada. Jadi, saya harap kamu bisa bantu.”
Ainun mengangguk lagi, merasa ada beban baru di pundaknya. Ia tak tahu apa yang membuatnya lebih gugup—tawaran kerja ini, atau tatapan Bayu yang terasa seperti menembus jilbabnya. Mobil mulai bergerak, meninggalkan gang sempit tempat Ainun tinggal. Di dalam mobil, bau parfum mahal samar-samar tercium, begitu berbeda dengan bau oli motor Hendra.
“Anak kamu berapa umurnya?” tanya Bayu tiba-tiba, memecah keheningan.
“Enam tahun, Pak,” jawab Ainun, tangannya memainkan tali tas kecil di pangkuannya. “Namanya Arfan.”
Bayu tersenyum tipis. “Pasti lucu. Naya juga. Tapi… kadang saya merasa dia kesepian. Makanya saya cari orang yang bisa kasih dia perhatian seperti ibunya.”
Ainun hanya mengangguk, tak tahu harus menjawab apa. Ia memandang keluar jendela, melihat rumah-rumah besar mulai bermunculan di pinggir jalan. Hatinya masih penuh pertanyaan, tapi satu hal yang pasti: ia harus melakukan ini. Untuk Arfan. Untuk keluarga mereka. Untuk menambal retakan di dapur kecil itu, meski ia tak yakin apakah itu cukup.
Sampai di rumah Bayu, Ainun langsung disambut oleh suara tangis bayi dari dalam. Rumah itu besar, dengan pintu kayu berukir dan halaman yang dipenuhi tanaman rapi. Ainun melangkah masuk, jilbabnya sedikit bergoyang tertiup angin. Bayu berjalan di depannya, membuka pintu dan mengantarnya ke kamar bayi. Di sana, seorang perempuan tua, mungkin pembantu, sedang menimang bayi yang menangis.
“Ini Naya,” kata Bayu, suaranya lembut. Ia mengambil bayi itu dari tangan pembantu, lalu menyerahkannya ke Ainun. “Coba pegang.”
Ainun menerima Naya dengan hati-hati, merasakan kehangatan tubuh kecil itu di pelukannya. Bayi itu masih menangis, tapi perlahan tenang saat Ainun mengusap punggungnya dengan lembut. Bayu memperhatikan, matanya tak lepas dari gerakan Ainun. Ada sesuatu di tatapannya yang membuat Ainun merasa canggung, tapi ia mengabaikannya.
“Hari ini coba dulu,” kata Bayu. “Kalau cocok, kita bisa atur gaji dan jadwalnya.”
Ainun mengangguk, fokus pada Naya yang sekarang mulai memejamkan mata. Di dalam dadanya, ada campuran lega dan cemas. Ini adalah awal, tapi entah ke mana jalan ini akan membawanya. Di luar, angin bertiup pelan, membawa aroma bunga dari halaman. Tapi di dalam hati Ainun, ada retakan kecil yang mulai terasa—seperti dapur di rumahnya, yang tak pernah benar-benar utuh lagi.
Bersambung
Telegram @sprachgewandt666
Karyakarsa: https://karyakarsa.com/silvertounge
119Please respect copyright.PENANAi7lRVGddPy