Namanya Revan Anggara Kusuma, tetapi teman-temannya lebih suka memanggilnya Revan. Lahir dan dibesarkan di sebuah perkampungan yang tenang, kisah hidupnya mulai menggelora saat ia memasuki masa remaja yang penuh harapan dan tantangan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAD2kkggMqs
Revan dilahirkan dalam keluarga sederhana. Sejak kecil, ia sering ditinggal kedua orang tuanya yang tanpa henti berjuang mencari nafkah. Keterbatasan ekonomi seolah menempatkannya di tepi cinta, membuatnya tumbuh sebagai tuna asmara di usia yang masih belia.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGKTNToQDOG
Ibunya melakukan beragam pekerjaan serabutan, bergelut dengan segala jenis usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, ayahnya, seorang kuli panggul beras di pasar, terpaksa bekerja keras demi nafkah keluarga yang semakin menumpuk. Setiap harinya, Revan bersama kakaknya menyibukkan diri menyiapkan keperluan sekolah, tapi seringkali dia harus melakukannya seorang diri.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoNH0msDrLF
Kisah ini berawal pada suatu siang yang mendung di kelas enam SD. Hujan turun dengan deras, menciptakan suasana melankolis di luar jendela. Teman-teman sebayanya dijemput oleh orang tua mereka dengan payung yang penuh kehangatan, sementara Revan hanya bisa menatap hujan dengan rasa getir di hatinya, berbisik pelan, “Aku iri pada mereka.”
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrnm0VGRzGN
Tiba-tiba, suara lembut Ibu Reni, guru dan wali kelas yang muda dan anggun, memecah lamunan Revan. “Revan, kamu tidak pulang? Di mana jemputanmu? Apakah kamu tidak bawa payung?” tanyanya, sorot matanya penuh kepedulian.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5WLactGSLT
“Tidak, Bu. Saya tidak bawa payung. Dan tidak ada yang jemput, Bapak dan Ibu saya sedang bekerja,” jawabnya dengan nada yang datar, berusaha menyembunyikan rasa sedih.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6WrooucCsZ
Mendengar jawaban itu, Ibu Reni tersenyum lembut, seakan memahami. “Oh, jadi orang tuamu sedang bekerja ya? Jika begitu, mari Ibu antarkan,” tawarnya dengan nada menenangkan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxd4uJD8PPS
Menerima tawaran itu terasa seperti beban di pundaknya, tapi rasa khawatir untuk merepotkan mengalahkan keraguannya. “Tidak usah, Bu. Saya akan menunggu hingga hujan reda,” jawabnya pelan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNaD7btjG41
“Tidak apa, Van. Mari Ibu antarkan. Sekolah sudah sepi, dan hujan masih deras. Kita tidak tahu sampai kapan hujan ini akan berhenti,” lanjut Bu Reni, mengajak Revan untuk segera pergi.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMNByusZxPl
Dengan berat hati, dia mengangguk dan mereka bergegas pergi dengan sepeda motor, mengenakan jas hujan. Revan duduk di belakang, memeluk Ibu Reni erat-erat agar tidak terjatuh. “Apa tidak masalah, Bu, kalau begini? Saya malu,” tanyanya dengan suara pelan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPlhxkbqhLW
“Tidak masalah, demi keselamatan kita,” jawab Bu Reni, menyemangatinya.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyDUumqUJbA
Momen perjalanan menuju rumah terasa singkat, meskipun hujan terus mengucurkan air dari langit. Setibanya di depan rumah, Bu Reni memberi isyarat telah sampai dengan tepukan lembut di bahunya.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUMEjcCxAOR
Revan melompat dari motor dan berlari ke dalam rumah, berusaha menghindari air hujan yang masih mengalir deras. Namun sebelum melangkah masuk, ia menoleh sekali lagi ke arah Bu Reni yang melambaikan tangan. Sebagai tanda terima kasih, ia menundukkan kepala dengan penuh rasa syukur.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvj11SObPoA
Saat itu, hangat menyelimuti hatinya. "Apakah inilah yang dirasakan teman-teman saat mendapatkan kasih sayang orang tua?" pikirnya. Dalam sekejap, dia merasakan kehangatan pelukan orang tua, sesuatu yang langka dalam hidupnya, meski seketika itu juga ia menyadari betapa mahalnya perasaan itu.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQWH58aeiVn
Keesokan harinya di sekolah, setelah bel berbunyi, Bu Reni masuk ke kelas dengan senyum ramah. Dia mengabsen muridnya hingga tiba di nama Revan. “Revan Anggara Kusuma,” panggilnya.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ82U9FaukBi
“Hadir, Bu,” sahut Revan, mencoba menutupi kegugupan yang menggelora di dalam dada.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡx63mTPVh1m
Kekhawatiran melintas di wajah Bu Reni. “Kamu tidak enak badan, nak? Sepertinya kemarin saat Ibu antar, badanmu terasa hangat?” tanyanya dengan sorot mata prihatin.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4k8JPL5Dwj
“Ah, tidak, Bu. Begini adanya. Cuma kalau hujan atau cuaca dingin, tubuhnya agak hangat,” jawabnya sedikit ragu.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBeOUVPisJz
Senyum di wajah Bu Reni mengisyaratkan lebih banyak daripada yang bisa dia pahami. Ada sesuatu yang mendalam dalam tatapan itu, seolah menyimpan rahasia yang menggelitik rasa ingin tahunya. Dia merasakan bahwa tawaran tumpangan di tengah hujan adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7DabeiRq7D
Seiring waktu belajar dimulai, harapan dan rasa penasaran mengendap di benak para murid. Bel istirahat berbunyi, dan seluruh siswa berlarian keluar, mengekspresikan kegembiraan. “Revan, kamu tidak ikut keluar?” tanya Bu Reni penuh rasa ingin tahu.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuVy2jnnmdz
“Tidak, Bu. Saya ingin tetap di kelas,” jawabnya.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡU3RTmgu7W3
“Oh, kebetulan sekali. Ibu ingin sedikit mengobrol,” ucap Bu Reni dengan nada hangat yang membuatnya bersemangat.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡghO3n6euVF
“Baik, Bu,” sahut Revan, merasakan antisipasi akan perbincangan yang lebih akrab.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnGbYqkXk9u
Bu Reni meminta Revan untuk mengambil kursi dan duduk di sebelah mejanya. Pembicaraan pun diawali dengan hangat.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ10aUh42uKa
“Kenapa kamu tidak jajan, Van?” tanya Bu Reni penasaran.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeS08YAHC0Q
“Saya tidak pernah jajan, Bu,” jawabnya singkat, meski sedikit canggung.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡs0U2onJEXW
“Tidak bawa uang saku?” tanya Bu Reni lagi.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBCGvKaI6lu
“Ya, Bu,” jawabnya lagi, meski dalam hati mulai terbesit pertanyaan tentang motivasi di balik pertanyaan itu.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdrh1I5xn6R
“Siang hari di rumah, kamu bersama siapa, Van?” tanya Bu Reni dengan nada yang lembut.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡY6JzuXLPzM
“Sepulang sekolah, saya sendiri, Bu. Kakak baru pulang sore. Ada apa, Bu?” Revan menjawab sambil menatap guru dengan tatapan penasaran.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQUTUSMbtbx
“Ohh, tidak ada alasan khusus. Hanya ingin tahu sedikit tentangmu,” jawab Bu Reni, meninggalkan pintu pertanyaan terbuka di antara mereka.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcVEjdIiwB6
“Baik, Bu. Ada lagi yang ingin ditanyakan?” tanyanya, rasa ingin tahunya semakin menguat saat perbincangan ini terasa semakin menyenangkan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzyq0ndVrK7
“Tidak ada. Namun, bagaimana kalau setelah sekolah nanti, Ibu mengajak kamu makan bakso? Setuju?” Bu Reni mengusulkan sambil tersenyum, dan membuatnya terkejut.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡffjU1YGhKn
“Ah, tidak usah, Bu. Nanti yang lain jadi iri dan malah merepotkan Ibu,” tolaknya, meskipun hatinya bergetar mendengar tawaran itu.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOPnZA6PAW1
“Tidak masalah, Van. Kita bisa pulang belakangan agar tidak ada yang tahu,” jawab Bu Reni dengan senyuman yang hangat.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqgrTh5RRQK
“Baiklah, terserah Ibu,” ungkapnya, merasakan kegembiraan menyusup ke dalam jiwanya.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhwBAo4JwYH
Tak lama, bel berbunyi menandakan akhir istirahat. Teman-temannya yang kembali dari kantin langsung memasuki kelas, sementara dia duduk terdiam, memikirkan momen-momen berharga yang baru dialaminya.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfYsYYcoMk0
Pelajaran dimulai, tetapi pikirannya melayang antara kenangan hangat dari perbincangan bersama Bu Reni dan harapannya terhadap kejutan yang mungkin ada di depan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJ13JtHX988
Saat bel pulang berbunyi, semua bersiap, tetapi dia tetap duduk, mengamatinya teman-teman yang bersalaman dengan Bu Reni. Dia hanya menunggu dengan penuh semangat di dalam hati.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2dnJrQq3oW
“Revan, ayo. Teman-teman sudah pulang. Hari ini Ibu ingin mengajak kamu makan bakso di pertigaan. Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Bu Reni dengan senyumnya yang mempesona.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡA7OcR8q4Vs
“Tidak, Bu. Saya justru sangat menyukai bakso,” jawabnya, wajahnya berseri-seri.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoIy7i7JPvr
“Yuk, kita pergi,” ajak Bu Reni, dan dia pun segera membereskan barangnya, mengikuti langkahnya menuju sepeda motor.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjfCbEfeloj
“Siap, Van? Ayo naik,” perintah Bu Reni lembut.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCNmkVQbeMX
“Baik, Bu,” jawabnya, mendaki motor dengan debar jantung yang semakin kencang.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCOudbtHftU
“Pegangan, Van. Ibu ingin merasakan kehangatanmu lagi,” ucap Bu Reni, dan pernyataan itu membuatnya terkejut.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbD4OVHz1XE
“Hah? Apa, Bu? Maksudnya bagaimana?” tanyanya, berusaha memahami makna di balik kata-kata itu.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvZx0nCfP3w
“Eh, tidak ada apa-apa. Pegangan saja sudah,” jawab Bu Reni sambil tertawa, membuatnya merasa aneh tetapi sekaligus terhibur.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqJtU8nej7N
“Baik, Bu,” balasnya, kembali pada posisi pegangannya saat motor mulai meluncur.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9cwHHpFjSA
Mereka melaju menuju warung bakso, menikmati hidangan yang menggugah selera sambil bercanda dan tertawa. Setelah perut kenyang, Bu Reni mengantarnya pulang.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRKaVbrXRqu
Saat tiba di rumah, dia tidak menyangka akan menawarkan Bu Reni untuk mampir, hanya untuk basa-basi, ternyata tawarannya diterima dengan senyuman.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡo1YbugurGt
“Waduh, Bu. Ibu benar-benar mampir? Maaf, tadinya saya hanya bercanda,” ungkapnya, sedikit terkejut dan gugup.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUPHOOooJYN
“Oh, tidak apa-apa, Van. Walau hanya basa-basi, Ibu tetap ingin mampir,” jawab Bu Reni dengan nada penuh kehangatan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡR4UzJi5Mjf
“Baik, Bu. Terima kasih, dan maaf jika sebelumnya kurang sopan,” ujarnya, merasa senang sekaligus canggung.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvrmHiKWVH1
“Tentu tidak masalah, kan Ibu juga belum pernah mampir ke rumah kamu,” Bu Reni menjelaskan sambil memandang sekeliling.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡowWaxm4hjl
“Ya, memang begitu, Bu,” sahutnya, tersenyum.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGXAqPxKWUo
Dia mencari kunci pintu yang tersembunyi di bawah tanaman hias, lalu membukanya dengan hati-hati dan mempersilakan Bu Reni masuk, meskipun hatinya berdebar tak karuan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPhZVgbUK43
“Mari, silakan masuk, Bu. Maaf, tidak ada hidangan yang bisa disajikan,” ungkapnya.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCSyJWFU0c3
Bu Reni duduk di kursi tua yang tampak nyaman. “Tidak apa-apa, Van. Kita baru saja makan,” sahutnya dengan senyuman menenangkan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5bVSw3W3ER
“Oh iya, terima kasih sudah memaklumi, Bu,” jawabnya, merasakan ketenangan di dalam hati.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRc8dWxUNxC
“Jadi, kalau di rumah sendiri begini, ngapain, Van? Tidak ganti baju dulu?” tanya Bu Reni, memperhatikan penampilannya.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzBDk1kHcTk
“Oh, iya. Saya ganti baju dulu, Bu,” jawabnya, berlari cepat ke kamar yang tidak jauh dari tempat Bu Reni duduk.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQPU57LjEaB
Kamar itu hanya ditutup tirai, dan saat dia masuk, tanpa sengaja tirai itu sedikit terbuka. Ia terkejut mendengar suara Bu Reni.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡP2VnIkXfGi
“Kalau masuk kamar, tirainya ditutup, Van,” ucap Bu Reni sambil berusaha membetulkan tirai tersebut, nada suaranya bercanda.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡiIBQRMDKWR
Kekagetannya membuatnya berusaha menjelaskan, “Eh… iya, Bu. Tadi sudah ditutup, tetapi tidak tahu jika terbuka lagi.”
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJIMe5kzoMs
“Ya sudah, tidak apa-apa. Untung saja Ibu di sini,” jawab Bu Reni, membuatnya merasa malu campur senang dalam momen yang tak terduga.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ16j6CAT3PJ
“Ah, Bu, jangan nakutin begitu,” balasnya, berusaha mengalihkan rasa aneh yang menghinggapi.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1q9FaEN5Y3
“Tidak, Van. Ibu hanya bercanda,” ucap Bu Reni dengan senyuman, menghapus kekhawatiran yang berkecamuk dalam pikiran Revan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3jBQpV7i7F
Bu Reni melanjutkan obrolan ringan mereka, berbagi cerita dan tertawa, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Namun, ketika saat berpamitan tiba, seakan ada kekosongan yang menyelimuti hati Revan, membuatnya merasa bahwa momen tersebut adalah awal dari suatu cerita yang baru.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrP0fqyPB9O
“Revan, sepertinya sudah siang. Ibu mau pulang dulu, ya?” ujar Bu Reni lembut, menyentuh hati Revan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡya4jS4FjrY
“Oh, iya, Bu. Baik. Mari saya antar ke depan. Maaf ya, Bu, tidak ada yang bisa saya sajikan,” jawabnya, berusaha menjaga tata krama.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡp8l1EPn7ET
“Tidak apa-apa, Revan. Ibu sudah cukup senang bisa berbincang denganmu,” balas Bu Reni, senyumnya hangat dan menenangkan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQEFXRIqsby
“Terima kasih, Bu, atas pengertiannya,” ucap Revan, merasa lega.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlp8l00xq2Y
“Ya, Van. Ibu pamit, ya.” Ucap Bu Reni
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlqxXOjQuti
Namun, sebelum pergi, Bu Reni mengajukan permintaan yang mengejutkan. “Tapi sebelum pulang, Ibu boleh menciummu di pipi, kan?” tanya Bu Reni dengan tatapan serius.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQ9LEHeCScI
Revan merasa dikelilingi oleh pertanyaan yang membingungkan. “Hah? Maksudnya gimana, Bu? Untuk apa, ya?” tanyanya dengan keraguan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmhYKr6wa8T
“Mencium pipi Revan sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemani Ibu berbincang dan makan,” jelas Bu Reni, berusaha mengurangi ketegangan yang mulai terasa. “Kalau tidak boleh, ya tidak apa-apa.”
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhTuAp0QFOH
Dengan cepat, Revan menjawab, “Boleh, Bu,” tanpa melirik lebih dalam makna di balik permintaan itu.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxUD654gUs7
Dengan lembut, Bu Reni mendekat, dan dalam sekejap, bibirnya menyentuh pipi Revan. Detakan jantung Revan seperti alat musik yang berdentum tak henti-henti, membuat seolah waktu terhenti sejenak.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4seUaJ8DUm
Setelah pertemuan singkat itu, Bu Reni berpamitan pulang. Revan mengantarnya, langkahnya agak canggung namun penuh rasa ingin tahu. Sebelum melanjutkan perjalanan, Bu Reni menoleh sejenak, meninggalkan jejak rasa yang tak bisa diungkapkan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoRFx4jX5Fp
Itulah awal mula keakraban mereka.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDN1bPyHXyw
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBkMgT7VsE0
***
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡiO7IFsrhsp
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkdxgoqoMM1
Keesokan harinya, Revan berjalan kaki menuju sekolah dengan penuh perasaan; meski sunyi, bayang-bayang kemarin menghantuinya, membuatnya merasa malu dan canggung setiap kali bertemu Bu Reni. Di kelas, selama pelajaran berlangsung, ia terdiam, bahkan ketika bel berbunyi menandakan waktu pulang. Sementara teman-temannya berebut untuk bersalaman dengan guru mereka, Revan tetap terpaku pada kursinya, tampaknya menanti momen yang tepat.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡD6t07n60LB
“Revan, kenapa kamu tidak pulang?” tanya Bu Reni, penuh perhatian.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjrBEPKcJde
“Anu, Bu. Revan mau pulang, tapi nunggu Ibu keluar dulu,” jawabnya dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan kegugupan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3MxDRr8sx3
“Loh, ada apa, Van? Apa Ibu menyulitkanmu?” tanya Bu Reni, dengan ekspresi sedikit khawatir.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡtD4Dv1NXMc
“Enggak, Bu. Revan hanya masih malu sama kejadian kemarin,” ungkapnya.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfiazwooDoN
“Hahaha, malu kenapa? Bukankah Ibu tidak mempermalukanmu?” Bu Reni menggoda, matanya bersinar hangat.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpDW3QiMOHF
“Ya enggak sih, Bu, cuma Revan malu saja,” jawab Revan, merasakan jiwanya sedikit lebih tenang.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNjzNKphqLw
“Ya sudah, mulai sekarang jangan malu-malu. Anggap saja Ibu ini kakakmu. Kamu tidak perlu canggung lagi,” Reni menghibur, memberikan ketenangan.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9zK7YUezha
“Emang boleh seperti itu, Bu?” tanyanya, berharap mendapatkan kepastian.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2fnPNNZDid
“Tentu saja boleh,” jawab Bu Reni tegas.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjwKi4rF2AO
“Baiklah, kalau begitu, Bu.” Ucap Revan mempertegas keadaan
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlevafOwnxt
Dari sanalah, keakraban mereka mulai berkembang. Percakapan hangat dan tawa mengisi hari-hari mereka, menjembatani jarak yang semula antara guru dan murid, menjadi seolah kakak beradik yang saling berbagi cerita.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6tjCp7z8cI
Seiring waktu berlalu, kedekatan itu semakin erat. Namun, satu hari, dunia Revan terasa kosong ketika mendengar kabar bahwa Bu Reni sudah tiga hari tidak hadir di sekolah. Menyisipkan rasa khawatir tentang kesehatan Ibu Reni, Revan ingin segera menjenguknya.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡx50AEl3G01
Sepulang sekolah, ia cepat-cepat berganti pakaian dan menyiapkan segala yang dibutuhkan. Dengan sepenuh hati, ia menulis pesan kepada saudaranya, memberitahukan bahwa ia akan menginap di rumah nenek yang tak jauh dari rumah Bu Reni.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡL3za53aIKd
Mengayuh sepeda barunya, jantung Revan berdegup kencang, bercampur antara kecemasan dan rasa ingin tahu. Tak lama, jarak tiga kilometer dapat dia lalui, dan akhirnya ia tiba di depan rumah Bu Reni. Keterikatan yang mereka jalin kini menuntut jawaban, dan Revan siap untuk mengungkapnya.
177Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDooxpyqwXu
