Harap waspada-
Sebuah poster yang kurang menarik minat untuk dibaca, sepasang matanya sempat membaca huruf sebagian. Ren tak perlu diingatkan tentang beruang karena informasi itu cukup umum. Kemudian dengan segera jari jempol kanan menggelung layar ke atas.
“Vila baru terbuka untuk jasa penginapan BnB dekat pemandangan Loch Tay dan Tay forest park. Ayo coba atur reservasi sekarang!” gumam Ren dengan hatinya melompat kegirangan saat membaca sebuah brosur di internet sebelum memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya. Ditemani dua temannya yang terpisah sejak SD di Wales, Ren terlontang - lantung di jalanan. “Semoga sesuai dengan gambarnya,”
"Hey tanganku sudah diambang batas," keluh Grunt Wilchard. Kedua tangannya mengencang menahan dua beban yang cukup berat, ditambah tas dipunggungnya. Peluhnya turun melalui dagunya yg lancip menetes seolah tanpa jeda, ia kesusahan mengatur ritme nafasnya. Kaos kuning "The Bro always being sacrifice" yang dikenakannya basah seperti diguyur hujan dadakan, sementara celana jeans pendeknya hanya mempersulit langkah pria itu, kiranya terlalu kekecilan.
Sayangnya dua wanita yang berjalan tepat di depannya tak menggubris. Mereka berpaling pada pemandangan hutan yang datarannya meninggi di samping kiri, atau tebing tak terlalu terjal, berumput dan pohonnya jarang di samping kanan.
"Ren, kita sebaiknya turun ke sana kalau mau bersantai sebentar?" Tunjuk Sistine Brunes tepat di samping kanan, namun bukan pada tebing rerumputan itu, tapi sebuah sapuan biru yang memisahkan dataran rumput lainnya. "Di dekat Danau Loch Tay anginnya sepoi - sepoi, loh!" Ia melepas kacamata hitamnya, sambil mengerjap sesaat.
Teman prianya yang di belakang lebih menggeram, apalagi sang surya yang tak terlalu terik dan memancarkan cahaya oranye menggilapi tiga orang itu. Mereka dipenuhi kebimbangan.
"Kedengarannya ide bagus, Sis. Tapi sebaiknya kita cari penginapan dulu." Ren Shiomi menimpali dengan nada ramah. Wanita blasteran asal Asia dan Britania itu, mengibaskan rambutnya yang hitam berkilauan karena gerah. Sebagai penengah di antara kedua insan yang mirip minyak dan air, ia berpaling ke belakang memasang muka khawatir sambil berpikir, Grunt, kasian bawa dua tas jinjing kita.
"Hei, hei jangan mengabaikan aku, dong!" tegur Grunt. Ia melepas cencang tangannya sehingga bunyi tas terjatuh membuat kedua insan wanita itu berhenti dan berpaling padanya. "Biarpun dataran tinggi Perthsire anginnya meniup, kalau bebannya berat, rasanya panas juga!"
Dataran tinggi Perthsire, salah satu daerah skotlandia yang dijadikan andalan turis untuk bersantai. Pemandangan hijau - hijau yang memanjakan mata, atau Tay Forest Park yang menjadi rumah bagi kawanan pohon pinus yang lebat dan tinggi - tinggi. Danau Loch Tay yang panjang pun dijadikan komersial untuk penyeberangan ke Remony dengan kapal ferry. Banyak penginapan yang menjual pemandangan pegunungan atau pulau - pulau kecil, bahkan harganya lebih murah dari Inggris. Sebuah tempat wisata dinamis dan seimbang, sunyi tak terlalu sepi, ramai pun bukan yang membuat sesak. Objek ramah kantong dompet dan cocok bagi siapapun, kecuali yang bermasalah dengan dua wanita.
Tapi memang harus diakui, berjalan di pinggiran aspal yang tak terlalu lebar, lontang - lantung dekat hutan di senja hari memang mengundang segelintir pertanyaan. Trio itu sebenarnya melewati banyak penginapan, namun satu wanita tidak setuju karena sepelenya urusan.
"Jadilah pria yang selayaknya pria, dong!" Sistine mengomel. Ia mengerutkan keningnya menyatu dengan matanya menyorot tajam, setajam elang.
Kedua insan itu beraksi, mendekat saling memperdebatkan argumennya. Ren, entah sial permanen atau kutukan, selalu berusaha keras mendamaikan keduanya.
"Dengarkan aku." Grunt memandang mata biru abu - abu Sistine, sambil berkata ketus, "kita sudah melewati aspal ini selama tiga jam sejak turun dari taksi. Sementara aku tidak hanya berjalan, tapi mencincing dua beban seberat balita. Hari sudah mau petang, belum juga dapat penginapan bahkan tadi lewat tiga tempat. Tidakkah sebagai wanita kau punya nurani setetes saja, Sis?"
Penjelasannya masuk akal, tapi Ren tak mau mengecewakan teman lamanya itu. Apalagi mereka bertiga baru dipertemukan kembali di bangku perkuliahan, sejak terpisah 10 tahun lamanya. Ren mengetahui sikap dari kecil sahabatnya Sistine yang terlalu kaku dan detil dalam membuat persiapan. Ren selalu berusaha memilih kata - kata yang tidak membuat darah Sistine naik.
"Karena itulah kau nyaris jadi pria sabar sebelum kelabakan meledak! Sudah kubilang biayanya terlalu mahal! Tiga ratus pounds per hari untuk sebuah vila udik? Yang benar saja! Dengan harga itu, aku bisa dapatkan fasilitas lebih baik dan itu di London, Birdnest!" balik protes Sistine. Pelipisnya mulai bermunculan saraf, darahnya mendesir hingga membuat wajahnya kesetanan.
Semua orang yang dikenalnya memanggil "Birdnest" karena rambut kribo coklatnya yang spesial. Bukannya melingkar, tapi bundar pipih mirip sebuah sarang. Tubuhnya yang cukup atletik meskipun otot - ototnya timbul bukan karena gym, tapi menjadi portir barang temannya secara sukarela. Sebenarnya ia tak suka dipanggil "Birdnest" kecuali itu membuat wanita yang ia suka merasa dekat, Sistine. Dan lama kelamaan, pada akhirnya terbiasa juga.
Meskipun keseringan cekcok, ia sama sekali tak pernah berniat memenangkan argumen. Ia hanya ingin wanita itu mengerti posisinya.
Sementara sistine, tipikal wanita kaku dan terlalu mendambakan efektif dan efisien. Dua kata yang terdengar produktif, namun siapa sangka itu menghasilkan otak bebal yang tak semua orang nyaman. Walau begitu, ia juga tak berniat menang sendiri. Kadang sesuatu yang baik baginya, belum bisa dianggap baik oleh orang lain, baik sahabatnya atau pria yang dicintainya diam - diam.
Pasangan aneh bagai air dan api, tidak pernah akur dan punya peran masing - masing berbeda sejak zaman nenek moyang.
"Bertengkar di sini tak menyelesaikan masalah, " ucap lembut Ren, ia memandangi mereka bergantian. "Saat ini yang terpenting kita harus dapat penginapan, Sis. Dan Grunt, tolong bersabarlah sedikit, "
"Tapi, Ren.... " Sistine sedikit memprotes.
"Aku setuju dengan pendapatmu, tapi kita harus mempertimbangkan yang lain juga." Dipegangnya pundak Sistine sambil menasehatinya, "Tak mungkin penginapan di London loncat ke Scotland, 'kan? Selain itu penginapan - penginapan sekitar Pertshire memang menjual pemandangan yang top di Scotland. Lagipula kita ke sini untuk melukis pemandangan, bukan?"
Nada Ren yang terdengar keibuan, selalu mudah memisahkan pergumulan kata oleh dua insan itu, apalagi kedongkolan Sistine. Sistine adalah wanita yang diadopsi oleh keluarga kaya raya. Meskipun begitu ia punya prinsip hidup efektif dan efisien. Sistine adalah tipikal insan yang sangat selektif. Sikap pilih - pilihnya timbul karena dua unsur. Karena kaya, Sistine telah menjajal hampir seluruh penginapan di Britania dan dengan begitu ia punya referensi perbandingan yang luas.
"Yeah, kau memang benar," ucapnya mengerti.
Sementara Grunt, tanpa perlu diceramahi lebih. Seolah paham betul isi hati wanita yang mudah rapuh, kini harus merepotkan kedua lengannya sedikit lebih lama. Otaknya dibuat berpikir positif, barangkali saat ini dirinya ngegym dua kali lebih lama.
Mereka segera kembali melangkah menapaki aspal sambil memperhatikan samping kiri. Barangkali ada penginapan yang tidak boleh mereka lewatkan. Sistine sedikit berpaling ke belakang, memandang kasihan pria itu meski sikapnya susah jujur.
Sedangkan Ren berkomat - kamit dalam hati, menyebut - nyebut pada sang kuasa agar mereka segera dipertemukan penginapan yang sesuai dengan kriteria Sistine. Bukan karena sahabatnya mengomel lagi, tapi karena sejujurnya budget Ren yang pas - pasan. Berbeda dengan nasib Sistine, Ren adalah pekerja keras yang mengadu nasib perantauan di Scotland. Bermula di Wales, Ren menyesal ke Inggris saat SMA karena biayanya mahal. Setelah menetap kuliah selama lima tahun, ia akhirnya mantap bertempat di Scotland. Ren telah menjadi wanita yang mandiri setelah memutuskan untuk keluar dari panti asuhan.
Tidak lama dari percekcokan tadi, atau sekitar kurang dari 3 menit kaki melaju, mata mereka menyorot sebuah villa yang megah. Ditemani pepohonan pinus seakan mirip pengawal raja bergerombol di belakang.
"Akhirnya! Akhirnya!" Grunt mencium pundaknya kanan kiri penuh haru. "Akhirnya kamu beristirahat kawanku!"
"Dasar gila!" komentar Sistine pedas, namun nadanya halus. Bahkan roman mukanya tampak lega dan sedikit senang.
Semakin dekat langkahnya, kini aspal itu terbuka jalur aspal lain. Jalur itu dikelilingi pagar rerumputan, dataran tanahnya semakin naik dan membimbing ke villa tersebut. Mereka tak ragu mengambil jalur itu.
Vila putih kokoh yang lebar dan megah. Gentengnya miring, dari kejauhan bentuk atapnya trapesium. Terlihat enam cerobong asap, dan jendelanya setinggi manusia.
Pekarangannya yang tampak mampu dijadikan parkiran mobil, luas dan jembar. Jembarnya selebar rasa khawatir Ren karena vila itu tampak jauh lebih bagus dari tiga tempat yang dilewatinya. Jelas lebih mahal seharusnya, namun hemat Ren, tidak mungkin ia menolak karena boleh jadi itu satu - satunya vila yang bisa ditemui tanpa harus beresiko menempuh berjam - jam dengan roda kaki.
Namun sejak mereka berhenti sesaat mengagumi indahnya bangunan itu, mereka mendengar langkah kaki lain yang baru saja berhenti.
Celana panjang dan jas double breast gelap kancing kuning, rompi abu - abu dan kemeja putih garis hitam, seorang pria necis membaws koper dan tampak celingukan melihat ponselnya. Pria itu sempat memasang muka khawatir namun tampak seolah tak serius karena mata malasnya.
"Hm? Apa aku kesasar?" ucapnya tenang, sambil menyibakkan poninya.
"Anu... permisi?" sahut Ren padanya, tersenyum.
ns216.73.216.83da2