Me After You - Part.11 Heart Beat

I let you set the pace

Cause I'm not thinking straight

My head spinning around, I can't see clear no more

What are you waiting for?

Hyora POV

Pagi-pagi sekali aku terbangun. Aku tak bisa tidur semalam. Sibuk memikirkan kejadian semalam. Aku sempat mengecek rekaman cctv lift yang dikirim oleh bawahanku.

Siapa sebenanya laki-laki ini?

Berapa banyak sasaeng yang menghantui Jaemin?

Memang tak ada waktu untuk mengulur-ulur lagi. Aku betul-betul harus mempercepat pernikahan.

Lalu, tentang sikapku semalam.

Waeyo? Kenapa aku marah sekali pada Jaemin?

Memangnya dia salah apa?

Ahh pabo-ya. Rutukku sambil menepuk keningku sendiri.

Kenapa aku jadi kekanakan seperti ini sih?

Lebih tepatnya. Aku kesal karena apa?

Ting tong. Suara bel apartmentku membuyarkan lamunanku.

Siapa datang pagi-pagi begini?

Segera ku cek layar intercom.

J-jaemin?

Untuk apa kesini pagi-pagi sekali?

Aku segera membukakan pintu untuknya.

"Eung? Ada apa Jaeminah?" Tanyaku.

Ia terlihat sedikit lesu. Waeyo? Ah apa gara-gara semalam? Aish jinjja.

"Apa kau masih marah?"

"Annyeo. Sudah kubilang kemarin aku hanya lelah sayang." Jawabku tak lupa dengan senyuman termanis. Sebenarnya aku juga merasa bersalah padanya. Sungguh bodoh kau Hyora!

"Jinjja? Maafkan aku hyora-ya."

"Sudahlah, kau tak perlu minta maaf, itu bukan salahmu juga. Masuklah, kau sudah sarapan? Kubuatkan makan pagi ya?"

" Kau bisa masak?" Ia malah balik bertanya.

"Kau mengejekku?" Ujarku sembari menaikan sebelah alisku.

Aku membiarkannya masuk, mengajaknya menuju dapur. Ia lalu duduk di pantri.

"Nah, Cepat masaklah sesuatu yang enak untukku. Aku akan menunggumu disini."

Sial. Ia mengatakannya sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Nae~ gidaryeo jussaeyo Jagiya."

Aku segera menyiapkan alat berperangku. Memecahkan telur di wadah sembari menuang susu full cream secukupnya. Mengocoknya agar bercampur, lalu setelah itu aku menyalakan pemanggang roti dan memasukan beberapa potong roti kedalamnya. Aku mulai memanaskan penggorengan dan mulai memanaskan scrambled egg.

"Kau sedang buat apa?" Tiba-tiba saja Jaemin sudah berdiri di sebelahku.

"Ku buatkan Sandwich untukmu."

"Hmm. Geurraeso."

"Bisakah kau berhenti menatapku dan duduk saja disana, Jaeminah. Aku tak bisa konsentrasi masak."

"Kau gugup? Hmm?" Bukannya menjauh ia malah semakin mendekat. Aku bahkan bisa mendengar deru nafasnya.

"Terserahmu saja. Teruskan saja bila kau mau." Jawabku.

"Hahaha Aigoo. Lucu sekali kau Hyora-yaa." Ia tertawa dan mengelus pelan rambutku.

Aku hanya tersenyum kesal, dan Ia masih tertawa dengan puasnya.

Sandwich buatanku sudah jadi, aku cukup puas dengan hasilnya. Awas saja kau Jaem, kau pasti akan sangat menyukainya.

"Ini sandwichnya Tuan Jaemin. Kubuat special untukmu, dengan banyak cinta didalamnya."

Matanya membulat, lalu segera merampas piring berisi sandwich sebelum aku sempat menyerahkan piringnya padanya. Ia langsung melahap dan mengunyah gigitan pertamanya. Apakah dia suka?

"Kau kelaparan sekali ya? Pelan-pelan saja makannya. Nanti kau tersedak."

"Uwah. ini Jhinjja e-enyhak syekhali mm Hyorha-yha."

"Kau benar-benar ya. Makan dulu baru bicara."

Ia masih saja makan. Bahkan menjilat jarinya yang terkena lelehan selai.

"Ahh Kau tahu sendiri aku selalu begini saat makan makanan enak."

"Nae, Nae manni meoggo Jagiyaa."

"Kau makanlah juga." Ujarnya sembari mengambil sepotong sandwich dan menyuapkannya padaku. Aku tak punya pilihan lain selain mengigit sebagian dari sandwichnya lalu mengambil sisanya untuk kumakan sendiri.

Hmm. Not bad. Enak juga sandwich buatanku. Kulirik Jaemin sekilas, Ia melahap potongan sandwich terakhirnya lalu tersenyum bahagia ke arahku dengan mendorong piring sandwichnya yang kini sudah kosong.

"Uwah kenyang sekali. Gumawoyo Hyora-ya. Kau menggunakan Selai kacang ya?"

"Eum. Kupikir kau akan kurang menyukainya, karena disini jarang ada yang membuat sandwich dengan selai kacang."

"Annyeo. Aku suka kombinasi ini, Jadi bisakah kau buatkan aku sandwich setiap hari?" Bujuknya.

"Baiklah, nanti ya. Setelah kita menikah."

"Bukankah kita akan segera menikah?" Jawabnya sembari menatapku lurus.

Bisakah kau berhenti menatapku jaeminah? Kau membuatku gugup tanpa alasan. Batinku.

"Ah. Hampir saja aku lupa. Karena kau sudah membuatkan sarapan untukku, Aku punya hadiah untukmu. Pejamkan matamu, Jussaeyo."

Aku sebenarnya penasaran hadiah apa? kenapa harus tutup mata?

Apa jangan-jangan? tidak mungkin kan dia menciumku? Haih. Apa yang sedang kau pikirkan Hyora?!

Kudengar Ia beranjak dari tempat Ia duduk. Berjalan dan berdiri di belakangku. Ia mengalungkan sesuatu di leherku.

"Sekarang kau boleh membuka matamu, Hyora-ya."

Aku membuka mataku dan langsung menunduk. Melihat sebuah kalung sudah terpasang dengan indahnya di leherku. Sungguh kalungnya indah sekali. Saking terkesimanya, aku tak menyadari sebuah tangan kini sedang memelukku.

"Apa kau menyukai hadiah dariku, hmm?" tanyanya dengan suara manja khasnya.

Sial. Berengsek sekali kau Park Jaemin sudah membuatku berdebar karena ulahnya.

"Suka sekali. Kapan kau membelinya?" Jawabku sembari menoleh kearahnya.

"Emm. Kemarin saat membayar tagihan cincin, Kulihat kalung ini di deretan etalase keluaran terbaru. Kupikir aku harus membelinya sebagai hadiah pertunangan dariku."

Deg.

Manik mata kami bertemu. Ia sungguh menatapku dalam-dalam. Dalam sekali. Lalu pandangannya turun dan tertuju pada bibirku. Sial, m-masa sih dia?!

Kemudian kepalanya perlahan mendekat semakin lama semakin dekat padaku. Lalu tangannya yang satu lagi menangkup wajahku seakan Ia tidak membiarkanku berpaling. Tinggal beberapa centi lagi dan aku segera menutup mataku. Jaemin? Betulan dia bakalan menciumku?! Aku bahkan bisa merasakan deru nafasnya mengenai wajahku. Shit, Kenapa aku semakin bedebar di setiap detiknya?!

Ting Tong. Suara Bel apartment mengagetkan kami. Sialan kenapa mengganggu di saat seperti ini sih? Jaemin segera menjauh dan melepas pelukannya. Kulihat Ia berdeham dan menggaruk-garuk rambutnya yang aku jamin itu sama sekali tidak gatal.

"Ehm, T-tidak kau buka pintunya?" Ujar Jaemin dengan suara seraknya.

"Ah N-nae" Jawabku terbata. Sial! Kenapa kami jadi kikuk begini.

Baru saja aku hendak membuka pintunya, tapi Seseorang sudah masuk apartmentku. Siapa lagi jika bukan Shin Aerin. Ia menatapku dan Jaemin bergantian, Lalu menutup mulutnya.

"Kalian sudah tinggal bersama? Maaf, Lain kali aku tak kan sembarangan masuk. Lagipula Ya! kenapa kau tidak membalas pesanku eoh?" Ia Memukulku.

"Aw! Appayo. Ponselku sedang ku charge. Kenapa memangnya?"

"Supir yang mengantarmu ke Busan sudah siap, dan kau? Aigoo Kau masih belum siap?!"

"Aku sudah Packing semalam. Sekarang hanya tinggal ganti baju dan makeup sedikit." Ujarku santai.

"Dan kau Jaemin-ssi? Kau sudah siap?" Aerin kini ganti mengintrogasi Jaemin.

"Sudah. Aku hanya bawa tas ini saja. Properti lainnya akan di kirim menyusul berbarengan dengan para staff."

Aerin hanya mengangguk dan menaikkan sebelah alisnya. "Kau Cepatlah bersiap. Supirnya sudah lama menunggu."

"Ya sudah, kalau sudah siap kalian langsung turun saja ke bawah. Okay? Aku Pamit dulu. Dan Have a Nice Day. Selamat cuti dan Happy Engangement! Aku tak bisa datang karena harus mewakilkan dirimu menghadiri rapat penting. Sedih sekali"

"Sweet! Kau bisa hadir lain kali dear, saat kami menikah."

"Geurrae. Annyeong." Ujar Aerin sembali berbalik dan melambaikan tangannya.

"Nae, Gumawoyo. Ittabwayo." Teriakku.

***

Kami sedang dalam perjalanan ke Busan. Dan sepanjang perjalanan kami berdua sama-sama tertidur. Sudah kubilang aku tak bisa tidur semalam bukan? apakah Jaemin juga sama? Entahlah. Kami benar-benar terbangun saat supir memberi tahu bahwa sudah sampai di Tujuan kami. Hilton Hotel, Busan. Dan sesampainya di sana ternyata sudah siang.

Aku segera Turun dan berterimakasih pada Supir yang telah mengantar kami. Jaemin membantuku dengan mengangkat koper miliku dari bagasi dan membawanya.

Kami segera checkin. Ah, Checkin hanya satu kamar untukku saja, karena Jaemin, Ia akan pulang ke rumahnya setelah acara kami selesai. Ya, Hari ini hari pertunangan kami.

Kami memang hanya ingin diselenggarakan sederhana saja, hanya makan malam antar keluarga dan bertukar cincin.

Jaemin telah memasukan koperku ke dalam kamar.

“Apa yang kau lakukan setelah ini?”

“Mari habiskan waktu dengan berjalan-jalan.”

“Kalau begitu, ayo ke kuil Haedong.”

“Ah kuil itu sangat terkenal! Kajja Jagiya.” Ucapku sembari menggandeng tangan Jaemin dengan riangnya.

Kami menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan, Jaemin mengambil beberapa fotoku. Ralat bukan beberapa tapi berkali-kali bahkan tanpa seijinku.

Lalu saat di kuil, kami sempat melempar uang 10 won dan membuat permohonan.

Kami melempar dan mengajukan permohonan kami masing-masing, berpandangan dan tersenyum seusainya.

Tak terasa hari sudah sore, kami kembali menuju hotel sepanjang perjalanan kami menelusuri lautan, indah sekali.

Kami sudah kembali ke hotel dan segera bersiap untuk makan malam bersama.

Jaemin tentunya menumpang untuk mandi dan bersiap di dalam kamarku.

“Kau sudah siap?” Tanyanya sembari merapikan kemeja yang Ia kenakan.

“Eum.” Jawabku sembari memakai anting di kedua kupingku. “Im done.”

Jaemin hanya tersenyum. Ia menatapku. Lama sekali.

“Wae?” Tanyaku pada akhirnya.

“Kau cantik.”

“Uuhh akhirnya kau mengakuinya, Eoh?”

Ledekku.

“Cantiknya hanya hari ini. Kemarin-kemarin tidak.”

“Ugh sial.” Kesalku.

“Yah jadi jelek kalau kau marah.”

“Ya! Awas saja kau Jaem.”

“Hahaha ayo turun. Para orang tua sudah menunggu.”

Kami segera turun ke restoran yang terletak di dalam hotel ini.

Kami langsung di sambut oleh pemandangan ombak laut sesampainya. Restoran ini di lapisi oleh kaca yang besar sehingga dari dalam pun kita bisa melihat view lau dengan sangat jelas.

Kami segera bertegur sapa satu sama lain antar orang tua dan anak, baik dari pihak ku dan pihak Jaemin. Lalu masuk ke tahap tukar cincin. Jaemin menatapku, mata kami bertemu untuk beberapa saat sebelum akhirnya Jaemin menautkan Cincin di jari manisku. Aku pun melakukan hal yang sama padanya.

Kami pun makan bersama, menikmati hidangan yang telah disiapkan.

Kami menghabiskan malam dengan bercengkrama, membahas keluarga bahkan bercerita tentang masa kecil Jaemin.

Seusai acara, Keluarga Jaemin mengajak ku untuk menginap di rumahnya.

“Ya, kau ikut denganku saja, besok kan syuting MV ku. Kita berangkat bersama.” Tawar Jaemin.

“Kamar hotelmu, biar ayah yang tempati. Ayah akan kembali besok, menggantikan kau di kantor.” Ujar Ayahku.

“Geurraeso. Appa, aku menginap di rumah Jaemin. Appa hati-hatilah disini.” Pamitku pada Ayahku.

***

Sesampainya di rumah Jaemin, Ibunya membawakanku pakaian Jaemin yang dulu pernah kukenakan.

Aku tersenyum.

“Kau suka memakai ini kan? Terlihat cocok untukmu.”

“Gumawoyo eomonim.”

“Justru aku yang berterimakasih padamu, terimakasih telah menerima Jaemin kami, Hyora-ya.”

“Nae, eommonim aku juga berterimakasih.”

“Tidurlah, besok kau harus bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap.” Ujar beliau sembari pamit keluar dari kamarku.

Esok paginya, aku terbangun oleh bunyi alarm dari ponselku. Aku bergegas mandi dan menyiapkan diri. Hari ini hari pertama syuting MV Solo Jaemin.

Aku segera turun ke bawah dan kulihat Jaemin juga sudah siap duduk di meja makan dan melambaikan tangannya padaku. Mengisyaratkan ku untuk duduk di sebelahnya.

“Ada baiknya sebelum kalian pergi, sarapan dulu.” Ujar Ibu Jaemin.

Beliau menyuguhkan Sup Kimchi. Kami segera makan dengan lahap, karena memang makanan buatan Ibu Jaemin enak sekali.

Dan lagi, sebenarnya kami sudah di tunggu di lokasi syuting. Jadi kami makan dengan cepat, lalu berpamitan pada kedua orangtua Jaemin.

Jaemin mengendarai mobilnya menuju lokasi syuting. Sesampainya di sana, Ia segera di sambut oleh para cordi noona, untuk di dandani dan di ganti bajunya.

Lokasi syuting pertama ialah pantai Haeundae.

Lalu berpindah menuju desa Gamcheon,

Dan terakhir menuju jembatan Gwangan yang indah dan Ikonik di Busan.

Sepanjang Syuting, Walaupun harus di cut berkali-kali, Jaemin tak pernah mengeluh.

Wahh, luar biasa. Ia sangat pekerja keras.

Bahkan saat syuting selesai, terlihat para cordi noona mengelap keringatnya, lalu yang lainnya memberi minum padanya.

Aku pun menghampirinya.

“Terima ksih sudah bekerja keras hari ini.” Ujarku.

Ia tersenyum.

“Terimakasih juga sudah menemaniku syuting hari ini.” Jawabnya kemudian.

Para staff sibuk membereskan properti syuting. Kami berjalan menuju tempat mobil kami terparkir, lumayan jauh dari jembatan Gwangan.

Tiba-tiba saja titik-titik hujan jatuh. Makin lama semakin deras.

Jaemin segera menangkup tangannya menutupi kepalaku, lalu kami berlari.

“Ya, kau parkir dimana mobilmu tadi?”

“Diamlah, ikuti aku saja.”

Mobil kami terparkir cukup jauh dari yang kami kira.

Kami segera masuk ke dalam mobil.

Tapi baju kami sekuruhnya sudah basah terguyur derasnya air hujan.

“Kau tak ada handuk atau semacamnya?” Tanyaku.

“Emm. Sepertinya tak ada, mobil ini jarang digunakan.”

T-tunggu jarang digunakan? Jangan bilang kalau..

Jaemin menstarter mobilnya. Dan mobilnya tak mau menyala. Persis seperti yang kupikirkan.

Aku menepuk keningku. Aigoo aku bisa mati kedinginan kalau begini.

Jaemin menoleh padaku, wajahnya memelas.

“Maafkan aku Hyora-ya sepertinya mobilnya mogok.”

“Haish. Sudah kuduga.” Aku meraih ponsel hendak menelepon staff. Dan ternyata baik ponselku dan ponsel Jaemin tidak ada sinyal.

Hujan semakin lebat, petir menyambar dan kami terjebak.

Aku mulai menggigil. Sial, dingin sekali.

Jaemin segera memelukku. “Kau kedinginan kan? Kupeluk agar hangat.” Ujarnya.

Aku hanya terdiam, Jaemin berusaha mendekapku agar aku tetap hangat. Sialan, kondisi ini. Aku bahkan bisa mendengar degup jantungnya dengan sangat jelas. Berpacu semakin lama semakin cepat.

Aku mendongak, Jaemin menatapku dalam sekali.

“Kau mau kubuat lebih hangat?”

Lagi-lagi aku hanya terdiam, membeku.

Kenapa dia jadi sangat mendominasi seperti ini?

Ia memegang pipiku, mendekatkan wajahku dengannya, dan secepat kilat bibir kami pun bertemu.

Ia mengecup dan melumat seluruh bagian bibirku. Sial. Bibir kenyalnya sungguh sangat menggoda. Saking gemasnya, aku tak sengaja sedikit mengigit bibirnya.

Ia mengerang. Tapi tetap melanjutkan aktifitasnya menciumku. Mencumbuku. Berulang kali.

Kami saling menyudahi ciuman kami, dan sama-sama tersengal sesudahnya.

Hujan semakin lebat. Bahkan jalan di depan kami pun tak terlihat.

“Kau tahu, rupanya waktu pun berpihak pada kita, hmm? Rupanya aku harus berterimakasih pada Hujan.” Jaemin lalu mengecup keningku, merambat mengecup mataku, lalu telingaku dan berbisik. “Kau sudah merasa hangat? Mau kubuat panas?”

“Berengsek kau Jaeminah.” Umpatku.

“Kau tahu, rasa kesalku sudah hilang. Aku sudah menciummu. Tapi kenapa, bibir ini rasanya membuatku candu. Kau tahu aku mati-matian menahannya sejak lama. Dan sekarang aku tak bisa menahannya lagi.”

“Kalau begitu, ciumlah sampai kau Puas Jaeminah.” Tantangku.

Ia hanya menatapku. Mengecup hidungku, perlahan merambat turun mengecup bibirku.

Aku sudah bersiap untuk mencumbunya, Tiba-tiba saja Ia berhenti,

Menatapku sejenak sebelum akhirnya berkata. “Sepertinya aku tak kan pernah puas, Hyora-yaa.”

Detik berikutnya Ia menghujami bibirku dengan bibirnya tanpa ampun.

“Mmh” suara-suara menjijikan itu mulai keluar dari bibirku. Sial. Ternyata Ia lihai sekali.

Lidahnya kini bahkan ikut andil dalam ciuman ini.

Kau benar-benar berengsek Jaeminah!

Kami hanyut dalam permainan ini, Jaemin terus melumat dan mencumbuku bahkan sampai suara berkecipak keluar dari mulut kami.

Jaemin memelukku, erat sekali. Lalu Ia melepaskan tautan bibirnya padaku.

Dengan tersengal ia berkata. “C-cukup sampai disini okey? Kalau lebih dari ini, aku bisa hilang akal sehat. Kita bahkan belum menikah.”

“Dasar berengsek kau, Jaem.”

“Sekarang kau percaya bahwa aku bukan Gay? Apa kau mau pembuktian yang lebih?”

Aku mengernyit. Tak mengerti apa yang dia maksud.

“Aku bisa membuatmu mengerang di ranjang, Baby. Buktinya baru kucium saja kau sudah menikmatinya hmm? Sekarang kau percaya aku normal kan?”

“Aku tidak mungkin menikahi pria yang tidak normal.”

“Wah, rupanya masih kurang ya?” Ujarnya sambil memegang bibirku.

“Berengsek kau, Jaem.”

****

ns3.18.223.22da2

Part.11 Heart Beat

REGISTER

LOGIN

Interface Language:

Story Language: