
Sore menjelang malam, langit Depok berubah jingga gelap saat aku berjalan kaki pulang ke kosan setelah kuliah yang melelahkan. Amelia melayang di sampingku, tapi kini dia gelendotan di atas bahuku, wajahnya bersandar dekat leherku, payudaranya yang seperti pepaya matang menempel lembut di lenganku melalui kemejaku yang longgar. Dia tampak lebih berani, nggak ragu untuk dekat-dekat, aroma melatinya bercampur dengan udara senja. “Firman, kamu capek, ya? Mukamu kusut banget,” katanya, suaranya polos tapi genit, bikin aku nyengir meski badanku terasa berat. Aku cuma mengangguk, “Hari ini kelas berat, Amelia. Pengen cepet pulang, makan, tidur,” jawabku, melangkah lebih cepat.
Amelia cekikikan, tangannya memainkan rambutku, dingin gaibnya terasa aneh tapi nyaman. “Manusia ribet, ya, capek gitu cuma gara-gara dengerin orang ngomong di kelas,” katanya, nadanya riang, membuatku tertawa kecil meski kaki terasa pegal. Celana pendekku yang ketat di pinggulnya bergoyang setiap dia melayang, bikin aku sesekali melirik sebelum buru-buru mengalihkan pandangan ke trotoar. “Kamu nggak capek melayang terus?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian dari kelelahanku. Dia menggeleng, “Nggak, dong! Aku kan hantu, cuma butuh energi dari… yah, kamu, misalnya,” katanya, senyumnya nakal, bikin wajahku memerah.
Kami melewati warung-warung yang mulai menyalakan lampu, orang-orang pulang kerja atau kuliah berlalu-lalang, tak ada yang menyadari Amelia melayang di sampingku. Tiba-tiba, suara adzan maghrib menggema dari masjid di ujung jalan, lantunannya keras dan jelas. Amelia tiba-tiba menegang, melayang turun dari bahuku, tangannya menutup kuping dengan ekspresi kesakitan. “Firman, suaranya… sakit!” katanya, suaranya bergetar, wajah cantiknya yang biasanya tenang kini meringis. Aku kaget, buru-buru memeluknya, tanganku menepuk punggungnya pelan, meski payudaranya yang menempel di dadaku bikin aku canggung.
“Amelia, tenang, itu cuma adzan,” kataku, berusaha menenangkan, tapi dia menggeleng cepat, tubuhnya bergetar seperti kedinginan. “Bukan cuma suara, Firman… itu bikin aku lemes, kayak mau ilang!” katanya, suaranya lemah, matanya yang besar penuh ketakutan. Aku baru sadar, suara ayat-ayat suci dari adzan ternyata memengaruhi dia, mungkin karena dia makhluk gaib—atau, seperti kata orang, setan? Aku menggenggam lengannya yang dingin, “Udah, kita cepet jalan, jauh dari masjid, ya,” kataku, mempercepat langkah sambil menuntunnya menjauh dari sumber suara.
Dia memelukku lebih erat, wajahnya bersembunyi di dadaku, payudaranya yang lembut menekan kuat, bikin jantungku berdegup meski situasinya genting. “Firman, aku nggak suka suara itu… bikin aku takut,” bisiknya, nadanya polos tapi penuh kecemasan. Aku menepuk kepalanya, berusaha tenang meski pikiranku kacau—aku baru saja menyebutnya adik di hati, tapi tubuhnya yang seperti tante seksi ini bikin pelukan ini terasa salah. “Nggak apa-apa, Amelia, aku di sini,” kataku, suaraku pelan, berusaha meyakinkan diri sendiri juga bahwa ini cuma reaksi biasa dari hantu.
Kami berjalan lebih cepat, suara adzan mulai memudar saat kami menjauh dari masjid. Amelia pelan-pelan melepaskan pelukannya, tapi tangannya masih memegang lenganku, seperti takut kehilangan pegangan. “Udah mendingan?” tanyaku, menatap wajahnya yang kini mulai tenang, meski matanya masih sayu. Dia mengangguk lelet, “Iya… makasih, Firman. Kamu baik banget,” katanya, senyum kecilnya kembali, meski agak lemah. Aku nyengir, “Hantu seksi kok takut adzan, ya?” candaku, berusaha mencairkan suasana. Dia cekikikan pelan, “Aku kan hantu pemula, belum kuat!” katanya, nadanya genit lagi, bikin aku tersenyum.
Sampai di kosan, aku langsung menjatuhkan diri ke kasur, capeknya kuliah dan drama tadi bikin kepalaku pening. Amelia melayang masuk, duduk di udara di dekat meja belajarku, kemejaku yang longgar sedikit terbuka, memperlihatkan lekuk pinggulnya. “Firman, aku beneran nggak suka suara tadi. Kamu nggak takut sama aku, kan, meski aku… yah, hantu?” tanyanya, suaranya pelan, ada nada khawatir di matanya. Aku menggeleng, “Takut? Nggak, lah, kamu kan hantu paling baik yang aku kenal,” kataku, tulus, bikin dia tersenyum lebar.
Aku bangkit, mengambil plastik nasi pecel ayam dari warung langganan yang kubeli di jalan. “Makan dulu, Firman, biar nggak capek,” katanya, melayang mendekat, wajahnya kembali riang. Aku nyengir, “Kamu nggak makan, tapi ngomongin makanan mulu, ya,” candaku, membuka plastik. Dia cekikikan, “Aku suka ngeliatin kamu makan, lucu!” katanya, tangannya memainkan rambut, bikin kemejaku bergoyang dan payudaranya sedikit terekspos. Aku menunduk, berusaha fokus ke nasi, tapi pikiranku masih terbayang pelukannya tadi dan fakta bahwa dia takut ayat suci—mungkin dia memang setan, tapi setan yang bikin hidupku jauh dari membosankan.
“Firman, besok ke kampus lagi, ya? Tapi jangan lewat masjid, deh,” katanya, suaranya polos tapi ada trauma kecil di nadanya. Aku tertawa kecil, “Oke, kita cari jalan lain. Tapi kamu jangan gelendotan terus, nanti aku nggak bisa jalan!” candaku. Dia cekikikan, melayang mendekat, aroma melatinya memenuhi kamar. “Nggak janji, Firman! Aku suka deket sama kamu,” katanya, senyumnya genit tapi tulus, bikin jantungku berdegup lagi. Aku menggeleng, mulai makan, merasa kamar kecilku kini jadi panggung petualangan aneh dengan Amelia.
“Amelia, ceritain dong, hantu lain takut adzan juga?” tanyaku, sambil menyendok nasi, penasaran dengan dunianya. Dia memiringkan kepala, “Mmm, nggak semua, sih. Yang kayak aku, yang masih ‘muda’, gampang kena. Tapi hantu senior nggak peduli,” katanya, cekikikan, seolah cerita itu lucu. Aku tersenyum, “Jadi kamu hantu junior, ya?” kataku, bercanda. Dia menepuk lenganku, “Hantu junior tapi cantik, kan?” katanya, nadanya nakal, bikin aku tertawa. Dengan Amelia di sampingku, aku menyantap pecel ayam, aku tahu malam ini bakal penuh cerita lagi.
----------------------------
Aku duduk lesehan di lantai kosanku, menyantap nasi pecel ayam yang masih hangat, aroma sambal pedas mengisi kamar kecilku. Amelia melayang di depanku, duduk di udara dengan kemejaku yang longgar dan celana pendekku yang ketat di pinggulnya, matanya yang besar dan polos memperhatikan setiap suapan yang kumasukkan ke mulut. “Firman, manusia makan kok lucu, ya, kunyah-kunyah gitu,” katanya, cekikikan, suaranya seperti lonceng kecil yang bikin suasana kamar jadi ringan. Aku nyengir, “Kamu ngeliatin mulu, nggak bosen?” tanyaku, sambil menyendok nasi. Dia menggeleng, rambut panjangnya bergoyang, memperlihatkan lekuk payudaranya yang seperti pepaya matang di balik kemeja.
“Tadi suara adzan itu bikin aku takut, ya,” katanya tiba-tiba, nadanya polos tapi ada sedikit trauma yang masih tersisa dari kejadian di jalan. Aku mengangguk, ingat betapa dia gemetar saat melewati masjid. “Emang cuma adzan yang bikin hantu takut, Amelia?” tanyaku, penasaran, berusaha menjaga obrolan tetap santai sambil mengunyah tempe. Dia memiringkan kepala, tangannya memainkan ujung kemeja, membuat kain sedikit terbuka dan bikin aku harus menunduk agar nggak salah fokus. “Bukan cuma adzan, Firman. Wewe Gombel kayak aku takut sama banyak hal berbau religius,” katanya, suaranya lembut tapi serius.
“Hal religius? Kayak apa, misalnya?” tanyaku, meletakkan sendok sejenak, mataku tertuju pada wajahnya yang pucat bercahaya. Dia melayang mendekat, aroma melatinya semakin kuat, dan mulai menjelaskan. “Mmm, kayak air suci… apa itu yang kalian bilang air zamzam? Itu bikin kami lemes banget kalau kena,” katanya, matanya melebar seperti anak kecil yang cerita soal monster. “Terus, ada juga benda-benda kayak tasbih atau kitab suci, apalagi kalau dibaca keras-keras. Kami kayak… kehilangan tenaga,” lanjutnya, tangannya melambai untuk menekankan, bikin kemejaku bergoyang dan payudaranya sedikit terekspos.
Aku tersenyum, mencoba mencerna. “Jadi, kayak tadi adzan, gitu? Bikin kamu lemes karena ada ayat-ayatnya?” tanyaku, kembali menyendok nasi. Dia mengangguk cepat, “Iya! Apalagi kalau orang baca dengan hati, kayak bener-bener yakin gitu. Itu bikin kami, yah… kayak mau kabur aja,” katanya, cekikikan, tapi ada nada gugup di suaranya. Aku tertawa kecil, “Jadi, kalau aku baca doa keras-keras, kamu bakal kabur dari kosan?” candaku, bikin dia memicingkan mata. “Jangan, ya, Firman! Aku kan suka di sini sama kamu,” katanya, nadanya genit tapi ada sedikit cemas, bikin aku nyengir.
“Terus, benda lain apa lagi? Kalau salib atau air suci Kristen, misalnya?” tanyaku, penasaran dengan batas-batas dunianya. Amelia memikir sejenak, tangannya menyentuh dagu, gerakan itu bikin kemejaku terangkat sedikit, memperlihatkan pinggulnya yang semok. “Mmm, iya, itu juga. Pokoknya, apa pun yang manusia pake buat ibadah dengan hati, itu bikin kami takut. Kayak ada energi yang nggak cocok sama kami,” katanya, suaranya polos, seolah sedang menjelaskan pelajaran. Aku mengangguk, “Jadi, Wewe Gombel takut sama iman manusia, gitu?” kataku, setengah bercanda.
Dia cekikikan, “Iman manusia? Wah, kamu pinter ngomong, ya! Tapi bener, sih, kayak gitu,” katanya, melayang mendekat, wajahnya sejengkal dari wajahku, bikin jantungku berdegup. “Tapi aku nggak takut sama kamu, Firman, soalnya kamu baik, nggak bikin aku lemes,” tambahnya, senyumnya lebar, bikin kamar kecilku terasa hangat. Aku tertawa, “Syukur, deh, kalau gitu aku nggak usah bawa tasbih ke kosan,” candaku, bikin dia tertawa keras, suaranya menggema seperti musik gaib.
“Firman, kamu nggak bakal usir aku, kan? Aku suka nemenin kamu,” katanya tiba-tiba, nadanya tulus, matanya yang besar menatapku dengan sedikit khawatir. Aku menggeleng, “Usir? Nggak, lah, kamu bikin hidupku seru,” kataku, tulus, sambil menghabiskan sisa pecel ayam. Dia tersenyum lebar, melayang berputar kecil di udara, kemejaku bergoyang, memperlihatkan lebih banyak lekuk tubuhnya yang bikin aku harus menahan napas. “Bagus! Aku mau belajar lebih banyak soal manusia dari kamu,” katanya, suaranya riang, bikin aku merasa hidupku kini jauh dari kata monoton.
Aku menutup kotak bekal, perut kenyang tapi pikiran masih penuh dengan cerita Amelia. “Jadi, kamu nggak takut sama apa-apa selain benda religius?” tanyaku, berdiri untuk mencuci tangan di wastafel kecil. Dia melayang mengikuti, “Mmm, kadang takut sama hantu lain yang lebih kuat, sih. Tapi jarang, kok! Aku kan hantu pemula,” katanya, cekikikan, nadanya genit lagi. Aku tertawa, “Hantu pemula tapi bikin jantungan,” kataku, bercanda, sambil mengelap tangan. Dia menepuk lenganku, “Jantungan tapi suka, kan?” katanya, matanya berbinar nakal.
“Amelia, kamu pernah ketemu hantu lain yang serem?” tanyaku, kembali ke kasur, merasa penasaran dengan dunianya. Dia duduk di udara di depanku, kakinya tetap melayang. “Pernah, dong. Ada hantu tua, kayak pocong atau kuntilanak, mereka suka nakutin hantu kayak aku. Tapi aku kabur duluan!” katanya, tertawa, tangannya melambai, bikin kemejaku bergoyang lagi. Aku nyengir, “Jadi kamu hantu penutup telinga doang, ya, kalau takut?” candaku, mengingat reaksinya tadi saat adzan. Dia memicingkan mata, “Hmph, ngeledekin! Nanti aku nakutin kamu, lho!” katanya, pura-pura kesal.
Aku merebahkan diri di kasur, capek tapi entah kenapa merasa ringan karena obrolan dengan Amelia. “Firman, kamu tidur lagi, ya? Aku nungguin, deh, kayak tadi malam,” katanya, melayang mendekat, wajahnya dekat dengan wajahku, aroma melatinya memenuhi udara. Aku tersenyum, “Iya, tapi jangan cuma nungguin, ceritain dong besok soal hantu lain,” kataku, setengah mengantuk.
----------------------
Aku terbaring di kasur sempit kosanku, tubuhku remuk setelah seharian kuliah dan drama adzan yang bikin Amelia gemetar, mataku berat tapi pikiran masih dipenuhi wajah cantiknya yang pucat bercahaya seperti bulan purnama. Amelia melayang di depanku, duduk di udara dengan kemejaku yang longgar tergeser hingga memperlihatkan belahan payudaranya yang seperti pepaya matang, celana pendekku yang ketat di pinggulnya menonjolkan kurva tubuhnya yang menggoda seperti patung dewi. “Firman, kamu ngantuk, ya? Aku ceritain dongeng hantu, biar tidurmu enak,” katanya, suaranya lembut seperti belaian mesra, bercampur nada genit yang bikin jantungku berdegup kencang meski aku capek setengah mati. Aroma melatinya memenuhi kamar, membawa sensasi seperti sentuhan gaib yang membangkitkan hasrat, membuatku ingin menutup mata tapi tatapannya yang nakal bikin aku terjaga. Ini jelas fiksi, pikirku, karena hanya di cerita liar begini hantu seksi bisa jadi teman tidurku. Aku merasa seperti terjebak dalam novel dewasa yang penuh godaan.
Dia cekikikan, melayang mendekat, posisinya seperti pendongeng erotis di tepi ranjang, kemejaku terbuka sedikit saat dia menggerakkan tangan, memperlihatkan kulit pucatnya yang mulus hingga ke pinggang yang ramping. “Di dunia Wewe Gombel, ada ratunya, lho,” mulai dia, matanya besar berbinar seperti permata, tangannya melambai dramatis hingga payudaranya bergoyang lembut, bikin aku tersipu dan wajahku memanas seperti terbakar. “Ratu ini paling cantik, paling bijaksana, dan… dadanya paling besar dari semua Wewe!” katanya, lalu dengan polos memegang dadanya sendiri, gerakan itu membuatku menelan ludah, bayangan payudaranya yang ranum di bawah kemeja mengacauk pikiranku yang sudah lelah. “Amelia, seriusan!” kataku, setengah protes sambil tertawa, suara kemejanya yang bergesek dengan kulitnya terdengar seperti undangan nakal. Ini cuma cerita untuk orang dewasa, batinku, tapi debaran jantungku terasa nyata. Aku membayangkan Ratu Wewewe dengan lekuk tubuh yang lebih menggoda lagi.
Aku menguap, berusaha mendengarkan meski kantuk menyerang, tubuhku merosot di kasur, tapi aroma melatinya seperti menyapu kulitku dengan sensasi yang membangkitkan gairah. “Jadi, Ratu ini nggak punya nama, cuma disebut Ratu ,” lanjutnya, cekikikan riang, suaranya seperti alunan lagu yang membuai, “Dia punya ratusan Wewe Gombel di bawahnya, kayak pasukan, dan aku salah satu yang junior, masih belajar!” Dia melayang berputar kecil, kemejanya terangkat sedikit, memperlihatkan pinggang ramping dan sedikit kulit di atas pinggulnya, bikin aku mati kutu, pikiranku melayang ke fantasi liar yang jelas-jelas fiktif. “Ratusan? Banyak banget,” gumamku, mataku setengah terpejam, tapi bayangan lekuk tubuhnya bikin tidurku tertunda seperti terperangkap dalam mimpi erotis.
“Terus, hantu lain? Pocong, kuntilanak, juga punya ratu?” tanyaku, kakiku merosot dari kasur, berusaha ikut cerita meski pikiran sesekali terpaku pada gerakan Amelia yang memikat seperti tarian gaib. “Iya, dong! Setiap hantu punya raja atau ratu: Pocong punya Raja Pocong, kuntilanak punya Ratu Kunti, kami saling menghargai, nggak suka berantem!” katanya, suaranya penuh semangat, tangannya melayang ke atas hingga kemeja terbuka lebih lebar, memperlihatkan sedikit lagi kulit pucat yang menggoda di bawah payudaranya. Aku nyengir lelet, “Kayak federasi hantu, gitu?” candaku, bikin dia cekikikan keras, “Federasi? Kamu lucu, Firman!” katanya, tangannya menepuk lenganku, dingin gaibnya terasa seperti sentuhan mesra yang membangkitkan hasrat.
“Ratu ini tinggal di mana?” tanyaku, mataku mulai terpejam, tapi aroma melatinya dan bayangan tubuhnya menari di pikiran, membuatku sulit tidur seperti terpikat mantra erotis. “Di alam kami, kayak hutan gaib, penuh kabut dan pohon besar, dia punya istana dari akar-akar pohon, megah banget!” katanya, tangannya melambai, kemejanya bergoyang hingga memperlihatkan lekuk pinggulnya yang semok, bikin jantungku berdegup seperti drum.
“Aku manusia, nggak bisa masuk dunia hantu,” kataku, setengah sadar, tubuhku melesak ke kasur, tapi sensasi aroma melatinya seperti belaian lembut yang sedikit menggairahkan di kulitku. “Siapa tahu bisa, kalau sama aku! Aku kan hantu spesial,” ujarnya, cekikikan, melayang mendekat, wajahnya sejengkal dari wajahku, bibirnya yang penuh bikin pikiranku melayang ke fantasi nakal yang jelas fiktif. Aku tersenyum, “Kamu spesial, bikin aku nggak bisa tidur,” gumamku, setengah bercanda, payudara yang dia pegang tadi masih terbayang, bikin kantukku terpecah seperti terjebak dalam novel erotis.
“Firman, Ratu pernah bilang hantu kayak kami harus bikin manusia nggak takut, tapi seneng dengan keberadaan kami” katanya, suaranya lembut, nadanya tulus seperti ingin menyentuh hati, tapi ada getar genit yang bikin bulu kudukku meremang dengan cara yang menggairahkan. “Kamu berhasil, Amelia, aku nggak murung lagi,” kataku, mataku setengah terbuka, “Kamu bikin aku ketawa dan… sedikit gelisah.” Dia tersenyum lebar, “Bagus! Aku suka bikin kamu ketawa!” katanya, lalu melayang duduk di udara di sampingku, kemejanya sedikit terbuka, memperlihatkan pinggul yang semok dan sedikit kulit yang mengundang imajinasi liar. Aku tahu ini fiksi belaka yang dibumbui untuk orang dewasa, tapi tetap bikin jantungku berdegup kencang.
Aku menguap, “Terus, Ratu pernah ketemu kamu?” tanyaku, berbaring di kasur, berusaha menahan kantuk meski bayangan tubuh Amelia yang ranum bikin pikiranku berkabut. “Pernah! Dia bilang aku punya potensi jadi Wewe Gombel hebat, tapi harus belajar banyak dengan memperhatikan kehidupan manusia, seperti kamu FIrman“. “Ah jangan gitu, aku kan nggak tahu apa-apa soal hantu“ ,kataku.
Dia cekikikan, melayang mendekat, wajahnya dekat dengan wajahku, bibirnya yang penuh seperti mengundang ciuman yang nggak mungkin nyata di dunia fiksi ini. “Firman, kamu mau aku ceritain apa lagi? Soal hantu lain?” tanyanya, suaranya lembut, seperti pengantar tidur yang sedikit menggoda dengan nada mesra. Aku menguap, “Ceritain aja, tapi pelan-pelan, aku udah ngantuk banget,” kataku, badan mulai lemas, tapi bayangan lekuk tubuhnya yang bergoyang bikin tidurku tertunda. Dengan malu, aku menelan ludah dan berkata, “Amelia, ehm… mau nggak malam ini kita tidur bugil? Biar… lebih dekat.”
Amelia cekikikan, matanya berbinar, “Bugil? Wah, manusia nakal, ya! Tapi boleh, deh, kalau kamu mau,” katanya, nadanya genit, lalu dengan gerakan anggun melepas kemejaku, memperlihatkan tubuh pucatnya yang mulus, payudaranya yang ranum bikin aku menahan napas. Aku, dengan wajah memerah, melepas kaus dan celanaku, merasa seperti tokoh dalam novel dewasa yang terjebak dalam mimpi erotis, tubuhku telanjang di bawah selimut tipis. Dia melayang mendekat, tubuhnya yang bugil kini menempel padaku, kelembutan payudaranya menekan dadaku, bikin jantungku berdegup kencang seperti drum. “Firman, enak, ya, gini?” bisiknya, suaranya seperti mantra, bikin aku lupa capek. Ini fiksi belaka untuk hiburan dewasa, tapi sensasinya terasa nyata di imajinasiku. Aku memeluknya erat, tenggelam dalam kehangatan gaib yang menggoda.
Aku setengah sadar, wajahku tenggelam dalam belahan payudaranya yang lembut, aroma melatinya seperti parfum erotis yang membuai, ceritanya tentang dunia hantu bikin kepalaku penuh bayangan aneh. “Amelia, kamu nyanyi kayak Mbok Sari nggak?” gumamku, sudah di ambang tidur, pikiranku melayang ke imajinasi gaib yang dipenuhi godaan sensual. Dia cekikikan pelan, “Bisa, dong! Nanti aku nyanyiin lagu hantu buat kamu,” katanya, suaranya seperti bisikan yang membelai, payudaranya yang menempel bikin bulu kudukku meremang. Aku tersenyum, “Janji, ya,” kataku, mataku terpejam penuh, kehangatan tubuhnya bikin aku lupa dunia nyata.
“Firman, manusia tidur kok lucu, ya, mata merem gitu,” katanya, suaranya riang, bikin aku nyengir dalam setengah sadar, kelembutan payudaranya yang menekan wajahku membawa sensasi erotis yang jelas hanya ada di cerita. “Kamu… jangan ngeliatin mulu, aku malu,” gumamku, suaraku hampir hilang, tapi pikiranku melayang ke adegan nakal yang bikin jantungku berdegup. Dia cekikikan, “Nggak bisa, aku suka ngeliatin kamu! Besok ceritain soal manusia lagi, ya,” katanya, tangannya menyentuh lenganku, dingin gaibnya bercampur kehangatan payudaranya yang menggoda. Aku mengangguk lelet, “Deal…” kataku, lalu terlelap, aroma melatinya seperti selimut erotis yang membungkusku.
Kamar kecilku terasa seperti dunia lain, penuh cerita tentang ratu hantu dan pasukan Wewe Gombel, dengan Amelia sebagai bintangnya yang menggoda dengan lekuk tubuhnya yang ranum. “Jangan kabur, ya, Amelia,” gumamku dalam tidur, nggak yakin dia dengar, tapi kehangatan payudaranya yang menempel bikin pikiranku tenggelam dalam fantasi erotis. “Nggak akan, Firman, aku di sini,” bisiknya, suaranya lembut seperti angin, membawa nuansa sensual yang jelas fiktif. Aku tenggelam dalam mimpi, membayangkan istana akar yang megah, tapi wajah Amelia dengan tubuh bugilnya selalu muncul.
“Firman, besok aku ajak kamu lihat beringin gaib, ya,” katanya, atau mungkin itu cuma mimpiku, tapi kelembutan payudaranya yang menempel bikin jantungku berdegup kencang. Aku nggak jawab, cuma merasa aman dalam pelukannya, meski dia hantu dengan tubuh yang menggoda seperti dewi gaib. Aku tahu ini fiksi belaka, tapi cukup bikin tidurku penuh petualangan liar. Kamar ini kini panggung cerita erotis yang bikin aku penasaran apa lagi yang akan terjadi. Aku membayangkan dia menyanyi lagu hantu, tubuhnya bergoyang seperti tarian panas di alam gaib.
Dengan aroma melati yang masih memenuhi udara, aku tidur nyenyak, tahu bahwa Amelia, Wewe Gombel junior dengan payudara ranum dan tubuh bugil yang menempel padaku, masih melayang di sampingku, menjaga malamku dengan cara gaib yang penuh godaan. Aku membayangkan dia menyanyi lagu hantu, suaranya melengking lembut, membawa aku ke dunia gaib yang penuh pesona sensual yang jelas hanya ada di cerita. Hidupku yang tadinya biasa kini penuh misteri, dan aku mulai menikmati setiap detik bersama hantu seksi ini dalam pelukan yang bikin jantungku berdegup.
148Please respect copyright.PENANAwi3omPUDEg
148Please respect copyright.PENANAFIVZUsvAZq
TO BE CONTINUED
ns216.73.216.166da2