Sore itu, ruko saya, Tokoh Jaya, ramai seperti biasa. Di sudut gang sempit kawasan perdagangan kota, pelanggan hilir mudik membeli kebutuhan sehari-hari. Rak-rak penuh dengan mi instan, sabun, dan cemilan, sementara aroma kopi bubuk dari toko sebelah menyelinap masuk. Saya, Jimmy, berdiri di balik kasir, tersenyum pada pelanggan setia yang sudah seperti keluarga. Usaha ini warisan buyut, yang dengan susah payah saya jaga hingga tetap jadi tumpuan hidup. Saya bangga, yakin suatu hari Agnes, putri saya yang berusia 17 tahun, akan melanjutkan legacy ini.
Evelyn, istri saya yang berusia 34 tahun, bergerak lincah di antara rak, membantu pelanggan dengan senyumnya yang memikat. Kecantikannya—kulit mulus khas wanita Tionghoa, tubuh berlekuk dengan pesona yang tak pernah pudar—selalu menarik perhatian. Tapi bagi saya, dia lebih dari sekadar wajah cantik; dia adalah partner yang setia, ibu yang penuh kasih untuk Agnes. Saya menatapnya dari jauh, bersyukur atas hidup yang kami bangun bersama. Agnes sendiri masih di sekolah, tapi wajahnya yang manis dan semangatnya yang cemerlang selalu terbayang, membuat saya yakin masa depan keluarga ini cerah.
Sinar matahari sore menyelinap lewat jendela ruko, menciptakan suasana hangat. Pelanggan bercanda, tawar-menawar, dan suasana terasa hidup. Saya menghitung uang di laci kasir, merasa lega karena bisnis berjalan baik. Usaha turunan ini bukan sekadar toko, tapi simbol perjuangan keluarga. Dari buyut hingga saya, Tokoh Jaya selalu jadi penutup kebutuhan warga sekitar. Saya membayangkan Agnes suatu hari berdiri di sini, melayani pelanggan dengan senyum yang sama seperti ibunya.
Tiba-tiba, suasana berubah. Pintu ruko terbuka keras, dan empat pria masuk dengan langkah mengintimidasi. Pimpinan mereka, pria berkulit hitam dengan logat Maluku yang kental, memandang sekeliling dengan mata tajam. Badannya kekar, wajahnya penuh bekas luka, dan tato burung garuda memenuhi lengannya. Gerombolannya mengenakan kaus lusuh, berdiri di belakangnya dengan sikap mengancam. Pelanggan yang tadinya ramai mulai berbisik, beberapa buru-buru membayar dan pergi. Senyum di wajah Evelyn memudar, diganti kewaspadaan.
“Oi, Jimmy!” suara pria itu menggelegar, memanggil nama saya seolah kami sudah kenal lama. “Kami dari Ormas Bintang Timur. Ini wilayah kami, dan lo tahu aturannya.” Dia menyeringai, tapi matanya dingin. Saya menelan ludah, mencoba tetap tenang. Selama ini, ruko saya aman tanpa gangguan. Polisi setempat mungkin tak cukup sigap, tapi tak pernah ada preman yang berani mengusik. Kini, pria ini dan anak buahnya berdiri di depan saya, mengacaukannya.
“Duit keamanan, bro. Tiga juta sebulan, mulai sekarang,” katanya, suaranya penuh otoritas. Tangan saya gemetar di balik meja kasir. Tiga juta bukan jumlah kecil, apalagi dengan keuntungan yang pas-pasan akhir-akhir ini. Saya melirik Evelyn, yang kini berdiri di dekat rak minuman, memandang saya dengan mata penuh kekhawatiran. “Kami nggak butuh keamanan,” jawab saya pelan, mencoba tegas. “Selama ini nggak ada masalah.”
Pria itu tertawa keras, suaranya menggema di ruko yang kini sepi. “Lo pikir ini negosiasi?” Dia melangkah mendekat, membuat saya mundur setengah langkah. Anak buahnya mulai menyeringai, salah satunya mengambil sekaleng soda dari rak dan membukanya tanpa membayar. “Kami jaga wilayah ini, Jimmy. Tanpa kami, siapa tahu apa yang bisa terjadi sama ruko lo… atau keluarga lo.” Nada ancamannya membuat bulu kuduk saya berdiri. Evelyn bergerak mendekat, tangannya menyentuh lengan saya, tapi saya tahu dia juga takut.
Sore yang tadinya hangat kini terasa dingin. Pelanggan terakhir buru-buru keluar, meninggalkan ruko dalam keheningan yang mencekam. Pria itu menatap saya, lalu ke Evelyn, matanya berlama-lama pada istri saya dengan cara yang membuat darah saya mendidih. “Pikir baik-baik, Jimmy,” katanya, suaranya rendah tapi penuh makna. “Kami balik minggu depan. Jangan buat kami nunggu.” Mereka berbalik pergi, meninggalkan kaleng soda kosong di lantai. Saya memandang Evelyn, dan untuk pertama kalinya, saya merasa ruko ini bukan lagi tempat yang aman.
--------------------
Malam itu, meja makan kecil di sudut ruang belakang ruko kami terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya lampu neon di atas kepala memancarkan kilau pucat, membuat suasana semakin muram. Saya, Jimmy, duduk di ujung meja, menatap piring berisi nasi dan ayam goreng yang sudah dingin. Evelyn, istri saya, duduk di hadapan saya, matanya merah dan membengkak karena menangis. Agnes, putri kami yang biasanya ceria, hanya mengaduk-aduk makanannya dengan garpu, wajahnya lesu. Bau masakan yang tadinya menggugah selera kini terasa hambar, seolah udara di ruko ini dipenuhi ketegangan dari kehadiran preman sore tadi.
Evelyn menutup wajahnya dengan kedua tangan, isakannya pelan tapi menusuk. “Jimmy, kita harus apa sekarang?” suaranya parau, penuh keputusasaan. Saya ingin menjawab, ingin bilang bahwa saya akan menyelesaikan semuanya, tapi kata-kata itu tersekat di tenggorokan. Keluarga kami tak punya siapa-siapa di kota ini; orang tua saya sudah lama meninggal, dan keluarga Evelyn tinggal di kota lain, terlalu jauh untuk dimintai tolong. Saya menatap meja, merasa dadaku sesak. Tokoh Jaya, ruko yang jadi kebanggaan keluarga selama beberapa generasi, kini terasa seperti jerat yang perlahan mencekik kami.
“Apa kita bisa lapor polisi?” tanya Agnes tiba-tiba, suaranya kecil, hampir seperti bisikan. Matanya yang biasanya berbinar kini penuh ketakutan. Saya menggeleng pelan. Polisi di wilayah ini bukan pilihan; cerita tentang mereka yang malah bersekongkol dengan ormas seperti Bintang Timur sudah sering saya dengar dari pedagang lain. Evelyn mengangkat wajahnya, menatap saya dengan pandangan yang penuh kekecewaan. “Kamu dengar sendiri tadi, Jimmy. Mereka mengancam kita. Kalau kita nggak bayar, apa yang bakal mereka lakukan?” Nada suaranya bukan hanya ketakutan, tapi juga seperti menyalahkan saya karena tak bisa melindungi mereka.
Saya menunduk, tangan saya mencengkeram tepi meja. Sebagai kepala keluarga, saya merasa gagal total. Selama ini, saya bangga bisa menjaga ruko warisan buyut, membuatnya tetap ramai di tengah gempuran toko modern. Saya bangga punya Evelyn, wanita yang tak hanya cantik dengan kulit mulus dan tubuh yang selalu memikat, tapi juga penuh kasih. Saya bangga pada Agnes, yang pintar dan berpotensi meneruskan usaha ini. Tapi malam ini, semua kebanggaan itu runtuh. Ancaman pria berkulit hitam dengan logat Maluku itu terngiang di kepala saya, terutama sorot matanya saat menatap Evelyn, yang membuat darah saya mendidih sekaligus tak berdaya.
Usai makan malam, kami membersihkan meja dalam diam. Agnes langsung masuk ke kamar kecilnya di lantai atas ruko, pintunya tertutup pelan, seolah dia ingin menyembunyikan ketakutannya sendiri. Saya dan Evelyn naik ke kamar kami, sebuah ruangan sederhana dengan kasur di lantai, tempat kami biasanya berbagi cerita dan tawa sebelum tidur. Malam ini, kasur itu terasa asing. Evelyn duduk di tepi kasur, punggungnya membelakangi saya, rambut panjangnya yang biasanya saya elus kini terurai begitu saja. Saya ingin memeluknya, seperti biasa, tapi tangan saya terhenti di udara. Ada dinding tak kasat mata di antara kami.
Saya merebahkan diri di sampingnya, menatap plafon yang mulai mengelupas. Biasanya, Evelyn akan merangkulkan tangannya ke dada saya, tubuhnya yang hangat menempel erat, dan kami akan berbisik tentang hari ini atau rencana besok. Tapi malam ini, dia hanya berbaring membelakangi saya, bahunya sedikit bergetar, entah karena menangis lagi atau karena marah. Saya tahu dia kecewa. Saya bukan suami yang tegas, bukan pahlawan yang bisa menghadapi preman seperti di film-film. Saya hanya pedagang kelontong yang berusaha bertahan, dan kini saya bahkan tak yakin bisa melindungi keluarga saya sendiri.
“Evelyn,” panggil saya pelan, berharap bisa memecah keheningan. Dia tak menjawab, hanya menarik napas panjang. “Aku akan cari cara,” lanjut saya, meski suara saya sendiri terdengar lemah, tak meyakinkan. Pikiran saya dipenuhi bayang-bayang pria itu, suaranya yang menggelegar, dan ancamannya yang terasa nyata. Tiga juta sebulan bukan cuma soal uang; itu soal kuasa, soal rasa takut yang mereka tanam di hidup kami. Saya memejamkan mata, berusaha mencari solusi, tapi yang terbayang hanya wajah Evelyn saat pria itu menatapnya dengan sorot mata yang penuh nafsu.
Malam semakin larut, dan ruko yang biasanya terasa seperti rumah kini seperti penjara. Suara jangkrik di luar terdengar samar, bercampur dengan deru kendaraan di kejauhan. Saya memandang siluet tubuh Evelyn di samping saya, lekuk tubuhnya yang selalu membuat saya bangga kini terasa seperti beban. Apakah dia menyesal menikahi saya? Apakah dia merasa terjebak dengan suami yang tak bisa melawan? Pertanyaan-pertanyaan itu menggerogoti pikiran saya.108Please respect copyright.PENANAYXRW2lYPDk
Di tengah kegelapan, saya berjanji pada diri sendiri untuk mencari jalan keluar. Tapi di lubuk hati, saya tahu ini bukan cuma soal uang. Ormas itu, dengan ketua mereka yang menyeramkan, bukan tipe yang akan pergi begitu saja. Saya memejamkan mata, berharap mimpi bisa membawa saya ke masa ketika ruko ini masih penuh tawa, ketika Evelyn masih memandang saya dengan cinta, dan ketika Agnes tak perlu tahu apa itu ketakutan.
--------------------------------
Pagi itu tiba dengan sinar matahari yang menyelinap lewat celah-celah jendela ruko, tapi tak ada kehangatan yang biasanya menyapa. Saya, Jimmy, berdiri di depan pintu ruko Tokoh Jaya, tangan saya gemetar saat memutar kunci. Rasa cemas yang menggerogoti semalaman belum juga reda, membuat tubuh saya terasa berat, seolah setiap langkah membawa beban tak kasat mata. Wajah pria berkulit hitam dari Ormas Bintang Timur itu masih terbayang, suaranya yang menggelegar dan sorot matanya yang penuh ancaman menghantui pikiran saya. Saya menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, tapi jantungan saya tetap berdegup kencang. Membuka pintu ruko yang selama ini jadi kebanggaan keluarga kini terasa seperti langkah menuju ketidakpastian.
Di dalam, Evelyn sudah mulai merapikan barang-barang di rak dengan gerakan yang lesu, seolah semangatnya telah terkuras habis. Wajahnya yang biasanya cerah dengan senyum memikat kini pucat, matanya masih merah sisa tangisan semalam. Ia mengatur kaleng-kaleng susu dan bungkus mi instan dengan tangan yang bergerak mekanis, tanpa kata-kata atau pandangan ke arah saya. Biasanya, pagi adalah waktu kami bercanda sambil menyiapkan toko, tapi hari ini keheningan di antara kami terasa seperti dinding tebal yang tak bisa ditembus. Saya ingin menghampirinya, memeluknya seperti dulu, tapi rasa bersalah karena tak bisa melindungi keluarga membuat saya hanya berdiri mematung. Evelyn sepertinya juga merasakan beban yang sama, dan itu membuat hati saya semakin teriris.
Agnes, putri kami yang berusia 17 tahun, sudah berangkat ke sekolah swasta sebelum saya bangun. Biaya sekolahnya memang lebih mahal dibandingkan sekolah negeri, tapi bagi keluarga Tionghoa seperti kami, pendidikan adalah prioritas utama, warisan nilai yang ditanamkan sejak zaman buyut. Saya selalu bangga melihat Agnes dengan seragam rapi, wajahnya yang cerah penuh harapan, dan mimpinya untuk masuk universitas ternama. Setiap rupiah yang saya sisihkan untuk sekolahnya adalah investasi untuk masa depannya, mimpi yang saya dan Evelyn rawat bersama. Tapi kini, ancaman tiga juta rupiah sebulan dari preman itu mengguncang rencana kami. Uang itu bukan sekadar angka; itu adalah masa depan Agnes yang terancam.
Saya melangkah ke kasir, membuka laci untuk memeriksa uang hasil penjualan kemarin. Tangan saya berhenti saat menghitung, pikiran saya dipenuhi perhitungan keras: tiga juta sebulan berarti menggerus tabungan yang sudah saya siapkan jauh-jauh hari untuk SPP Agnes. Saya sudah merencanakan semuanya dengan cermat—setiap pemasukan, setiap pengeluaran, hingga cicilan ruko yang masih berjalan. Kehilangan jumlah sebesar itu akan membuat semuanya berantakan, mungkin memaksa kami menunda pembayaran sekolah atau bahkan mencari pinjaman. Pikiran itu membuat perut saya mual, dan saya menatap laci kasir seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang.
Evelyn tiba-tiba berhenti merapikan rak dan menatap ke luar jendela, matanya kosong. “Jimmy, kalau kita bayar mereka, apa mereka bakal berhenti?” suaranya pelan, hampir putus asa. Saya tahu dia tidak benar-benar mencari jawaban, hanya ingin melepaskan beban di hatinya. Saya ingin bilang bahwa saya akan menyelesaikan ini, bahwa saya akan melindungi mereka, tapi kata-kata itu terasa hampa. Saya hanya menggeleng, tak mampu menatap matanya yang penuh ketakutan. Rasa gagal sebagai suami dan ayah kembali menghantam, membuat dada saya sesak. Evelyn menghela napas, lalu kembali ke rak, seolah menyerah pada keheningan kami.
Pelanggan pertama pagi itu masuk, seorang ibu tetangga yang biasanya ramah, tapi kali ini ia buru-buru membeli sabun dan pergi tanpa banyak bicara. Mungkin dia juga merasakan ketegangan di udara, atau mungkin kabar tentang preman kemarin sudah menyebar di antara warga. Ruko yang biasanya ramai dengan obrolan pelanggan kini terasa sepi, meski baru pukul tujuh pagi. Saya mencoba menyibukkan diri dengan menyapu lantai, tapi setiap gerakan sapu terasa sia-sia, seperti mencoba membersihkan bayang-bayang yang kini menyelimuti hidup kami. Saya melirik Evelyn, yang kini duduk di sudut, memandang kosong ke arah pintu.
Di luar, jalanan mulai ramai dengan suara motor dan pedagang kaki lima, tapi di dalam ruko, waktu seperti berhenti. Saya teringat kata-kata ketua ormas itu, “Kami balik minggu depan. Jangan buat kami nunggu.” Ancaman itu bukan hanya soal uang, tapi juga kekuasaan, dan sorot matanya saat menatap Evelyn membuat saya bergidik. Saya tahu apa yang ada di pikiran pria seperti itu, dan itu membuat saya semakin takut—bukan hanya untuk ruko, tapi untuk keluarga saya. Saya mencengkeram sapu lebih erat, berharap bisa menemukan keberanian yang selama ini tak pernah saya miliki. Tapi di lubuk hati, saya tahu keberanian saja mungkin tidak cukup untuk menghadapi mereka.
Pagi itu berlalu dengan lambat, setiap menit terasa seperti ujian. Saya dan Evelyn bekerja dalam diam, hanya sesekali bertukar pandang yang penuh kekhawatiran. Saya tahu kami harus bicara, harus merencanakan sesuatu, tapi saya tak tahu dari mana memulai. Tiga juta rupiah itu seperti pedang yang menggantung di atas kepala kami, mengancam tidak hanya bisnis, tapi juga keharmonisan keluarga yang selama ini saya jaga. Saya menatap pintu ruko, berharap pelanggan akan datang dan membawa sedikit normalitas, tapi yang ada di pikiran saya hanyalah hari ketika mereka kembali, dan apa yang harus saya korbankan untuk melindungi Evelyn dan Agnes.
-----------------------------
Pukul sepuluh pagi, ruko Tokoh Jaya berjalan seperti biasa, meski suasananya tak lagi sama. Saya, Jimmy, berdiri di balik kasir, mencatat pembelian beberapa pelanggan yang datang membeli kebutuhan sehari-hari—sabun, beras, dan beberapa bungkus mi instan. Evelyn bergerak di antara rak, membantu seorang ibu memilih minyak goreng, tapi gerakannya masih lesu, wajahnya mencerminkan kegelisahan yang belum hilang sejak kemarin. AC ruko sedang diservis, membuat udara terasa pengap, dan Evelyn mengenakan hotpants denim dan tanktop ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya—pilihan pakaian yang biasa untuk hari panas, tapi kini terasa seperti keputusan yang salah. Hanya ada tiga pelanggan di toko, dan suara obrolan mereka bercampur dengan deru kipas angin tua di sudut, menciptakan ilusi normalitas yang rapuh. Saya mencoba fokus pada pekerjaan, tapi pikiran saya terus kembali ke ancaman Ormas Bintang Timur, membuat jantungan saya tak pernah tenang.
Tiba-tiba, pintu ruko terbuka dengan keras, dan langkah berat menggema di lantai. Ketua preman itu, pria berkulit hitam dengan tato burung garuda di lengan, masuk seorang diri, tapi kehadirannya saja sudah cukup membuat udara terasa mencekik. Matanya yang tajam menyapu ruangan, dan senyum sinis tersungging di wajahnya yang penuh bekas luka. Pelanggan yang sedang memilih barang berhenti sejenak, merasakan ketegangan, dan seorang di antaranya buru-buru membayar lalu pergi. Saya menelan ludah, tangan saya di balik kasir mulai berkeringat dingin. Pria itu melangkah mendekat, bau alkohol yang menyengat dari mulutnya membuat saya hampir muntah, dan tatapannya yang penuh kuasa membuat bulu kuduk saya berdiri. Dia berdiri tepat di depan kasir, tubuhnya yang kekar seolah menutupi cahaya matahari yang masuk dari jendela.
“Jimmy, mana duitnya? Tiga juta, sekarang,” katanya dengan suara serak, logat Malukunya kental, setiap kata terasa seperti pukulan. Saya menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian, tapi suara saya gemetar saat menjawab, “Saya bilang kemarin, kami nggak butuh keamanan. Selama ini nggak ada masalah.” Kata-kata itu terdengar lemah, bahkan di telinga saya sendiri, dan saya tahu dia bisa merasakan ketakutan saya. Matanya menyipit, dan tawa kecil yang penuh ejekan keluar dari mulutnya, membawa bau alkohol yang semakin kuat. Saya memegang tepi meja kasir untuk menahan diri, perut saya bergejolak, bukan hanya karena baunya, tapi karena rasa tak berdaya yang kembali menghantam. Pelanggan terakhir buru-buru keluar, meninggalkan ruko dalam keheningan yang mencekam.
Pria itu tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke Evelyn, yang berdiri di dekat rak minuman, tangannya memegang sebotol air mineral yang baru saja dia tata. Kecantikan Evelyn—kulit mulus khas wanita Tionghoa, tubuh berlekuk yang terlihat jelas dalam hotpants dan tanktop—membuat mata pria itu berbinar dengan cara yang membuat darah saya mendidih. “Cantik, sini dong,” panggilnya dengan nada yang setengah memerintah, setengah menggoda, jari-jarinya melambai ke arah Evelyn. Saya melihat Evelyn menegang, wajahnya pucat, tapi dia melangkah pelan mendekat, matanya menunduk, seolah takut menolak. Saya ingin berteriak, ingin menghentikannya, tapi tubuh saya seperti membeku, terpaku oleh rasa takut dan kemarahan yang bercampur. Setiap langkah Evelyn terasa seperti pisau yang menusuk hati saya.
Pria itu menarik kursi plastik dari sudut ruko dan duduk dengan santai, kakinya terbuka lebar seolah ruko ini miliknya. “Duduk sini, di pangkuan saya,” katanya, menepuk pahanya dengan senyum yang membuat saya muak. Evelyn ragu sejenak, matanya melirik saya dengan cepat, penuh keputusasaan, tapi ancaman di udara terasa begitu nyata. Dengan gerakan pelan, dia menurut, duduk di pangkuan pria itu, tubuhnya kaku seperti boneka. Saya melihat tangan pria itu merangkul pinggang Evelyn, dan di saat itu, hati saya hancur berkeping-keping. Saya ingin berlari, menarik Evelyn, memukuli pria itu, tapi kenyataan bahwa dia bisa menghancurkan hidup kami dengan satu perintah membuat saya terdiam. Rasa gagal sebagai suami menyelimuti saya seperti kabut tebal.
“Lo nggak bisa bayar tiga juta, ya?” suara pria itu memecah keheningan, nadanya penuh ejekan tapi juga penuh ancaman. Dia menatap saya, tapi tangannya masih di pinggang Evelyn, jari-jarinya bergerak perlahan seolah menikmati momen ini. “Kalau nggak bisa bayar, istrimu ini bakal melayani saya setiap hari,” lanjutnya, kata-katanya seperti palu yang menghantam dada saya. Evelyn menunduk, wajahnya tersembunyi di balik rambut panjangnya, tapi saya bisa melihat bahunya bergetar, entah karena takut atau malu. Saya mencengkeram meja kasir begitu keras hingga buku-buku jari saya memutih, tapi tak ada kata yang keluar dari mulut saya. Rasa mual kembali naik, bukan hanya karena bau alkohol, tapi karena kenyataan bahwa saya tak bisa melindungi istri saya dari penghinaan ini.
Pria itu tertawa, suaranya menggema di ruko yang kini kosong. Dia mendorong Evelyn dari pangkuannya dengan kasar, membuatnya hampir tersandung, lalu berdiri dan melangkah ke arah saya. “Pikir baik-baik, Jimmy,” katanya, wajahnya begitu dekat hingga bau alkoholnya menyengat hidung saya. “Minggu depan saya balik. Kalau nggak ada duit, saya ambil yang lain.” Matanya melirik Evelyn sekali lagi, dan senyumnya membuat saya ingin muntah. Dia berbalik, melangkah keluar dengan santai, meninggalkan ruko dalam keheningan yang mencekik. Saya memandang Evelyn, yang kini berdiri memeluk dirinya sendiri, matanya basah tapi tak menangis. Saya ingin memeluknya, meminta maaf, tapi rasa malu dan kemarahan pada diri sendiri membuat saya hanya bisa berdiri diam, hati saya terasa seperti pecah berkeping-keping.
Evelyn akhirnya bergerak, kembali ke rak seolah tak terjadi apa-apa, tapi tangannya gemetar saat menata barang. Saya tahu dia berusaha kuat demi saya, demi Agnes, tapi luka di hatinya terlihat jelas. Saya menunduk, menatap lantai ruko yang selama ini jadi kebanggaan keluarga, tapi kini terasa seperti tempat yang kotor dan ternoda. Ancaman pria itu bukan lagi soal uang; itu soal kuasa, soal merampas martabat kami. Saya tahu saya harus bertindak, harus menemukan cara untuk melindungi keluarga saya, tapi di saat itu, saya hanya merasa seperti pria yang telah kehilangan segalanya. Pikiran tentang Agnes, yang sedang belajar di sekolah dengan harapan besar, hanya membuat saya semakin terpuruk, karena saya tahu masa depannya kini terancam oleh kegagalan saya.
108Please respect copyright.PENANAjbrvH9OOQB
108Please respect copyright.PENANALVRQ0njSz9
TO BE CONTINUED
108Please respect copyright.PENANAaCSV3mQ1QP