
Aku menjatuhkan diri ke kasur, tubuhku terasa berat setelah seharian kuliah dan jalan kaki pulang ke kosan. “Amelia, aku capek banget, tidur duluan, ya,” kataku, suaraku lelet sambil menarik selimut sampai dada. Amelia, yang masih mengenakan kemejaku yang longgar dan celana pendekku yang ketat di pinggulnya, melayang mendekat, wajah cantiknya dengan mata besar polos berbinar di bawah lampu neon kamar. “Oke, Firman, aku ikut tidur, dong! Biar tahu rasanya kayak manusia,” katanya, cekikikan dengan nada genit yang bikin aku tersenyum meski mataku sudah setengah terpejam. Dia merebahkan diri di sampingku, posisinya meniru persis posisiku, wajahnya hanya sejengkal dari wajahku, aroma melatinya menyelinap ke hidungku.
Aku memandangnya sekilas, wajah pucatnya yang seperti wanita tiga puluhan terlihat lembut di bawah cahaya temaram, membuatku lupa sejenak bahwa dia hantu. Kemejaku yang dia pakai sedikit terbuka, memperlihatkan lekuk payudaranya yang seperti pepaya matang, tapi aku terlalu capek untuk mikir macam-macam. “Kamu nggak capek melayang terus, Amelia?” tanyaku, suaraku pelan, hampir seperti gumaman. Dia cekikikan lagi, suaranya seperti lonceng kecil. “Nggak, lah, aku kan hantu! Tapi aku suka nemenin kamu gini,” jawabnya, nadanya tulus tapi ada sedikit kenakalan yang bikin jantungku berdegup pelan.
“Kamu nggak tidur beneran, kan?” kataku, mencoba menjaga obrolan meski kantuk mulai menyerang. Dia memiringkan kepala, rambut panjangnya bergoyang, menyentuh bahuku dengan dingin gaib yang anehnya terasa hangat. “Nggak tidur, Firman, tapi aku bisa diam di sini, pura-pura tidur biar kayak kamu,” katanya, senyumnya lebar, bikin kamar kecilku terasa lebih hidup. Aku cuma nyengir, mataku mulai terpejam, tapi pandangan terakhirku adalah matanya yang berbinar, seperti bintang di malam yang aneh ini. “Jangan kabur pas aku tidur, ya,” gumamku, setengah sadar.
“Kabur? Nggak akan, deh! Aku suka di sini sama kamu,” bisiknya, suaranya lembut seperti nyanyian pengantar tidur, aroma melatinya memenuhi udara. Aku merasakan kehadirannya yang gaib tapi nyata, wajahnya yang begitu dekat bikin aku merasa aman, meski tahu dia Wewe Gombel. Aku terlelap perlahan, tubuhku tenggelam dalam kantuk, tapi pikiranku masih menyimpan bayangan wajah cantiknya dan lekuk tubuhnya yang tersembunyi di balik kemejaku. Kamar ini, yang tadinya cuma tempat untuk skripsi dan galau, kini terasa seperti panggung mimpi yang penuh keajaiban.
Aku terhanyut dalam tidur, tak lagi memikirkan skripsi yang mandek atau status jombloku yang bikin iri. Amelia, dengan kecantikan dan keseksiannya yang nggak wajar, entah bagaimana sudah jadi bagian dari rutinitasku. Di tengah keheningan malam, aku merasa dia masih di sampingku, wajahnya tepat di depan wajahku, seperti penjaga gaib yang setia.
81Please respect copyright.PENANA7H1F1ZiTb8
---------------------------
Pagi tiba, sinar matahari menyelinap lewat celah jendela kosanku, menerangi kasur sempit tempat aku terbangun. Amelia masih melayang di depanku, wajah cantiknya dengan mata besar polos hanya sejengkal dari wajahku, kemejaku yang longgar di tubuhnya sedikit terbuka, memperlihatkan lekuk payudaranya yang seperti pepaya matang. Dia tersenyum, aroma melatinya memenuhi udara. “Firman, aku nungguin kamu bangun,” katanya, suaranya lembut bercampur nada genit yang bikin jantungku langsung berdegup. Aku menggosok mata, masih setengah linglung, mencoba mencerna fakta bahwa hantu seksi ini masih di sini setelah semalaman.
“Selama ini kamu cuma nungguin? Nggak ngapa-ngapain?” tanyaku, suaraku serak, berusaha terdengar santai meski canggung dengan kedekatan wajahnya. Dia cekikikan, tangannya menutup mulut dengan gerakan yang anehnya menggemaskan. “Iya, dong! Aku suka ngeliatin kamu tidur, lucu, kok,” jawabnya, matanya berbinar, seolah menontonku tidur adalah hiburan terbaik di dunia hantunya. Aku nyengir kecut, merasa aneh tapi juga tersanjung dengan perhatiannya yang polos ini. Payudaranya yang bergoyang lembut saat dia cekikikan bikin aku harus menunduk, berusaha fokus ke selimut.
“Emang hantu nggak bosen cuma ngeliatin orang?” tanyaku, bangkit dari kasur dan mengambil handuk, berusaha mencairkan suasana. Amelia melayang mendekat, kakinya tetap tak menyentuh lantai, wajahnya masih dekat dengan wajahku. “Bosen? Nggak, lah! Kamu seru, Firman. Gerak-gerak pas tidur, ngomong sendiri, kayak punya cerita di mimpi,” katanya, nadanya riang, bikin aku malu karena ternyata dia memperhatikan setiap detail. Aku menggeleng, “Serius, kamu dengar aku ngomong apa?” tanyaku, setengah panik, takut kalau-kalau aku ngigau soal dia.
“Cuma mumbles, sih, nggak jelas. Tapi lucu!” katanya, tertawa kecil, suaranya seperti lonceng yang bikin kamar kecilku terasa hidup. Dia melayang ke sudut kamar, duduk di udara di dekat meja belajarku, kemejaku sedikit terangkat, memperlihatkan pinggulnya yang semok. “Kamu mau ke kampus lagi, kan? Aku ikut, ya?” tanyanya, matanya penuh antusiasme. Aku mengangguk, “Iya, tapi jangan bikin aku salah fokus di kelas, oke?” candaku, wajahku masih sedikit memerah karena kedekatannya tadi.
Aku berjalan ke kamar mandi, masih merasakan aroma melatinya yang seolah menempel di udara. “Firman, manusia kok ribet, ya, harus mandi, kuliah, skripsi. Aku suka sih ngeliatin kamu ribet,” katanya dari balik pintu, suaranya genit tapi tulus. Aku tertawa kecil, “Kamu bikin ribetku jadi seru, Amelia,” balasku, air shower mulai mengalir. Dia cekikikan lagi, “Aku kan hantu spesial!” katanya, dan aku bisa membayangkan senyumnya yang bikin jantungku berdegup. Aku menggeleng, merasa hidupku yang tadinya monoton kini penuh warna karena Amelia.
Selesai mandi, aku keluar dan melihat Amelia masih melayang di sudut kamar, memainkan rambut panjangnya. “Firman, ceritain dong, hari ini kuliah apa? Aku mau tahu lebih banyak soal manusia!” katanya, suaranya penuh rasa ingin tahu. Aku tersenyum, mengenakan kaus dan celana jeans. “Hari ini kuliah statistik lagi, ngebosenin. Tapi kalau kamu ikut, mungkin jadi seru,” kataku, setengah bercanda. Dia tersenyum lebar, “Pasti seru, dong, ada aku!” katanya, lalu melayang mendekat, aroma melatinya kembali memenuhi udara.
Aku mengambil tas, siap berangkat ke UI, tapi pikiranku masih penuh dengan kehadiran Amelia. “Jangan tiba-tiba ngomong pas aku di kelas, ya,” kataku, menunjuk ke arahnya sambil nyengir. Dia cekikikan, “Nggak janji, Firman! Aku suka bikin kamu panik,” katanya, nadanya nakal tapi matanya tulus. Aku cuma geleng-geleng kepala, melangkah keluar kamar dengan Amelia melayang di sampingku.
------------------------
Kami berjalan kaki menuju UI, langit pagi Depok masih cerah dengan semburat awan tipis. Amelia melayang di sampingku, kemejaku yang longgar dan celana pendekku yang ketat di pinggulnya membuatnya terlihat seperti mahasiswi gaib yang seksi. Dia tampak riang, cekikikan sambil menunjuk-nunjuk pohon dan tukang gorengan yang kami lewati, aroma melatinya menyatu dengan udara pagi. “Firman, manusia kok pagi-pagi udah sibuk, ya?” tanyanya, suaranya polos tapi penuh rasa ingin tahu. Aku cuma tersenyum, “Biasa, Amelia, hidup manusia emang gitu,” jawabku, berusaha nggak melirik payudaranya yang bergoyang lembut di bawah kemeja setiap dia bergerak.
Saat kami melewati masjid dekat kosan, suara lantunan Ayat Kursi terdengar dari pengeras suara, menggema lembut tapi jelas. Tiba-tiba, Amelia gelisah, tubuhnya yang melayang mulai bergetar, dan wajah cantiknya yang biasanya tenang kini tampak gusar. “Firman, apa itu? Suara itu… bikin aku nggak enak,” katanya, suaranya bergetar, matanya yang besar melebar ketakutan. Aku bingung, nggak tahu kenapa dia bereaksi begitu. “Tenang, Amelia, itu cuma orang baca doa di masjid,” kataku, berusaha menenangkan sambil memperlambat langkah, tapi suaranya yang polos kini terdengar panik.
Dia tiba-tiba melayang mendekat, memelukku erat, kepalanya bersandar di dadaku seperti anak kecil yang ketakutan. Payudaranya yang besar, seperti pepaya matang, berdempetan dengan dadaku, terasa lembut meski ada dingin gaib yang khas. Aku merasa canggung, tapi naluri membuatku memeluknya balik, tanganku menepuk punggungnya pelan seperti menenangkan adik, meski tubuhnya yang semok dan wajahnya yang seperti tante-tante seksi bikin situasi ini aneh. “Udah, nggak apa-apa, Amelia. Suaranya cuma doa, nggak bakal nyakitin,” bisikku, berusaha tenang meski jantungku berdegup kencang karena kedekatannya.
“Firman, suara itu bikin aku… lemes, kayak energi aku ilang,” katanya, suaranya pelan, hampir seperti bisikan, wajahnya masih menempel di dadaku. Aku bisa merasakan kelembutan payudaranya yang menekan, bikin aku harus menahan diri untuk nggak mikir macam-macam. “Hantu takut doa, ya?” tanyaku, setengah bercanda, berusaha mencairkan suasana. Dia menggeleng lelet, “Bukan takut, cuma… nggak nyaman. Kayak ada yang tarik aku pergi,” katanya, nadanya polos tapi penuh ketidakpastian. Aku menepuk kepalanya, rambut panjangnya terasa seperti sutra di tanganku.
Kami berdiri sebentar di trotoar, menjauh dari masjid, sampai suara Ayat Kursi mulai memudar. Amelia pelan-pelan melepaskan pelukannya, tapi tangannya masih memegang lenganku, seperti tak mau kehilangan pegangan. “Udah mendingan?” tanyaku, menatap matanya yang kini mulai tenang, meski masih ada sedikit kecemasan. Dia mengangguk, senyum kecil kembali muncul di wajahnya yang pucat. “Iya, Firman, makasih, ya. Kamu baik banget,” katanya, suaranya lembut, bikin aku tersenyum meski masih bingung dengan apa yang baru terjadi. Payudaranya yang berdempetan tadi masih terbayang, tapi aku buru-buru mengalihkan pikiran.
“Jadi, hantu bisa ngerasa gitu gara-gara doa?” tanyaku, melanjutkan langkah ke UI, berusaha menjaga obrolan tetap ringan. Amelia melayang di sampingku lagi, kini lebih rileks, meski kemejaku yang longgar sedikit terbuka karena gerakannya tadi. “Mmm, nggak semua hantu, sih. Aku kan masih ‘trainee’, belum kuat banget, makanya sensitif sama doa-doa gitu,” katanya, cekikikan pelan, nadanya kembali genit. Aku tertawa kecil, “Hantu trainee kok secantik ini, sih,” candaku, bikin dia cekikikan lebih keras, tangannya menutup mulut.
“Kamu jangan bilang gitu, Firman, nanti aku malu!” katanya, meski matanya berbinar nakal, seolah nggak benar-benar malu. Kami terus berjalan, kampus UI sudah terlihat di kejauhan. Aku masih merasakan sisa hangat dari pelukannya tadi, payudaranya yang lembut bikin pikiranku sesekali melayang, tapi aku berusaha fokus ke jalan. “Kamu nggak apa-apa ikut ke kampus? Takut ada doa lagi?” tanyaku, setengah khawatir. Dia menggeleng, “Nggak apa, kok, asal sama kamu, aku aman!” katanya, senyumnya lebar, bikin jantungku berdegup lagi.
Sampai di gerbang UI, Amelia tampak kembali riang, melayang di sampingku sambil menunjuk-nunjuk gedung kuliah. “Firman, itu tempat apa? Banyak manusia, ya!” tanyanya, suaranya penuh antusiasme. Aku tersenyum, “Itu fakultas, tempat aku belajar. Nanti kamu lihat sendiri, tapi jangan bikin ribut, ya,” kataku, setengah bercanda.
-----------------------------------
Kami sampai di kelas ekonomi di gedung fakultas UI, ruangan ber-AC yang penuh dengan mahasiswa yang sibuk mencatat atau main ponsel. Aku duduk di baris tengah, mengeluarkan buku catatan, sementara Amelia melayang di sampingku, kemejaku yang longgar dan celana pendekku yang ketat di tubuhnya bikin dia terlihat seperti hantu paling stylish di ruangan ini. Pelajaran dimulai, dan dosennya, Bu Fitri, masuk dengan jilbab biru navy yang rapi, wajahnya yang cantik dengan senyum tipis selalu bikin aku terpesona. Dia mulai menjelaskan teori ekonomi mikro, suaranya lembut tapi tegas, dan aku, seperti biasa, bengong menatapnya, lupa mencatat.
Amelia, yang tadinya diam, tiba-tiba melayang ke sana kemari, memperhatikan mahasiswa lain dengan rasa ingin tahu yang nggak habis-habis. Dia berhenti di dekat meja depan, menatap seorang mahasiswi yang sibuk ngetik di laptop, lalu melayang ke arah dosen, memeriksa papan tulis dengan ekspresi bingung. “Firman, ini apa? Kok manusia pada nulis cepet-cepet gitu?” bisiknya, meski cuma aku yang bisa dengar. Aku cuma menggeleng pelan, berusaha fokus pada Bu Fitri, yang sekarang menjelaskan kurva permintaan dengan gerakan tangan yang anggun, bikin aku makin susah konsentrasi.
Amelia kembali melayang ke sampingku, matanya yang besar dan polos menatapku, lalu ke arah Bu Fitri. “Firman, kamu kenapa bengong ngeliatin orang itu? Dia spesial, ya?” tanyanya, suaranya polos tapi ada nada penasaran yang bikin aku tersipu. Aku menunduk, pura-pura nulis di buku catatan, tapi wajahku pasti sudah memerah. “Ehm, itu Bu Fitri, dosenku. Dia… yah, pinter banget ngajar,” kataku, berusaha terdengar biasa, tapi Amelia cekikikan, tangannya menutup mulut. “Pinter doang? Kamu ngeliatinnya kayak tadi ngeliatin aku, lho,” katanya, nadanya genit, bikin aku semakin canggung.
Aku melirik Bu Fitri lagi, jilbabnya yang rapi dan senyumnya yang hangat bikin aku nggak bisa bohong—dia memang cantik, tipe dosen yang bikin mahasiswa susah fokus. Amelia melayang mendekat ke Bu Fitri, memeriksanya dari dekat, lalu kembali ke sampingku. “Dia cantik, ya, kayak manusia dewasa gitu. Kamu suka sama dia?” tanyanya lagi, suaranya penuh rasa ingin tahu, tapi ada sedikit nada cemburu yang bikin aku nyengir. “Bukan suka, Amelia, cuma… kagum aja. Dia dosen favoritku,” kataku, berusaha menjelaskan tanpa bikin situasi makin aneh.
Amelia memiringkan kepala, rambut panjangnya bergoyang, dan kemejaku yang dia pakai sedikit terbuka, memperlihatkan lekuk payudaranya yang seperti pepaya matang. “Kagum? Kayak kamu kagum sama aku?” tanyanya, senyumnya nakal, bikin aku menelan ludah. Aku cuma menggeleng, “Beda, lah! Kamu… kan hantu, spesial banget,” candaku, berusaha mengalihkan topik. Dia cekikikan, “Hantu spesial, ya? Tapi aku nggak ngerti kenapa manusia suka ngeliatin orang lain gitu. Ceritain dong!” katanya, melayang duduk di udara di sampingku, kakinya tetap tak menyentuh lantai.
Bu Fitri masih menjelaskan, sekarang tentang elastisitas harga, tapi aku susah fokus karena Amelia terus bertanya. “Jadi, dia ngajarin apa? Kok kamu pada dengerin serius?” tanyanya, matanya menatap ke arah papan tulis, lalu ke wajahku. Aku menjelaskan sekilas, “Dia ngajarin ekonomi, soal duit, pasar, gitu-gitu. Dia pinter, makanya aku suka dengerin,” kataku, meski jujur, aku lebih sering bengong karena wajahnya ketimbang teorinya. Amelia mengangguk, seolah mencerna, tapi lalu cekikikan lagi. “Kamu bohong, Firman! Kamu ngeliatin mukanya, bukan papan tulis!” katanya, nadanya genit, bikin aku nyengir kecut.
Aku mencoba mencatat, tapi Amelia nggak berhenti mengamati ruangan. Dia melayang ke arah mahasiswa lain, menatap ponsel seorang cowok yang main game, lalu kembali ke Bu Fitri, memperhatikan jilbabnya dengan ekspresi bingung. “Firman, itu kain di kepalanya buat apa? Cantik, sih, tapi ribet, ya?” tanyanya, suaranya polos. Aku bisik pelan, “Itu jilbab, Amelia, buat nutup rambut. Banyak yang pake di sini.” Dia mengangguk, “Ooh, kayak gaunku dulu, biar sopan, ya?” katanya, lalu cekikikan, membuatku menahan tawa agar nggak ketahuan temen sebelah.
“Amelia, jangan ribut, nanti aku dikira gila ngomong sendiri,” bisikku, pura-pura nulis di buku catatan. Dia tertawa kecil, “Tenang, cuma kamu yang dengar aku, kok! Tapi seru, lho, ngeliatin manusia belajar. Kamu suka belajar gini tiap hari?” tanyanya, melayang mendekat lagi, aroma melatinya bikin aku sedikit pusing. Aku menggeleng, “Nggak selalu suka, tapi kalau Bu Fitri yang ngajar, lumayan bikin betah,” kataku, dan Amelia cekikikan lagi. “Hmmm, aku harus lebih cantik dari dia, dong, biar kamu cuma ngeliatin aku!” katanya, nadanya genit, bikin wajahku memerah.
Kelas berjalan, tapi pikiranku terbagi antara penjelasan Bu Fitri dan kehadiran Amelia yang nggak bisa diam. Dia melayang ke sudut ruangan, memperhatikan mahasiswa yang ketiduran, lalu kembali ke sampingku. “Firman, manusia kok bisa tidur di kelas? Nggak seru, ya, ekonominya itu?” tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu. Aku cuma nyengir, “Kadang ngebosenin, Amelia, tapi Bu Fitri bikin seru.” Dia memicingkan mata, “Hmmm, aku harus bikin kamu lebih seru, deh!” katanya, senyumnya nakal, bikin aku geleng-geleng kepala.
Saat kelas selesai, Bu Fitri menutup laptopnya dan keluar ruangan, senyumnya yang hangat bikin aku bengong lagi. Amelia melayang di depanku, tangannya menutup mulut untuk menahan tawa. “Firman, kamu beneran kagum sama dia, ya? Nanti aku belajar pake jilbab, biar kamu kagum sama aku!” katanya, nadanya genit tapi polos, bikin aku tertawa kecil. “Kamu udah cukup bikin kagum, Amelia,” kataku, berdiri sambil mengemas tas. Aroma melatinya masih mengikuti, dan aku tahu, dengan Amelia di sampingku, hari-hari di kampus bakal jauh dari kata biasa.
----------------------------
Setelah mata kuliah ekonomi selesai, aku duduk di taman UI yang rindang, membuka bekal nasi telur dan tempe goreng yang kubawa dari kosan. Amelia melayang di sampingku, kemejaku yang longgar di tubuhnya bergoyang pelan saat dia mengamati mahasiswa lain yang lalu-lalang. Tiba-tiba, dia menatapku dengan mata besar polosnya, senyumnya sedikit genit. “Firman, kamu suka sama Bu Fitri, ya? Soalnya dari tadi ngeliatin dia terus,” tanyanya, suaranya riang tapi ada nada penasaran. Aku kaget, tersedak nasi, dan batuk-batuk sambil buru-buru minum air. “Nggak, kok!” kataku cepat, wajahku memerah, berusaha mengelak meski tahu dia nggak gampang dibohongi.
Dia melayang mendekat, wajahnya sejengkal dari wajahku, matanya memicingkan. “Bohong, deh! Matamu tadi nempel banget sama dia!” katanya, cekikikan, tapi ada sedikit ketajaman di nadanya. Aku menghela napas, tahu nggak bisa kabur dari hantu sepenasaran ini. “Oke, oke… iya, aku suka sama Bu Fitri,” akuku akhirnya, suaraku pelan, wajahku panas. “Dia cantik, pinter… yah, aku suka, meski cuma kagum aja. Lagipula, dia udah tunangan.” Amelia terdiam sejenak, matanya melebar kaget, lalu cekikikan lagi, tapi ada rona sedih—or maybe cemburu?—di wajahnya yang pucat.
“Kagum doang? Tapi kamu nafsu juga, kan?” tanyanya, melayang ke sana kemari seperti kupu-kupu gaib, tangannya memainkan rambut panjangnya, membuat kemejaku sedikit terbuka dan memperlihatkan lekuk payudaranya yang seperti pepaya matang. Aku menelan ludah, nggak bisa bohong lagi. “Iya… sedikit,” kataku, malu setengah mati, menunduk ke bekalku. Dia cekikikan lebih keras, tapi matanya sedikit sayu. “Hmph, manusia aneh! Aku lebih cantik, kan?” katanya, nadanya genit tapi ada nada cemburu yang bikin aku nyengir. Aku mengangguk, “Kamu beda, Amelia. Kamu… hantu paling cantik,” candaku, bikin dia tertawa dan melayang berputar di udara.
“Firman, kamu nakal, ya, suka ngeliatin orang lain padahal ada aku!” katanya, suaranya riang lagi, meski aku tahu dia sedikit kesal. Dia melayang duduk di udara di depanku, kakinya tetap tak menyentuh tanah, aroma melatinya memenuhi udara taman. “Bu Fitri itu pake kain di kepala, aku juga bisa, lho, biar kamu kagum sama aku!” lanjutnya, coba meniru gaya jilbab Bu Fitri dengan kemejaku, tapi malah bikin aku tertawa karena kainnya jatuh-jatuh. Aku menggeleng, “Kamu udah cukup bikin kagum, Amelia, nggak perlu jilbab,” kataku, tulus, bikin dia tersenyum lebar.
“Tapi serius, kamu nggak boleh murung gara-gara Bu Fitri, ya! Aku kan di sini buat bikin kamu seneng,” katanya, melayang mendekat, wajahnya dekat dengan wajahku, bikin jantungku berdegup. Aku tersenyum, “Iya, deh, kamu jauh lebih seru dari siapa pun,” kataku, berusaha menenangkan cemburunya yang lucu itu. Dia cekikikan, “Bagus! Nanti aku nyanyi lagu hantu buat kamu, biar lupa sama Bu Fitri!” katanya, lalu melayang ke atas pohon, memainkan daun-daun dengan jari lentiknya. Aku cuma geleng-geleng kepala, menutup kotak bekal, merasa taman ini jadi panggung kecil untuk drama aneh dengan Amelia.
“Firman, manusia kok bisa suka sama orang yang udah punya tunangan? Ribet, ya?” tanyanya, melayang turun lagi, matanya penuh rasa ingin tahu. Aku nyengir kecut, “Bukan suka beneran, Amelia, cuma… kagum aja. Manusia kadang gitu, susah ngejelasin,” kataku, berdiri sambil mengemas tas. Dia mengangguk, seolah mencerna, lalu cekikikan. “Aku nggak ngerti, tapi aku suka bikin kamu bingung gitu!” katanya, nadanya genit lagi, bikin aku tertawa. Aroma melatinya masih mengikuti saat aku berjalan ke kelas berikutnya, tahu bahwa Amelia, dengan kecemburuan polosnya, bikin hidupku jauh lebih hidup.
Aku melangkah menuju gedung kuliah, Amelia melayang di sampingku, masih sesekali melirik dengan ekspresi pura-pura cemburu. “Firman, nanti kalau ketemu Bu Fitri lagi, jangan bengong, ya! Liat aku aja!” katanya, menepuk lenganku dengan tangan dinginnya. Aku cuma tertawa, “Iya, deh, hantu cantik. Kamu menang,” kataku, bikin dia tersenyum lebar. Dia melayang berputar kecil di udara, kemejaku bergoyang, memperlihatkan pinggulnya yang semok.
81Please respect copyright.PENANAKZI6c16bAs
81Please respect copyright.PENANAjLR7aDxfHX
TO BE CONTINUED
81Please respect copyright.PENANAH4c9XVfg90