
Joko, seorang murid SMP berusia 14 tahun, dikenal sebagai anak yang goblok di sekolah, selalu duduk di bangku belakang dan sering gagal dalam pelajaran. Tinggal bersama ibunya di rumah sederhana setelah ayahnya pergi entah ke mana, Joko tak punya banyak teman dan lebih suka menyendiri. Suatu hari, saat menginap di rumah pamannya, ia tak sengaja menemukan tumpukan majalah dewasa di gudang tua. Penasaran, ia membaca cerita-cerita erotis di dalamnya, dan sejak itu kecanduan, sering menyelinap untuk membaca ulang majalah itu di malam hari. Pikirannya kini dipenuhi fantasi liar, meski ia masih lugu dan tak tahu cara menyalurkan hasrat yang membuncah di dadanya.669Please respect copyright.PENANAK9T14UXAli
Sekolah Joko adalah SMP sederhana di pinggiran kota, dengan aula bercat pudar dan koridor yang bising saat jam istirahat. Di antara para guru, Bu Maya, guru IPA berusia awal 30-an, menonjol dengan kepribadiannya yang periang dan lugu, sering tertawa lebar hingga matanya menyipit dan membuat murid-murid ikut ceria. Ia memiliki tubuh berisi dengan pinggul lebar dan dada penuh, kulitnya sawo matang yang tampak sehat, serta wajah bulat dengan pipi merona yang membuatnya terlihat ramah. Rambutnya selalu tertutup rapi oleh jilbab cokelat yang serasi dengan seragam gurunya, yaitu blus cokelat longgar dan rok panjang sebetis berwarna senada, yang meski sederhana tetap tak bisa menyembunyikan lekuk tubuhnya. Joko, dari bangku belakang, sering mencuri pandang, pikirannya melayang ke cerita-cerita erotis dari majalah pamannya saat melihat Bu Maya bergerak lincah menjelaskan pelajaran.669Please respect copyright.PENANA35QgyNQc3j
Di kelas IPA yang pengap, Bu Maya berdiri di depan papan tulis, menjelaskan siklus air dengan semangat, jilbab cokelatnya sedikit bergoyang saat ia bergerak. Joko, seperti biasa, duduk di bangku belakang, pikirannya melayang antara gambar di buku pelajaran dan fantasi dari majalah pamannya. Setelah bel berbunyi, Bu Maya memanggilnya, “Joko, sebentar, Ibu mau bicara.” Joko mendekat dengan langkah gontai, tangannya di saku celana. Dengan senyum ramah, Bu Maya berkata, “Jo, nilai IPA-mu kan kurang, ya. Ibu khawatir, lho. Gimana kalau sepulang sekolah kamu ke rumah Ibu? Kita belajar tambahan, biar kamu paham materi.” Joko, agak kaget tapi juga senang karena perhatian Bu Maya, mengangguk pelan, “I-iya, Bu, boleh.” Bu Maya tertawa kecil, pipinya merona, “Bagus! Nanti jam empat ya, Ibu tunggu. Jangan lupa bawa buku IPA-mu!” Joko balik ke tempat duduk, jantungnya berdegup, membayangkan rumah Bu Maya dan kesempatan berada dekat dengan gurunya yang lugu itu, pikirannya mulai dipenuhi ide-ide dari cerita-cerita erotis yang ia baca.669Please respect copyright.PENANA0tXiiVv7w1
Sepulang sekolah, Joko tiba di rumah Bu Maya, sebuah rumah mungil dengan ruang tamu sederhana yang dipenuhi aroma masakan dan tumpukan buku. Bu Maya, kini mengenakan kaos lengan pendek dan rok panjang, menyambut Joko dengan senyum cerah, “Ayo, Jo, kita belajar di meja makan!” Mereka duduk berhadapan, buku IPA terbuka di bab siklus air, tapi Joko, seperti biasa, hanya menatap kosong saat Bu Maya menjelaskan dengan antusias. Ketika ditanya, jawabannya selalu salah, membuat Bu Maya menghela napas, “Joko, ayo dong, fokus sedikit!” Meski lugu, Bu Maya tetap sabar, tapi Joko tak kunjung paham, pikirannya malah teralih pada lengan Bu Maya yang terlihat lembut di balik kaos lengan pendek, mengingatkannya pada cerita-cerita erotis dari majalah pamannya.669Please respect copyright.PENANAWD0D0ozUsc
Saat pelajaran beralih ke materi pubertas, Bu Maya tampak bersemangat, ingin membuat Joko mengerti dengan cara yang lebih kreatif. “Jo, pubertas itu tentang perubahan tubuh, kayak bulu-bulu yang tumbuh. Biar kamu paham, Ibu kasih contoh, ya!” Dengan polos, ia mengangkat lengan, memperlihatkan ketiaknya yang halus dengan bulu tipis yang rajin dipotong. “Lihat, ini bulu ketiak Ibu, rapi karena Ibu selalu cukur. Kalau laki-laki, biasanya lebih lebat, lho!” Joko menelan ludah, matanya terpaku pada ketiak Bu Maya, jantungnya berdegup kencang. Bu Maya, tak sadar efeknya pada Joko, tersenyum lebar, “Paham, kan, Jo? Ini tanda pubertas!” Joko hanya mengangguk kaku, pikirannya kini dipenuhi fantasi liar dari majalah pamannya, pelajaran IPA sama sekali tak lagi di kepalanya.669Please respect copyright.PENANA8jcGHQwCPz
Pelajaran tambahan di rumah Bu Maya berlanjut, tapi Joko tetap tak bisa menangkap penjelasan tentang pubertas, pikirannya terpaku pada ketiak Bu Maya yang baru saja diperlihatkan. Dengan wajah merona dan suara ragu, Joko tiba-tiba berkata, “Bu, boleh… boleh gak saya sentuh ketiak Ibu? Biar lebih paham.” Bu Maya, yang lugu, tertawa kecil mendengar permintaan itu, pipinya semakin merah, “Haha, Joko, lucu banget sih! Ya Tuhan, kamu beneran mau sentuh ketiak Ibu? Yaudah, boleh deh, tapi cuma sebentar, ya, biar kamu ngerti tanda pubertas!” Sambil masih tersenyum, ia mengangkat lengan lagi, memperlihatkan ketiaknya yang halus dengan bulu tipis. Joko, jantungnya berdegup kencang, mengulurkan tangan dengan gemetar, jarinya menyentuh ketiak Bu Maya yang lembut, sensasi itu membuatnya teringat cerita-cerita erotis dari majalah pamannya. “Gimana, Jo, udah paham?” tanya Bu Maya, tak sadar efek sentuhan itu pada Joko, yang hanya mengangguk kaku, pikirannya kini melayang jauh dari pelajaran IPA.669Please respect copyright.PENANAXdMWhFRu7T
Suasana di meja makan rumah Bu Maya makin tegang bagi Joko, yang masih terbayang sensasi menyentuh ketiak gurunya. Dengan suara pelan dan sedikit takut, Joko bertanya, “Bu, apa lagi sih tanda pubertas? Selain bulu ketiak tadi?” Bu Maya, dengan sifat lugunya, menjawab antusias, “Oh, banyak, Jo! Salah satunya ya bulu kemaluan, itu juga tumbuh pas pubertas, baik di laki-laki atau perempuan.” Joko menelan ludah, jantungnya berdegup kencang, lalu dengan wajah memerah dan nada gugup, ia berkata, “Bu, boleh… boleh gak saya lihat? Biar… biar lebih jelas.” Bu Maya terkejut, tapi tertawa kecil, menganggapnya permintaan polos, “Ya ampun, Joko, kamu penasaran banget, ya? Hmm, yah, gak apa-apa deh, tapi cuma lihat ya, ini cuma buat pelajaran!” Dengan wajah merona, ia berdiri, sedikit mengangkat rok panjangnya dan menurunkan sedikit celana dalamnya, memperlihatkan bulu kemaluan yang rapi. “Ini, Jo, bulu kemaluan Ibu, tanda pubertas juga. Paham, kan?” tanya Bu Maya, tak sadar Joko menatap dengan mata membelalak, pikirannya kini penuh dengan fantasi erotis dari majalah pamannya, pelajaran IPA sama sekali terlupakan.669Please respect copyright.PENANA7GX3Vbo9un
Di ruang makan rumah Bu Maya yang sederhana, suasana makin tegang bagi Joko, yang masih terguncang oleh pengalaman melihat bulu kemaluan gurunya, pikirannya dipenuhi bayangan cerita-cerita erotis dari majalah pamannya. Dengan jantung berdegup kencang dan wajah memerah, Joko, terdorong oleh rasa penasaran dan keberanian yang muncul dari hasrat remajanya, berbicara dengan suara gemetar, “Bu, saya… saya juga udah punya bulu, lho, di… di bawah. Tapi cuma sedikit. Apa itu normal, Bu?” Bu Maya, dengan sifat lugunya, tersenyum lebar, mengangguk antusias, “Oh, bagus, Jo! Itu tanda pubertas, lho. Semua laki-laki pasti punya. Coba tunjukin, biar Ibu lihat, normal apa enggak!” Joko, ragu tapi terbawa suasana, berdiri perlahan, tangannya gemetar saat membuka resleting celana seragamnya dan menurunkan sedikit celana dalamnya, memperlihatkan bulu kemaluan yang masih tipis dan penisnya yang, meski ia tak menyadari, tampak besar untuk anak SMP berusia 14 tahun. Bu Maya, yang awalnya ingin memeriksa bulu kemaluannya dengan polos, tiba-tiba terdiam, matanya membelalak melihat ukuran penis Joko, pikirannya tanpa sengaja melayang ke arah yang tak terduga. Dengan wajah merona dan suara agak tergagap, ia berkata, “E-eh, Joko, bulu-nya sih normal, ya, cuma… wah, ukuran… ukuran kamu ini… kok kayaknya gak biasa untuk anak SMP. Bukan gitu, maksud Ibu, eh, besar… maksudnya, sehat! Iya, sehat!” Bu Maya tergelak canggung, berusaha menutupi keterkejutannya, tapi pipinya semakin merah, dan ia buru-buru menambahkan, “Sudah, sudah, pakai celananya lagi, ya! Kita… kita lanjut pelajaran, deh. Siklus air tadi belum selesai!” Joko, yang tak paham reaksi Bu Maya, hanya mengangguk kaku, cepat menutup celananya, tapi pikirannya kini makin liar, membayangkan cerita-cerita erotis dengan Bu Maya sebagai tokoh utama, pelajaran IPA sama sekali terlupakan di benaknya.669Please respect copyright.PENANAgIA1EqFLKJ
Sore itu, Joko pamit pulang dari rumah Bu Maya, wajahnya memerah dan pikirannya penuh fantasi liar dari majalah pamannya. “Bu, saya pulang dulu, ya,” katanya gugup. Bu Maya, masih canggung, tersenyum, “Iya, Jo, hati-hati! Jangan lupa belajar!” Joko berjalan pulang, jantungnya berdegup, pelajaran IPA terlupakan, hanya bayangan Bu Maya yang tersisa di kepalanya.669Please respect copyright.PENANAzI4C1DqKGA