
Namaku Simon Hwang.
Banyak orang iri melihat kehidupanku.
Dari luar, aku adalah gambaran sempurna anak muda beruntung tinggal di rumah megah berpagar tinggi, bersekolah di tempat elit, dijemput mobil pribadi setiap pagi, dan berpakaian mewah tanpa pernah mengulang baju. Mereka pikir aku hidup tanpa kekurangan. Mereka melihatku sebagai pewaris tunggal dari keluarga konglomerat, calon pengganti ayahku yang terkenal sebagai pengusaha berdarah dingin.
Tapi mereka tidak tahu bahwa kemewahan yang mereka lihat hanyalah dinding luar dinding yang menutupi kehampaan. Mereka tidak tahu rasanya duduk di ruang makan sepanjang delapan meter tapi tak pernah mendengar suara tawa. Mereka tidak tahu tentang kamar-kamar yang terlalu senyap, terlalu bersih, seolah tak pernah disentuh kehidupan.
Yang mereka tidak tahu… adalah bahwa sejak kecil aku tumbuh di dalam rumah yang megah, tapi kosong. Sepi. Tanpa pelukan seorang ibu, tanpa perhatian seorang ayah, dan tanpa tempat untuk menjadi diri sendiri.
Banyak orang iri melihat kehidupanku. Mereka bilang aku beruntung tinggal di rumah besar berpagar tinggi, sekolah di tempat elit, dijemput mobil pribadi, dan selalu tampil dengan baju-baju mahal yang tak pernah sama dua kali. Mereka lihat aku sebagai potret kemewahan anak tunggal dari seorang pengusaha besar yang hidupnya serba berkecukupan. Tapi mereka tidak tahu: semua itu hanya kulit luar. Dalamnya… lain cerita.
Aku anak semata wayang dari pasangan berbeda latar: ayahku, pria keturunan Tionghoa, dikenal tegas, logis, dan sangat disiplin dalam bisnis; ibuku, perempuan Jawa asli, lembut, religius, dan penuh kasih. Mereka dua dunia yang entah bagaimana dulu bisa saling bertaut, walau aku tidak pernah tahu kisah lengkapnya. Mereka jarang bicara satu sama lain di depanku. Sejak kecil, aku lebih dekat pada ibu. Dialah yang membacakan dongeng sebelum tidur, membelai rambutku kalau aku demam, dan mengusap punggungku saat aku menangis karena gagal ujian atau dimarahi ayah.
Semua berubah di tahun aku kelas 5 SD. Hari itu hujan deras. Aku masih ingat karena hujan itulah aku harus menunggu jemputan di sekolah cukup lama. Saat tiba di rumah, suasana terasa aneh. Rumah sunyi. Semua lampu menyala tapi seperti tak ada kehidupan. Pembantu rumah menatapku penuh ragu saat membuka pintu.
“Ibu kamu... di rumah sakit,” katanya pelan.
Itu terakhir kali aku melihat ibu hidup.
Ibu meninggal karena serangan jantung. Cepat. Mendadak. Dan bagiku... tak masuk akal. Semalam kami masih menonton sinetron bersama. Pagi masih sempat mencium keningku sebelum aku berangkat sekolah. Dan kini, dia hanya nama yang kuucapkan dalam doa. Kehilangan itu mengguncangku. Tapi ayah selalu tampil tenang. Dia bilang,
“Jadi lelaki itu kuat, karena Hidup akan jalan terus.”
Aku menurut. Tapi sejak hari itu, aku mulai merasa sepi meski di rumah yang besar ini, tak pernah kekurangan apa pun.
Setahun kemudian, saat aku baru saja menyelesaikan ujian akhir SD dan dinyatakan lulus, ayah mengenalkanku pada seorang wanita. Dia bilang,
“Papa nggak mau kamu besar tanpa sosok ibu.”
Perempuan itu bernama Inge. Sosoknya menawan berkulit putih pucat seperti porselen, tubuhnya tinggi semampai, rapi, wangi. Matanya sipit tapi hidup, dengan sorot yang hangat namun tegas. Cara dia menyapaku lembut tapi tidak dibuat-buat.
“Inge ini... calon istri papa. Kamu boleh panggil dia mami, kalau kamu nyaman,” kata ayah.
Aku diam. Tapi ketika dia tersenyum dan menyentuh bahuku dengan tangan dingin yang penuh wangi mawar, aku tak bisa membenci. Ada sesuatu dari dirinya yang... menyenangkan.
Mami begitu akhirnya aku memanggilnya membawa satu anak perempuan bersamanya. Namanya Nadya. Umurnya delapan tahun, dua tahun lebih muda dariku. Nadya anak dari suami pertama Mami, seorang pria Amerika yang dulu bekerja di kedutaan. Nadya mewarisi darah bule-nya dengan sangat jelas: rambutnya cokelat muda, bergelombang di ujung, kulitnya putih kemerahan, dan matanya agak keabu-abuan. Tapi logat bicaranya sangat Indonesia. Bahkan cenderung medok.
Awalnya kami canggung. Nadya tinggal di kamar sebelah. Setiap kali lewat, dia menunduk dan pura-pura tak melihat. Tapi lama-lama, ketika kami mulai nonton kartun bareng, berebut mainan, atau saling tukar bekal saat sekolah, batas-batas itu mencair. Kami tumbuh besar bersama. Nadya jadi sahabatku, adik tiriku, teman sejatiku.
83Please respect copyright.PENANAeMUDA7VJwD
Dan… perlahan, jadi sesuatu yang lebih rumit dari semua itu.
FOllow dan Like yah83Please respect copyright.PENANAfdxfGwpZEo
83Please respect copyright.PENANAvvOUMoqGgv