Setelah Mama sama Papa masuk ke kamar, gue sama Kak Lisa masih santai di ruang tamu, menikmati acara TV yang lagi menayangkan film action seru. Kita berdua melojor di sofa panjang, Kak Lisa kepalanya senderan di paha gue sambil sesekali ketawa kalau ada adegan lucu di film. Gue merasa nyaman mengelus rambutnya yang panjang dan halus, meskipun pikiran gue kadang melayang ke hal-hal yang nggak seharusnya.
Tiba-tiba Mama menyerukan dari dalam kamar. “Kalian jangan tidur malam-malam ya! Mama mau ke kamar dulu, udah ngantuk banget nih.”
Lisa menyahuti tanpa mengalihkan pandangan dari TV. “Oke, Ma! Siap!”
Gue juga menyambung dengan nada agak keras biar kedengeran Mama. “Siaaap, Ma!”
Nggak lama kemudian, lampu kamar Mama mati, dan suasana rumah jadi lebih sepi. Fokus gue yang tadinya ke TV mulai mengalih sepenuhnya ke Kak Lisa yang masih nyaman senderan di paha gue. Dia cuma pake kaus lama punya gue yang jelas kegedean dan celana pendek super ketat warna pink yang memperlihatkan kaki jenjangnya yang mulus banget. Anjir, kenapa dia harus pake pakaian kayak gini di rumah?
Setelah beberapa menit hening menikmati film, gue merasa godaan buat memperhatikan Kak Lisa lebih dekat. Gue menunduk sedikit, melihat ke arah kausnya yang melorot di satu bahu, memperlihatkan sedikit kulit mulusnya. Pikiran nakal gue mulai menyelinap tanpa permen.
“Lo nggak risi ka pake pakaian kayak gitu di depan gue? Kayak agak… mengumbar aurat gitu,” tanya gue memecah keheningan. Gue berusaha biar suara gue kedengeran biasa aja, tapi jujur sebenernya gue agak gregetan melihat penampilannya yang santai tapi tetep menarik perhatian.
Lisa mengalihkan pandangannya dari TV, menatap gue sambil tersenyum nakal. “Napa, Dek? Pingin, ya?” katanya sambil ketawa kecil menggoda.
“Apan sih, Ka! Bukan gitu maksud gue. Gue pusing aja lihat hari-hari kakak pake pakaian kayak gitu di rumah. Nggak takut Papa marah apa?” alibi gue mencoba menyamarkan gregetan gue yang sebenarnya.
Semakin gue memperhatikan tubuh Kak Lisa yang santai di paha gue, otak nakal gue semakin menyental tanpa ampun. Kaki mulusnya yang memanjang dari balik celana pendek pink itu kelihatan begitu menggoda. Gue juga nggak bisa nggak melirik ke arah dadanya yang meskipun ketutupan kaus lama tetep kelihatan agak menonjol. Nggak sebesar punya Mama sih, tapi ya… tetep aja bikin pikiran gue jadi macam-macam.
Lisa mengamati ekspresi wajah gue yang mungkin udah nggak bisa dibohongin lagi. “Mesum amat sih lo, Dek. Liatin kakak sampe segitunya. Wkwkwk.” Dia menyodok pinggang gue menggoda.
“Lagian kakak sih pakaiannya kayak gitu,” balas gue merasa agak salah tingkah tapi juga memanfaatkan kesempatan buat lihat dia lebih lama lagi. Gue merasa ada gregetan aneh setiap kali lihat Kak Lisa santai di rumah kayak gini. “Udah ah, gue mau ke kamar dulu.” Gue memutuskan buat mengundurkan diri sebelum fantasi gue semakin liar. Gue menggerakkan badan mengambil posisi duduk.
Lisa mengangkat satu alisnya sambil tersenyum penuh arti. “Jangan coli ya, Dek… wkwkwk.”
“Berisik,” jawab gue sambil membuang muka mencoba menyembunyikan merah di pipi gue. Gue mengambil langkah besar menuju kamar tidur gue, meninggalkan Kak Lisa yang masih ketawa kecil di ruang tamu. Jantung gue masih berdebar lebih cepat dari biasanya. Sial, kenapa setiap kali deket Kak Lisa pikiran gue jadi nakal gini sih?22Please respect copyright.PENANAtWvrFH0zch