Acara sudah selesai, kami tidak langsung balik ke pondok pesantren. Tapi menuju ke kota lain, masih ada undangan ceramah yang harus yang harus dihadiri oleh Ning Sabila.
Acara tadi selesai sore hari. Kemudian kami lanjut perjalan ke kota berikutnya dan sampai malam hari. Kami langsung menuju hotel yang sudah disiapkan oleh panitia. Acaranya besok.
Di kota ini, Ning Sabila akan menghadiri dua acara, pada pagi hari ini malam. Untuk pagi, mengisi acara keagamaan dan malamnya, pengajian akbar.
Ketika sampai di parkiran mobil hotel, kubawakan koper milik Ning Sabila. Kami kemudian menuju ke lobi hotel. Hotel yang kami tinggali kali ini tidak semewah kemarin.
“Ning, panitia ternyata hanya menyediakan 2 kamar saja, twin bed semua,” kata Ustadzah Winda.
“Ya sudah, biar Mas Azka sekamar dengan Ustadzah Winda ya. Kan ada dua bed,” ucap Ning Sabila.
“Ha?” Ustadzah Winda kaget dengan jawaban Ning Sabila. Ustadzah Winda nampaknya tidak nyaman dengan jawaban itu. Tapi dia bingung antara mau menolak apa mengiyakan.
Menurutku, seharusnya biar Ustadzah Winda tidur sekamar dengan Ning Sabila saja. Tapi kenapa Ning Sabila ingin sendirian? Jangan-jangan dia mau niat berbuat aneh lagi nanti malam. Aku jadi punya pikiran buruk.
“Biar saya tidur di mobil aja ning,” jawabku.
“Eh jangan mas. Kalau tidak mau sekamar dengan Ustadzah Winda, biar saya pesankan kamarkan sendiri aja,” kata Ning Sabila.
“Tidak enak ning, jika saya harus sekamar dengan Ustadzah Winda, nanti malah jadi fitnah. Gak usah dipesankan kamar sendiri ning. Saya sudah biasa tidur di mobil,” kataku.
“Kan cuma ada kita bertiga di sini, gak akan ada yang berpikiran aneh-aneh,” ujar Ning Sabila.
“Sudah, biar saya tidur di mobil saja. Tenang aja ning,” jawabku.
“Benar gak apa-apa ya mas?” tanya Ning Sabila.
“Iya, jangan khawatir. Cowok gak ribet,” jawabku.
Ning Sabila akhirnya tidak memaksaku. Ning Sabila dan Ustadzah Winda pun menuju ke kamar masing-masing. Petugas hotel membantu membawakan barang-barang mereka ke kamarnya.
Aku pun kemudian bersantai di resto, memesan kopi dan merokok.
Tak berselang lama, sekitar pukul 9 malam, ada Whatsapp dari Ning Sabila.
“Mas Azka, jangan tidur di mobil. Kalau tidak mau di kamar Ustadzah Winda, bisa di kamarku sini. Di sini juga ada dua bed. Pokoknya jangan tidur di mobil! Lagian” tulisnya.
Deg! jantungku berdetak kencang membaca pesan tersebut. Ning Sabila memberi tawaran yang tak kuduga-duga. Aku jadi berpikir lama. Tak langsung membalas pesan itu.
Kok bisa-bisanya Ning Sabila mengajakku tidur berdua di kamarnya. Bukannya senang dengan tawaran itu, aku terus berpikir. Jangan-jangan ini juga jebakan darinya. Karena aku sudah tahu rahasianya.
“Mas, kok gak dibalas? Hanya kita bertiga yang tahu soal ini. Mas Azka jangan khawatir. Silahkan, mau di kamarku apa di kamar Ustadzah Winda. Aku gak mau Mas Azka tidur di mobil,” tulisnya lagi, sebelum aku membalas pesannya.
Aku jadi tidak enak, dia memaksaku terus. “Biar saya nanti tidur di kamar Ustadzah Winda saja, ning,” balasku.
“Oke kalau gitu mas. Biar saya hubungi Ustadzah Winda,” tulisnya.
“Siap ning,” balasku.
Tak berselang lama, ada pesan masuk dari Ustadzah Winda. “Mas Azka, disuruh tidur di sini sama Ning Sabila,” tulisnya.
“Iya ustadzah, sebentar lagi saya ke sana,” balasku.
Aku lebih memilih sekamar dengan Ustadzah Winda saja. Untuk mengurangi resiko jika hal ini bocor ke orang lain. Bisa jadi masalah besar, jika orang tahu, kalau aku pernah sekamar dengan Ning Sabila.
Setelah kopiku habis, kuambil baju dan barang-barangku di mobil dan kubawa masuk ke kamar Ustadzah Winda.
Kuketuk pintu kamar Ustadzah Winda, dan tak lama dia langsung membukanya. Kulihat dia pakai baju santai untuk tidur semacam piyama. Tapi masih tertutup dan memakai kerudung. Baju dan celananya panjang. Bajunya model kancing di bagian depan.
Kulihat Ustadzah Winda jadi canggung dengan kedatanganku. Tapi aku cuek, karena sudah ada perintah dari Ning Sabila. Lagian daripada aku tidur di mobil.
Aku pun langsung meletakan baju dan barang-barangku di dalam. Pintu kamar ku tutup. Lalu aku rebahan di atas tempat tidur untuk melepas lelah.
Sementara Ustadzah Winda juga sudah di atas tempat tidurnya. Ia tutupi tubuhnya dengan selimut dan masih memakai kerudung. Sepertinya dia masih tidak enak dengan keberadaanku. Dia masih menjaga seluruh auratnya.
Sekitar setengah jam kemudian, aku mau mandi, karena rasanya tubuhku gerah banget. Kulihat Ustadzah Winda sudah tertidur.
Kunyalakan shower, air hangat memancar di tubuhku. Rasanya seketika lelahku hilang, luntur terbawa air. Selesai mandi, aku hanya melilitkan handuk di tubuhku, lalu keluar.
Tapi tak kusangka, ternyata Ustadzah Winda belum tertidur.
“Eh mas,” celetuk Ustadzah Winda saat melihatku hanya memakai handuk. Lalu ia membalik badannya dan membuang mukanya. Ia fokus pada ponselnya.
“Maaf ustadzah, saya kira sudah tidur,” kataku.
Saya memang tak membawa baju ganti ke kamar mandi. Sehingga dia sempat sekilas melihatku pakai handuk dari pinggang ke lutut. Ia jadi melihat tubuhku yang sedikit atletis, karena lumayan rajin olahraga. Perutnya juga masih rata, tidak seperti bapak-bapak. Meski tidak six pack.
“Ini ada WA dari Ning Sabila, mangkanya saya bangun,” jawabnya.
Aku kemudian mengambil baju ganti lalu kembali ke kamar mandi untuk memakainya di sana.
Kulihat tadi Ustadzah Winda syok melihatku. Memang, seorang perawan seperti itu nampaknya. Kaget melihat laki-laki pakai handuk saja. Haha.
Selesai memakai baju, aku keluar. “Maaf ya ustadzah, jadi bikin kaget. Haha,” ucapku.
“Mas, disuruh ke kamar Ning Sabila,” katanya.
“Ha???” aku kaget mendengarnya. “Mau apa? Disuruh apa?” tanyaku.
“Gak tahu mas, cuma disuruh ke sana gitu aja. Aku gak berani mau tanya disuruh apa,” kata Ustadzah Winda.
“Ustadzah ayo ikut ke sana juga ya, aku takut jika hanya berdua,” ajakku.
Sekarang aku malah jadi tidak senang ketika disuruh ke kamar Ning Sabila. Aku jadi khawatir punya pikiran buruk, dijebak atau apa. Karena aku sudah tahu rahasia dari Ning Sabila.
“Gak mas, Mas Azka saja yang disuruh ke sana. Aku gak enak, gak disuruh ke sana,” kata Ustadzah Winda.
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya aku putuskan pergi ke kamar Ning Sabila. Sapa tahu pikiranku salah. Mungkin saja Ning Sabila lagi butuh bantuan atau ada hal yang perlu diomongkan.
“Oke ustadzah, aku ke sana dulu,” ucapku.
Aku pun menuju ke kamar Ning Sabila. Sampai di sana, kuketuk pintu kamarnya. Tak lama berselang, beliau langsung membukanya.
Betapa kagetnya diriku, Ning Sabila yang tidak memakai kerudung. Kenapa dia tidak malu ke aku. Kemudian dia memakai baju tidur dengan celana panjang yang cukup ketat menurutku.
Sehingga terlihat tonjolan payudaranya yang terlihat lebih besar dari biasanya. Juga kedua pantatnya, jadi terlihat lebih besar, bulat, dan padat.
Ditambah aroma minyak wangi yang semerbak, jadi bikin aku makin tergoda dengannya.
Ning Sabila tak memakai kerudung, sehingga terlihat rambut hitamnya yang lumayan panjang dan lurus. Kemudian dia masih memakai make up meskipun mau tidur. Sehinga aku melihatnya tambah cantik malam ini.
“Silahkan masuk mas,” ucapnya.
Dengan deg-degan, aku lihat kondisi di kamar itu, takut ada kamera yang dipasang oleh Ning Sabila. Aku benar-benar was dijebak olehnya, agar dia punya rahasia keburukanmu.
Namun kulihat, kamar ini aman. Lalu buar apa beliau memanggilku ke sini.
“Ada apa yang ning memanggilku?” tanyaku, membuka percakapan.
Tanpa langsung membalas pertanyaanku, dia naik ke atas ranjang. Aku jadi tambah deg-degan, jangan-jangan benar yang aku pikirkan tadi. Ning Sabila sengaja menggodaku, dia mau menjebakku.
“Tolong pijat aku mas, badanku pegel-pegel, karena acara padet baget,” katanya.
“Kok aku ning, bukan Ustadzah Winda saja?” tanyaku.
“Kalau dia yang mijat, gak berasa, kan Mas Azka lebih bertenaga,” katanya.
“Silahkan, naik ke atas kasur sini mas.Tolong pijat pundakku saja. Capek sekali aku,” suruhnya dengan nada melas. Sepertinya Ning Sabila benar-benar capek dan meminta tolong aku.
Aku pun naik ke atas ranjang. Lalu duduk membelakanginya. Padahal aku tidak punya bakat memijat. Tapi karena dia yang meminta tolong, jadi aku tidak enak.
“Kenapa tidak memanggil tukang pijat aja ning?” tanyaku.
“Nanti kalau manggil tukang pijat, ketahuan Mas Azka lagi, nanti dipikir aneh-aneh,” jawabnya.
“Haha….. Ya panggil tukang pijat yang cewek, jangan yang cowok ning,” kataku.
“Ayo segera dipijat mas, malah bercanda terus,” katanya.
Di belakang Ning Sabila, aroma parfumnya makin terasa. Kulihat lekuk tubuhnya yang benar-benar menggoda kalau pakai baju seperti ini. Aku lama-lama jadi muai bernafsu padanya.
Mulailah, kupijit pundaknya pelan-pelan. Seketika pundaknya bergerak, antara geli atau keenakan. Sambil memijatnya, obrolan kami terus berlanjut.
“Kalau ning pesan tukang pijat cowok, jadinya kan pesan cowok panggilan, bukan niat pijat. Haha,” kataku sambil tertawa tipis.
“Loh, beneran aku cuma pijat aja kemarin mas, gak ngapa-ngapain,” katanya.
Ning Sabila masih saja menganggap aku tidak tahu. “Sudah jangan bohong ning, dia sudah cerita ke aku,” kataku.
Seketika Ning Sabila kaget, lalu melihat ke arahku. “Mas Azka beneran tahu? Dia cerita ke Mas Azka, kok bisa?” tanyanya, penasaran.
“Iya ning, setelah keluar dari sini, kukejar dia. Takut dia ngapa-ngapain Ning Sabila. Eh, ternyata benar ngapa-ngapain. Hehe,” godaku.
Meski aku sedikit bercanda, namun wajah Ning Sabila nampak serius. “Jangan cerita ke siapa-siapa ya mas,” ucapnya.
Aku juga masih tidak menyangka, seorang Ning Sabila yang dikenal sebagai penceramah kondang dan menjadi panutan banyak orang, berbuat seperti itu.
“Iya ning, tenang aja, aku akan menjaga rahasia ini. Aku tahu kenapa ning sampai berbuat seperti itu, pasti ada sesuatu atau masalah,” kataku.
“Mas Azka tahu masalahku?” tanyanya.
“Iya, Ustadzah Winda cerita. Akhirnya aku paham, kenapa hal kemarin terjadi. Ning Sabila sebagai perempuan muda, pasti juga butuh soal itu sih,” kataku.
“Iya mas, gara-gara Umira kurang ajar itu, pelakor dia itu. Aku dan suamiku jadi berantem hebat hingga pisah ranjang sangat lama. Entah kami akan cerai atau gimana,” ucapnya dengan kesal.
“Jangan ning, jangan cerai kalau bisa. Sapa tahu masih bisa diperbaiki rumah tangganya, diperbaiki saja. Eh maaf, malah aku yang ngasih ceramah. Ning Sabila pasti tahu yang terbaik lah, Ning Sabila pasti lebih paham dari aku,” kataku.
“Iya betul mas. Aku menunggu kebutuhan abah dan umi. Terserah mereka. Kalau aku masih marah ke Gus Zaid, saat tahu dia selingkuh dengan Umira,” ucapnya.
“Aku juga tidak nyangka Ustadzah Umira bisa berbuat seperti itu,” kataku.
“Iya gila banget pokoknya, bisa-bisanya mereka main di belakangku,” ucap Ning Sabila, wajahnya terlihat sedih dan marah.
Aku turus memijat pundaknya. Pijatanku terus pelan-pelan saja. “Yang sabar ya ning,” kataku.
“Iya mas, sudah sabar total ini. Kalau gak sabar, bisa tambah hancur kehidupanku,” ucapnya, kesal, sambil menikmati pijatanku.
“Malam ini gak mau booking cowok lagi ning, gak apa-apa kok, aku gak akan cerita ke siapapun. Mumpung di luar kota. Haha,” godaku.
“Gak ah. Kan sudah ada Mas Azka di sini, sapa tahu Mas Azka mau. Haha,” ucap Ning Sabila, antara bercanda atau serius, aku jadi kaget dan bingung mendengarnya.
“Ha? gak-gak, jangan aku, mending booking cowok lain aja. Haha,” kataku.
Aku jadi canggung. Sebenarnya aku sudah sangat bernafsu ada di belakang tubuh menggoda Ning Sabila. Bisa saja langsung kusergap tubuhnya saat ini.
Ditambah dengan candaan dia barusan, sepertinya Ning Sabila butuh sentuhan laki-laki. Dia pasti tak akan menolak jika aku melakukannya.
“Bener mau nih mas, mumpung sama-sama jauh dari keluarga. Haha,” godanya lagi.
Aku tambah tergoda. Penisku perlahan jadi tegang. Tanganku kini berubah, dari memijat jadi seperti membelai pundaknya.
“Ah,” suara dari mulut Ning Sabila, seperti mendesah mendapat sentuhanku.
“Jangan ning, jangan melakukan itu. Aku takut,” jawabku. Aku berusaha berpikir positif. Aku masih teringat Kyai Nawawi. Tak mungkin aku menggauli anaknya ini. Meskipun Ning Sabila sudah membuka peluang dan aku juga sudah sangat bernafsu.
“Beneran, gak mau ya Mas? Haha,” katanya.
Aku terus memijatnya. “Sudah ya ning, semoga Ning Sabila besok tetap sehat, karena ada dua acara yang padat,” kataku.
“Iya mas, terimakasih ya. Gak mau tidur di sini? Haha.” godanya lagi.
Pikiranku tambah berkecamuk dengan godaannya. Tapi beruntung aku masih punya pikiran jernih, meskipun sudah tidak tahan.
“Sudah ning, kalau lama-lama di sini, aku nanti tak bisa nolak lagi jadinya. Haha,” kataku.
Kulihat wajah Ning Sabila seperti kecewa dengan penolakanku. Dia berarti memang tidak berniat menjebakku, memang ingin dapat sentuhan dari laki-laki.
Aku pun kembali ke kamar Ustadzah Winda. ***
13970Please respect copyright.PENANAiYuAH7ezKd
Baca bab kelanjutanya, klik link di profil.
ns216.73.216.158da2