188Please respect copyright.PENANA3r1JoI6YGm
Malam menyelimuti rumah kecil Arman dan Zahra dengan keheningan yang pekat, hanya sesekali dipecah oleh suara jangkrik di kebun belakang. Di kamar tidur yang sederhana, lampu temaram dari lampu meja kayu menyisakan bayang-bayang lembut di dinding bercat putih pudar. Zahra terbaring di ranjang, tubuhnya diselimuti kain sprei bercorak bunga yang sudah mulai usang. Napasnya pelan, tapi matanya yang terpejam bergerak-gerak cepat di balik kelopak, seolah mengejar sesuatu dalam mimpi. Di sisinya, Arman tertidur dengan posisi miring, punggungnya membelakangi Zahra, mendengkur pelan.
Di alam mimpinya, Zahra berdiri di sebuah ruangan luas yang diterangi cahaya keemasan dari lampu gantung kristal. Dinding-dindingnya dipenuhi ukiran kaligrafi, ayat-ayat suci yang seolah bergerak mengikuti irama dzikir yang mengalun lembut di udara. Di tengah ruangan, Habib Albar duduk di atas kursi kayu berukir, mengenakan jubah putih yang mengalir hingga menyentuh lantai. Sorban hijau zamrud di kepalanya memantulkan cahaya, membuat wajahnya tampak bersinar seperti bulan di malam purnama. Matanya dalam, penuh kelembutan, tapi ada kilau yang membuat jantungan Zahra berdetak lebih cepat.
“Zahra,” suara Habib Albar lembut, nyaris seperti bisikan, namun menggema di ruangan itu. “Kau telah dipilih untuk melihat jalan yang lebih suci. Apakah kau siap?”
Zahra merasa tubuhnya ringan, seolah melayang. Gamis katunnya yang sederhana tiba-tiba terasa terlalu ketat, menempel di kulitnya yang mulai hangat. Ia ingin menjawab, tapi bibirnya hanya mampu menggumamkan doa yang tak jelas. Habib Albar bangkit dari kursinya, langkahnya pelan namun penuh wibawa, mendekati Zahra yang berdiri mematung. Jarak di antara mereka menyusut, dan Zahra bisa mencium aroma minyak kasturi yang memancar dari tubuh pria itu, bercampur dengan wangi kayu cendana yang entah dari mana asalnya.
“Jangan takut,” katanya, suaranya kini lebih dekat, mengalir seperti air yang membelai batu-batu kecil di sungai. “Ruhmu haus akan kebenaran, tapi tubuhmu… tubuhmu adalah kuil yang harus disucikan.”
Tangan Habib Albar terulur, jari-jarinya yang panjang dan ramping menyentuh pipi Zahra. Sentuhannya dingin namun membakar, membuat kulit Zahra merinding. Jembut halus di lengannya berdiri, dan napasnya tersengal. Dalam mimpi ini, ia tidak bisa mengelak, tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menatap mata Habib yang seolah menembus jiwanya, melihat setiap rahasia yang disembunyikannya, bahkan dari dirinya sendiri. Jari-jari itu meluncur perlahan dari pipi ke dagunya, lalu ke lehernya, berhenti di tulang selangka yang sedikit menonjol di bawah kulitnya yang halus.
“Ya Allah…” gumam Zahra dalam mimpinya, suaranya parau, penuh keraguan namun juga hasrat yang tak bisa ia tepis. “Ini salah… tapi kenapa terasa begitu… benar?”
Habib tersenyum tipis, bibirnya yang penuh melengkung dengan keanggunan yang memabukkan. “Tubuhmu adalah anugerah,” bisiknya, “dan aku adalah penutup dosa-dosamu.”
Tangan Habib kini merayap lebih rendah, menyentuh ujung payudara Zahra yang terasa tegang di bawah kain gamis yang tipis. Puting payudaranya mengeras, menekan kain dengan penuh protes, seolah menjerit untuk dibebaskan. Zahra menggigit bibir bawahnya, matanya terpejam rapat, namun tubuhnya justru condong ke arah Habib, seolah ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Jari-jari Habib menelusuri lekuk payudaranya dengan gerakan melingkar, lembut namun penuh niat, membuat Zahra tersengal. Napasnya kini berat, dadanya naik-turun dengan cepat, dan di antara pahanya, ia merasakan kehangatan yang tak pernah ia rasakan begitu kuat sebelumnya.
“Dzikir adalah pintu,” kata Habib, suaranya kini lebih dalam, hampir seperti nyanyian. “Dan tubuhmu adalah kunci.”
Tangan Habib meluncur lebih jauh, menyusuri perut Zahra yang rata, lalu berhenti di pinggulnya. Ia menarik tubuh Zahra lebih dekat, hingga dada mereka hampir bersentuhan. Zahra bisa merasakan panas tubuh pria itu, aroma kasturi yang kini bercampur dengan bau keringat yang samar namun memabukkan. Bibir Habib mendekat ke telinganya, menghembuskan napas hangat yang membuat bulu kuduk Zahra berdiri. “Laa ilaha illallah…” bisiknya, dan kata-kata itu seolah meresap ke dalam darah Zahra, membuat jantungannya berdegup kencang.
Tiba-tiba, Zahra tersentak dari mimpinya. Matanya terbuka lebar, napasnya tersengal, dan keringat membasahi dahi serta lehernya. Ia menoleh ke samping, melihat Arman yang masih mendengkur pelan, tak menyadari apa yang baru saja dialami istrinya dalam mimpi. Zahra menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi sensasi hangat di antara pahanya masih terasa nyata. Vaginanya terasa basah, dan ia merasa malu, berdosa, namun juga… terpikat.
Pagi itu, matahari baru saja muncul di ufuk timur ketika Zahra bangun lebih awal dari biasanya. Ia bergegas ke kamar mandi, mengguyur tubuhnya dengan air dingin, berharap bisa menghapus bayang-bayang mimpi itu. Tapi setiap kali ia menutup mata, wajah Habib Albar muncul kembali, bersama dengan sentuhan jari-jarinya yang seolah masih melekat di kulitnya. Ia menggosok tubuhnya lebih keras, seolah ingin menghapus dosa yang belum benar-benar ia lakukan.
Di meja makan, Arman menyapa dengan suara ceria seperti biasa. “Pagi, sayang. Semalam tidur nyenyak?”
Zahra tersenyum kecil, tapi matanya menghindari tatapan suaminya. “Iya, Mas. Cuma… agak capek, kayaknya.”
Arman mengangguk, tak curiga. “Makanya jangan kebanyakan ikut majelis. Istirahat juga penting.”
Zahra hanya mengangguk pelan, tangannya sibuk mengaduk teh di cangkirnya. Pikirannya melayang kembali ke mimpi itu, ke suara Habib yang lembut namun penuh kuasa, ke sentuhan yang membuat tubuhnya bergetar. Ia meneguk tehnya dengan cepat, berharap panasnya bisa mengalihkan perhatian dari gejolak di dalam dirinya.
Hari itu, Zahra kembali ke majelis taklim di rumah Bu Fatimah, tetangga mereka yang getol mengajaknya. Ruangan kecil itu penuh sesak dengan ibu-ibu berhijab, beberapa di antaranya mengenakan cadar. Aroma minyak wangi dan kopi instan bercampur di udara. Habib Albar duduk di depan, di atas tikar hijau yang disediakan khusus untuknya. Jubah putihnya tampak bersih sempurna, dan sorbannya kini berwarna biru tua, membuatnya tampak semakin karismatik.
“Assalamu’alaikum, umat yang dirahmati,” sapa Habib dengan suara yang lembut namun menggema. “Hari ini kita akan membahas tentang cinta sejati, cinta yang bukan hanya untuk dunia, tapi untuk akhirat.”
Zahra duduk di barisan kedua, matanya tak bisa lepas dari wajah Habib. Setiap gerakan pria itu, setiap senyum kecil yang ia lemparkan ke arah jamaah, membuat jantung Zahra berdetak lebih cepat. Ia mencoba fokus pada ceramah, tapi pikirannya kembali ke mimpi semalam. Ia membayangkan tangan Habib yang menyentuhnya, jari-jari yang meluncur di kulitnya, dan suara yang membisikkan ayat-ayat suci. Vaginanya kembali terasa hangat, dan ia menggeser posisi duduknya, mencoba menenangkan diri.
“Zahra,” panggil Bu Fatimah pelan dari samping. “Kamu kenapa? Kok wajahmu merah?”
Zahra tersentak, tersenyum canggung. “Oh, nggak apa-apa, Bu. Cuma agak gerah.”
Bu Fatimah mengangguk, tak curiga, lalu kembali fokus ke ceramah. Zahra menunduk, tangannya memainkan ujung jilbabnya. Ia merasa berdosa, tapi ada bagian dirinya yang tak ingin berhenti memikirkan Habib. Ia ingin mendengar suaranya lagi, ingin merasakan sentuhannya, meski hanya dalam mimpi.
Malam berikutnya, mimpi itu kembali hadir, kali ini lebih jelas, lebih intens. Zahra berdiri di tepi sebuah telaga, airnya jernih hingga memantulkan bintang-bintang di langit. Habib Albar muncul dari balik kabut tipis, jubahnya kini terbuka di bagian dada, memperlihatkan kulit yang halus dan sedikit berotot. Ia mendekati Zahra dengan langkah yang penuh percaya diri, matanya menatap lurus ke dalam jiwa wanita itu.
“Zahra,” bisiknya, suaranya seperti alunan harpa yang lembut. “Kau tak perlu takut. Aku di sini untuk membawamu lebih dekat kepada-Nya.”
Tangan Habib kembali menyentuh pipi Zahra, tapi kali ini ia tak berhenti di situ. Jari-jarinya meluncur ke leher, lalu ke dada, menelusuri lekuk payudaranya yang kini telanjang di bawah cahaya bulan. Puting payudaranya mengeras saat jari Habib menyentuhnya, mengelilinginya dengan gerakan lembut namun penuh tekanan. Zahra menggigit bibir, tubuhnya gemetar, tapi ia tak bisa menolak. Ia tak ingin menolak.
Habib menarik tubuh Zahra ke tanah yang dipenuhi rumput lembut, menelentangkannya dengan penuh kelembutan. Ia membuka kancing gamis Zahra satu per satu, memperlihatkan kulitnya yang pucat dan lembut. Jembut halus di antara pahanya terlihat samar di bawah cahaya bulan, dan Habib menatapnya dengan penuh kagum, seolah melihat karya seni. Jari-jarinya menyentuh bibir vagina Zahra, lembut namun penuh niat, membuat wanita itu mengerang pelan.
“Ya Allah… ini salah…” gumam Zahra, tapi suaranya melemah, tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang melanda tubuhnya.
Habib tak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya tersenyum, lalu menunduk untuk mencium perut Zahra, lidahnya menari-nari di kulitnya yang hangat. Ia bergerak lebih rendah, napasnya menghembus lembut di antara paha Zahra, membuat wanita itu menggeliat. Bibir Habib akhirnya menyentuh vagina Zahra, lidahnya menjelajahi setiap lipatan dengan penuh kesabaran, seolah melakukan ritual suci. Zahra memejamkan mata, tangannya mencengkeram rumput di sampingnya, desahannya bercampur dengan bisikan doa yang tak jelas.
Habib bangkit, menempatkan tubuhnya di atas Zahra tanpa menekan terlalu kuat. Penisnya, yang kini terlihat keras dan menonjol di bawah jubah yang tersingkap, menyentuh paha Zahra, membuat wanita itu tersentak. Ia memandang Habib dengan mata penuh keraguan, tapi juga hasrat yang tak bisa disembunyikan. Habib memasukkan dirinya perlahan, gerakannya teratur seperti dzikir, setiap dorongan disertai bisikan ayat yang lembut. Zahra menggigit bibir, tubuhnya melengkung menyambut setiap gerakan, payudaranya bergoyang pelan di bawah tubuh Habib.
“Laa ilaha illallah…” bisik Habib di telinga Zahra, dan kata-kata itu seolah menjadi mantra yang membuat Zahra kehilangan kendali. Vaginanya mengepul, membungkus penis Habib dengan kehangatan yang memabukkan, dan klimaks datang seperti gelombang yang menghantam pantai. Zahra mengerang pelan, tubuhnya gemetar, dan air mata mengalir di pipinya—bukan karena dosa, tapi karena perasaan yang tak bisa ia jelaskan.
Zahra tersentak dari mimpinya untuk kedua kalinya, kali ini dengan napas yang lebih tersengal dan tubuh yang basah oleh keringat. Ia menoleh ke samping, memastikan Arman masih tertidur. Jantungannya berdetak kencang, dan ia merasa bersalah, namun ada bagian dirinya yang merindukan mimpi itu kembali. Ia bangkit pelan, berjalan ke kamar mandi, dan menatap wajahnya di cermin. Matanya penuh keraguan, tapi juga kilau yang tak pernah ada sebelumnya.
“Ya Tuhan…” gumamnya pelan, “Ampuni aku… atau izinkan aku tenggelam dalam ini.”
Hari-hari berikutnya, Zahra semakin sering menghadiri majelis taklim. Ia duduk lebih dekat ke depan, mencuri pandang ke arah Habib Albar setiap kali ia berbicara. Suara pria itu, gerakannya, bahkan aroma kasturi yang samar-samar tercium saat ia lewat, membuat Zahra merasa hidup kembali. Namun, di sisi lain, ia mulai menjaga jarak dari Arman. Sentuhannya terasa asing, ciumannya terasa hambar. Setiap malam, ia berdoa agar Tuhan mengampuni dosa-dosa dalam mimpinya, tapi di lubuk hatinya, ia tahu ia tak ingin mimpi itu berhenti.
Arman, di sisi lain, mulai merasakan ada yang salah. Zahra tak lagi tersenyum seperti dulu, tak lagi menggenggam tangannya saat mereka berjalan bersama. Ia ingin bertanya, tapi setiap kali melihat wajah Zahra yang penuh ketenangan setelah pulang dari majelis, ia ragu. “Mungkin ini cuma fase,” pikirnya, mencoba meyakinkan diri sendiri. Tapi di dalam dadanya, ada kekosongan yang mulai menggerogoti, seperti rumah kecil mereka yang kini terasa semakin sepi, meski doa-doa masih bergema di dinding-dindingnya.
188Please respect copyright.PENANANHyCaUsJ2T