
******13Please respect copyright.PENANA49rpsgrhOF
Bab 3 :
Jatuh Cinta Padanya13Please respect copyright.PENANAbIrDX2rsG0
******
13Please respect copyright.PENANARqUDlwlWok
JOSH membuka pintu studionya. Cahaya matahari masuk melalui jendela studio yang tertutupi oleh gorden berwarna putih, membuat studio itu cukup terang meskipun lampunya mati. Tadi, saat Alvin dan Kei pamit untuk pulang, Josh telah mematikan seluruh lampu downlight dan menutup pintu studionya. Ia pikir, siang ini ia takkan masuk ke studio lagi karena ingin beristirahat.
Akan tetapi, kata-kata Kei tadi mendadak terngiang-ngiang di telinganya.
Josh melangkah masuk ke studio itu, lalu menutup pintunya kembali. Ia berjalan dengan pelan, melangkahkan kakinya seraya melihat ke sekeliling ruangan. Maksudnya, ke seluruh karyanya. Hingga kemudian, mata Josh sampai kepada sebuah foto, yaitu foto berbingkai yang dipajang di area dinding dekat pintu. Foto yang tadi diulas oleh Kei.
Foto Windy.
Josh pun mendekati foto itu. Ia berjalan seraya menarik sebuah kursi, lalu meletakkan kursi tersebut di depan foto yang dimaksud. Di antara kesunyian studio itu, Josh mulai duduk di kursi yang ia bawa dan memperhatikan foto itu dengan lekat.
Di foto itu, Windy sedang memakai dress yang berwarna putih. Foto itu diambil dari dekat sehingga hanya menampakkan bagian kepala hingga pinggang Windy, tetapi Josh ingat bahwa dress itu memang hanya selutut dan berlengan pendek.
Windy sedang tertawa bahagia di foto itu. Ia melakukan gerakan memutar, membuat dress-nya mengembang dan ikut berputar bersamanya. Rambut hitamnya juga ikut berputar dan sedikit tertiup angin. Di belakangnya ada pemandangan berupa rumput hijau yang luas.
Dia, Windy Alisha, terlihat sungguh indah di foto itu. So soft, so warm, so dreamy…
13Please respect copyright.PENANACvQFTfKwNB
‘Kok aku ngerasa kalo…dari foto ini perempuan itu keliatan…jauh?’
13Please respect copyright.PENANAkxUHPGJdoe
Tiba-tiba, kata-kata Kei tadi terngiang-ngiang di telinga Josh.
Jauh…?
Benarkah?
Rasanya…seperti ada sebuah jarum yang pelan-pelan menusuk jantung Josh. Perlahan-lahan pula, ada setitik rasa sakit yang muncul…dan akhirnya titik-titik itu menyebar. Rasa sakit itu membuat jantungnya berdegup sedikit lebih kencang, mengirim satu sinyal yang memelesat langsung ke otaknya.
13Please respect copyright.PENANAfbTZI3vmI4
Apa aku…salah?
Nggak. Nggak. Nggak mungkin.
Tapi…kenapa pas denger kata-kata itu…badanku refleks ngerespons?
13Please respect copyright.PENANAZ2KIKdXnfj
Sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba Josh tersentak. Ponselnya berbunyi singkat, pertanda ada sebuah notifikasi yang masuk. Ia langsung merogoh saku celana jeans-nya dan mengambil ponsel itu. Ternyata, itu adalah notifikasi dari aplikasi WhatsApp; ada sebuah chat yang baru saja dikirim oleh Alvin. Josh pun langsung membuka chat itu.
13Please respect copyright.PENANATMoXmrsZfV
Alvin
Josh, nomor lo udah gue kasih ke Kei, ya. Biar lebih gampang aja buat komunikasinya.
BTW, ini nomor Kei. Save aja, Josh.
Attachment: 1 contact
13Please respect copyright.PENANAMjOml2HEHg
Josh langsung membuka attachment itu. Ada sebuah kontak yang Alvin beri nama ‘Keisha Nathalie’ di sana. Tanpa pikir panjang, Josh pun langsung membuka profil Kei, lalu melihat display picture-nya.
Di foto itu, Kei memakai sebuah crop top tanpa lengan yang berwarna hijau. Ia juga memakai pareo skirt berwarna sama yang dililitkan di pinggang sebelah kirinya. Ia bersandar pada railing dan kedua sikunya pun bertumpu di railing itu. Kepalanya mendongak; ia tampak sangat menikmati udara di sekitarnya.
Apakah foto itu diambil saat Kei sedang berkunjung ke pantai? Hm… Ke Bali, misalnya?
Kei cantik sekali. Kulit wajah dan tubuhnya sangat sehat, mulus, glowing, dan eksotis. Di foto itu, Kei sepertinya tidak memakai makeup. Rambutnya juga hanya dijedai. Omong-omong, karena memakai pareo skirt, kaki jenjangnya itu jadi terlihat hingga ke paha, apalagi dia juga berpose dengan sedikit memajukan kakinya.
Bagaimanapun juga, Kei sangat cantik. Sesuai ekspektasi, dia memang merupakan seorang model.
Josh tersenyum. Pria itu akhirnya menghela napas. Pikiran tentang Windy—yang tadi sempat mengganggunya itu—tiba-tiba hilang; dia bersyukur Alvin memberikannya sebuah distraksi di saat yang tepat karena jika tidak begitu, mungkin kepalanya akan sakit minta ampun. Dia sangat mencintai Windy, jadi pikiran-pikiran seperti itu tentu akan sangat menghancurkan hatinya.
13Please respect copyright.PENANAjiey24FfW8
Udah, nggak apa-apa. Nggak usah mikir terlalu jauh.
Selama ini juga baik-baik aja kok.
13Please respect copyright.PENANAy4P0kt0Im1
Josh mulai menyimpan nomor Kei di ponselnya. Pria itu memberi nama kontak yang simpel berupa ‘Kei’, lalu membuka kembali chat dari Alvin.
13Please respect copyright.PENANAgd993ZMAxW
Josh Andriano
Ok, bro. Thanks, ya
13Please respect copyright.PENANAUyq0xGmqMx
Alvin
Okee
13Please respect copyright.PENANAydDRs9EZu9
Josh pun kembali memandangi foto Windy yang ada di hadapannya. Melihat foto itu dengan lekat begini…membuat pikirannya jadi melayang ke masa lalu. Ke masa-masa…di mana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Windy. Masa-masa yang sangat indah, masa-masa remaja yang melambungkan kisah cinta di sekolah…meskipun sebenarnya Windy tidak tahu dengan perasaannya saat itu. Namun, tetap saja, hati Josh berbunga-bunga saat memikirkan masa-masa itu kembali. Jantungnya berdebar-debar.
Masa di mana semua kisah cintanya dimulai.
Masa SMA.
13Please respect copyright.PENANAiUFzlbyYT6
******
13Please respect copyright.PENANA2sCXp9uzMW
KOTA JAKARTA
BEBERAPA TAHUN YANG LALU
13Please respect copyright.PENANABileaZKTAk
“Josh! Lo denger nggak?!” teriak Alvin, cowok itu memukul bahu Josh yang sejak tadi tak kunjung mendengar ucapannya. Josh sibuk memandang ke depan, matanya nyaris tak berkedip, tak tahu sedang memandangi apa. Hal itu membuat Alvin jadi keki setengah mati. Sial, rasanya Alvin sudah berbicara panjang lebar sejak tadi, membicarakan Rafael yang sibuk meneleponnya tadi malam karena ingin menyalin tugas Bahasa Indonesia. Well, kalau PR mereka saat itu adalah menyelesaikan soal-soal di buku, sih, tidak apa-apa. Ini mereka disuruh membuat puisi, bro! Puisi yang Alvin buat hanyalah puisi cinta murahan yang dia copy dari Google, tetapi dia ganti judulnya jadi ‘Ibu’ supaya tidak malu. Makanya, Rafael itu mau nyalin apa coba?
Namun, percuma saja. Bukannya mendengarkan keluhannya, Josh malah terus menatap ke depan. Akhirnya, karena kekesalannya mulai menjadi-jadi, dia pun memukul bahu Josh dengan kencang. Josh tersentak; dia kaget bukan main.
Josh lantas menoleh kepada Alvin; mata cowok itu kontan melebar. “Apaan, sih, Vin?!”
“Dari tadi gue udah ngomong sama lo, woy,” jawab Alvin dengan ekspresi datar. “Lo ngeliatin apa, sih?”
Josh mendengkus. Cowok itu lalu menunjuk ke depan sana (ke arah murid-murid yang duduk di depan, tetapi berbeda barisan dengan mereka) dengan dagunya.
“Itu,” jawab Josh. Cowok itu mulai senyum-senyum sendiri. Alvin kontan mengernyitkan dahi.
“Siapa? Yang mana?” tanya Alvin. Cowok itu memanjangkan leher dan memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan hanya untuk melihat apa yang Josh tunjukkan barusan. “Banyak orang di sana, Bro. Nggak cuma satu.”
Josh tertawa kecil. “Itu. Si Windy.”
Alvin pun memperhatikan Windy yang duduk di kursi paling depan bersama teman sebangkunya. Windy dan teman sebangkunya itu terlihat sedang bercanda sambil tertawa; mereka sepertinya tengah membicarakan sesuatu yang sangat menarik.
Bagi Josh, pemandangan itu indah sekali. Windy tertawa riang seperti itu…di bawah sinar mentari yang menyinarinya pagi ini. Sinar mentari yang masuk melalui jendela kelas seolah-olah berkumpul hanya untuk menerangi sosoknya, membuatnya terlihat begitu indah. Seperti bidadari yang sedang tertawa. Rambut hitamnya yang digerai, wajah cantiknya…
Semuanya sempurna.
Namun, berbeda dengan Josh, tatkala Alvin melihat sosok Windy di depan sana, Alvin spontan memutar bola matanya. Cowok itu berdecak. “Windy lagi…Windy lagi. Sampe bosen gue dengernya. Terserah lo dah.”
Kini, gantian Josh yang berdecak. Cowok itu langsung menoleh kepada Alvin dan berkata, “Vin, Windy itu baik, lho. Kok lo kayak nggak suka banget, sih, sama dia? Heran gue.”
Malas menjawab (karena tak ingin bertengkar dengan Josh), Alvin pun akhirnya mengalihkan pandangannya dan mengedikkan bahu. Dia mulai mengeluarkan buku cetaknya karena sebentar lagi bel akan berbunyi. “Entahlah. Males aja gue.”
Akhirnya, Josh pun mendengkus. Dia memilih untuk kembali memandangi Windy; dia terjebak pada kecantikan Windy lagi, lalu tersenyum lembut.
Namun, beberapa detik kemudian, seisi kelas itu tiba-tiba dikejutkan oleh satu teriakan kasar. Ada suara mengerikan seorang laki-laki yang agaknya berteriak di depan kelas mereka.
“WOY, KELUAR LO SEKARANG!!!”
Seisi kelas itu—termasuk Josh dan Alvin—spontan menoleh ke asal suara. Ternyata, suara itu berasal dari ambang pintu kelas mereka. Di ambang pintu itu, berdiri beberapa kakak kelas laki-laki yang berbadan tinggi dan besar. Ekspresi wajah mereka tampak bengis dan mata mereka nyalang;mereka terlihat murka. Sepertinya, mereka sudah siap untuk menyiksa habis seseorang yang sedang mereka cari di kelas itu.
Namun, anehnya…
…tatapan mata mereka semua tertuju kepada Josh.
“LO YANG NAMANYA JOSH, ‘KAN?! SINI LO, IKUT SAMA GUE SEKARANG!! SIALAN LO!” teriak salah satu dari kakak kelas itu, seseorang yang berdiri paling depan. Dia adalah Gio, salah satu murid Kelas XII jurusan IPS di sekolah itu.
Mendengar teriakan itu, kontan saja mata Josh dan Alvin membulat. Seisi kelas pun langsung menoleh kepada Josh karena kaget sekaligus heran. Mereka semua memikirkan hal yang sama, yaitu: ‘Ada apaan, nih? Si Josh kenapa? Mampus, mana lawannya Kak Gio lagi!’
Sementara itu, dahi Josh berkerut. Bukan anak-anak kelas saja yang heran, dia pun heran bukan main! Mengapa dia tiba-tiba dicari?! Dia ada salah apa?! Rasanya dia tak pernah mencari masalah dengan orang!
Meskipun sangat heran (sampai kerutan di dahinya terlihat kentara), Josh pelan-pelan mulai berdiri. Melihat itu, Alvin jelas terperanjat—tubuhnya tegang—dan dia berkata, “W—Woy, Josh!”
Josh tidak menghiraukan Alvin dan mulai berjalan ke depan kelas. Alvin spontan mengumpat dan mengacak rambutnya dengan frustrasi. Ujung-ujungnya, Alvin jadi ikut berdiri dan langsung mengejar Josh. Mereka berdua pergi mendekati para kakak kelas itu.
Pada akhirnya, Josh dan Alvin berhadapan dengan mereka—kakak-kakak kelas itu—di koridor. Suasana langsung riuh; teman-teman sekelasnya jadi mengintip melalui jendela.
Alvin hanya bisa membatin, ‘Sial! Apaan, sih, ini?! Pagi-pagi udah mau ngajak ribut aja!’
Josh menatap Kak Gio dengan lekat. Rambut ikal Kak Gio terlihat berantakan pagi itu, mungkin karena sangat marah dan frustrasi.
“Sekarang lo jawab gue,” ujar Gio dengan tajam. Mata cowok itu memelototi Josh; dari nada suaranya, terlihat sekali bahwa dia sedang menahan emosinya. “Lo ada apa sama Kayla?”
Alvin lagi-lagi membatin, ‘Ha? Kayla siapa coba?’
“Kayla?” tanya Josh, alisnya menyatu. “Kayla mana?”
Tiba-tiba saja, Gio berteriak, “CEWEK GUE, BANGSAT!”
Josh, yang benar-benar tak paham, mulai menggeleng. “Maksudnya ap—”
Kata-kata Josh terputus karena Gio tiba-tiba meninjunya. Tinju itu mengenai pipi dan rahang Josh—bunyi debak-debuknya sangat keras—dan tak tanggung-tanggung, Josh sampai hampir tersungkur.
“WOY!” teriak Alvin kepada Gio, matanya langsung melebar melihat Josh ditinju begitu saja. “APA-APAAN, SIH, LO? CEWEK LO YANG MANA AJA DIA NGGAK KENAL!!”
Josh pelan-pelan berdiri tegak meskipun sempat oleng. Dia pun kembali menatap Gio, tetapi kali ini tatapannya begitu tajam. “Maaf, Kak, gue beneran nggak tau Kayla itu siapa.”
“BACOT LO, TAI!” teriak Gio lagi. “NGAPAIN CEWEK GUE TERUS-TERUSAN NGEBAHAS SOAL LO KALO KALIAN NGGAK SALING KENAL?!”
Josh lagi-lagi menyatukan alis; cowok itu lantas memiringkan kepalanya. “Ngebahas gue? Kak, gue nggak kenal sama cewek lo. Mungkin, Josh yang dia maksud itu bukan gue.”
“Nggak usah sok cool lo, bangsat!!!” bentak Gio. “Lo Josh Andriano, ‘kan? XI IPA 2, Josh Andriano. SIAPA LAGI KALO BUKAN LO, ANJING?!”
Mata Josh membulat. Hah? Ini sebenarnya omong kosong macam apa, sih? Mengapa dia tiba-tiba dituduh begini? Ini tak masuk akal!
“Dia bilang, dia ketemu sama lo pas hang out bareng temennya di TIM. Lo motoin mereka, ‘kan? Dia mutusin gue gara-gara dia suka sama lo sejak saat itu, bangsat!! NGAPAIN LO GODAIN CEWEK ORANG, HAH?!”
Sebentar. TIM?
Mata Josh dan Alvin sama-sama melebar; mereka baru ingat sesuatu. Beberapa hari yang lalu, mereka memang jalan-jalan ke TIM dan kebetulan bertemu dengan gengnya Kak Tyas, kenalan Alvin. Karena kebetulan bertemu di sana, mereka pun ngobrol-ngobrol sebentar, lalu foto bersama. Mereka tidak sampai berkenalan dengan semua temannya Kak Tyas karena ngobrolnya tidak terlalu lama juga.
Jangan-jangan…Kayla adalah…salah satu temannya Kak Tyas waktu itu?
Ah, sial. Mengapa jadi begini, sih? Itu, kan, cuma kebetulan yang tidak berarti! Mengapa mendadak jadi menimbulkan masalah yang besar begini?! Apakah Josh waktu itu pernah memperlakukan seseorang dari geng Kak Tyas dengan istimewa? Rasanya tidak, deh!
Josh pun mencoba untuk berbicara dengan kepala dingin. Dia mulai menghadapi Gio dengan lebih serius; dia sudah mengerti situasinya. “Kak, tolong tenang dulu. Oke, gue dan Alvin waktu itu emang jalan ke TIM dan kita ketemu gengnya Kak Tyas. Tapi kita nggak kepikiran buat kenalan ke semua temennya Kak Tyas karena ketemunya juga nggak lama. Kita cuma sempet foto bareng. Udah, gitu aja. Makanya, gue bahkan nggak tau yang mana yang namanya Kayla. Gue nggak ada nggodain mereka sama sekali.”
Alvin mulai emosi. “Kalo didenger-denger, kayaknya cewek lo sendiri yang tiba-tiba suka sama Josh, Kak. Kok lo malah marahin Josh?! Sana yang naksir kok sini yang dimarahin.”
“DIEM LO! JADI, LO NUDUH CEWEK GUE?! GUE YAKIN PASTI LO YANG NGGODAIN DIA! MATI LO, SIALAN!” bentak Gio; cowok itu langsung berjalan cepat mendekati Josh. Teman-temannya juga ikut mendekati Josh dan Alvin, langsung bersiap untuk mengeroyok dua orang itu habis-habisan. Teriakan mereka menggema di koridor itu, pukulan nyaris saja dilayangkan, tetapi tiba-tiba saja…
…ada seorang cewek yang berteriak kencang. Sangat kencang.
“BERHENTI!!!!!!”
Semua orang yang ada di koridor itu spontan menoleh ke asal suara. Ke ambang pintu kelas.
Betapa terkejutnya Josh ketika melihat bahwa cewek yang sedang berteriak itu adalah…
13Please respect copyright.PENANAEohzRVpy2G
…Windy.
13Please respect copyright.PENANAg0GSwdniNO
Mata Josh melebar sempurna. Dilihatnya Windy yang langsung bergerak menengahi perkelahian itu; Windy berjalan ke tengah-tengah—di antara Josh dan Gio—lalu menghadap ke arah Gio seraya merentangkan tangannya. Dia mengadang Gio (beserta teman-temannya) agar tidak mengeroyok Josh dan Alvin.
Windy memelototi Gio seraya berteriak, “KALIAN SEMUA NGGAK PUNYA OTAK, YA?! INI DI KORIDOR!! BENTAR LAGI BEL JUGA BAKAL BUNYI!! KALO DIPERGOKIN GURU, GIMANA?! DILIAT-LIAT JUGA KAYAKNYA KAKAK-KAKAK INI CUMA ASAL NUDUH DOANG! KALIAN INI BEGO ATAU GIMANA, SIH?!”
Josh tercengang. Cowok itu menatap Windy dengan kagum. Sungguh, dia tak menyangka bahwa Windy akan ikut campur untuk membelanya.
Iya, benar.
Windy, gadis yang dia cintai, kini tengah berdiri di depannya untuk melindunginya.
Alhasil, dia langsung menganggap bahwa Windy adalah malaikat penyelamatnya. Bidadari yang turun dari surga hanya untuknya.
Dunia Josh Andriano seakan-akan terhenti. Degupan jantungnya pun…terasa begitu kencang.
13Please respect copyright.PENANA0xWdPhxVLR
Ah. Dia semakin jatuh cinta…
13Please respect copyright.PENANAjeOwe3rNtz
“Jangan ikut campur lo.” Gio memperingati Windy seraya menunjuk wajah cewek itu dengan jari telunjuknya. “Cewek kayak lo gampang aja gue habisin sekarang.”
“JAGA OMONGAN LO!!!” teriak Josh, dia langsung marah ketika mendengar Gio berbicara seperti itu kepada Windy. Kalau saja Alvin tidak menghentikannya, mungkin Josh sudah maju ke depan dan memukul wajah Gio. Hal itu akan memicu kekacauan yang besar, tentunya.
Namun, Windy agaknya tak takut sama sekali.
“Gue nggak ikut campur,” jawab Windy. “Gue wakil ketua kelas. Ketua kelas kami nggak dateng hari ini. Gue nggak bisa ngebiarin ini gitu aja. Pergi sekarang atau gue teriak kenceng-kenceng biar Bu Guru cepet dateng!!!”
“DIEM—”
“NAH!!! Panjang umur!! Ada guru yang dateng!!!” teriak Windy tiba-tiba, membuat Gio dan teman-temannya kontan membulatkan mata mereka. Windy pun berjinjit, melihat guru yang ada di depan sana (di belakang kakak-kakak kelas itu), dan lanjut berteriak, “BU!! INI, BU!!! ADA YANG MAU NGE-BULLY ANAK KELAS KAMI!! ADA YANG MAU NGEROYOK ANAK KELAS KAMI!!!!”
Semua orang jelas langsung membalikkan badan, melihat sang guru yang Windy maksud. Mereka semua pun melihat Bu Endang, guru yang paling killer di sekolah, sedang menuju ke arah mereka semua dengan mata yang memelotot. Bu Endang berjalan dengan sangat cepat; dia membawa sebuah penggaris kayu panjang. Jujur saja, dia terlihat seperti seekor banteng besar yang sedang mengamuk.
“HOI!!! NGAPAIN KALIAN BIKIN RIBUT DI SEKOLAH PAGI-PAGI GINI, HAH?! MASUK KE KELAS SEKARANG ATAU IBU SURUH KALIAN SEMUA BERDIRI DI LAPANGAN!! MASUK!!!”
Teriakan Bu Endang—yang berbadan gemuk dan berkacamata itu—hampir saja memecahkan gendang telinga mereka semua. Alvin sampai refleks menutup telinganya. Sementara itu, Gio dan teman-temannya langsung berlari terbirit-birit meninggalkan koridor itu karena Bu Endang sudah bersiap untuk memukul mereka satu per satu. Namun, sebelum Gio berlari, cowok itu sempat memelototi Josh, lalu berkata dengan tajam, “Lo tunggu, ya. Masalah kita belum selesai!”
Akhirnya, semua kakak kelas itu berlari kencang demi menghindari Bu Endang meskipun beberapa dari mereka masih sempat terkena pukulan Bu Endang di bagian betis mereka. Mereka betul-betul dihajar habis-habisan!
Di sisi lain, setelah melihat semua kekacauan itu, Josh pun mulai menatap Windy yang tengah membelakanginya. Beruntungnya, Windy juga…berbalik untuk menghadap ke arah Josh.
Windy tersenyum manis kepada Josh. Kedua mata cewek itu nyaris tertutup seakan-akan ikut tersenyum. Di pagi Senin yang cerah itu, dengan indahnya…Windy berdiri di depan Josh, bertatapan dengan Josh, lalu tersenyum kepada Josh.
Hanya untuk Josh.
Mata Josh melebar.
Waktu seolah-olah terhenti. Rasanya seperti berada di dalam mimpi yang begitu indah. Seperti memandang sesuatu yang sangat ia kagumi. Sesuatu yang membuatnya benar-benar jatuh cinta.
Dia semakin merasakan getaran itu.
Seolah-olah…ada banyak simbol hati berwarna pink yangbeterbangan di udara. Ah, rasanya, Josh bahagia sekali.
Ditambah lagi, pada suasana yang mendebarkan itu, Windy tiba-tiba berkata, “Yuk, masuk ke kelas. Lain kali, hindarin aja Kak Gio itu.”
Setelah mengatakan itu, Windy pun berjalan masuk ke kelas. Meninggalkan Josh yang tengah tercengang di koridor; mata Josh melebar, mulut Josh sedikit terbuka, dan tubuh Josh mematung di tempat. Josh hanya bisa mengangguk dengan kaku sambil memperhatikan Windy yang masuk ke kelas.
Alvin memperhatikan semua kejadian itu. Alvin pun menghela napas, lalu menepuk pundah Josh dan berkata, “Yok. Jangan berdiri di sini.”
Akhirnya, Josh pun menoleh kepada Alvin dan kembali mengangguk meskipun ‘kesadarannya’ masih belum benar-benar terkumpul. Alvin merangkulnya masuk ke kelas, tetapi pikiran Josh saat itu mulai melayang ke mana-mana.
13Please respect copyright.PENANA43BY0xdViS
Ah, gue suka. Gue suka dia.
Gue suka banget…sama Windy Alisha.
13Please respect copyright.PENANAgyK5vAAdi8
******
13Please respect copyright.PENANAfvyrMeRR17
Josh meletakkan kembali ponsel itu di dalam sakunya. Dia pun berdiri, lalu meletakkan kursi—yang tadi dia duduki—itu kembali ke tempatnya. Merasa hatinya sudah tenang, Josh pun berjalan ke luar. Namun, sebelum mencapai pintu studionya, Josh sempat melihat foto Windy sekali lagi.
Memperhatikan Windy di sana…yang seakan-akan tengah tersenyum kepadanya.
Josh pun ikut tersenyum. Rasa cinta yang tertanam di hatinya sukses membuatnya lega. Sukses membuat seluruh kegelisahannya hilang begitu saja.
Josh akhirnya mulai berjalan kembali. Setelah sampai di luar, dia lantas menutup pintu studio yang ada di belakangnya.
13Please respect copyright.PENANAIK9aXIcOk3
Win, aku sayang banget sama kamu. Aku rasa, aku nggak bakal bisa jatuh cinta sama orang lain selain kamu. Kamu adalah hidupku, Win. []
13Please respect copyright.PENANAfnq3wot3mx