
Flashback Kisahku
1070Please respect copyright.PENANA2IOvNI2mS3
Semuanya bermula dari masa SMA, ketika aku mulai menyadari bahwa hidup tak pernah benar-benar berpihak padaku.
1070Please respect copyright.PENANAzhnsvdVAD2
Aku bukan gadis populer, bukan yang pintar bicara atau senang tampil. Aku duduk di deretan tengah kelas, cukup pintar untuk tidak diremehkan, cukup pendiam untuk dilupakan. Seperti udara di pagi hari yang tidak dingin, tidak hangat. Aku hadir, tapi tak ada yang mencatat keberadaanku. Aku selalu pakai kerudung rapi, seragam bersih, sepatu hitam yang selalu sempat disemir malam sebelumnya. Perawakanku adalah perempuan Jawa dengan rambutku panjang berwarna gelap, tak banyak yang pernah melihatnya. Kulitku sawo matang dengan tinggi 167 centimeter, tubuh ramping dengan lekuk pinggang kecil dan dada berukuran 34B yang tersembunyi di balik pakaian sekolah. Pandanganku sering dikira sendu. Padahal, aku hanya sering menahan banyak hal. Semua tampak biasa saja, tapi di dalam hatiku, aku selalu merasa ingin kabur. Dari rumah, dari sekolah, dari hidup yang seperti tak pernah berniat menenangkanku.
1070Please respect copyright.PENANAthvN9hH6xa
Ibuku keras, bapakku dingin. Kami tidak miskin, tapi juga tidak bahagia. Rumah kami sunyi, dipenuhi suara yang tak pernah benar-benar saling berbicara. Suara ibu yang cerewet tentang piring yang belum dicuci setiap pagi atau sore, suaranya melengking menuntut kesempurnaan dan kepatuhan. Suara bapak yang menggerutu pada berita politik di televisi setiap malam, asap rokoknya mengisi ruang tamu, bersama gumaman yang tak pernah ditujukan padaku, hanya pada layar kaca yang menyorot masalah dunia.
Tapi tak ada suara yang benar-benar menyapa jiwaku. Tak pernah ada pelukan yang menenangkan ketika bahuku pegal atau pikiranku kusut. Tak pernah ada “Kamu capek?” atau “Mau cerita?” ketika aku pulang sekolah dengan bahu melorot, beban tas dan beban pikiran sama beratnya.
1070Please respect copyright.PENANAp8Od33PIMp
Pagi hari selalu dimulai dengan suara panci yang dibanting atau teriakan ibu karena sesuatu yang tidak sesuai keinginannya. Malam ditutup dengan suara TV bapak yang keras sambil diam-diam merokok di ruang tamu, dan aku di kamar, sendirian, dengan buku pelajaran yang tak sanggup kubuka, lebih memilih menatap langit-langit. Aku tak pernah merasa dilihat, tidak benar-benar dianggap keberadaannya.
1070Please respect copyright.PENANAvO4uuCBQTi
Kelas dua SMA, aku mulai sering ke perpustakaan. Alasanku sederhana, itu satu-satunya tempat di sekolah yang tenang. Bau buku lama dan keheningan yang sesekali dipecah oleh suara halaman dibalik adalah satu-satunya penenang yang kumiliki. Ruangan itu terasa seperti pelukan hangat yang tak pernah kudapatkan di rumah. Di sanalah aku bertemu Damar. Satu angkatan, beda kelas, dia di kelas IPA, aku di IPS.
1070Please respect copyright.PENANAq9oUtJojrO
Dia anak ekskul fotografi, suka menyendiri juga, selalu membawa kamera analog tua yang lensanya tergores. Tapi dia punya senyum yang ganjil, seolah tahu caranya tertawa pelan agar dunia tak sempat mencibir atau menghakimi.
1070Please respect copyright.PENANAxErXa8yZeq
“Kamu sering baca ini ya?” tanyanya suatu sore, saat aku memegang novel Pramoedya Bumi Manusia.
1070Please respect copyright.PENANApIaQJJIl1n
Dia tidak menyapa dengan basa-basi umum anak SMA, tidak menanyakan nama atau kelas. Hanya pertanyaan to the point. Aku hanya mengangguk, awalnya aku ragu membalas, aku terbiasa menjaga jarak dari orang lain, membangun benteng tak terlihat di sekelilingku. Tapi Damar tidak mengintimidasi, dia duduk di sebelahku, tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh. Cukup untuk membuat napasku terasa lebih ringan, seperti udara yang tiba-tiba segar.
1070Please respect copyright.PENANA08CXQYRMMo
“Kamu suka Pram?” ulangnya, suaranya tenang, seperti aliran sungai kecil yang jernih, tanpa riak.
Aku mendongak pelan, menatap matanya yang berwarna cokelat gelap, “Iya.” hanya kata itu saja yang mampu kuucapkan.
Dia tersenyum tipis, “Keras, ya?” lalu senyuman itu kembali mengembang di sudut bibirnya,
“Kadang,” jawabku. “Tapi jujur.” Aku suka kejujuran dalam tulisan Pram, seperti aku mendambakan kejujuran dalam hidup.
1070Please respect copyright.PENANAJYFhQlU6TV
Dia tidak berkata lagi, hanya mengangguk, lalu mengeluarkan buku sketsa dan pensil dari tas kanvasnya yang usang. Dia mulai menggambar. Sesekali melirikku, seolah menangkap ekspresi wajahku yang sedang asyik membaca.
Gerakannya pelan, tak mengusik. Sejak hari itu, dia selalu duduk di dekatku. Jika aku datang duluan, dia akan mencari bangku di sudut yang sama, persis di seberang mejaku. Jika dia duluan, dia akan meninggalkan bangku kosong di sebelahnya, seolah itu sudah jadi tempatku yang tak bisa digantikan. Kebiasaan kecil itu, tanpa kata, membuatku merasa spesial.
1070Please respect copyright.PENANAhYmc3FFZBF
Beberapa hari kemudian, dia menyodorkan satu buku ke arahku. Bukan novel, tapi buku fotografi. Sampulnya hitam-putih, tebal, penuh potret senyap. Kursi kosong di tengah lapangan sekolah yang basah, bayangan jendela yang jatuh di lantai koridor yang panjang, perempuan berdiri sendiri di halte yang dingin.
1070Please respect copyright.PENANAdgm7qtZurD
“Aku suka yang begini,” katanya dengan suaranya rendah, nyaris berbisik. “Sepi, tapi bilang banyak.” Aku membolak-balik halaman.
Jantungku berdesir. Foto-foto itu persis seperti perasaanku. Sunyi, tapi penuh cerita yang tak terucapkan. Setiap gambar seolah memantulkan bayanganku sendiri yang sering merasa sendiri di tengah keramaian.
“Kamu juga kayak gitu, ya?” tanyaku, memberanikan diri untuk bertanya hal yang sedikit personal. Dia tertawa pelan, suara tawanya hanya seperti embusan napas. “Kamu juga.” Kata-katanya bukan tuduhan, tapi pengakuan.
1070Please respect copyright.PENANA3uZ74m99v7
Kami mulai sering duduk berdampingan. Saling membaca buku masing-masing dalam diam, tapi lama-lama, diam itu terasa seperti percakapan paling dalam yang pernah kutahu. Tidak perlu kata-kata. Kehadiran saja sudah cukup.
Obrolan demi obrolan mulai terjalin, lambat laun, seperti benang yang dirajut perlahan. Tentang pelajaran yang membosankan, Kimia yang rumit, Sejarah yang menghafal tanggal. Tentang guru yang galak, Bu Siti yang selalu melotot kalau kami tidak hafal semua materi. Tentang cita-cita kami, dia ingin jadi fotografer jurnalistik, mengabadikan kebenaran lewat lensa, aku ingin jadi penulis, menuangkan keheningan menjadi kata-kata.
1070Please respect copyright.PENANAQyPr3rO60S
“Tumben kamu nggak di ekskul?” tanyaku suatu siang, melihatnya duduk di perpustakaan, padahal biasanya jam segini dia sudah di lapangan memotret. “Lagi nggak mood motret orang yang memberikan senyum palsu,” jawabnya santai, matanya menatap ke luar jendela.
“Mending motret awan.” ucapnya yang kujawab tertawa kecil, tawa yang jarang sekali keluar dariku. “Awan emang nggak pernah senyum palsu, ya.” tanyaku sambil tetap memperhatikannya.
“Dia cuma mau hujan atau cerah,” kata Damar, membalas senyumku. “Jujur.”
1070Please respect copyright.PENANAGqMcG2KeLi
Kadang kami berbagi headset, mendengarkan musik yang sama. Damar memutar band-band indie yang tak pernah kudengar, liriknya melankolis tapi penyampaiannya menyentuh hati. Rata-rata menceritakan patah hati dan kesendirian. Terkadang, dia juga suka memotretku diam-diam, saat aku tidak sadar. Jepretan kamera analognya tak bersuara, hanya klik halus yang nyaris tak terdengar. Lalu saat aku menyadari, dia hanya tersenyum.
1070Please respect copyright.PENANAGsfyECLRak
“Ekspresi kamu jujur kalau lagi bengong,” katanya. Awalnya aku kesal, merasa privasiku dilanggar. Tapi lama-lama aku terbiasa. Foto-foto itu, meskipun diambil tanpa izin, adalah satu-satunya bukti bahwa ada yang melihatku di tengah keramaian. Bukan hanya sebagai perempuan dengan hijabnya, bukan hanya sebagai murid sekolahan dengan seragamnya, benar-benar melihatku, seorang Arum.
1070Please respect copyright.PENANAZ0s4kpi0XI
Kadang kami keluar makan setelah sekolah. Mie ayam dekat gang kecil di belakang gerbang sekolah, warung kecil yang sering sepi. Atau minum es teh di warung dekat lapangan voli. Obrolan yang terlalu terbuka, terlalu dalam untuk anak SMA.
“Aku pengen keluar dari rumah,” kataku suatu sore, saat kami duduk di warung bakso langganan. Kuah baksonya mengepul, tapi hatiku dingin. Dia menoleh, “Kenapa?”
“Capek, di rumah kayak... harus kuat terus. Nggak boleh salah.. nggak boleh lemah. Aku merasa kayak... boneka yang harus sempurna, tapi nggak pernah bisa.” Dia menatapku lama, tatapan yang membuatku merasa telanjang, tapi bukan karena malu.
1070Please respect copyright.PENANAilvBrzjmD5
Telanjang karena semua isi hatiku seperti terlihat jelas olehnya.
1070Please respect copyright.PENANAJuxgRVEiXi
“Kamu nggak harus kuat, Arum.” Itu kalimat paling lembut yang pernah kuterima selama SMA. Kalimat yang membuatku merasa, boleh jadi diriku sendiri. Boleh rapuh, boleh lelah, boleh merasa sedih tanpa alasan.
1070Please respect copyright.PENANAdm2WYMxAnz
Lama-lama, kami makin dekat. Kami sering pergi makan bakso atau minum es teh. Dia akan menungguiku sampai aku selesai les tambahan di sore hari, meskipun itu berarti dia harus menunggu lama di gerbang sekolah. Kadang dia akan membantuku mengerjakan tugas matematika yang sulit, menjelaskan dengan sabar sampai aku mengerti, tanpa pernah meremehkan kepintaranku. Tidak ada genggaman tangan, tidak ada pelukan di depan umum. Kami adalah "sahabat dekat" di mata teman-teman sekolah, meskipun tak ada yang benar-benar peduli. Tapi aku tahu dia mulai menyukaiku dan aku mulai membiarkannya.
1070Please respect copyright.PENANAdgb3PIRdsG
***
1070Please respect copyright.PENANAX6b67bqHy8
Suatu hari, di lorong kelas yang sepi setelah jam pelajaran terakhir, Damar berjalan di sampingku, langkah kami seirama. Aroma hujan bercampur tanah basah menyelimuti udara.
1070Please respect copyright.PENANAabB3CqMcwf
“Arum,” katanya, suaranya sedikit lebih berat dari biasanya, membuat bulu kudukku meremang. “Aku suka kamu.” Aku terdiam.
Tangan kutaruh di balik rok seragam, mencengkeram kainnya, berusaha menenangkan detak jantungku yang tak karuan. “Aku nggak tahu harus bilang apa,” gumamku, nyaris berbisik.
1070Please respect copyright.PENANAUdUCJ2taiX
Rasanya semua kata tercekat di tenggorokan. Dia menunggu, tidak mendesak. Hanya menatapku, lama. Tatapannya menembus topeng ketenangan yang selalu kukenakan.
“Aku... belum pernah pacaran,” tambahku lirih, pipiku terasa panas, menyadari betapa bodohnya pengakuan itu. “Nggak apa-apa,” katanya, dengan senyum tipis.
1070Please respect copyright.PENANAUojDTbk3tr
“Nggak usah buru-buru dijawab, aku akan tunggu.” Dan dia benar-benar menunggu. Dia tidak mendesakku untuk segera jadi pacarnya. Hanya terus ada, terus menemaniku, terus membuatku merasa dilihat, dan bagiku, itu sudah lebih dari cukup.
1070Please respect copyright.PENANAmmuA11SSka
Hubungan kami berlanjut dalam kesederhanaan. Kami menjadi sepasang rahasia. Kami akan menyelinap bertemu di perpustakaan yang sepi, di kantin belakang sekolah yang jarang siswa, atau di sudut-sudut lorong yang tak terjamah pengawasan guru. Aku mulai menunggu pesan darinya setiap malam, menanti kalimat-kalimat singkat yang selalu berhasil menenangkan pikiranku.
1070Please respect copyright.PENANAYLEhKCDe8e
Damar: “Hari ini kamu ngerjain tugas sejarah sampai mana?”
Arum: “Bab 3. Susah banget ngafalinnya.”
Damar: “Kamu bisa. Tapi kalau capek, istirahat dulu. Jangan dipaksain.”
1070Please respect copyright.PENANArjftNIo9sZ
Pesan sesederhana itu, atau ajakan "Mau makan mie ayam?" sudah cukup untuk mewarnai hariku. Dia menjadi semacam jangkar, tempatku berlabuh saat badai di rumah atau di sekolah terlalu kuat. Dia akan meminjamkan bahunya saat aku lelah dengan ceramah ibu, atau saat aku merasa tertekan oleh nilai sekolah yang tak sesuai harapan. Dia adalah tempat pelarianku. Dan aku, mungkin, adalah tempat pelariannya juga dari kamera dan tuntutan ekskulnya.
Suatu sore, aku mengajaknya ke rumah. Ibu dan bapak pergi ke luar kota untuk urusan keluarga, meninggalkan rumah kosong dan sunyi. Udara siang terasa lengket dan panas, menusuk kulit. Aku tidak berniat melakukan apa-apa, aku hanya ingin ada yang duduk bersamaku. Di ruang tamu, di sofa usang itu, tempat bapak biasa menghisap rokoknya sendirian, tempat aku sering meringkuk membaca buku.
1070Please respect copyright.PENANARW7xscWi0n
Damar datang membawa minuman dingin, dua botol es teh manis favoritku. Dia basah kuyup karena hujan deras yang tiba-tiba turun di perjalanan. Aku memberinya kaus bapakku yang sudah kekecilan, berwarna abu-abu pudar. Dia mengganti bajunya di kamar mandi, lalu keluar dengan kaus longgar itu yang membuat lengannya terlihat kurus, tapi bahunya tegap. Kami duduk di sofa, menonton TV, tapi tak ada satu pun dari kami yang benar-benar fokus pada layar. Suara hujan memukul jendela, menciptakan ritme yang aneh, seolah mengiringi detak jantungku yang semakin cepat.
1070Please respect copyright.PENANAosf5kv3veu
Diam-diam tanganku meraih tangannya yang ada di sampingku, terasa dingin, namun aku tetap menggenggamnya erat. Dia membalas genggamanku, lalu dia menoleh, tatapan matanya dalam, penuh pertanyaan dan sedikit keraguan.
Dia tidak bertanya, tapi matanya bicara. Menunggu izin, menunggu sinyal.
1070Please respect copyright.PENANAhcc5q6yP2E
“Aku nggak pernah…” bisikku, suaraku nyaris tak terdengar. Dia mengangguk, matanya melembut. “Aku tahu.”
“Kalau kita… kamu bakal tetap lihat aku sama, nggak?” aku menatap matanya, mencari jawaban. Mencari jaminan bahwa aku tidak akan rusak di matanya, tidak akan jadi barang bekas seperti kata orang-orang.
Dia tersenyum tipis, lembut sekali. “Arum, aku nggak pengin kamu berubah. Aku cuma pengen kamu jujur sama dirimu sendiri. Aku di sini untuk itu.” Aku diam, menelan ludah. Sebuah keyakinan aneh merasuki diriku.
1070Please respect copyright.PENANAj7OobFvnC3
Aku pun mengangguk pelan.
1070Please respect copyright.PENANAG6yml6UBPn
Dia mendekat, mencium keningku, lama. Lalu hidungku, lalu bibirku. Ciuman pertama kami pelan, tapi dalam. Bibirnya lembut, terasa sedikit dingin karena hujan. Tangannya mengelus punggungku, naik ke leher, lalu membelai rambutku di balik kerudung, menyingkapnya perlahan.
1070Please respect copyright.PENANAm78YHR5G5W
Nafasku mulai berat, paru-paruku terasa sesak. Ketika tangannya masuk ke balik kausku, aku gemetar, tapi tidak menolak. Tangannya hangat, lembut, menyentuh dadaku perlahan, membelai kulitku yang sensitif. Gerakannya perlahan, tidak terburu-buru.
1070Please respect copyright.PENANAOtUGGjaJbp
“Boleh?” bisiknya, suaranya serak, napasnya memburu di telingaku. Aku menutup mata, dan mengangguk.
1070Please respect copyright.PENANAKNXnIcxrqP
Tangannya kembali membelai lembut dadaku, membuat jantungku berdetak semakin lebih cepat dari sebelumnya. Aku menggigil, bukan karena takut, tapi karena ada sesuatu di dalam diriku yang selama ini terkunci dan Damar perlahan-lahan membukanya.
Dia menatapku saat membuka kausku. Aku biarkan. Bra putihku masih menutup dada, tapi dia tidak langsung melepasnya. Dia hanya menatapku, seolah ingin menghafalkan bentuk tubuhku dengan matanya sebelum menyentuh lebih jauh.
1070Please respect copyright.PENANAHG3ySuyAV8
“Cantik,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar di antara rintik hujan. Aku tak pernah merasa cantik sebelumnya. Tapi saat itu, di hadapannya, aku mempercayainya.
1070Please respect copyright.PENANAk3HZV4aOau
Dia mencium leherku, turun ke tulang selangka, lalu ke bahu. Tangannya membuka bra-ku, dan payudaraku pun terekspos untuk pertama kalinya di hadapan lelaki. Aku menahan napas saat dia menyentuhnya, lalu mencium pelan bagian tengahnya, lalu lidahnya menjilat lembut putingku. Aku terisak kecil. Bukan karena sakit, tapi karena aku merasa... benar-benar dilihat, disentuh, dihargai. Tubuhku mulai panas, darahku berdesir, mengisi setiap pembuluh.
1070Please respect copyright.PENANANaRfIuWx7Y
Damar turun, membuka celana pendekku perlahan. Aku merasa malu, tapi juga ingin. Ingin tahu, ingin merasakan.
“Kalau kamu nggak mau, kita bisa berhenti sekarang juga,” katanya, suaranya berat, matanya menatapku lekat, mencari kepastian. Aku menggeleng. “Aku mau.”
1070Please respect copyright.PENANAyKd4DMf89Z
Dia membuka celananya sendiri, dan untuk pertama kalinya aku melihat bentuk itu. Penisnya tidak besar, tapi keras dan jelas siap memasukiku. Ada rasa takut, tapi aku juga tidak ingin mundur.
Dia membuka kondom dari saku belakang celananya. Kukira kami akan gegabah karna ini akan menjadi persetubuhan pertama kami, tapi dia ternyata sudah mempersiapkan. Mungkin dia juga sudah menunggu hal seperti ini, bersamaku. Tangannya memegang pinggangku, mengangkat sedikit tubuhku agar posisinya pas di atasnya.
1070Please respect copyright.PENANAPZmq1z4wvC
Saat tubuhnya mulai menindihku, aku meremas bantal sofa dengan erat. Kuku-kukuku menancap di kain. Tubuh kami bersentuhan penuh. Kuraskan tubuhku menghangat dan ada yang basah dibawah sana.
1070Please respect copyright.PENANALLmxgcunJs
“Aku masukin pelan-pelan, ya,” bisiknya, keningnya menyentuh keningku. Dan dia mulai masukkan penisnya.
1070Please respect copyright.PENANAylhQ9JMGdF
Sakit, perih seperti ada sobekan kecil yang dalam. Aku meringis, menahan napas. “Aaahh… mmm… sakit…” Tapi dia mencium pipiku. Mengusap rambutku yang sudah lepas dari kerudung.
“Atur napas pelan-pelan. Nanti juga enak.” Beberapa hentakan pertama membuat tubuhku tegang, otot-ototku menolak, seluruh tubuhku terasa kaku. Tapi pelan-pelan rasa sakit itu bergeser menjadi sesuatu yang aneh... geli... hangat... dan di antara semua itu, aku merasa hidup.
1070Please respect copyright.PENANAIf31Lmwwbh
Dia bergerak pelan, lalu ritmis, mendorong lebih dalam, menembus batasan. Ciuman kami makin dalam bertukar lidah. Nafas kami saling bertubrukan, panas dan terengah-engah.
1070Please respect copyright.PENANAykgbwunJjM
Desahanku pelan, “Mmmph… ahhh… Damar… ya Tuhan… ini…”
Setiap dorongan, setiap sentuhan, terasa seperti membebaskan sesuatu dalam diriku. Sebuah beban yang selama ini kupikul sendiri. “Enak… ah… terus…” aku menikmati ini.
1070Please respect copyright.PENANAJUEzdqcXz9
Saat dia mencapai klimaks, tubuhnya menegang. Dia mengejan tertahan, lalu memelukku erat, menyandarkan kepalanya di bahuku yang basah keringat. Kami terdiam, tak ada suara, hanya suara napas kami berdua yang masih tersisa, memburu di udara yang lembap. Aroma tubuh kami bercampur dengan bau hujan dan kayu sofa. Aku merasa kosong dan penuh sekaligus. Seperti ada bagian dari diriku yang hilang... tapi juga muncul yang baru.
1070Please respect copyright.PENANA0m43wSAIOq
Kami tidak bicara lama setelah itu. Damar menarik selimut tipis dari sandaran sofa, menutupi tubuhku yang telanjang. Lalu dia duduk di sampingku, tangannya masih melingkar di pinggangku. Nafasnya belum sepenuhnya teratur. Matanya menatap langit-langit, sementara aku menatapnya, mencari arti dari semua ini. Dalam diam, aku merasa... pecah. Bukan karena menyesal. Tapi karena sebuah dunia baru telah terbuka, dan aku tak tahu apakah aku siap untuk memasukinya.
1070Please respect copyright.PENANAA5iye7FeBk
“Kamu nyesel?” tanyaku akhirnya, suaraku serak, hampir tak terdengar. Dia menoleh, tatapannya tegas, “Nggak,” jawabnya cepat, matanya jujur.
“Kamu?” Aku menggeleng. “Aku cuma... kosong.” Dia mengangguk, mengerti. Seolah dia tahu persis apa yang kurasakan. Bahwa kekosongan ini bukan hanya efek fisik, tapi juga kekosongan yang selalu ada di dalam jiwaku.
“Arum, kamu kuat. Tapi kamu juga boleh rapuh, tahu?” Aku tidak menjawab. Tapi saat dia memelukku lagi, tubuhku bergetar.
1070Please respect copyright.PENANAHiptQDCl8p
Mungkin karena efek hormon yang masih mengalir di tubuh. Mungkin karena pelukan itu adalah satu-satunya bentuk kasih yang pernah terasa nyata di hidupku, jauh lebih hangat daripada semua pelukan pura-pura di rumah.
1070Please respect copyright.PENANAVOsBNlqIpX
Hari-hari setelah itu berjalan dengan pelan tapi berubah. Kami melakukannya lagi. Bukan karena kami gila seks, tapi karena saat tubuhku bersamanya, aku merasa... seimbang. Ada yang dipenuhi. Ada ruang kosong di dalamku yang terisi perlahan.
Selalu saat rumah kosong, selalu dengan pelan, dengan rasa takut tertangkap. Tapi juga selalu dengan pelukan dan kecupan panjang setelahnya. Aku mulai meminta dia untuk menginap saat orang tuaku ke luar kota. Dia akan membawa bekal makanan ringan, laptop, dan kami akan tidur di sofa, kadang dengan pakaian lengkap, kadang hanya selimut. Tapi selalu ada sentuhan. Selalu ada rasa aman yang tak pernah kudapatkan di rumah.
1070Please respect copyright.PENANAWEhidObS4I
Aku mulai menyadari sesuatu, seks bukan hanya soal orgasme atau tubuh. Seks buatku adalah jalan untuk bisa merasa ‘ada.’ Dilihat, disentuh dengan jujur. Di rumah yang penuh bentakan, di dunia yang penuh tuntutan, tubuhku jadi satu-satunya hal yang bisa kuberikan tanpa harus bicara. Tanpa harus menjelaskan segalanya. Itu adalah bahasaku, cara aku berkomunikasi dengan dunia yang tak pernah mau mendengarku.
1070Please respect copyright.PENANAUWzspfZ8V9
Hubungan kami terus berlangsung berapa bulan lamanya, kami adalah dua jiwa yang menemukan kenyamanan, menemukan rasa cinta. Hingga suatu hari, aku melihat Damar jalan dengan perempuan lain. Gadis dari kelas sebelah, namanya Lia.
Cewek yang suka ikut lomba debat, yang suaranya lantang, yang rambutnya sering dibiarkan keluar dari kerudung, bukan karena lupa, tapi karena dia memang berani. Lia yang selalu jadi pusat perhatian. Mereka tertawa lepas, Damar memegang tas Lia sambil berjalan. Aku tidak berani menyapa. Hatiku terluka, seolah ada yang menarik paksa benang yang selama ini mengikatku padanya.
1070Please respect copyright.PENANANqR3k4G6JW
Beberapa malam setelahnya, Damar mengirimiku pesan, "Arum, besok aku nggak bisa ke perpus. Ada latihan ekskul." Aku hanya membalas, "Oke." Aku tahu, aku tahu dia mulai menjauh. Aku tahu arti "Latihan ekskul" itu bukan lagi tentang fotografi.
Perlahan, Damar berubah. Dia jadi lebih sibuk dengan ekskulnya, dengan teman-teman barunya, dengan Lia. Pesan darinya makin jarang, telepon darinya tak lagi ada. Senyumnya di sekolah, yang dulu hanya untukku, kini dibagi dengan banyak orang. Aku tak pernah tanya, tapi aku tahu, Damar mulai menjauh, tanpa benar-benar pamit, tanpa penjelasan.
1070Please respect copyright.PENANA1z3xzhMcTH
Dan saat itu aku belajar, saat kamu sudah telanjang di hadapan seseorang, bukan berarti kamu akan dipilih. Kadang kamu cuma jadi tempat singgah, pelarian. Kadang tubuhmu hanya diingat, tapi jiwamu dilupakan, dibiarkan sendiri di tengah puing-puing kekosongan.
Aku tidak menangis waktu itu. Tapi aku mulai menarik diri, dari orang-orang, dari percakapan, dari perasaan. Aku kembali menjadi Arum yang pendiam di bangku tengah dan hidup kembali seperti semula.
1070Please respect copyright.PENANAkBFieSkczC
Sunyi, sibuk sendiri.
Malam itu, di kamar mandi yang gelap, aku muntah sampai perutku kosong, rasanya seperti mengeluarkan semua yang pernah Damar sentuh dariku.
1070Please respect copyright.PENANAyV3ptfEROJ
Air mataku bercampur dengan air dari kran yang kubuka penuh. Aku menggosok kulitku sampai merah, berusaha menghilangkan bau Damar yang sepertinya masih menempel di kulitku, di rambutku, di setiap pori-pori yang pernah dia sentuh.
1070Please respect copyright.PENANAHUv1Ix8r7S
Aku ingin menghapus jejaknya.
Tapi rasanya... sia-sia. Jejak itu sudah terlalu dalam, sudah terlalu jauh membentuk diriku.
ns216.73.216.24da2