Herman berjalan tergesa menyusuri selasar kantor dinas pekerjaan umum, wajahnya merah padam menandakan sebuah kemarahan. Tak berselang lama pria tegap itu sudah berada di depan ruangan Surapto, staff ahli kantor dinas pekerjaan umum yang bertanggung jawab terhadap kontrak kerjasama dengan beberapa kontraktor swasta. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu Herman langsung membuka pintu ruangan itu dengan kasar. Surapto yang masih duduk di depan komputer seketika kaget saat melihat kehadiran Herman dengan menunujukkan kemarahan, sesuatu yang sudah dia prediksi beberapa hari lalu saat Anton datang menemuinya.
"Apa-apaan ini?!" Hardik Herman sambil melemparkan beberapa berkas ke atas meja kerja Surapto.
"Saya sudah mengikuti tender resmi kok tiba-tiba di cancel begitu saja?! Anda jangan main-main dengan Saya !" Ucap Herman kemudian, wajahnya semakin merah padam, tak ayal membuat Surapto semakin gugup.
"Pak Herman tenang dulu, Saya bisa jelaskan semuanya." Kata Surapto mencoba menenangkan amarah Herman yang sudah memuncak.
"Bapak tau sudah berapa banyak uang yang Saya keluarkan untuk masa persiapan proyek-proyek ini? Ratusan juta Pak! Belum lagi beberapa orang lapangan yang sudah Saya siapkan untuk mengerjakan proyek-proyek ini, kalau ini tiba-tiba dibatalkan bisa-bisa Saya dihajar orang banyak! Bunuh diri ini namanya!"
Herman tampak begitu putus asa, bagaimana tidak, setelah beberapa bulan berjuang melawan ketatnya persaingan dengan puluhan kontraktor lain untuk mendapatkan tender pengerjaan proyek renovasi sekolah dari Pemerintah Daerah, tiba-tiba tanpa sebab yang jelas kemarin siang dia mendapatkan sebuah surat pembatalan tender. Bukan hanya akan merugikan secara materi jika hal ini sampai terjadi, tapi juga nama baiknya akan tercoreng, dan tentu saja itu akan membuat bisnis kontraktor Herman akan gulung tikar dengan sendirinya.
"Saya hanya melaksanakan perintah Pak." Ucap Surapto lemah, pria paruh baya inipun tau jika apa yang telah dilakukannya beberapa hari lalu sulit untuk bisa dimaafkan oleh Herman.
"Perintah? Apa maksudnya ini?!"
"Iya Pak, Bupati Rauf yang ingin membatalkan tender proyek yang melibatkan perusahaan Pak Herman. Saya tidak bisa menolak hal itu karena Saya hanya seorang bawahan." Herman cukup kaget, dia tak menyangka jika ancaman Anton beberapa hari lalu benar-benar dilakukan. Kegeramannya terhadap Surapto memang belum mereda tapi dia juga sadar jika amarahnya akan sia-sia jika terus dia luapkan pada seseorang yang hanya bertugas sebagai staff pemerintahan.
"Saya tidak mau tau ! Pokoknya Bapak harus membereskan masalah ini, jika sampai besok Saya dan pekerja Saya tidak bisa mengerjakan proyek itu, jangan salahkan Saya jika ini akan berlanjut di kantor Polisi !" Ancam Herman.
"Tolong mengerti posisi Saya Pak Herman, Saya ini hanya seorang bawahan yang melakukan perintah pimpinan. Saya tidak memiliki kekuasaan seperti itu. Atau begini saja, setelah ini Saya akan menghubungi Mas Anton, biar beliau yang membereskannya untuk Bapak." Ucap Surapto mencoba memberikan jalan keluar .
"Saya tidak mau tau bagaimana cara Bapak menyelesaikan masalah ini, yang pasti Saya ingin besok proyek-proyek itu segera berjalan sesuai dengan apa yang telah ditenderkan !" Herman kemudian keluar dari ruang kerja Surapto, masih dengan amarah, meninggalakan Surapto yang kebingungan menghadapi permasalahan ini.
***
"Brengsek!"
Umpat Herman sambil membanting pintu mobilnya, kemarahannya belum mereda sedari tadi akibat ulah Bupati Rauf yang membatalkan secara sepihak kontrak tender proyek pengerjaan renovasi sekolah. Saat melangkah menuju ruang kantornya Herman dikejutkan oleh kehadiran Anton yang sudah berada di depan ruang kerjanya. Herman menatap tajam mata orang kepercayaan Bupati Rauf tersebut, sebaliknya Anton hanya tersenyum tipis.
"Apa maumu ?!" Ucap Herman emosi.
"Bisa kita bicara di dalam saja Pak?" Kata Anton tenang, beberapa karyawan di perusahaan kontraktor tersebut memang tengah melihat ekspresi kemarahan Herman, Anton mencoba sedikit meredamnya agar tidak menjadi bahan pembicaraan nantinya.
"Okey!" Herman kemudian membuka pintu ruang kerjanya, Anton mengekor dibelakangnya.
"Oke, sekarang jelaskan kepadaku kenapa kontrak-kontrak tenderku secara ajaib tidak berlaku lagi !" Herman seperti tidak ingin membuang lagi waktunya untuk segera mendapat jawaban dari Anton.
"Bupati hanya ingin permasalahn yang melibatkan antara Raka dengan puteri Bapak bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Saya pikir ini jalan paling mudah agar kesulitan Pak Herman segera teratasi." Ucap Anton dingin, orang kepercayaan Bupati Rauf ini nyaris tanpa ekspresi.
"Oh, jadi ini karena masalah itu?! Kau bilang ke Bupati Rauf, anaknya perlu diberi pelajaran agar tidak kurang ajar lagi! Sampai matipun Aku tidak akan mencabut laporan ini! Kalau perlu Aku besok akan menyebarkannya kepada wartawan, ini pasti akan menjadi berita besar ! Ingat, Bupati Rauf akan mengikuti Pilkada lagi kan? Apa jadinya jika masyarakat tau jika putera semata wayangnya ternyata cacat moral?!" Herman merasa dirinya sedang di atas angin, argumen dari Anton disanggahnya dengan sebuah ancaman serius.
"Saya harap Bapak mau berpikir jernih. Saya dengar istri Bapak senang sekali dengan senam Yoga di daerah selatan kota, itu daerah yang berbahaya." Balas Anton sambil tersenyum tipis. Herman terdiam, emosinya kembalinya memuncak, tanpa diduga pria tegap itu langsung mendorong tubuh Anton ke belakang, cukup keras hingga membuat tubuh Anton menghantam dinding kantor.
BRUUUKKK!
Belum sempat Anton bangkit, Herman sudah berada di atas tubuhnya sambil mencengkram kerah bajunya. Tatapan tajam Herman menyasar pada mata Anton, seperti singa yang siap menerkam mangsanya hidup-hidup.
"Brengsek! Berani-beraninya Kau datang ke sini dan mengancam keselamatan keluargaku?! Anjing!" Herman bersiap menghujamkan pukulannya pada tubuh Anton.
"Bukan hanya istrimu, tapi juga Karin. Kau pikir Bupati Rauf akan diam saja jika Raka tidak segera keluar dari penjara? Pikirkan keselamatan keluargamu." Kata Anton masih dengan sikap tenang, nyaris tanpa rasa takut. Justru Herman yang sekarang limbung, perlahan dia melepaskan cengkraman tanganya, kemudian mundur ke belakang. Anton bangkit sambil merapikan pakaian kerjanya.
"Kalau Kau ingin ini semua berakhir baik, segera cabut laporanmu. Tidak ada yang akan tersakiti, tidak akan ada yang menyentuh Marcella dan Karin. Dan tentu saja, semua proyek-proyek itu akan segera bisa Kau kerjakan, bahkan Bupati Rauf juga akan menambah jatah proyek lain." Ucap Anton tenang, Herman berpikir keras untuk bisa memecahkan masalah ini, orang yang dihadapinya adalah orang yang memiliki kekuasaan lebih. Herman tidak mungkin membiarkan orang lain mencelakai keluarganya, terlebih Karin. Keselamatan keluarganya adalah yang nomor satu.
***
"Nggak! Aku nggak setuju!" Teriak Karin, Herman dan Mamanya kaget dengan reaksi yang diberikan oleh gadis cantik itu.
"Karin, dengerin Mama dulu." Marcella mencoba menenangkan emosi anak gadisnya itu.
"Nggak Ma! Apa Mama lupa kalau Aku akan diperkosa oleh Raka? Apa Mama lupa?! Sekarang kalian malah ingin membebaskan Raka ! Apa kalian sudah gila?!" Karin begitu marah hingga tanpa dia sadari air matanya sudah menggenang membasahi pipinya.
"Cukup Karin! Papa melakukan ini untuk kita!" Kata Marcella tak kalah emosi, Herman yang duduk di sampingnya berusaha menahan tangan istrinya itu agar tidak bertindak terlalu jauh, apalagi sampai berusaha bersikap kasar terhadap Karin.
"Udah Ma, udah." Ucap Herman kalem. Pria gagah itu menyadari hal ini akan terjadi saat dia menceritakan niatnya untuk meminta Karin agar mencabut laporan kepolisian terhadap kasus Raka. Hal ini harus dia lakukan agar keselamatan Marcella dan Karin tetap terjaga.
"Untuk kita? Nggak Ma! Dia melakukan ini karena ingin bisnisnya tetap berjalan, dia menjual kita Ma!"
PLAK!
Marcella sepertinya sudah tidak tahan dengan amarah Karin, wanita cantik itu menampar pipi Karin, tidak keras tapi cukup membuat Karin untuk terdiam.
"Cukup Karin! Kau tidak tau apa yang sudah Papa lakukan untuk keluarga kita ! Dia memintamu untuk mencabut laporan karena Bupati Rauf mengancam untuk melukai Mama dan kamu ! Tidak sepantasnya Kamu berkata seperti itu kepada Papamu !" Herman berusaha menenangkan amarah Marcella dan mengajaknya kembali duduk. Karin terdiam beberapa saat kemudian dia pergi menuju kamarnya tanpa mengucap satu katapun, meninggalkan Marcella dan Herman.
"Udah Ma, biarin Karin menenangkan diri dulu, Kamu juga nggak seharusnya menamparnya, Karin pantas untuk marah kepadaku." Ucap Herman.
"Dia udah keterlaluan Pa."
"Karin pantas marah terhadapku Ma, aku gagal menjadi ayah yang baik, gagal memberikan perlindungan terhadapnya."
"Nggak Pa, kamu adalah ayah dan suami yang baik, kamu orang yang tepat memimpin keluarga ini."
"Iya, Papa mengerti, tapi jangan sampai Kau menamparnya, itu akan sangat melukai perasaannya."
"Maafkan Aku Pa, Aku nggak bisa mengontrol emosiku sendiri."
Marcella menangis, kemudian menghamburkan tubuhnya dalam pelukan Herman. Pria itu mencoba meredakan tangis istrinya, memeluknya dengan hangat. Pikiranya kembali melalang buana, mengulang momen saat Anton memberikan ancaman terhadapnya tadi siang, Herman tidak ingin ancaman tersebut benar-benar dilakukan oleh Bupati Rauf.
"Lebih baik sekarang Kau tidur dulu Ma, istirahat biar emosimu mereda. Aku akan bicara dengan Karin terlebih dahulu, mungkin dia sudah tenang sekarang." Kata herman beberapa saat kemudian, Marcella menatap wajah suaminya itu, rautnya terlihat khawatir.
"Apa Kau yakin Pa? Nanti kalau Karin marah-marah lagi gimana?"
"I'ts okay Ma, aku bisa mengatasinya." Jawab Herman sebelum mengecup lembut bibir Marcella. Herman kemudian berjalan menuju kamar Karin.
TOK..
TOK..
TOK..
"Karin, buka nak, Papa mau bicara." Tidak ada jawaban, Herman kembali mengetuk pintu kamar Karin untuk kedua kalinya, tapi hasilnya sama, tidak ada jawaban dari dalam. Herman akhirnya berinisiatif membuka pintu kamar Karin. Tidak terkunci, tapi Karin tidak ada di sana.
"Karin...?" Herman kemudian mencoba membuka kamar mandi yang terletak ujung ruang kamar, tidak ada jawaban tapi pintu terkunci dari dalam. Rasa khawatir membuncah dalam dada Herman.
"Karin! Karin!"
Herman mengencangkan suaranya, masih tidak ada jawaban. Herman kemudian mencoba membuka paksa kamar mandi itu, sekuat tenaga dia berusaha sampai akhirnya pintu itu terbuka. Herman benar-benar terkejut saat melihat di dalam kamar mandi, Karin sudah tak sadarkan diri, tubuhnya jatuh terlentang di atas lantai, dari mulut gadis itu terlihat busa pekat menggumpal.
"Karin! Karin! Kamu kenapa nak! Karin!!" Herman berusaha menyadarkan Karin dengan menggoncang-goncangkan tubuh Karin, tapi tidak ada reaksi, Karin tak sadarkan diri. Panik dan bingung, Herman bingung dengan apa yang harus dia lakukan.
"Karin!!!!" Marcella muncul, beberapa detik kemudian teriakan histeris terdengar.
ns216.73.216.116da2