TENG378Please respect copyright.PENANAAJl3QvtOnn
378Please respect copyright.PENANAg46kA5vrX9
TENG378Please respect copyright.PENANA0vcf3a6O0D
378Please respect copyright.PENANA5Sik2RchuF
TENG
Dentang lonceng tua nan berdebu kala jarum jam menunjuk angka 12.378Please respect copyright.PENANAU5JZEdcbjq
378Please respect copyright.PENANAugPSDMlMr0
Tahun baru tiba. Meja emas di antara dua orang yang satu berambut putih dan yang lain kisaran umur kepala 4 menjadi saksi bisu dibacakannya pronostica, petuah Sir Zein yang setiap tahunnya diberikan kepada pemimpin pulau kecil, Na’s Adras.
Sebuah pulau bahkan tidak ada yang tahu bentuknya kenampakan dari atas. Tanah subur yang menjadi kehidupan orang orang menyapa menyebut tempat tinggal mereka adalah Na's Island.
Empat mutiara mengelilinginya.
Mata air sukma di sebelah utara menjadi cermin masa emas.
Hutan rimba dengan pohon berbaris nan menari di selatan kunci kesuburan dan menjadi arti sejuk.
Pegunungan praja di timur menjulang tinggi nan gagah menantang mentari pagi ufuk.
Bukit hijau dandelion impian ber permadani rumput karana menjadi pintu terbenam surya.
Elemen elemen terlukiskan di pigura perak yang dipajang berjejer di tembok ruangan ini.
“Ariane. Jangan biarkan dia menikah. Keturunannya, akan membunuhmu” setelah diam cukup lama, kalimat itulah yang diucapkan Sir Zein.
Adras berfikir dalam diamnya. Jika Ariane putri semata wayangnya tidak punya buah kasih, siapa yang akan mewarisi Na’s Island ini waktu dirinya sudah tua nanti?
Akan tetapi, ego Adras merasukinya karena takut mati. Hatinya berkata tak tega apabila tidak bisa melihat masa keemasan Na’s Island di generasinya.
Na's Adras bukanlah raja. Para penduduk di Pulau memilihnya menjadi orang yang dianggap paling. Kepiawaiannya memecahkan masalah hingga kepandaiannya yang mencetuskan sistem demokrasi pulau menghasilkan otonomi yang menjadi peraturan bagi daerah otonom.
Selama kurang lebih 20 tahun, Na's Island selalu dalam kebahagiaan sampai sampai banyak orang yang mengkhawatirkan akan datang bagai besar atau langit mendung yang iri pada kedamaian pulau cantik ini.
***
Di depan cermin bersudut kanan mutiara bintang berbentuk bulan, seorang gadis cantik berkuku jari manis merah muda tengah menyisir rambut panjang gelapnya. Kulit putih bersihnya dan wajah merona merah muda kontras dengan warna kulit ayahnya yang sawo matang. Mungkin anak perempuan ini lebih memiliki kemiripan dengan ibundanya yang kini tenang di atas sana.
“Na’s Ariane, Na’s Adras ingin menemuimu” suara lembut pelayan terdengar dari balik pintu. Gadis yang dipanggil Ariane itu menghentikan kegiatannya di meja rias dan beranjak untuk membukakan pintu kamarnya.
“Ada apa, Ayah?” tanya Ariane selepas membuka pintu berwarna putih itu.
“Kemasi barang barang mu. Mulai nanti malam, kau tidur dekat dengan bintang di langit” jawab Adras tak meninggalkan kesan wibawanya.
“Dimanakah itu, Ayah?” cicit Ariane takut merasa ada yang tidak beres.
“Menara” singkat Adras memberi kode tersirat pada Ariane untuk bergegas.
***
Ariane yang kini genap berusia 17 Tahun tak berani melawan hanya sekedar bertanya mengapa. Disinilah dirinya sekarang. Berdiri memandang langit malam yang enggan menghadirkan bintang.
“Na’s Ariane, saya membawa bunga terompet jingga yang engkau minta” suara bariton membuyarkan lamunan Ariane.
“Masuklah, Alex,” si empu yang dipanggil namanya langsung membuka pintu kamar menara Ariane.
“Ini Na’s Ariane” Alex memberikan bunga yang dibawanya ke Ariane dengan berjongkok.
“Kau tahu kenapa aku selalu meminta dibawakan bunga terompet jingga?”terima Ariane memandang layu bunga ditangannya.
“Tidak Na’s Ariane” jawab Alex sekenanya masih dalam posisi berjongkok dihadapan Ariane.
“Jangan formal padaku, Alex. Kau adalah temanku” bibir Ariane berdecak sebal dengan tingkah pengawal menara yang seumuran dengannya ini.
“Maafkan aku...A..ria..ne” Alex ragu terpatah ucapannya seraya berdiri dan memposisikan tubuhnya disamping Ariane.
“Jangan sering mengucap maaf. Dunia ini kejam” Ariane berbalik arah menghadap laki laki disebelahnya ini.
“Kau cantik malam ini, Ariane” Alex balas memandang Ariane lekat.378Please respect copyright.PENANANzpMEhCXRu
378Please respect copyright.PENANAKlGG9BuO74
Jarak mereka semakin dekat. Raut muka Ariane merona merah seperti apel. Deru nafas Alex menerpa wajah Ariane.
Keduanya menutup mata, seperti bulan yang kini tertutup awan. Malam itu adalah saksi yang mengundang petir untuk menyambar memberitakan bahwa ini buruk.
***
“Kenapa sudah 2 minggu ini perutku membuncit? Padahal aku tidak napsu makan” Ariane bertanya pada pantulan dirinya di cermin besar kamarnya.
“Apa benar kata Alex kalau ayah mengurungku di menara agar aku terus melajang? Tapi yang telah aku lakukan..” lirih Ariane berfikir keras meratapi nasibnya terpotong oleh pintu kamarnya yang terketuk.
“Na’s Ariane, Na’s Adras ingin menemuimu” mendengarnya, Ariane panik dan berjalan kesana kemari.
“Masuklah, pintu tidak aku kunci” teriak Ariane seraya memposisikan tubuhnya di ranjang dengan berbalut selimut.
“Ariane, apa kau sakit?” sesaat setelah Adras masuk, dirinya langsung menghampiri Ariane yang terbaring dan mengarahkan tangannya di dahi putrinya ini untuk memeriksa suhu badannya.
“Aku tidak apa apa, Ayah” sangkal lembuh Ariane manatap ayahnya sambil tersenyum.
“Aku khawatir padamu. Aku akan pergi ke utara selama 7 bulan di otonom Bradia” raut mimik cemas terarah dari Adras ke anak satu satunya ini.
“Aku akan baik baik saja, Ayah” kembali Ariane mengukir senyum manisnya meyakinkan.
“Bila kau butuh apa apa, katakan pada Sir Aura” dengan menggenggam tangan mungil Ariane, Adras sebenarnya tidak tega meninggalkan putrinya.
Hanya anggukan yang dibalas Ariane bahwa dirinya nanti akan mengomukasikan segalanya pada Sir Aura perawat pribadinya sekaligus ibu dari Alex.
***
7 BULAN KEMUDIAN
“Sir Aura, aku mohon rahasiakan hal ini..” ucap pasrah Ariane yang wajahnya pucat pasi seraya terbaring lemah menahan rasa sakit.
“Saya sangat bodoh Na’s Ariane, tidak mengetahuinya dari awal. Harusnya nona tidak berjuang sendirian. Saya siap jika setelah ini penggal adalah hukuman pantas untuk saya.”
Ariane memang menyembunyikan bahwa dirinya berbadan dua. Hanya Alex yang sesekali datang untuk memberikan bunga terompet jingga. Rahasia menjadi milik mereka berdua sampai masa kelahiran tiba.
Malam ini.
Dengan terbaring lemah dalam menara yang tak terlihat indah, Ariane pasrah akan keadaan.378Please respect copyright.PENANAlSV52lAcWH
378Please respect copyright.PENANAVRlVbR4nSC
Dia merasa hal ini takdir. Walau ia tidak tahu ditujukan pada siapa.
“Selamatkan luke dan lucas” selepasnya, Ariane tidak sadarkan diri. Terpaksa Sir Aura menyayat rahim Ariane dan mengangkat bayi mungil yang kembar.
Tangisan dua bayi itu bersahutan. Untunglah mereka di menara, dengan cepat Sir Aura memotong tali pusar dua bayi laki laki itu dan memandikannya.
Diukir nama Luke di bahu kanan bayi yang keluar pertama dan Lucas di bahu kiri bayi satunya. Seraya menitikan air mata, Sir Aura membasuh wajah cantik Ariane tiga kali untuk menghormatinya yang sudah menyelesaikan urusannya di dunia yang fana ini.
“Na’s Ariane, Na’s Adras baru saja memasuki gerbang” suara yang dikenal Sir Aura menuntunnya untuk membuka pintu.
“Ibu kenapa menangis? Dimana Ariane?” Alex panik dan bergegas menerobos masuk hingga sampai di samping tempat tidur Ariane.
“Kau sebut nona siapa!? Tanpa Na’s? Bisa bisa nya kau menerobos masuk kamar gadis, anak durhaka!” Sir Aura marah terhadap sikap lancang putranya.
“Ariane...hanya tidur, kan?! Dia..dia..tidak mungkin..” Alex terduduk lesu dilantai.378Please respect copyright.PENANAJJWLCDOZz7
378Please respect copyright.PENANATe3DMdodP9
Si bayi kembar kembali menangis.
“Luke... Lucas...” panggil Alex kepada si mungil yang menangis. Alex pun tak kuasa menahan tangis.
“Dari mana kau tahu nama mereka?!” ibu Alex semakin kacau benar benar tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini.
“Aku yang memberi nama mereka ketika Ariane bilang laki laki kembar” lirih Alex menjelaskan.
“Apa katamu?!” Sir Aura mendaratkan tamparannya di pipi anaknya.
“Jadi kau... Luke dan Lucas...?” suara tergagap akibat tangis Sir Aura yang semakin menjadi. Dirinya benar benar hancur.
“Maaf ibu, saya pasti bertanggung jawab” Alex berlutut dan meyakinkan ucapannya barusan.
Terdengar langkah kaki menaiki tangga menara.
“Cepat bawa mereka” ibu Alex menunjuk dua bayi yang dibedong kain sutera.
Tak pikir panjang Alex menggendong bayi bertudung kuning terlebih dahulu dan keluar menara lewat jendela. Sir Aura tak tinggal diam menyembunyikan bayi dengan tudung hijau di balik peti duduk berselimutkan selendang.
“Na’s Ariane, Na’s Adras ingin menemuimu” dari balik pintu terdengar suara. Hal itu tak diindahkan Sir Aura.
Di sisi lain, Adras curiga. Dirinya memerintahkan untuk mendobrak pintu di depannya ini.
BRAK!
“Apa yang terjadi di sini?!” murka Adras selepas pintu berhasil terbuka dan menampakan Sir Aura tengah menata selimut tempat Ariane tertidur untuk selama lamanya. Adras langsung menghampiri putri yang dirindukannya.
“Hukum saya, Na’s Adras” seketika itu, Sir Aura berlutut.
“Jelaskan! Sejelas jelasnya!!” tegas Adras memerintah.
“Hukum saya, Na’s Adras” Sir Aura menunduk dan bercakap lirih.
“Kau!...” kalimat Adras terpotong oleh suara tangisan bayi. Dicarinya asal suara itu dan menemukan hal tidak terduga di sana.
“Hukum saya, Na’s Adras” berkali kali berucap, hanya kalimat yang sama dari mulut Sir Aura.
Pandangan Adras hanya fokus pada satu hal. Digendongnya bayi bertudung hijau itu dan di bawanya keluar dari menara tanpa mengucap sepatah kata pun.
Langkah demi langkah serasa berat bagi Adras. Kini matanya menatap lurus ke depan mengarah pada jurang bukit belakang rumahnya. Kakinya terhenti di ujung tanah. Dilihatnya lagi bayi kecil di dekapan. Sudut bibir Adras terangkat membuat lengkungan indah yang sama dengan si bayi yang kini tengah tersenyum.
378Please respect copyright.PENANA9pBsTwBEes
378Please respect copyright.PENANAdSXiQBa5Tr
378Please respect copyright.PENANARti1XA8eaV
378Please respect copyright.PENANAIpspWRqoZc
378Please respect copyright.PENANAiUN6gWeehl
378Please respect copyright.PENANAuHTBV5qk5N
378Please respect copyright.PENANAmTUCCRbaKn
378Please respect copyright.PENANA0tuS2At6JT
378Please respect copyright.PENANAukUQSZvkC7
378Please respect copyright.PENANA2gL5AsBbE9
378Please respect copyright.PENANAR6YPTGrDZs
378Please respect copyright.PENANAGdw1seI6ed
378Please respect copyright.PENANA3llbtHKFOb
378Please respect copyright.PENANADZbNFJns3d
378Please respect copyright.PENANAjybs02YKu0
378Please respect copyright.PENANAYGqHuTkX9e
378Please respect copyright.PENANA2axhMkXbYw
378Please respect copyright.PENANAZujsgOsgbv
378Please respect copyright.PENANACnyvbjtVGE
378Please respect copyright.PENANA4tDlLEKhMt
378Please respect copyright.PENANAPtAyK8CHkB
378Please respect copyright.PENANARjnZJaTKAB
378Please respect copyright.PENANAgvhixmkFHA
378Please respect copyright.PENANAI1xsjLbD1V
378Please respect copyright.PENANAuc4Zjx7a4s
378Please respect copyright.PENANAPzAsX39fiP
378Please respect copyright.PENANANmE5rdJwD6
378Please respect copyright.PENANAiP6CUttevD
378Please respect copyright.PENANAOfIEm9HwFo
378Please respect copyright.PENANAPxmEXJhEI5
378Please respect copyright.PENANAj3nh42tKcs
378Please respect copyright.PENANA7ZQU6OIriR
378Please respect copyright.PENANA6iC5azXYx0
378Please respect copyright.PENANA5YBg7Z0fuP
378Please respect copyright.PENANAWJGLcyXZhb
378Please respect copyright.PENANAjygD0ofW8F
378Please respect copyright.PENANAchGOHPIo2I
378Please respect copyright.PENANAhfU5RYx8cZ
378Please respect copyright.PENANAHaUrrNHFeK
378Please respect copyright.PENANAKbonCWKU8z
378Please respect copyright.PENANAvEPoFK2iVM
378Please respect copyright.PENANAuEM0l7xZw8
378Please respect copyright.PENANAN1YcH5NLKP
378Please respect copyright.PENANAy3A9LtmFeg
378Please respect copyright.PENANA42WjgFggC9
378Please respect copyright.PENANApEwVWS7fNz
378Please respect copyright.PENANA0Fmjtagazr
378Please respect copyright.PENANA0ph5bUIN13
378Please respect copyright.PENANARo74Royv8m
378Please respect copyright.PENANArDuxkAFKmn
378Please respect copyright.PENANADPIbjm176I
378Please respect copyright.PENANABlD9wa84zi
378Please respect copyright.PENANACTK3cNqkt9
378Please respect copyright.PENANAGD321DEdo7
378Please respect copyright.PENANA72W98V5TGg
378Please respect copyright.PENANAm4ganarnVB
378Please respect copyright.PENANAirKNW5nmGE
378Please respect copyright.PENANAVTbO8vQnca
378Please respect copyright.PENANAsRdjUugwaH
378Please respect copyright.PENANAnfqd4vgtoO
378Please respect copyright.PENANAhXA0Mp8UC3
378Please respect copyright.PENANAUQTW5KmFjj
378Please respect copyright.PENANANg47jxzKnJ
378Please respect copyright.PENANAkjRH4gSpyi
378Please respect copyright.PENANAr2enNHhizO
378Please respect copyright.PENANA0QYab9AGF9
378Please respect copyright.PENANArFyFc8HRHG
378Please respect copyright.PENANAeOoBgKQfpN
378Please respect copyright.PENANAG8fDIKRBkv
378Please respect copyright.PENANApqMqpPoHC3
378Please respect copyright.PENANAa7aJe9cU6X
378Please respect copyright.PENANAH32mACLY3C
378Please respect copyright.PENANAP5C8Jv8XKV
378Please respect copyright.PENANAkiJe0cgfwW
378Please respect copyright.PENANAV4a1nhx39E
378Please respect copyright.PENANAWFBCMfjoJ1
378Please respect copyright.PENANAgBWtievfpP
378Please respect copyright.PENANAhEll1h6Bor
“Jika kau nanti membunuhku, itu sudah takdirku.”
ns216.73.216.247da2