771Please respect copyright.PENANAzo1jlDfvjC
Namaku Yusuf, delapan belas tahun. Sebentar lagi, ujian akhir sekolah akan menanti, gerbang terakhir menuju masa depan yang—jujur saja—masih buram di mataku. Sejak ayah dan ibu tiada dua tahun lalu, hidup terasa seperti sehelai kain yang ditarik kencang, nyaris putus. Beban terberat itu, tentu saja, ada di pundak Kak Hana. Usianya baru dua puluh empat, seharusnya ia masih bisa menikmati masa mudanya, namun ia memilih untuk langsung bekerja, menopang hidupku dan segala kebutuhan rumah ini. Kak Hana adalah segalanya bagiku; kakak, pengganti orang tua, dan kini, entah kenapa, juga sumber kegelisahan yang aneh dalam diriku.
Malam itu, hening menyelimuti rumah kami, seperti biasa. Lampu meja di kamarku adalah satu-satunya sumber cahaya, menyoroti buku-buku pelajaran fisika yang teronggok di hadapanku. Namun, pikiranku melayang jauh. Rumus-rumus integral terasa seperti coretan tanpa makna. Di benakku, bayangan-bayangan dari dunia maya yang baru saja kutelusuri beberapa jam lalu berkelebat. Ponselku, yang seharusnya menjadi alat belajar, kini menjadi pintu gerbang menuju godaan yang sulit kutolak.
Jari-jariku yang gelisah bergerak sendiri, membuka aplikasi peramban, lalu mengetikkan kata kunci yang sudah familiar. Detak jantungku mulai berpacu. Ada desiran aneh yang mengalir di pembuluh darahku, campuran antara antisipasi dan rasa bersalah. Aku tahu ini salah. Aku tahu seharusnya aku fokus. Tapi dorongan itu, desakan dari dalam diriku yang baru saja terbangun beberapa tahun terakhir, terlalu kuat untuk dilawan. Aku adalah seorang pria, dan kebutuhan itu—kebutuhan untuk memahami diriku sendiri—seringkali mengalahkan segalanya.
Video itu mulai memutar. Layar ponsel yang kecil itu menjadi jendela ke dunia yang penuh gairah dan tubuh-tubuh yang saling berjalin. Napas saya mulai memberat. Pandanganku terpaku pada setiap gerakan, setiap lekukan, setiap desahan yang keluar dari speaker ponselku yang sengaja kuseting sangat pelan. Suara musik latar yang erotis itu terasa seperti bisikan langsung ke telingaku, memprovokasi setiap sel di tubuhku.
Tangan kiriku meraih kontolku yang sudah menegang di balik celana training longgar yang kukenakan. Panas, keras, berdenyut. Ibu jariku mengelus kepalanya yang basah, lalu jari-jari lainnya mulai bergerak naik turun, perlahan pada mulanya, mencari ritme yang pas. Mataku tak berkedip dari layar, seolah setiap adegan di sana adalah instruksi yang harus kuikuti dengan seksama. Aku membayangkan diriku di sana, merasakan setiap sentuhan, setiap gesekan. Desahan-desahan dari video itu kini terasa seolah keluar dari bibirku sendiri, tertahan, tercekat di tenggorokan.
Gerakan tanganku semakin cepat, iramanya semakin mendesak. Aku merasakan darah mengalir deras ke kontolku, membuatnya semakin besar, semakin berat. Keringat dingin mulai membasahi dahiku. Pikiranku kalut, dipenuhi oleh fantasi-fantasi liar yang tak pernah berani kuucapkan. Bayangan tubuh telanjang, erangan, gesekan kulit—semuanya menyatu dalam satu pusaran gairah yang tak tertahankan. Kepala kontolku terasa begitu sensitif, setiap sentuhan memicu gelombang kenikmatan yang menjalar hingga ke pangkal pahaku. Aku mendesah, suara yang nyaris tak terdengar, namun terasa begitu keras di telingaku sendiri dalam keheningan malam itu.
Aku memejamkan mata sesaat, membiarkan sensasi itu mengambil alih sepenuhnya. Tubuhku menegang, pinggulku sedikit terangkat, mengikuti gerakan tanganku yang semakin menggila. Aku bisa merasakan spermaku siap menyembur, sebuah pelepasan yang kuinginkan dengan seluruh jiwaku. Dada saya naik turun dengan cepat, nafas saya tersengal-sengal. Hanya sedikit lagi. Sedikit lagi...
Klek.
Suara kunci pintu depan berputar, lalu disusul dengan suara langkah kaki yang pelan di lantai ruang tamu. Jantungku mencelos, berdebar begitu kencang hingga terasa sakit di dada. Mataku langsung terbuka lebar. Itu Kak Hana! Ia pulang lebih cepat dari biasanya. Sial!
Refleksku bekerja sangat cepat. Tanganku langsung menarik celana trainingku menutupi kontolku yang masih tegang, jari-jariku menekan tombol power ponsel, memadamkan layar yang masih menampilkan adegan dosa. Napasku tertahan, tubuhku kaku, berpura-pura sedang serius menatap buku fisika di depanku. Namun, rasa panas di wajahku tak bisa disembunyikan.
Langkah kaki Kak Hana semakin mendekat, melewati ruang tamu, lalu berhenti di ambang pintu kamarku. Aku menahan napas, berharap ia hanya akan lewat.
"Yusuf? Belum tidur?" Suara Kak Hana terdengar lembut, namun ada nada lelah yang jelas di sana.
Aku menoleh, jantungku berdegup gila-gilaan. Kak Hana berdiri di sana, masih mengenakan seragam kerjanya—kemeja putih rapi dan rok pensil hitam. Rambutnya yang panjang digelung ke atas, namun ada beberapa helai yang lepas, membingkai wajahnya yang tampak lelah namun tetap cantik. Matanya yang gelap, mirip mata Ibu, menatapku.
Kak Hana melangkah masuk, bibirnya tersenyum tipis. "Kenapa belum tidur? Besok kan harus bangun pagi, belajar lagi." Ia berjalan mendekati meja belajarku. Aroma tubuhnya yang khas—campuran parfum lembut, deterjen baju, dan sedikit bau lelah dari luar—memenuhi indra penciumanku. Itu aroma yang selalu kurindukan, aroma 'rumah'.
Ia melihat buku fisika di depanku, lalu pandangannya jatuh pada ponselku yang tergeletak di meja, layarnya hitam. Namun, seolah ada insting aneh, ia meraih ponselku. Tangannya yang ramping dan lentik memegang ponselku, ibu jarinya tak sengaja menyentuh tombol power atau recent apps yang tadi kumatikan terburu-buru.
Layar ponsel itu kembali menyala. Dan di sana, terpampang jelas, sebuah thumbnail video yang baru saja kuputarkan. Wajah seorang wanita telanjang dengan ekspresi gairah yang jelas terpampang di layar.
Wajah Kak Hana langsung memucat. Senyum tipisnya lenyap seketika, digantikan oleh ekspresi terkejut, lalu kemarahan yang membara. Matanya melebar, pupilnya membesar, menatapku, lalu ke layar ponsel, lalu kembali menatapku. Tangannya gemetar, memegang ponselku erat-erat.
"Yusuf... apa ini?" Suaranya pelan, namun getaran kemarahan di dalamnya begitu jelas, menusuk jantungku.
Aku hanya bisa diam. Tubuhku kaku, seolah membeku. Darahku berdesir panas ke seluruh wajah, menjalar hingga ke telinga. Aku tahu aku tertangkap basah. Rasa malu yang memuncak, dicampur dengan rasa bersalah yang menusuk, membuatku tak bisa bicara. Kontolku yang tadi nyaris mencapai puncaknya kini sedikit melunak, namun masih terasa tebal dan panas di balik celana trainingku, sebuah pengkhianatan yang memalukan. Aku ingin bumi menelanku hidup-hidup.
Kak Hana mematikan ponselku dengan gerakan kasar, lalu meletakkannya di meja dengan suara deg yang agak keras. Ia menatapku, matanya berkaca-kaca, penuh kekecewaan yang mendalam. Wajahnya yang tadi lelah kini memerah padam, urat di pelipisnya sedikit menonjol.
"Yusuf! Apa yang kamu lakukan?!" Suaranya meninggi, namun masih tertahan, seolah ia berusaha agar tak ada suara yang keluar dari kamar ini. "Ujianmu tinggal sebentar lagi! Aku sudah bilang berkali-kali, fokus! Belajar yang benar! Aku kerja siang malam, Yusuf, agar kamu bisa sekolah, agar kamu bisa fokus pada masa depanmu!"
Kata-katanya meluncur deras, setiap kalimatnya adalah cambuk bagi jiwaku. Aku menunduk, tak berani menatap matanya. Aku bisa merasakan napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat.
"Dan kamu... kamu malah membuang waktumu dengan hal-hal menjijikkan seperti ini?" Suaranya bergetar. "Kamu tahu betapa susahnya aku sekarang? Kita tidak punya orang tua lagi, Yusuf! Hanya kita berdua! Aku berusaha mati-matian agar kita tetap bisa hidup layak, agar kamu tidak kekurangan! Agar kamu tidak terganggu dengan masalah ini!"
Ia menggesturkan tangannya ke sekeliling kamar, seolah menunjukkan betapa kecilnya kamar ini, betapa sempitnya hidup kami sekarang.
"Kamu pikir aku tidak tahu kamu sering begini, Yusuf?" lanjutnya, suaranya sedikit pecah. "Aku tahu! Aku sering mendengar suaramu dari balik pintu, tapi aku selalu mengabaikannya. Aku pikir itu hal wajar untuk anak laki-laki. Tapi tidak di saat seperti ini, Yusuf! Tidak di saat masa depanmu dipertaruhkan!"
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tangannya mengepal, bergetar. "Kamu pikir aku tidak lelah, Yusuf? Aku pulang kerja jam segini, hanya untuk melihat kamu membuang waktu dengan hal-hal kotor seperti ini? Bagaimana kalau orang tua tahu? Bagaimana kalau mereka masih ada, melihat kamu seperti ini?" Suaranya kini nyaris berbisik, namun penuh kepedihan yang menusuk.
Aku masih menunduk, tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Lidahku kelu, tenggorokanku tercekat. Aku ingin meminta maaf, menjelaskan, berjanji untuk tidak mengulanginya. Tapi semua kata-kata itu terasa begitu hampa di tengah gelombang rasa malu dan bersalah yang melandaku. Aku hanya bisa mengangguk pelan, air mata mulai menggenang di sudut mataku.
"Aku... aku minta maaf, Kak," bisikku, suaraku serak. Hanya itu yang bisa keluar dari bibirku.
Kak Hana menatapku, matanya masih merah. Ia menghela napas lagi, kali ini lebih berat. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Yusuf," katanya, suaranya kini terdengar putus asa. "Aku hanya ingin kamu baik-baik saja. Aku hanya ingin kamu punya masa depan yang lebih baik dari ini."
Ia berbalik, melangkah gontai menuju pintu kamarku. Rambutnya yang lepas terurai di bahunya, punggungnya terlihat begitu rapuh. Ada rasa sakit yang mendalam di setiap langkahnya.
"Kak Hana..." panggilku pelan, namun ia tidak berhenti.
Ia keluar dari kamarku, dan aku mendengar langkah kakinya menjauh, menuju kamarnya sendiri. Lalu, suara pintu kamar Kak Hana ditutup dengan pelan, bukan dibanting, namun dengan nada kesedihan yang jauh lebih menyakitkan daripada ledakan kemarahan.
Aku masih duduk di kursi belajarku, sendirian, di tengah keheningan yang kini terasa memekakkan telinga. Lampu meja masih menyala, menyoroti buku fisika yang kini terasa seperti ejekan. Ponselku tergeletak, layarnya hitam, menyimpan rahasia kotor yang baru saja terbongkar. Rasa dingin merayapi tubuhku, bukan karena suhu ruangan, melainkan karena rasa bersalah yang tak terhingga.
Aku telah mengecewakan Kak Hana. Wanita yang telah mengorbankan segalanya untukku, yang menopang hidup kami setelah kepergian orang tua. Aku telah melukai hatinya, bukan dengan kata-kata, tapi dengan perbuatanku yang menjijikkan. Aku adalah beban, pengkhianat.
Tanganku yang tadi memegang kontolku, kini gemetar tak terkendali. Aku merasakan bekas cairan sperma yang belum sempat kusentuh, terasa lengket di kulitku, sebuah pengingat menjijikkan dari momen terlarang itu. Kontolku sendiri kini terasa panas dan berat, sedikit berdenyut, seolah masih belum sepenuhnya menyerah dari dorongan gairah yang tadi menguasai. Sebuah rasa malu yang lebih dalam lagi merayapiku, melihat tubuhku sendiri yang bereaksi begitu cepat pada hal-hal kotor.
Aku memejamkan mata, bayangan wajah Kak Hana yang kecewa, matanya yang berkaca-kaca, terukir jelas di benakku. Dan di samping bayangan itu, muncul juga bayangan Kak Hana yang tadi berdiri di ambang pintu, rambutnya yang terurai, lekuk tubuhnya yang terlihat samar di balik seragam kerjanya, aura lelah namun tetap memesona. Sebuah pemikiran yang cepat-cepat kutepis, sebuah godaan baru yang muncul di tengah rasa bersalahku. Tidak. Itu kakakku.
Rumah terasa begitu sunyi. Aku tahu Kak Hana mungkin sedang menangis di kamarnya, karena aku. Dan aku, hanya bisa duduk di sini, terpenjara oleh rasa malu, menyesali perbuatanku, namun juga, anehnya, merasakan gejolak aneh yang belum sepenuhnya padam di dalam diriku. Sebuah drama yang tak terucap, sebuah ketegangan yang kini membeku di antara kami berdua. Dan ujian akhir sekolah, rasanya, adalah masalah yang paling kecil di antara semua beban ini.
ns216.73.216.247da2