
Namaku Bima. Umur 20 tahun. Dan misiku hari itu simpel: liburan ke Malang, kabur dari penatnya tugas kuliah. Gue nggak punya rencana apa-apa selain makan bakso, liat gunung, dan kalau beruntung, mungkin ‘jajan’ sedikit. Tapi takdir, atau lebih tepatnya, PT KAI, punya rencana lain buat gue.2009Please respect copyright.PENANAzvenlxIZPl
Kereta ekonomi dari Jogja itu penuh sesak. Gue dapet tempat duduk di dekat jendela. Dan di sebelah gue, duduklah dia. Awalnya, gue nggak terlalu merhatiin. Cewek biasa, berjilbab panjang warna krem, baju garis garis, lagi sibuk baca buku dengan tulisan Arab gundul. Mukanya? Jujur, B aja. Nggak jelek, tapi ya lo nggak bakal noleh dua kali kalau papasan di jalan. Standar mahasiswi Jogja lah. (Foto diatas foto asli dia, gw sendiri yg motoin hari itu)
Tapi semua persepsi gue berubah pas dia sedikit bergerak buat benerin posisi duduknya. Jancuk. Saat itulah gue liat ‘anugerah’ yang tersembunyi di balik bajunya yang longgar. Tetek-nya, anjir, gedenya pas banget. Nggak tobrut yang murahan, tapi padat dan berat, keliatan dari cara kain bajunya tertarik. Dan pas dia duduk tadi, gue sempet liat siluet bokongnya. Gede dan pulen. Tipe-tipe badan yang kalau di-entot dari belakang, goyangannya bakal bikin lo cepet crot.
Seketika, tujuan liburan gue berubah. Gunung dan bakso bisa nunggu. Di depan gue sekarang ada ‘wahana’ yang jauh lebih menarik. Kontol gue yang tadinya tidur langsung bangun, ngasih sinyal. Oke, misi dimulai.
Gue buka obrolan dengan cara paling klise. “Mbaknya mau ke Malang juga?”
Dia noleh, sedikit kaget. Dia nutup bukunya. “Eh, iya, Mas. Betul.” Jawabnya sopan, suaranya halus.
“Liburan, Mbak?”
“Oh, bukan. Saya mau KKN, Mas. Nyusul teman-teman yang sudah berangkat duluan,” katanya sambil tersenyum tipis.
“Wah, KKN. Mahasiswi mana, kalau boleh tau?”
“Saya dari UMY, Mas. Jurusan Pendidikan Agama.”
Dancok. UMY, jurusan agama pula. Ini tantangan level dewa. Cewek alim, dari kampus yang terkenal agamis. Pikiran cabul gue makin menjadi-jadi. Menaklukkan benteng setinggi ini pasti nikmatnya luar biasa. Gue panggil dia Arista, sesuai nama di tiketnya yang gue intip sekilas.
“Oh, UMY. Keren, keren. Saya Bima, Mbak. Cuma mahasiswa biasa yang lagi pengen liburan,” kata gue sambil nyodorin tangan.
Dia ragu sejenak, lalu menyambut tanganku dengan menangkupkan kedua tangannya di dada. “Arista.”
Obrolan kami mengalir. Gue sengaja nggak bahas yang aneh-aneh dulu. Gue ngobrolin soal kuliah, soal serunya Jogja, soal film. Gue berusaha jadi cowok yang asyik dan nyambung. Dan berhasil. Arista, yang awalnya kaku, mulai lebih rileks. Dia mulai ketawa, matanya yang biasa nunduk kini lebih sering natap gue. Dan di situlah gue liat ‘celah’ itu. Di balik tatapannya yang polos, ada rasa penasaran yang besar. Dia haus cerita tentang dunia di luar dunianya yang ‘suci’.
Perjalanan delapan jam itu terasa singkat. Sebelum kereta tiba di Stasiun Malang, gue udah berhasil dapet nomor WhatsApp-nya. Alasannya? “Biar gampang kalau butuh bantuan apa-apa di Malang, Ris. Anggap aja aku ini bestiemu di perantauan,” kata gue. Sebuah kebohongan manis yang dia telan mentah-mentah.
Setibanya di Malang, gue nggak buang waktu. Gue langsung kirim pesan.
Gue: Ris, sebelum kamu lanjut ke desa KKN-mu, makan bakso malang dulu lah. Dosa loh udah di Malang tapi nggak nyobain.
Dia sempat menolak, bilang harus segera menyusul teman-temannya. Tapi gue terus merayu.
Gue: Ayolah, sebentar aja. Sebagai ucapan terima kasih udah jadi teman ngobrol yang asyik di kereta. Aku yang traktir.
Akhirnya dia luluh. Kami turun di stasiun dan langsung menuju salah satu warung bakso malang yang terkenal. Di sinilah babak kedua dari misi gue dimulai.
Di warung itu, sambil makan, gue mulai serangan yang lebih personal. Gue puji dia. Bukan cuma soal penampilan. “Kamu itu pinter ya, Ris. Wawasanmu luas, nggak cuma soal agama. Aku suka ngobrol sama cewek cerdas kayak kamu.”
Pipinya merona. “Ah, biasa aja kok, Mas.”
Gue sengaja “nggak sengaja” nyentuh tangannya pas mau ngambil sambel. Dia kaget, narik tangannya, tapi gue liat matanya berkilat. Dia suka. Tubuhnya yang pulen itu ternyata gatel juga.
Setelah selesai makan, gue ajak dia jalan-jalan sebentar di Alun-Alun. Udara Malang yang sejuk bikin suasana jadi makin enak. Kami duduk di bangku taman. Ini saatnya.
“Ris, aku boleh jujur?” tanyaku dengan nada serius.
“Jujur soal apa, Mas?”
Gue tatap matanya dalam-dalam. “Jujur, dari pertama kali liat kamu di kereta, aku udah sange berat.”
Wajahnya langsung pucat. Dia kaget setengah mati. “Astaghfirullah, Mas! Jaga bicaranya!”
“Aku serius, Ris. Aku nggak bisa bohong. Aku lihat kamu, kontolku jadi ngaceng dan semua yang ada di pikiranku itu cuma gimana caranya aku bisa ngewe kamu.”
“Mas! Itu dosa besar! Zina!” katanya, suaranya gemetar.
“Aku tahu. Justru karena itu, rasanya jadi lebih menantang, kan?” goda gue. “Sekali ini saja, Ris. Lupakan semua status kita. Lupakan kamu mahasiswi agama, lupakan aku cuma cowok random. Malam ini saja. Kita ciptakan dosa paling nikmat bersama.”
“Nggak! Aku nggak mau!” tolaknya tegas, meski matanya menunjukkan keraguan.
Gue tahu pesona saja nggak cukup. Gue keluarkan senjata pamungkas. Gue buka dompet, gue keluarin semua uang tunai yang gue siapkan buat liburan. Ada sekitar tiga juta rupiah. Gue letakkan tumpukan uang itu di pangkuannya.
“Ini bukan bayaran, Ris,” kataku lembut. “Anggap ini hadiah. Buat beli keperluanmu selama KKN. Buat bantu orang tuamu. Anggap ini ucapan terima kasih karena kamu sudah mau nemenin aku. Dan kalau kamu mau terima hadiah ini, aku cuma minta satu hal lagi. Temani aku malam ini. Di hotel. Kita ngewe brutal. Setelah itu, kita lupakan semuanya. Aku janji.”
Arista menatap tumpukan uang itu. Lalu dia menatapku. Matanya berkaca-kaca. Gue bisa lihat perang besar terjadi di dalam dirinya. Antara iman, rasa takut, rasa penasaran, dan godaan uang yang jumlahnya pasti sangat berarti baginya.
Setelah hening yang terasa seperti selamanya, dia mengangguk pelan. Sangat pelan.
Misi berhasil.
Kamar hotel budget yang kami sewa terasa seperti arena pertarungan. Udaranya tegang. Arista duduk di tepi ranjang, masih dengan baju garisnya dan jilbabnya, memeluk tasnya erat-erat.
Gue mendekat, duduk di sampingnya. “Nggak usah takut,” bisikku.
Lalu, dengan sangat perlahan, aku menyentuh jilbabnya. “Boleh aku buka?”
Dia memejamkan mata, lalu mengangguk. Ini adalah momen paling krusial. Saat jilbab itu terlepas, seolah-olah seluruh benteng pertahanannya ikut runtuh. Rambutnya panjang, hitam, dan sedikit berantakan. Wajahnya yang biasa aja itu kini tampak begitu sensual dan rentan.
“Kamu cantik,” bisikku.
Lalu aku mulai menelanjanginya. Satu per satu. Baju, manset, kaus kaki. Sampai akhirnya hanya tersisa pakaian dalamnya yang sederhana. Dan saat itulah gue liat ‘anugerah’ itu secara utuh. Tetek-nya yang besar dan pulen itu tumpah dari branya yang kekecilan. Bokongnya yang gede tercetak jelas di celana dalamnya.
“Jancuk, badanmu surga, Ris,” desisku.
Aku tidak tahan lagi. Aku mulai dengan ritual penyembahan. Aku berlutut dan melakukan jilmek. Dia kaget, tubuhnya menegang. “Mas, jangan! Itu kotor!”
“Ssssttt,” bisikku. “Nggak ada yang kotor di surga.”
Lidahku mulai menari di memek-nya yang tertutup kain. Dia merintih. Aku terus njilat sampai celana dalamnya basah kuyup. Lalu aku membukanya. Di hadapanku, terhampar puki-nya yang ranum, dengan jembut tipis yang terawat. Aku langsung menghisap kelentitnya.
“EEEEHHH! ADUHH! GELI!” pekiknya, kakinya menendang-nendang pelan.
Tapi aku tak berhenti. Aku terus njilat dan ngisap sampai rintihannya berubah. Dari kesakitan, menjadi kenikmatan.
“Ooooh... Mmmhh... Mas... Gini ya rasanya... Ngghhh...”
Setelah dia mulai basah dan pasrah, barulah aku naik ke atas. Aku remes toket-nya, aku jilat puting-nya yang menegang. Lalu aku siap untuk masuk.
“Ini pertama kalinya buat kamu, kan?” tanyaku. Dia mengangguk malu.
“Jangan khawatir, aku bakal pelan-pelan,” bisikku bohong.
Aku arahkan kontol-ku yang sudah keras seperti batu ke liang tempik-nya yang sempit. Aku sodok perlahan.
“AOWW! SAKIT! SAKIT, MAS BIM!” teriaknya, air mata mulai mengalir.
“Tahan sebentar, sayang. Sebentar lagi jadi nikmat,” kataku sambil terus mendorong masuk.
Setelah seluruh kontol-ku berhasil masuk, aku diam sejenak, membiarkannya terbiasa. Lalu, aku mulai meng-genjot. Pelan pada awalnya, lalu semakin cepat, semakin kasar.
Teriakan sakitnya perlahan berubah menjadi desahan paling merdu yang pernah kudengar.
“OHHH... YAAA... gitu, Mas... Aduhh... Anjir... enaaak... Terus, Mas! Lebih cepaaat! Entot aku! NGENTOT AKU!”
Ukhti alim itu telah hilang. Yang ada di bawahku sekarang adalah seorang wanita jalang yang lapar. Aku hajar dia habis-abisan. Aku goyang pinggulku, aku sodok puki-nya dari segala arah. Sampai akhirnya, aku merasa puncaknya sudah dekat.
“Aku mau keluar, Ris! Aku mau crot!”
“Di dalem, Mas! Keluarin di dalem! Penuhin rahimku sama pejuh-mu!” teriaknya pasrah.
“AAAHHHHHHHHH!”
Dengan raungan panjang, aku menumpahkan seluruh mani-ku di dalam rahimnya. Tubuhku ambruk di atasnya, lemas dan puas.
Pagi harinya, kami bangun dalam keheningan. Tidak ada obrolan mesra. Aku menepati janjiku, kuberikan uang itu padanya. Dia menerimanya tanpa menatapku. Kami mandi, berpakaian, lalu check-out.
Di depan stasiun, kami berpisah.
“Aku duluan, Mas. Makasih untuk… semuanya,” katanya pelan.
“Hati-hati, Ris,” hanya itu yang bisa kukatakan.
Dia berjalan pergi, sosoknya yang kembali tertutup rapat itu menghilang di keramaian. Gue berdiri di sana, menatapnya pergi. Gue merasa seperti seorang pemenang. Gue berhasil menaklukkan bentengnya.
Pada akhirnya, semua cewek sama aja. Alim atau lonte, semua punya harga. Dan gue, gue cuma turis yang lagi seneng--seneng karena berhasil bayar tiket untuk masuk ke wahana paling terlarang. Liburan gue di Malang dimulai dengan sangat, sangat indah.