Pertemuan Yang Tak Terduga
“Beberapa pertemuan begitu pelan dan diam,
tapi mengubah arah hidup sepenuhnya.”
Langit menggantung mendung di atas kota kecil yang sibuk. Angin sore menggiring daun-daun kering di sepanjang trotoar, melintasi jalanan yang basah oleh hujan semalam. Di jantung kota, tersembunyi dari hiruk-pikuk dan denting notifikasi telepon genggam, berdiri sebuah perpustakaan tua yang tampaknya luput dari perhatian zaman.
Bangunannya bergaya kolonial, dengan jendela-jendela tinggi dan pintu kayu berat yang selalu berderit saat dibuka. Bagi sebagian orang, tempat itu hanya bangunan kuno yang penuh debu dan kesunyian. Tapi bagi Nadine, itu adalah tempat persembunyian. Tempat di mana waktu tidak berburu dan dunia tidak menuntut terlalu banyak darinya.
Hari itu Nadine datang lebih awal dari biasanya. Perkuliahan selesai lebih cepat, dan cuaca di luar membuatnya enggan kembali ke rumahnya. Mengenakan mantel wol berwarna abu muda dan syal yang dililit dua kali di leher, Nadine melangkah masuk ke perpustakaan sambil mengusap sisa embun dari kacamatanya.
Hangat.
Itulah kesan pertama setiap kali ia memasuki tempat itu. Bukan hanya karena suhu ruangan, tapi karena aroma khas buku siapa tua dan lantai kayu yang seperti menyambut pun yang lelah dengan dunia luar. Langkahnya langsung menuju ke sudut favoritnya: bangku panjang di dekat jendela besar yang menghadap ke taman kecil.
Biasanya, ia akan membuka satu buku tebal, menyeduh teh dalam termos kecil yang ia sembunyikan di tas, dan membaca sambil sesekali mencatat sesuatu di jurnal kulit cokelatnya. Tapi hari ini berbeda. Hatinya terasa gelisah, pikirannya tak tenang. Ia membuka novel Virginia Woolf, To the Lighthouse, namun huruf-huruf di halaman hanya menari-nari tanpa makna.
Entah bagaimana, tertarik ke ujung ruangan. Di sana, di dekat rak buku bagian filsafat, duduk seorang lelaki muda yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia duduk menyendiri, membungkuk sedikit ke depan, menatap sekilas pada buku yang terbuka di depannya: Das Kapital, karya Karl Marx .
Nadine mengerutkan keningnya. Jarang sekali ia melihat seseorang membaca buku itu dengan begitu serius, apalagi di tempat seperti ini. Lelaki itu tampak tidak terlalu peduli pada lingkungan sekitarnya. Rambutnya agak berantakan, jaket jeansnya subur dan terlihat terlalu besar, dan tas hitam yang tergeletak di lantai di hadapannya tampak lelah oleh waktu. Tapi yang paling mencuri perhatian Nadine adalah caranya diam.
Bukan diam yang asing. Tapi diam yang di dalam. Diam yang sepertinya telah menjadi kebiasaannya. Ada keheningan yang melingkupinya, semacam dinding tak terlihat yang tidak dibangun karena ingin menjauhkan orang, namun karena terlalu lama terasa tak dipahami. Nadine mengenali jenis diam itu. Ia pernah merasakannya. Tetap saja, kadang-kadang.
Tanpa sadar, tangannya menutup bukunya dan kakinya mulai bergerak, perlahan, seperti ditarik kembali oleh rasa penasaran yang lebih kuat dari rasa malu atau sopan santun.
“Buku itu… berat ya?” suara terdengar saat ia mendekati meja lelaki itu.
Lelaki itu menoleh. Gerakannya tenang, tak tergesa-gesa. Tatapan matanya bertemu dengan Nadine, dan untuk sesaat, dunia seakan mengecil. Matanya berwarna cokelat gelap—dalam dan sulit ditebak, seperti halaman-halaman novel yang belum dibuka.
“Berat,” jawabnya, suaranya rendah tapi jelas. “Tapi hidup juga, bukan?”
Nadine tersentak pelan. Kalimat itu... sederhana, tapi mengenai titik yang tepat. Ia tersenyum kecil, lalu mengangguk.
“Aku Nadine,” katanya sambil mengulurkan tangan.
Lelaki itu letakkan tangannya sebentar, lalu sajikan perlahan. Hangat dan mantap.
"Raja."
Satu kata. Tapi seperti pintu kecil yang mulai terbuka.
Mereka mulai berbincang, pelan-pelan. Tentang buku yang sedang dibaca Rey, tentang bagaimana ia mengasumsikan sistem sosial seperti mesin besar yang memakan manusia-manusia kecil. Nadine menyimak, tertarik dengan cara Rey berbicara: tenang, jelas, tapi tak menggurui. Ia tidak sedang mencoba terdengar pintar—ia benar-benar percaya pada apa yang ia katakan.
Lalu pembicaraan mereka melebar. Tentang kampus. Tentang dosen yang menyebalkan karena suka memberi tugas tak masuk akal. Tentang harga kopi yang semakin mahal, dan tentang warung kecil dekat stasiun yang masih menjual americano dengan harga pelajar. Di tengah semua itu, Nadine menyadari: dia sedang merasa nyaman. Bukan karena kata-kata Rey saja, tapi karena cara Rey mendengarnya. Ia tidak hanya mendengarkan—ia menyimak.
“Kenapa kamu suka ke sini?” tanya Nadine setelah jeda.
Rey mengangkat bahu, matanya menatap jendela.
“Karena di sini aku bisa diam, merasa tanpa sendirian.”
Nadine memandang, lalu menoleh ke luar jendela. Daun-daun berguguran, melayang perlahan, seperti waktu yang jatuh satu-satu.
“Aku juga,” katanya pelan.
Waktu terus berjalan tanpa terasa. Lampu-lampu mulai menyala, menguning lembut seperti senja yang enggan pergi. Perpustakaan mulai sepi. Seorang petugas paruh baya berjalan ke sana kemari, menata buku-buku, memberi tanda bahwa waktunya pulang.
Rey menutup bukunya, memasukkan semuanya ke dalam tas. Nadine pun bangkit dari duduknya.
“Besok kamu ke sini lagi?” tanyanya, dan langsung merasa bodoh karena suaranya terdengar terlalu berharap.
Rey melihatnya sekilas, lalu tersenyum kecil. “Mungkin.”
Dan itu cukup.
Mereka keluar bersama, langkah-langkah mereka sejajar di bawah langit abu-abu. Tak banyak kata yang diucapkan setelah itu. Tapi kesunyian di antara mereka bukan karena kesunyian. Melainkan karena keduanya tahu, sesuatu yang baru saja dimulai.
31Please respect copyright.PENANAlEiu9cCkmx
Sunyi Yang Berbeda
“Kadang, kebersamaan tentang tidak berbicara.
Tapi tentang hadir dan saling mendengarkan dengan tenang.”
Hari-hari berikutnya berjalan seperti aliran air yang tak pernah berisik. Nadine tidak tahu apakah Rey akan datang kembali ke perpustakaan itu, tapi dia tetap datang. Setiap sore, seusai kelas atau saat pikiran mulai sesak karena rutinitas yang terus berputar, ia akan kembali ke bangku panjang di dekat jendela besar. Syal yang sama melilit Merujuk, dan buku yang sama ada di pangkuannya—meski kali ini, jarang terbuka.
Dan seperti alam semesta yang diam-diam ikut bermain dalam cerita mereka, Rey mulai muncul kembali. Tak selalu datang lebih dulu, tapi selalu ada. Kadang-kadang duduk di sudut ruangan dengan buku yang berbeda—Sartre, Freire, kadang-kadang hanya memikirkan di depan halaman kosong buku catatannya. Tak ada janji, tak ada “sampai besok”, tapi selalu ada mereka.
Perpustakaan menjadi dunia kecil yang hanya tempat mereka. Tidak ada pembicaraan panjang seperti pertemuan pertama. Kini, keheningan menjadi bahasa yang bagi mereka. Nadine duduk membaca, Rey mencatat atau menatap ke luar jendela. Kadang-kadang mereka hanya saling bertukar senyum singkat sebelum kembali ke dunia masing-masing. Tapi anehnya, dari diam itu, tumbuh rasa akrab yang perlahan mengisi ruang-ruang kosong di hati mereka.
Bagi Nadine, itu adalah hal baru. Ia tumbuh dalam lingkungan yang bising: ibu yang selalu menyuruhnya berbicara, teman-teman yang mengharuskan kehadiran di grup media sosial agar dianggap “masih ada”, dosen yang tidak menyukai “diam” dalam diskusi kelas. Ia terbiasa mengisi ruang dengan suara—bukan karena ingin, tapi karena merasa harus.
Tapi bersama Rey, dia mulai memahami arti berbeda dari kehadiran. Bahwa seseorang bisa ada, tanpa perlu mengisi semuanya dengan kata-kata.
Pernah suatu sore, hujan turun tanpa tanda. Jendela mulai meniru, dan suara hujan menari di atas atap perpustakaan. Nadine, yang biasanya membawa payung, kali itu lupa. Ia menghela nafas pelan, menatap langit kelabu dari balik kaca.
Rey meliriknya. “Lupa payung?” tanyanya.
Nadine mengangguk, tersenyum tipis.
Rey tidak menawarkan solusi, tidak menyatakan heroik. Ia hanya kembali menulis di bukunya. Tapi ketika perpustakaan hendak tutup dan keduanya berdiri untuk pergi, ia mengeluarkan jaket jeans luluhnya, menawarkannya untuk dipakai Nadine.
“Lebih baik kau yang pakai. Aku biasa hujan-hujanan.”
Nadine sempat menolak, tapi muncullah Rey tak berubah. Tidak memaksa, tapi tegas. Ia pun merasa kasihan. Jaket itu terasa dingin di awal, tapi setelah beberapa langkah, hangat tubuh Rey masih tertinggal di dalamnya. Entah kenapa, dia merasa lebih terlindungi daripada memakai payung sekalipun.
Mereka berjalan berdampingan di bawah hujan yang rintiknya mulai pelan. Nadine menatap Rey dari samping. Ia selalu merasa ada hal-hal yang tak dikatakan Rey. Rahasia yang tidak gelap, tapi terlalu dalam untuk diucapkan. Lelaki itu seperti laut saat malam: tenang di permukaan, namun menyimpan badai yang belum selesai secara mendalam.
“Kenapa kamu selalu sendiri, Rey?” Nadine bertanya pelan, tak yakin akan mendapat jawaban.
Rey menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Lama ia diam, sampai akhirnya menjawab,
"Karena dunia ini terlalu berisik. Kadang-kadang... sendiri lebih sunyi, tapi juga lebih jujur."
Jawaban itu membuat Nadine menggigit bibir bawahnya. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi merasa itu bukan waktunya. Jadi ia memilih diam, dan berjalan lebih dekat ke samping Rey. Hujan terus turun, membasahi jalan, namun tidak membuat langkah mereka melambat.
Hari-hari berikutnya, mereka mulai menciptakan pola yang tak direncanakan. Nadine membawa dua termos kecil: satu berisi teh melati kesukaannya, satu lagi ia isi kopi hitam pahit yang—setelah beberapa kali percakapan—ia tahu adalah favorit Rey. Rey akan membalas dengan sebatang cokelat murah yang dibelinya di warung dekat kos, atau menyalin puisi favoritnya di lembar kecil dan menyelipkannya di antara halaman buku yang Nadine baca.
Tak ada yang romantis dalam cara mereka saling memperhatikan. Tapi justru itu yang membuat segalanya terasa nyata. Sederhana. Penuh makna.
Suatu hari, Nadine membawa satu pertanyaan ke perpustakaan. Ia membiarkannya duduk di ujung pikirannya, menunggu waktu yang tepat untuk diucapkan. Tapi tak lama kemudian tampak siap, hingga akhirnya, saat langit mulai berubah warna di luar jendela dan Rey mulai mengemas bukunya, ia bertanya,
“Rey… kamu percaya pada orang yang bisa saling menyembuhkan, tanpa menyentuh luka satu sama lain?”
Rey berhenti. Tangannya masih di atas tas, tapi matanya menatap Nadine.
"Aku percaya. Tapi bukan karena orang itu datang membawa jawaban. Kadang cukup hanya karena dia duduk di sampingmu, saat kamu bertanya."
Nadine mengangguk pelan. Di dalam dadanya, sesuatu mekar diam-diam.
Pada hari itu, sebelum mereka berpisah, Nadine berkata tanpa menoleh, “Terima kasih… karena sering duduk di sampingku.”
Rey hanya tersenyum, tapi itu cukup.
31Please respect copyright.PENANAZtNBmfozYi
Memegang Kepercayaan
“Kepercayaan tumbuh bukan dari janji,
melainkan dari keberanian membuka luka—dan tetap bertahan setelahnya.”
Hari itu perpustakaan tidak seramai biasanya. Hujan belum turun, tapi awan kelabu menggantung rendah seolah menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Nadine datang lebih dulu kali ini. Ia duduk di tempat biasa, namun tak membuka satu pun buku.
Tangannya memegang cangkir kopi kertas yang masih hangat, tapi tidak minum. Pandangannya memandang ke taman kecil di luar jendela, tempat daun-daun mulai rontok karena kelelahan yang menahan musim.
Dia risiko. Bukan karena tugas kampus. Bukan pula karena ujian yang semakin dekat. Tapi karena satu rasa yang sejak beberapa hari terakhir tak bisa ia abaikan: takut.
Ia tak tahu sejak kapan perasaannya terhadap Rey tumbuh melebihi sekedar kebersamaan yang nyaman. Awalnya hanya berbincang sore, lalu teh hangat, lalu hujan bersama, dan kini... ia merasa rindu saat Rey tak datang. Merasa cemas saat Rey diam terlalu lama. Merasa rapuh, seperti benang halus yang terlalu sering ditarik.
Dan itu menakutkan.
Karena dia tahu betapa mudahnya dia terjatuh pada ketergantungan. Ia tahu bagaimana rasanya menjadi terlalu berharap, lalu ditinggal. Ia tahu luka seperti apa yang ditinggalkan oleh seseorang yang awalnya terasa seperti rumah, tapi kemudian pergi tanpa pamit.
Langkah pelan terdengar mendekat. Rey muncul dengan jaket yang sama, sedikit basah di titik awal, dan senyum kecil yang tampak tak yakin.
“Hujannya belum turun,” singkatnya, mengambil tempat di samping Nadine.
Nadine mengangguk, masih menatap ke luar.
Rey mengeluarkan buku dari tasnya, tapi tidak membukanya. Setelah beberapa menit diam, ia menatap Nadine dan bertanya, " Ada yang berbeda. Kamu kelihatannya... berat hari ini."
Nadine menarik napas panjang. Tak ada gunanya menyembunyikannya. Kalau bukan ke Rey, lalu ke siapa?
“Aku takut, Rey,” bisiknya, hampir tak terdengar.
Rey menoleh, tubuhnya sedikit bergerak lebih dekat. “Takut apa?”
"Takut... kalau aku terlalu bergantung padamu. Takut aku terlalu nyaman, terlalu sering menunggu kamu datang. Dan kalau suatu hari kamu tidak datang lagi... aku tidak tahu harus bagaimana."
Keheningan ketidaknyamanan mereka saat itu. Rey menatap wajah Nadine dengan mata yang tak berubah. Tidak kaget. Tidak marah. Tidak bingung.
Lalu, perlahan, ia menggenggam tangan Nadine.
Genggaman itu bukan sekadar sentuhan. Di sana ada kehangatan yang tenang. Ada keberanian yang tak terucapkan. Dan yang paling penting, ada penerimaan.
“Tidak apa-apa takut,” kata Rey akhirnya.
"Tapi kamu tidak sendiri. Aku juga takut. Takut membuka diri. Takut membuat orang kecewa. Tapi aku di sini, Nadine. Dan aku memilih tetap di sini."
Nadine menatap tangan mereka yang saling menggenggam. Dibalik segala perbedaan, ada ruang kecil yang mereka ciptakan bersama—tempat di mana rasa takut tidak harus dihilangkan, tapi cukup dipeluk.
“Aku bukan tempat yang sempurna,” kata Rey pelan.
“Tapi kalau kamu butuh tempat untuk berdiam, aku akan berusaha menjadi itu.”
Nadine tersenyum, dan untuk pertama kalinya hari itu, matanya terasa hangat oleh sesuatu yang bukan kegelisahan.
“Mungkin kita sama-sama luka,” katanya. “Tapi mungkin… dua luka bisa saling menyembuhkan, bukan saling melukai.”
Rey mengangguk.
“Kalau kita saling jujur, mungkin.”
Hari itu, tak ada bacaan yang selesai. Tak ada catatan yang ditulis. Namun untuk pertama kalinya, kepercayaan tumbuh bukan karena janji manis atau kata-kata indah—melainkan dari keberanian yang menunjukkan ketakutan terdalam, dan menerima bahwa itu tidak membuat seseorang menjadi beban.
Sakit pun berakhir pelan. Hujan turun perlahan, seperti mengerti bahwa hari itu bukan tentang badai, tapi tentang hujan kecil yang membersihkan.
Dan di tengah hujan itu, genggaman tangan mereka tak lepas.
31Please respect copyright.PENANADrg9TWlKSD
Hujan dan Pelukan Matahari
"Ada pelukan yang tidak terlihat. Hanya terasa. Dalam diam, dan kehangatan yang tak memerlukan kata."
Hujan turun sejak pagi.
Bukan hujan deras yang menggelegar, tapi rintik halus yang jatuh perlahan seperti gumaman rahasia langit. Nadine datang dengan rak perapian panjang berwarna biru tua dan payung transparan yang sudah mulai retak di titik tengah. Di tangan tergenggam termos teh melati, dan di dada... rasa yang belum sempat diberi nama.
Perpustakaan hari itu nyaris kosong. Mungkin karena hujan, atau mungkin karena dunia luar sedang terlalu sibuk mengejar hal-hal yang tak bisa dibawa mati. Tapi di sana, di sudut yang sama, Rey duduk seperti biasa. Matanya tidak mirip dengan buku hari ini—ia menatap jendela, menatap gerimis yang menari di atas kaca.
Nadine masuk tanpa suara, duduk di situ. Mereka tak saling menyapa dengan kata. Tapi saat Rey menyodorkan cokelat kecil dari sakunya, dan Nadine menyerahkan satu cangkir teh panas, dunia kembali pada poros yang tenang.
Beberapa menit berlalu. Rey menghela napas pelan. “Aku selalu suka suara hujan,” katanya.
Nadine menoleh dan tersenyum.
“Kenapa?”
"Karena dia tidak pernah memaksanya. Tapi selalu gagal."
Diam kembali mengisi ruang. Tapi bukan ruang. Justru sebaliknya: ruang itu penuh oleh hal-hal yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.
Di luar, tetesan udara mulai turun lebih deras, menghantam kaca jendela dengan irama yang ritmis. Cahaya lampu perpustakaan memantul di lantai kayu, menciptakan bayangan hangat yang bergerak pelan.
Rey mengambil sesuatu dari tasnya—sebuah buku catatan kulit yang sudah usang. Ia membukanya di halaman tengah, lalu menyodorkannya pada Nadine.
“Aku sedang menulis sesuatu,” katanya, sedikit ragu. "Aku tidak tahu bagus atau tidak. Tapi... aku ingin kamu membaca."
Nadine menerima buku itu, menatap tulisan tangan Rey yang miring namun tegas.
Kadang, aku ingin menjadi hujan. Tidak dimengerti, tapi menemani.
Tidak dicari, tapi dirindukan saat datang.
Kadang-kadang, aku ingin menjadi pelukan—yang tidak perlu berbentuk, tapi selalu terasa.
Nadine menatap kata-kata itu lama. Setiap huruf terasa jujur, tidak dibuat-buat. Ia menutup bukunya dengan pelan, lalu memandang Rey.
“Aku merasa kamu sudah seperti hujan itu,” katanya. “Dan pelukan itu juga.”
Rey menunduk sedikit, lalu tersenyum. Nadine bisa melihat sedikit rona hangat di pipinya. Tak ada balasan kata. Hanya keheningan yang perlahan berubah menjadi sesuatu yang mengisi ruang di hati mereka.
Kemudian, Rey menggeser duduknya lebih dekat. Nadine tidak bergerak menjauh. Ada jarak yang dulu begitu besar di antara mereka, kini hanya tersisa setipis udara.
“Kadang aku takut kamu pergi,”
ucap Rey, nyaris seperti bisikan.
Nadine menoleh. Suaranya tenang, tapi nadanya getir.
"Aku juga. Tapi... kita di sini, bukan?"
Rey mengangguk. Perlahan, ia meraih tangan Nadine, lalu menggenggamnya dengan kedua tangannya. Hangat. Tidak seperti genggaman biasa. Ini adalah pelukan yang sunyi.
Mereka duduk seperti itu, membiarkan waktu berlalu di sekitar mereka. Hujan di luar seolah ikut merangkul. Seolah-olah dunia sedang berkata: tenanglah, hari ini kamu tidak sendiri.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Nadine merasa seperti pulang. Bukan ke tempat. Tapi untuk seseorang.
31Please respect copyright.PENANA1LFlAp0PfT
Jalanan Kota Dan Langit Malam
“Beberapa perjalanan tidak butuh tujuan,
cukup berjalan bersama orang yang membuatmu ingin terus melangkah.”
Perpustakaan bukan lagi satu-satunya tempat bagi Nadine dan Rey. Hubungan mereka tumbuh seperti pohon kecil yang hanya membutuhkan satu cahaya untuk hidup. Ia butuh udara, butuh tanah, dan butuh ruang untuk mekar perlahan.
Suatu Sabtu sore, langit masih menggantung kelabu. Tapi Nadine datang dengan wajah yang berbeda—lebih hidup, dengan rambut dikuncir setengah dan sweater rajut berwarna tanah liat. Di tangan ada dua tiket kecil yang ia acungkan ke arah Rey.
“Pameran foto di galeri kota. Gratis, dan ada kopi gratis juga,”
katanya dengan senyum menggoda.
Rey mengangkat cakrawala, sedikit terkejut.
“Kamu ngajak aku keluar dari zona nyaman ya?”
Nadine hanya mengangguk.
“Anggap aja…kita cari dunia baru.Selain tumpukan buku dan suara hujan.”
Dan mereka pergi.
Menyusuri trotoar kota yang basah dan dipenuhi bau tanah. Menyeberangi jalanan kecil dengan lampu-lampu kuning gantung seperti bintang-bintang yang turun terlalu rendah. Galeri itu kecil, tersembunyi di antara toko vinyl tua dan kedai mie ayam yang masih buka.
Di dalamnya, mereka melihat potret-potret yang sunyi: wajah-wajah asing dalam bingkai, lanskap kota yang kosong, jalan setapak dengan jejak kaki terakhir. Nadine berhenti lama di depan satu foto: seorang pria tua duduk sendiri di bangku taman dengan hujan tipis menetes di belakangnya.
"Sepi ya?" bisiknya.
Rey berdiri di sana. “Atau... damai. Tergantung siapa yang melihat.”
Mereka tidak banyak bicara. Tidak perlu. Dunia visual di sekeliling mereka seperti memperjelas sesuatu yang selama ini hanya mereka rasakan dalam diam. Setelah galeri, mereka berjalan melintasi kota. Langit mulai bersih, awan pergi perlahan seperti kabut yang sadar diri.
“Kalau kamu bisa tinggal di mana pun di dunia, kamu mau tinggal di mana?” tanya Nadine saat mereka duduk di bangku taman kota sambil menatap air mancur kecil yang menyala warna-warni.
Rey berpikir sebentar. "Di tempat yang tidak menuntut aku untuk menjadi siapa-siapa. Cukup jadi diri sendiri. Dan ada seseorang yang mau duduk di sampingku meski aku diam."
Nadine tertawa pelan.
“Itu penjelasannya Rey banget.”
“Kalau kamu?”
Nadine menatap langit yang mulai menggelap, satu demi satu bintang bermunculan, malu-malu.
“Aku mau tinggal di mana pun… asal aku enggak harus terus pura-pura bahagia.”
Rey menoleh cepat.
“Kamu benar-benar bahagia?”
Nadine menunduk.
"Kadang. Di rumah, di kampus, sama teman-teman. Aku seperti harus selalu ceria, pintar, punya arah hidup yang jelas. Tapi sebenarnya... aku sering tidak tahu aku siapa."
Suara kota di sekitar mereka meredup. Rey tak menjawab segera. Ia menggenggam tangan Nadine, sama seperti sore-sore di perpustakaan. Tapi kali ini, genggaman itu disertai langkah maju. Rey berdiri, menarik Nadine pelan.
"Ayo," katanya.
“Mau ke mana?”
“Lihat langit.”
Mereka berjalan ke atap sebuah gedung parkir tua yang tak terpakai. Tangga sempit dan gelap tidak menghentikan langkah mereka. Dan ketika mereka tiba di atas, langit malam terbentang luas. Tanpa penghalang. Tanpa lampu-lampu terang kota. Hanya langit dan bintang.
Angin malam menyentuh pipi mereka, tapi tidak membuat mereka ingin pergi. Rey duduk di lantai beton dingin, Nadine menyusul di sebelahnya. Tak ada suara, hanya detak jantung dan tarikan napas.
“Bintang itu seperti kita,” ucap Rey perlahan.
“Kenapa?”
“Jauh dari semuanya. Terlihat kecil. Tapi tetap menyala. Bahkan ketika tak ada yang memandang.”
Nadine menatapnya. Jarak antara mereka begitu dekat. Nafas Rey terasa. Dan tanpa sadar, bersandar perlahan. Bukan dalam pelukan, bukan dalam kebutuhan. Tapi dalam rasa yang tak lagi membutuhkan validasi.
“Rey…” dia sedikit gemetar.
"Hmm?"
“Aku rasa aku mulai terlalu terbiasa sama kamu.”
Rey diam lama. Sangat lama.
Kemudian dia berkata pelan,
“Kalau itu salah, aku juga salah.”
Malam itu, mereka duduk berjam-jam, menyaksikan langit yang tidak menjanjikan apa-apa, namun tetap membuat mereka percaya bahwa kebersamaan tak harus bising. Tidak harus sempurna. Cukup ada.
Di bawah langit malam dan jalanan kota yang perlahan tertidur, dua jiwa dari dunia berbeda duduk berdampingan. Tak tahu ke mana esok akan membawa mereka, tapi tahu bahwa malam ini... mereka tidak sendirian.
Dan dalam genggaman kecil, Nadine dan Rey mulai percaya: mungkin, cinta bukan datang dari ledakan. Tapi dari ketenangan yang perlahan tiba-tiba ingin menetap.
31Please respect copyright.PENANAKqyYEWPExP
Pelan-Pelan Menjadi Kita
“Cinta yang tumbuh pelan, bukan karena terburu-buru,
tapi karena memilih untuk tetap tinggal, meski dunia berputar cepat.”
Setelah malam di atap gedung parkir itu, sesuatu dalam hubungan Nadine dan Rey berubah. Tidak ada pengakuan besar atau janji megah, hanya kehadiran yang semakin terasa—hadir tanpa tuntutan, tanpa topeng, tanpa rasa takut.
Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, bukan hanya di perpustakaan yang menjadi saksi awal pertemuan mereka, tapi juga di rumah Rey, di warung kopi kecil yang hangat, bahkan di sudut taman kota yang berangin. Semua tempat menjadi Saksi bisu dari proses pelan-pelan itu—proses menjadi 'kita'.
· Kopi dan Cerita Pagi
Pagi itu, Rey sudah menunggu di depan kedai kopi favorit mereka, dengan senyuman tipis dan secangkir kopi hitam hangat di tangan.
“Aku ingat kamu suka yang manis, ini buat kamu,”
sambil menyerahkan cangkir berisi latte bergelembung tipis.
Nadine tersenyum, merasa kecil di hati.
“Kamu ingat?”
Rey mengangkat bahu, sedikit tersipu.
“Aku suka lihat kamu senang.”
Sambil menyeruput kopi, mereka duduk bersebelahan di bangku kayu, menatap orang-orang lewat-lalang. Nadine mulai bercerita tentang mimpi-mimpi kecilnya—tentang harapan yang dulu tersembunyi di balik kata-kata dan tawa palsu.
Rey mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk atau memberi komentar yang membuat Nadine merasa didengarkan, bukan sekedar didengarkan, tapi dimengerti.
· Tawa yang Mengikat
Suatu saat, mereka memutuskan untuk memasak bersama di rumah Rey. Nadine yang biasanya tidak terlalu suka memasak, merasa aneh tapi menyenangkan mengaduk-aduk sayur dan bumbu bersama.
“Ini rasanya bagaimana?” Nadine bertanya sambil meyakinkan sup yang hampir gosong.
Rey tertawa, sebuah tawa hangat yang menggema di ruangan kecil itu.
“Kayak kita yang lagi belajar bareng. Kadang manis, kadang gosong, tapi tetap dicoba.”
Mereka tertawa lepas, suara itu menghapus penat dan segala kekhawatiran. Saat sup akhirnya siap, mereka duduk di meja makan sederhana, menikmati makanan yang sederhana pula—namun terasa istimewa karena dimasak bersama.
· Pelan-pelan Membuka Diri
Hubungan mereka bukan tanpa hambatan. Ada saat-saat ketika Nadine masih ragu, saat Rey tiba-tiba diam terlalu lama, dan saat keduanya harus menghadapi ketakutan sendiri-sendiri.
Suatu malam, Nadine berbisik di telinga Rey,
“Aku takut kalau aku terlalu membuka diri, lalu kamu pergi.”
Rey menatap dengan lembut. "Kalau aku pergi, itu bukan karena kamu membuka diri. Tapi karena aku tidak cukup berani bertahan."
Malam itu, Nadine merasakan kehangatan yang datang dari kata-kata Rey, sebuah janji tanpa kata yang menguatkan hatinya untuk terus mencoba—bukan hanya untuk Rey, tapi untuk dirinya sendiri.
· Menemukan Bahasa Cinta
Setiap orang punya cara menyelamatkan yang berbeda. Nadine belajar bahwa bahasa cinta Rey adalah dengan kehadiran yang konsisten—menyimak tanpa menghakimi, menyentuh dengan lembut, dan hadir tanpa syarat.
Rey, di sisi lain, mulai membuka dirinya melalui puisi-puisi kecil yang ia tulis untuk Nadine. Puisi yang sederhana tapi penuh makna, seperti lukisan hati yang ia bagikan perlahan-lahan.
Suatu malam, Rey membacakan puisinya dengan suara serak:
“Dalam diam, aku belajar
untuk mendengar detak jantungmu
bukan suara yang kau ucapkan
tapi kau menyembunyikannya.”
Nadine tersenyum, hatinya menghangat. Ia tahu, pelan-pelan, mereka sedang belajar menjadi 'kita' yang utuh.
· Menjadi Rumah bagi Satu Sama Lain
'Pelan-pelan menjadi kita' bukan hanya tentang waktu, tapi tentang ruang yang diciptakan untuk saling menerima.
Di suatu tempat yang cerah, Rey menatap Nadine dengan serius tapi lembut.
“Kamu tahu, aku tidak pernah merasa bisa jadi rumah bagi seseorang,” katanya. “Tapi dengan kamu, aku merasa mungkin aku bisa.”
Nadine meraih tangan Rey, menggenggamnya erat.
“Kita belajar bersama, Rey. Menjadi rumah itu butuh waktu, tapi aku ingin mencoba bersama kamu.”
Mereka tersenyum, dua hati yang tak sempurna tapi saling melengkapi.
Waktu berjalan. Hubungan mereka tak lagi sekadar dua dunia yang bertemu—melainkan dua jiwa yang pelan-pelan menemukan irama yang sama, meski terkadang terhenti, terjatuh, atau tertatih.
Tapi yang terpenting: mereka memilih untuk terus berjalan. Bersama.
31Please respect copyright.PENANAQJgP36REkP
Janji Di Bawah Senja
Langit senja malam itu seperti lukisan hidup yang tak ingin berhenti mereka lihat. Warna jingga, merah muda, dan ungu berpadu menjadi satu, mengenang kota kecil dengan kehangatan yang lembut namun penuh makna. Angin sore berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang berguguran. Di taman yang telah mereka jadikan Saksi bisu perjalanan mereka, Nadine dan Rey berjalan berdampingan, saling berpegangan tangan seolah ingin memastikan bahwa dunia di sekitar mereka tak akan pernah berpisah.
Rey berhenti di sebuah bangku kayu yang menghadap ke danau kecil. Permukaannya berudara tenang, memantulkan warna langit dengan indah, seakan ikut merayakan momen penting yang akan mereka lewati. Nadine duduk di bangku itu, menarik napas dalam-dalam, merasakan jantungnya berdetak cepat, campuran antara gugup dan harapan.
Rey berdiri di sana, menatap wajah Nadine dengan sorot mata yang penuh kerentanan sekaligus keteguhan. Dia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian yang selama ini tersembunyi di balik sikapnya yang pendiam.
“Kau tahu, Nad,” suaranya lirih tapi jelas,
"Aku bukan orang yang pandai mengungkapkan apa yang kurasakan. Tapi malam ini, aku ingin jujur padamu. Aku ingin kau tahu, bahwa sejak pertama kali aku bertemu denganmu, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuat aku ingin tetap di sini, di sampingmu."
Nadine terdiam sejenak, menahan haru yang mulai memenuhi dadanya.
“Aku juga, Rey,” jawabnya dengan suara bergetar.
"Aku takut. Takut untuk berharap, takut kalau nanti aku akan terluka lagi. Tapi bersamamu, aku belajar arti keberanian yang sesungguhnya."
Rey duduk di samping Nadine, menggenggam tangan yang masih tergenggam hangat dalam genggamannya.
"Aku tahu kita datang dari dunia yang berbeda, dengan cerita dan luka masing-masing. Tapi aku percaya, kita bisa melewati semuanya jika kita saling percaya dan berusaha. Aku ingin kau jadi bagian dari romansa, bukan hanya teman yang lewat, tapi seseorang yang aku bisa percaya sepenuh hati."
Mata Nadine berkaca-kaca.
“Aku ingin itu juga, Rey. Aku ingin kita menjadi 'kita' yang sesungguhnya, bukan hanya dua orang yang berseberangan tapi tetap berdampingan.”
Rey mengangkat tangan Nadine, menatap ke dalam ke matanya yang bersinar di bawah sinar senja.
Aku berjanji akan menjaga hatimu sebaik mungkin. Aku akan belajar mencintai dengan segala cara yang kau butuhkan. Aku akan selalu ada, saat kau bahagia maupun saat kau rapuh.
Suara Rey yang rendah dan tulus membuat dada Nadine sesak. Dengan suara serak yang sulit ia kendalikan, Nadine membalas,
"Aku juga berjanji, Rey. Berjanji untuk jujur, untuk bertahan meski badai menghadang, dan menerima semua kekuranganmu. Karena aku tahu, cinta bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang keberanian menerima dan berjuang bersama."
Mereka duduk dalam diam yang penuh makna, tangan yang saling menggenggam erat, seolah tak ingin melepaskan satu sama lain. Senja semakin merunduk, berganti warna menjadi ungu gelap dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Hanya ada mereka berdua, dan janji yang terukir di hati, yang lebih kuat dari apa pun.
Di bawah langit yang mulai gelap, dengan udara yang dingin mengelus lembut wajah mereka, Nadine dan Rey tahu satu hal pasti: bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dengan cinta yang tulus, keberanian yang matang, dan janji yang tak akan mudah diselesaikan oleh waktu.
Malam itu, mereka melangkah pulang dengan hati yang lebih ringan, dan langkah yang lebih pasti. Dunia mungkin masih penuh, tapi mereka siap menghadapinya — bersama.
31Please respect copyright.PENANA6savgabaRL
Cerita Baru Yang Dimulai
"Kadang, rumah bukan tempat. Rumah adalah seseorang yang sepertinya ingin menetap, bahkan ketika seluruh dunia berkata pergi."
Hujan baru saja reda sore itu, menyisakan embun tipis di jendela dan aroma tanah basah yang meruap di udara. Jalanan masih basah, dengan bayangan lampu toko memantul di aspal seperti lukisan yang bergerak. Di sudut kota, di sebuah gang sempit yang tidak banyak orang tahu, berdirilah sebuah kedai kopi kecil yang jarang terlihat mencolok—Kopikata.
Tempat itu adalah surga Rey. Bukan karena kopinya yang luar biasa atau kursi kayunya yang empuk, tapi karena suasana di dalamnya seolah melindungi siapa pun yang datang dengan hati yang penuh beban. Di sini, dunia terasa lebih pelan. Lebih jujur.
Nadine baru pertama kali benar-benar memperhatikan tempat itu. Dinding bata ekspos yang sedikit usang, rak buku yang tak beraturan, serta bau khas biji kopi yang baru digiling menciptakan nuansa yang menenangkan. Rey sudah lebih dulu datang, duduk di sudut paling belakang dekat jendela, seperti biasa. Ia mengangguk begitu Nadine datang dan menarik kursi di depannya.
“Ini tempat favoritmu, ya?” Nadine membuka percakapan, matanya menyapu seluruh ruangan yang terasa hangat dan tenang.
Rey mengangguk sambil menyeruput kopinya.
"Tempat ini seperti... tempat sembunyi. Di sini aku bisa jadi siapa saja. Atau tidak jadi siapa-siapa."
Nadine tersenyum kecil, lalu menatap lebih dalam.
“Kau tahu kenapa aku setuju datang ke sini hari ini?”
Rey mengangkat alisnya, menunggu.
"Karena aku ingin mengenal duniamu lebih dalam. Tidak hanya bagian yang kau tunjukkan waktu kita bicara soal buku atau politik. Tapi dunia yang membuatmu... menjadi kamu."
Rey terdiam beberapa saat. Nadine selalu bisa menembus sisi-sisi dirinya yang selama ini tak ingin disentuh siapa pun .
“Aku nggak membiarkan terbiasa orang masuk sampai sejauh ini, Nad,” katanya.
“Tapi entah kenapa, sama kamu… aku tidak bisa menutup semua itu.”
Nadine menatap cangkir kopinya, lalu berkata,
"Aku juga takut. Tapi lebih takut lagi kalau aku tidak pernah mencoba. Karena sesuatu dalam dirimu membuatku ingin tinggal lebih lama. Bukan hanya duduk di hadapanmu, tapi benar-benar ramah."
Hening jatuh di antara mereka. Tapi itu bukan keheningan yang canggung. Keheningan itu yang intens, seperti dua hati yang sedang menyusun keberanian untuk berkata lebih jauh.
Rey mencondongkan tubuh sedikit, matanya serius menatap Nadine .
"Kalau kita mulai sekarang, ini akan jadi perjalanan panjang. Mungkin akan ada pertengkaran, kesalahpahaman, masa lalu yang muncul kembali. Aku bukan tokoh utama dalam kisah cinta yang sempurna, Nadine."
“Aku juga bukan tokoh utama,” balas Nadine pelan.
“Aku hanya seseorang yang ingin tumbuh bersama, bukan seseorang yang mencari dongeng.”
Rey mengangguk pelan, lalu membuka mulut seolah ingin bicara, tapi yang keluar justru tawa pendek.
“Kau membuatku ingin menjadi lebih baik tanpa pernah memaksaku berubah. Dan itu… menakutkan sekaligus indah.”
Nadine tersenyum lebar untuk pertama kalinya pada hari itu .
"Berarti kita berdua sama-sama takut, tapi tetap di sini. Itu artinya kita sedang memulai sesuatu yang benar."
Rey menatap jendela yang basah oleh embun, lalu kembali menatap Nadine.
"Aku ingin memulai bab baru, Nad. Yang tidak kita tulis terpisah lagi. Aku ingin cerita ini jadi milik kita—bukan cuma pertemuan manis, tapi perjalanan panjang, meski dengan luka dan letihnya."
Nadine mengulurkan tangannya di atas meja. Rey menyambutnya. Genggaman itu pelan, tidak buru-buru, tapi pasti. Seperti janji tanpa kata, yang lahir dari keberanian untuk membuka diri, dari cinta yang tak dibangun dalam sehari.
Mereka duduk di sana lebih lama dari biasanya, tak butuh banyak kata. Di luar, hujan mulai turun lagi, menari pelan di atas kaca jendela. Tapi di dalam ruangan kecil itu, antara aroma kopi dan suara musik jazz yang samar, dua hati telah sepakat untuk berjalan bersama, menulis cerita yang baru dimulai.
Bukan lagi siapa tentang mereka dulu. Tapi siapa mereka kini—dan siapa mereka bisa jadi, jika bersama.
31Please respect copyright.PENANAigkPOW5RHj
Manisnya Hidup Bersama
“Kebersamaan tidak selalu berarti tinggal di tempat yang sama. Terkadang, yang membuat cinta tumbuh adalah jarak yang dihormati dan kehadiran yang terus diupayakan.”
Hari Minggu pagi. Bandung masih setengah terjaga. Di luar, matahari perlahan naik, menembus celah tirai jendela kamar kos Nadine yang didekor dengan warna lembut dan poster-poster puisi di dinding. Ponselnya bergetar pelan.
Rey: Lagi ngopi di tempat biasa. Datang kalau kamu sempat, aku simpan tempat dudukmu.
Nadine tersenyum membaca pesan itu. Tidak ada paksaan. Tidak ada janji. Hanya undangan sederhana, hangat, seperti semua hal yang selalu datang dari Rey.
Setengah jam kemudian, Nadine melangkah masuk ke Kopikata, kedai kopi kecil yang selalu menjadi tempat mereka kembali. Ia menemukan Rey duduk di pojok ruangan, di bawah lukisan abstrak yang warnanya sudah mulai pudar. Di depannya, sebuah buku filsafat ,secangkir vietnam infus serta teh melati telah terhidang. Nadine mengenali aroma favoritnya: teh melati.
“Pagi,” kata Nadine,
duduk dengan rambut masih sedikit lembap dan wajah tanpa riasan.
“Sudah pesan untukku?”
Rey mengangguk sambil menutup bukunya.
“Kamu kelihatan segar.”
“Bangun pagi itu perjuangan, tahu,” jawab Nadine sambil menyeruput teh.
“Tapi entah kenapa, aku nggak ingin melewatkan pagi ini.”
Mereka duduk tenang. Tak perlu terlalu banyak bicara. Di sekitar mereka, pengunjung lain larut dalam dunianya sendiri—sepasang suami istri muda bercanda sambil menyuapi bayi mereka, dua siswa berbicara skripsi, dan seorang barista yang menyanyi pelan mengikuti musik dari speaker.
Nadine menyandarkan dagu di atas tangan .
“Lucu ya, kita tidak tinggal bersama, tapi aku merasa punya 'rumah' saat duduk di hadapanmu seperti ini.”
Rey menatapnya. “Aku rasa itu karena kita saling hadir, bukan saling menuntut.”
Nadine mengangguk pelan, matanya menatap ke luar jendela, ke pepohonan yang bergoyang ringan ditiup angin.
“Dulu aku sering merasa harus bersama seseorang setiap waktu untuk merasa dicintai. Tapi sejak mengenal kamu, aku mengerti… yang penting bukan seberapa sering bertemu, tapi bagaimana kita hadir saat bersama.”
Rey mengangkat alis, lalu mengeluarkan sesuatu dari ranselnya—sebuah kertas kecil, dilaminasi, seperti potongan catatan yang sudah disimpan lama.
Nadine menggambar, membaca perlahan. Tulisannya tangan Rey, jelas dan bersih:
"Kebahagiaan itu kadang mengingatkan seseorang untuk sarapan. Atau mengirim foto langit sakit karena kau tahu dia suka warna jingga."
Nadine terkekeh. “Ini tulisanmu?”
“Dari waktu awal kita masih saling bertanya hal-hal remeh,” kata Rey.
“Aku menulis itu saat kamu mengirim foto langit senja dan bilang kamu capek hari itu, tapi langitnya sepertinya tetap tersenyum.”
Kilas balik kecil muncul dalam pikiran Nadine: malam itu, ia duduk sendirian di halte bus, setelah kelas yang panjang dan dosen yang menyebalkan. Ia memotret langit berwarna tembaga dan mengirimkannya pada Rey, hampir tanpa berpikir.
Waktu itu Rey hanya membalas: 'Terima kasih sudah berbagi langit ini denganku.'
Jawabannya sederhana, tapi entah kenapa membuat hatinya hangat sampai berhari-hari.
“Rey…” Nadine meletakkan cangkir tehnya.
“Apa yang juga kamu takutkan?”
Rey mengerutkan kening.
“Takut soal apa?”
“Soal berjalan sejauh ini bersama seseorang, lalu suatu hari kehilangan dia.”
Butuh beberapa detik sebelum Rey menjawab.
“Takut. Banget. Tapi aku lebih takut jika tidak berani mencoba sama sekali.”
Nadine terdiam, jantungnya pelan-pelan meredakan gelombang yang tadi datang tiba-tiba. Ia tidak membutuhkan jawaban yang rumit. Kalimat itu cukup.
Rey melirik jam tangannya.
"Mau jalan sebentar ke taman setelah ini? Aku tahu tempat duduk bagus yang menghadap kolam. Biasanya sepi."
Nadine tersenyum, bangkit sambil mengambil jaketnya.
"Mau. Tapi kamu traktir es krim nanti."
"Setuju," jawab Rey cepat.
Mereka berjalan keluar dari Kopikata. Jalanan sudah mulai ramai, tapi langkah mereka ringan, tanpa beban. Dua orang yang memilih untuk tumbuh bersama, tanpa perlu menghilangkan hidup mereka masing-masing. Tidak serumit kisah dalam film. Tidak seindah puisi. Tapi nyata. Dan terkadang, kenyataannya itu sendiri adalah bentuk cinta yang paling dalam.
Tawa Dan Pelajaran Hidup
“Kita bukan doa menjaga yang harus pas,
kita adalah dua dunia yang saling membuka pintu."
Rey pernah merasakan hidupnya seperti mesin yang terlalu lama dinyalakan: panas, berisik, tapi tidak benar-benar bergerak ke mana-mana. Ia punya rutinitas, punya hobi, punya jalan pikiran sendiri. Tapi semuanya terasa seperti mekanisme bertahan, bukan pilihan sadar untuk bahagia.
Sampai Nadine datang—dan perlahan, keheningan dalam hidupnya berubah menjadi suara. Bukan suara bising, tapi suara yang menggetarkan. Seperti musik metal yang pelan-pelan Rey putar untuk Nadine di dalam mobil, hanya agar dia tahu bahwa raungan gitar pun bisa membawa ketenangan.
Pada hari Minggu pagi yang teduh, Rey mengajak Nadine ke gunung prau,sebuah gunung yang katanya gunung paling romantis dan cocok untuk pemula seperti Nadine.Tidak seperti Rey yang terbiasa mendaki ekstrem,nadine belum pernah menjejalah hamparan hutan & tingginya gunung,paling hanya bukit yang biasa ia tempuh jika ingin menjauh dari riuh kota. Mereka berjalan pelan, menelusuri jalur tanah, melewati rimbunnya pepohonan, dan Rey tidak terburu-buru. Ia menyesuaikan langkah dengan Nadine.
“Aku masih nggak ngerti kenapa orang suka naik gunung,” keluh Nadine sambil mengusap keringat. “Napasku pendek, kakiku pegal, dan... apa menyiksa diri itu romantis buat kalian para pendaki?”
Rey terkekeh, lalu meraih tangan Nadine, menggenggamnya dengan lembut.
“Karena rasa lega waktu sampai puncak itu… gak bisa dijelaskan. Rasanya kayak—akhirnya menang atas diri sendiri.”
Nadine bersinar, tapi tetap berjalan. Ia menatap sepatu gunung yang sedang rey pakai,sepatu berwarna coklat tua yang ia belikan khusus untuk Rey beberapa bulan lalu, tapi Rey tolak dengan alasan "masih ada yang lama." Tetap saja, Nadine meletakkan diam-diam di depan pintu rumah Rey, diselipkan catatan kecil bertuliskan:
"Jangan hanya mendaki hati orang lain, tapi jaga langkahmu sendiri juga, ya."
—Nadine
Hari itu, Rey memakainya untuk pertama kali. Dan saat menapaki tanah berbatu bersama Nadine, ia merasa seperti sedang membangun sesuatu. Bukan hanya kenangan, tapi kehidupan yang baru.
Setelah sampai di puncak prau, mereka duduk di atas tanah tanpa alas. Angin menghembus lembut, menyapu rambut mereka.
“Aku merasa… hidup,” gumam Rey.
Nadine menoleh, memperhatikan.
“Maksudmu?”
"Dulu, hidupku cuma tentang bertahan. Kerja, baca buku, dengar musik keras, kadang naik gunung. Tapi semuanya terasa hampa. Seperti aku mencoba keras untuk merasakan sesuatu, tapi selalu gagal."
Ia menghela napas, menatap ke dalam mengantuk.
"Sekarang, kalian, semuanya jadi... penuh. Bahkan hal-hal kecil. Seperti ini—duduk berdua, lihat langit, diam. Aku tidak perlu melarikan diri lagi."
Nadine tak langsung menjawab. Ia tahu, kalimat seperti itu tak mudah keluar dari mulut Rey. Maka ia hanya menatap, mengangguk pelan.
Beberapa hari setelah pendakian itu, Rey bertemu Nadine di rumahnya, ia menunggu Nadine di teras yang dikelilingi pot-pot tanaman dan kucing pembohong yang sering datang minta dielus, Ia datang membawa sebuah buku. Bungkusnya sederhana, hanya dibalut kertas coklat dan diikatkan tali tipis.
Setelah beberapa saat nadine pun keluar
“Ini buatmu,” kata rey kepada nadine,menyodorkannya tanpa banyak basa-basi.
Nadine membuka perlahan. Buku itu—kusam, tua, tapi terjaga rapi. Tan Malaka – Aksi Massa.
Nadine mengangkat alis .
“Ini… bukan buku yang biasanya aku baca.”
Rey tersenyum .
“Aku tahu. Tapi aku pikir, kalau kamu bisa mengenalkanku pada film-film puitis yang bikin aku bingung tapi ternyata menyentuh… aku juga bisa berbagi tentang tokoh yang mengubah caraku melihat dunia.”
Nadine membuka halaman pertama. Ada catatan kecil di sana, tulisan tangan Rey:
"Bukan tentang harus sepakat, tapi tentang berani mendengar satu sama lain. Dari hatiku yang keras kepala untuk hatimu yang lembut tapi kuat."
— Raja
Mata Nadine menghangat.
"Kamu... ini sangat kamu, Rey. Dan entah kenapa, aku suka."
Hari itu mereka duduk berdampingan. Di meja ada kopi hangat dan camilan kucing. Seekor kucing kecil melompat ke pangkuan Nadine, mendengkur. Rey membuka percakapan soal motor klasik milik adik temannya yang sedang direstorasi, dan Nadine membalas dengan cerita soal film pendek favoritnya yang diputar di festival kecil semalam.
Mereka mulai membentuk pola.
Rey mulai membaca beberapa buku yang Nadine pinjamkan—tentang cinta, kehilangan, dan kisah-kisah manusia biasa. Nadine mulai mengenali irama lagu-lagu metal kesukaan Rey, bahkan diam-diam menyukai satu dua lagu karena liriknya yang keras tapi jujur.
Mereka tidak menjadi sama. Tapi mereka hadir, saling membuka pintu dunia masing-masing, dan berdiri di ambang itu tanpa memaksa masuk.
Dan untuk pertama kalinya, Rey tak lagi merasa takut. Ia mulai percaya, bahwa mungkin, hidup bukan untuk dilawan terus-menerus. Mungkin, hidup bisa dinikmati. Dengan langkah yang lambat. Dengan kehadiran yang sungguh-sungguh.
Dengan seseorang yang tak pernah bertanya untuk berubah, tapi justru membuatnya ingin bertumbuh.
Bersambung……….
ns216.73.216.203da2