
Namaku Jaka. Aku anak nomor 2 dari tiga bersaudara. Kami adalah keluarga yang alim. Ayahku sendiri seorang yang taat beragama. Kakakku seorang aktivis di kampus. Kami benar-benar keluarga yang religius. Aku? Aku sebenarnya kalau dilihat dari luar religius, tapi dibalik itu aku cuma anak biasa saja. Ndak sebegitunya seperti kakak perempuanku ataupun ibuku.
Pagi itu, udara di dalam rumah masih terasa lembab oleh sisa hujan malam. Tirai-tirai putih di ruang tamu bergerak pelan, berayun mengikuti semilir angin yang masuk dari jendela yang sengaja dibiarkan terbuka sedikit. Aroma kayu basah dan sabun mandi menyatu di udara, menciptakan suasana rumah yang tak sepenuhnya tenang, tapi juga tidak gelisah. Seolah waktu melambat hanya di dalam bangunan ini, membiarkan tiap detik menetap lebih lama dari biasanya.
Jaka duduk di lantai atas, di ruang kecil yang ia sebut kamarnya. Dindingnya sederhana, dicat hijau pucat, beberapa bagian mulai mengelupas. Di sudut, ada rak buku yang miring, dipenuhi diktat bekas dan novel yang tak lagi lengkap halamannya. Ia baru selesai sholat subuh tadi, tapi belum turun ke bawah. Kakinya terlipat di bawah tubuhnya, matanya kosong menatap ke luar jendela, seolah mencari sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
Ia mendengar suara-suara biasa dari lantai bawah denting piring, langkah kaki Bundanya yang khas halus tapi teratur, suara lemari yang dibuka, lalu percakapan lirih antara Fitri dan Kak Rindi.
Ketiganya perempuan. Dan dia satu-satunya laki-laki di rumah ini. Dulu ada ayah. Tapi kini tak ada lagi.
Yang tersisa hanya perempuan-perempuan yang tabah, dan dirinya, seorang anak laki-laki yang tak tahu apakah masih boleh merasa lemah.
Hidup mereka berubah perlahan sejak ayah meninggal. Tidak meledak seperti ledakan granat, tapi seperti air sumur yang terus menetes hingga akhirnya membuat dasar batu berlubang. Toko kecil milik keluarga yang dulunya hanya laris saat Ramadhan kini berkembang jadi usaha rumahan yang mapan. Semua dimulai dari Bundanya seorang ustadzah yang wajahnya bersih dan kata-katanya lembut, tapi jiwanya baja. Kak Rindi, anak sulung yang tak segan mencuci kaki adiknya kalau itu bisa membuat keluarga ini tetap utuh. Dan Fitri, si bungsu, yang senyumnya seperti matahari pertama setiap pagi.
Tapi Jaka tahu, rumah ini menyimpan sesuatu yang tak pernah benar-benar dibicarakan.
Kadang, saat semua sedang tertidur, ia terjaga. Bukan karena mimpi buruk, tapi karena ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Suara tawa Kak Rindi yang terlalu renyah saat menelepon seseorang. Dentingan gelas di tengah malam saat Bundanya diam-diam turun ke dapur. Atau sorot mata Fitri yang terlalu lama tertahan ketika melihat tubuh Jaka tanpa baju selepas mandi.
Tidak ada yang vulgar. Tidak ada yang salah. Tapi juga tidak benar-benar biasa.
Dan entah sejak kapan, pikirannya mulai bermain sendiri.
Jaka pertama kali menyadari perasaan aneh itu saat tanpa sengaja masuk ke kamar mandi beberapa detik setelah Kak Rindi keluar. Uap hangat masih menempel di dinding, dan di sana di atas tempat sabun tergeletak bra berwarna merah muda.
218Please respect copyright.PENANA8DSn8ncDyA
Basah, lembut, meninggalkan aroma samar wangi tubuh yang ia kenal sejak kecil, tapi kini terasa asing. Matanya menatap benda itu lebih lama dari seharusnya. Jantungnya berdetak tak karuan. Ada gelombang rasa bersalah, tapi juga penasaran yang menyatu.
Setelah hari itu, ia mulai memperhatikan lebih banyak hal. Gerakan jari Kak Rindi saat menyisir rambutnya di pagi hari.
Cara Bundanya duduk bersila saat mengaji, dengan rok panjang yang tersibak sedikit
menampakkan mata kaki yang putih.
Bahkan, tawa kecil Fitri yang menggoda saat Jaka menggoda balik, terasa semakin… berbeda. Bukan tawa adik kepada kakak, tapi tawa yang menggoda tanpa sadar.
Ia mulai merasa seperti penonton dalam film yang tidak ia pesan, dan tokoh-tokohnya adalah orang-orang yang ia cintai dalam konteks yang seharusnya suci.
Tapi ia tidak berhenti menonton.
Cek kelanjutannya di
victie.com/app/author/49673
ns3.133.13.2da2