Hujan mengguyur jendela-jendela apartemen mewah itu tanpa henti. Suara air jatuh memecah keheningan malam, menciptakan simfoni alam yang seolah menambah suasana misterius. Angin berdesir melalui celah-celah jendela, membawa aroma tanah basah dan sedikit aroma anyir yang samar.
Satria berdiri di depan pintu apartemen, menatap deretan angka di bel. Ia menghela napas, merasakan dingin yang meresap hingga ke tulang. Gelapnya malam seolah membungkusnya dalam rasa cemas.
“Lagi-lagi kasus aneh,” gumamnya pelan.
Beberapa detik kemudian, Zara muncul di sampingnya. Rambutnya basah kuyup, butiran air meluncur dari ujung rambutnya.
“Apa Anda yakin mau masuk?” tanyanya sambil memegang payung.
“Tidak ada pilihan lain,” jawab Satria, menatap tajam ke arah pintu yang tertutup rapat.
Mereka melangkah masuk ke dalam apartemen yang terkesan mewah namun suram. Lampu-lampu neon redup menerangi ruangan, menyoroti barang-barang berserakan di lantai. Di sekeliling tempat tidur, pakaian berantakan, handuk basah tergeletak di sudut, dan sepatu kulit tersudut jauh dari tempat tidur.
“Pak Inspektur... Ini aneh...!” bisik Aipda Galang kepada Satria, matanya melirik ke arah jasad yang tergeletak di atas ranjang.
Satria tidak mengalihkan pandangannya dari tubuh Andre. Jasad pemuda itu tampak damai, meski keadaan sekelilingnya berantakan. Bau anyir menyengat, seolah mengingatkan mereka akan kengerian yang baru saja terjadi.
Galang sibuk membuka-buka buku catatan di hadapannya. Ia mencatat detail-detail yang bisa jadi penting, meski hatinya bergetar merasakan ketegangan suasana.
“Tenang, nak. Jangan subjektif. Kumpulkan saja bukti-bukti yang ada dan laporkan!” perintah Satria dengan suara tegas, menekankan setiap kata.
“Siap, pak!” Galang mengangguk cepat, lalu kembali fokus pada catatannya. Ia menjil*ti bibirnya yang kering sebelum mencatat lagi.
Dengan sigap, Galang menjelajahi ruangan kecil itu. Ia meraba-raba benda-benda berserakan di lantai—pakaian yang terlihat acak-acakan dan handuk basah yang mengindikasikan ada sesuatu yang tergesa-gesa terjadi sebelum kematian Andre.
Satria merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sarung tangan plastik, mengenakannya dengan hati-hati sebelum memeriksa benda-benda lain di sekitar ranjang.
Ketenangan malam terasa menyesakkan saat mereka bekerja dalam hening, terbenam dalam misteri kematian Andre tanpa jawaban pasti.
“Tiga orang dalam sebulan,” Zara berkata sambil menggigit bibir bawahnya.
Zara memandang sekeliling apartemen dengan cermat, berusaha mengumpulkan semua detail yang ada. Setiap sudut menyimpan cerita, setiap barang yang berserakan seolah berbisik tentang kejadian yang terjadi.
Zara mendekati vas porselin di pojok ruangan dengan hati-hati. Jari-jarinya menyentuh dinginnya permukaan porselin, merasakan kehalusan dan kerapihan desainnya. Ia mengamati kelopak-kelopak bunga Anyelir yang layu, seolah terperangkap dalam kesedihan. Tiga kelopaknya berguguran di tepi meja, menciptakan gambaran yang tragis.
“Bunga ini lagi...,” gumamnya pelan.
Ia menunduk, mencium aroma bunga tersebut dengan hati-hati. Aroma yang sedikit... anyir!
“Bagaimana menurutmu, Zara?” Satria tiba-tiba bertanya, memecah kesunyian. Suaranya tegas namun penuh rasa ingin tahu.
“Ini tidak seperti kematian biasa,” jawabnya pelan, menekankan setiap kata. “Ada sesuatu yang lebih besar di balik ini, seperti kematian-kematian sebelumnya.”
Satria mengangguk perlahan, tidak menyukai pernyataan tersebut namun merasakannya dalam hatinya. Zara kembali meneliti tempat tidur dan barang-barang di sekitarnya.
Satria menatap Zara dengan seksama. Sorot matanya menyelidik, berusaha memahami setiap pikiran yang melintas di benak gadis itu. Dia tahu betul bahwa ketajaman analisis Zara jarang dimiliki orang lain. Di dunia yang seringkali dipenuhi kebisingan dan kebingungan, Zara hadir seperti oase.
Memori berkelebat kembali ke masa lalu, saat ia pertama kali bertemu Zara di kantornya. Hari itu adalah hari biasa di Kantor Polisi, suara deru kendaraan luar berkumpul menjadi latar belakang pekerjaan rutin mereka. Satria baru saja menyelesaikan rapat membahas kasus penipuan yang rumit ketika seorang gadis muda memasuki ruangan.
“Selamat siang, Inspektur,” ucapnya dengan senyuman tulus, rambutnya tergerai dan wajahnya bersinar cerah.
Zara memperkenalkan diri sebagai ahli botani yang ditugaskan untuk membantu dalam penyelidikan kasus-kasus yang melibatkan tumbuhan beracun. Keduanya saling bertukar pandangan, dan Satria merasakan sesuatu yang berbeda. Gadis itu bukan hanya pintar; dia memiliki kemampuan untuk melihat detail-detail kecil yang sering terlewatkan oleh orang lain.
Gairah Zara terhadap pekerjaannya sangat menular. Dari situlah rasa hormat dan ketertarikan Satria terhadap Zara tumbuh, jauh lebih dari sekadar rekan kerja.
Kembali ke kenyataan, Satria menarik napas dalam-dalam dan mengalihkan pandangan ke arah apartemen Andre lagi. Pikiran-pikiran meluncur deras; ia perlu mengandalkan kemampuan analitis Zara kali ini juga. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar kematian misterius ini—sebuah jalinan tak kasat mata yang harus diurai sebelum semuanya terlambat.
Zara menundukkan kepala, menulis catatan di buku kecilnya dengan hati-hati. Dengan setiap goresan pena, ia menciptakan gambaran dari semua petunjuk di sekeliling mereka—barang-barang berserakan, sepatu kulit yang masih basah, bahkan bunga anyelir.
“Kita perlu menemukan hubungan antara semua kematian ini,” Zara berkata tanpa mengalihkan pandangan dari catatannya. Suaranya tenang namun tegas.
Satria mengangguk setuju, merasakan kedalaman kecerdasan gadis itu semakin menonjol saat mereka melangkah lebih jauh ke dalam misteri ini.
Zara mengamati bunga anyelir yang tergeletak di dekat tempat tidur. Dengan hati-hati, ia membungkuk dan menjinjing kelopak-kelopak yang layu itu, mencoba menangkap aroma samar yang menguar. Dalam pikirannya, segala detail bisa jadi penting.
“Inspektur, izinkan saya mengambil sampel anyelir misterius ini untuk pemeriksaan lebih lanjut,” ucapnya dengan penuh keyakinan.
Satria mengangguk, terfokus pada tindakan Zara. Ia tahu betapa berharganya pengetahuan gadis itu. Mungkin saja sampel ini bisa memberikan petunjuk berharga.
Zara merogoh tasnya dan mengeluarkan alat-alat kecil. Tangannya bergerak gesit, memilih jarum suntik steril dan botol kecil yang bersih. Ia memperhatikan bunga itu dengan seksama sebelum menusukkan jarum ke batangnya, menampung sedikit cairan dari dalam.
Galang berdiri tidak jauh dari mereka, matanya menyapu seluruh ruangan sambil mencatat semua kegiatan. Ia merasakan ketegangan yang menggelayut di udara—seperti ada sesuatu yang belum terungkap.
“Jangan lupa ambil foto,” Satria menyarankan, tangannya melangkah menuju arah jendela untuk melihat ke luar. Suara hujan semakin deras, menambah suasana mendung di dalam apartemen.
Zara mengangguk cepat sambil menekan tombol kamera ponselnya, mengambil gambar bunga-bunga anyelir dengan latar belakang kasur yang berantakan. “Setiap detail perlu dicatat,” ujarnya, fokus pada pekerjaannya.
Setelah mendapatkan sampel yang diperlukan, Zara meletakkan alat-alatnya kembali ke dalam tas. Dia merasa ada rasa urgensi dalam setiap gerakan—sebuah kesadaran bahwa mereka sedang berada di tengah misteri besar yang harus dipecahkan.
“Kalau kita bisa menemukan hubungan antara bunga ini dengan para korban sebelumnya...” Galang mulai berbicara, tetapi Satria memotongnya.
“Fokus pada bukti dulu,” tegasnya tanpa menoleh. Suaranya penuh otoritas.
Mereka bertiga kembali terbenam dalam tugas masing-masing; suara hujan menjadi irama latar yang menambah suasana mencekam. Zara kembali menatap anyelir tersebut, berharap menemukan petunjuk tersembunyi di balik kelopak-kelopaknya. Keberadaan bunga ini terasa lebih dari sekadar dekorasi—ada rahasia yang mengintai di balik setiap kelopak yang layu.
Kombinasi antara ketegangan dan rasa ingin tahu terus membayangi mereka saat langkah-langkah investigasi berlanjut tanpa henti.
ns216.73.216.10da2