What future holds we never know.
Lighting rampage, snatched surface makes anyone who hears will shudder with fear. There’s a woman wrapped in a pastel-colored dresses, her makeup melted along with the silent rain under a shade tree. Fresh blood dripping from her lips, she bites is to endure her sobs that brokes from her heart, want to come out so badly from her throat. She doesn’t want to be weak, she doesn’t want to admit how devastated at the time. Her head was bowed so deeply there is no sound she can hear clearly. Just a whisper of wind that mocks herself because of nightmare destiny that came to her for the umpteenth time.954Please respect copyright.PENANAYXh3eR8qV7
954Please respect copyright.PENANATG9SPSUDY3
"What have I done? So God punish me with this eldritch punishment. Is not God merciful? Then why there’s no mercy that bless for me?"954Please respect copyright.PENANAkEZLp9qi29
954Please respect copyright.PENANAvnT02DzyE5
She asked for justice, she shouted it from her heart while her mouth frozen in pain. She begged forgiveness to lift that curse. The curse of being The Lady Funeral where all she loved going to end in death and rest behind the mound of earth along with her pain. But nobody knows the plan from the holders of life. None of us knows what's best, only the holder of a string of destiny who understand the essential meaning of "The Best”.
“Takdir ya.”
Helaan nafas panjang mengiringi kata yang keluar dari balik bibirnya, lembaran terakhir dari novel berjudul “Funeral Lady” yang telah habis ia baca selama 4 jam terakhir perjalanan ia tutup. Sebagian helai rambut hitamnya menggantung di depan matanya yang segera ia sibak kebelakang, dalam kepalanya muncul sosok sang Funeral Lady yang kepribadian dan fisiknya tiada cela, figur wanita kuat dan juga berprinsip namun kala bahtera cintanya berulang kali karam menabrak karang ia berusaha bangkit. Pria itu menyandarkan punggungnya pada bantalan kursi berwarna hitam yang mendominasi sekeliling ruang kecil yang kini tengah membawanya menuju sebuah misi. Sesekali tubuhnya terlonjak akibat batuan jalan yang dilindas roda mobil, ia yang terakhir pergi dan sudah pasti terakhir sampai di antara rekan-rekannya di Divisi 101 sebuah divisi yang baru dibentuk berdasarkan kebijakan Departemen Keamanan. Mereka diberi tugas sebagai eksekutor menggunakan senjata bernama Judgement Bullet yang dilengkapi dengan laser penghancur yang akan meledakkan targetnya atau bahkan mencincang mereka. Hanya mereka yang memiliki sejarah sebagai seorang kriminal atau yang terdeteksi mampu berbuat kejahatan yang membuat pemicu senjata ini aktif.
Zyn masih belum menyentuh kotak senjatanya sama sekali, ia nampak tak tertarik dengan senjata mutakhir yang diciptakan hanya untuk Divisi 101. Sebaliknya ia sibuk mengelap dagger dan pisau lipat miliknya yang ia selipkan di balik kerah baju belakangnya. Matanya seakan mengintimidasi semua yang ia lihat, sikapnya menegaskan aura permusuhan hingga membuatnya nyaris tak memiliki seorang pun kawan tapi kini berbeda. Divisi 101 diisi oleh 10 orang anggota dari 10 distrik berbeda, ia sendiri berasal dari distrik 6 namun tak begitu mengenal daerah asalnya sendiri setidaknya untuk 2 tahun belakangan ini. Merasa penasaran dengan area yang ia lalui, tubuhnya ia condongkan kearah jendela kecil yang berada di sisi kirinya, sinar matahari begitu terik hingga ia harus menyipitkan matanya untuk dapat melihat keluar. Sebuah gerbang besar yang dijaga oleh 3 orang tentara perlahan terbuka ketika mobil yang dinaiki Zyn melaju kearahnya, sebuah tulisan terpampang jelas “Distrik 11” itulah yang tertera di sana. Zyn memang sudah tahu bahwa tujuannya adalah distrik 11 namun misi apa yang yang akan ia jalani tak begitu ia perdulikan baginya apapun itu akan diselesaikannya dengan cepat agar bisa bergegas kembali ke apartemennya.
“Sebentar lagi kita sampai.”
Suara itu berasal dari ruang kemudi namun pandangan Zyn menuju jendela yang menampakkan pemandangan jauh dari yang biasa ia lihat di distriknya. Hampir seluruh bangunan yang ada di sana runtuh rata dengan tanah, beberapa yang masih berdiri rusak parah di sana-sini, pohon-pohon besar menjulang tinggi serta tanaman liar merambat di sana-sini. Zyn tak menyangka Distrik 11 yang menjadi tujuan misinya adalah sebuah distrik tertinggal, ia bahkan tak ingat kapan distrik ini ditelantarkan seperti ini. Mobil masih terus melaju dan menggilas kerikil-kerikil yang terpental membuat beberapa burung yang tengah hinggap di puing-puing bangunan terbang terbirit-birit seketika. Kini ia mulai menaruh rasa penasaran pada misi yang akan ia jalani, tanpa buang waktu ia segera membuka kotak hitam didekat kakinya dan mengeluarkan sebuah senjata berwarna silver dengan desain yang futuristic, tak ada trigger yang ada hanya sebuah sensor sidik jari di bagian pegangan senjata itu, di sisi kanannya terpatri tulisan ‘J.B 101’.
Di bagian dalam kotak tersisip sebuah kertas berisi penjelasan singkat mengenai senjata ini, selain hanya bisa digunakan pada target yang memiliki sejarah sebagai seorang kriminal serta mereka yang mampu melakukan tindak kriminal, senjata ini juga memiliki sensor panas yang mendeteksi keberadaan orang-orang di sekitar pengguna senjata ini, ada pula peta lokasi yang diproyeksikan secara digital untuk memandu penggunanya.
“Mereka benar-benar membuat senjata monster.”
Komentar Zyn ketika melihat bahwa senjata ini tidaklah menggunakan mesiu namun sebuah sinar laser yang tingkat kekuatannya mampu melubangi sebuah truk. Ia tak menyangka perkembangan persenjataan Orion telah begitu mutakhir padahal seingatnya senjata ini dulu masih dipergunakan sebagai senjata pertahanan yang bentuknya sangat besar namun sekarang didesain sebagai senjata eksekusi yang bisa dibawa-bawa. Zyn menggenggam senjata itu mencoba mengaktifkannya, seketika cahaya kehijauan keluar yang merupakan sensor pendeteksi, sensor tersebut langsung memproyeksikan apa yang ia dapat lengkap dengan data diri Zyn serta kedua tentara yang ada di ruang kemudi. Merasa cukup dengan perkenalan senjatanya ia melepas kembali Judgement Bullet dan meletakkannya ke dalam kotak kembali. Mobil berhenti perlahan, mereka kini telah sampai dilokasi pertemuan dengan para anggota divisi lain. Pintu belakang mobil terbuka otomatis membuat cahaya langsung menyeruak masuk memaksa Zyn untuk menutupi pandangannya sejenak. Perlahan ia menyesuaikan pandangannya dengan cahaya di luar, 8 wajah tak dikenal dengan berbagai ekspresi dan penampilan menyambutnya. Masing-masing dari mereka memanggul ransel hitam dipunggungnya serta seragam yang tak beda jauh antara satu sama lain hanya beberapa bagian saja yang mereka modifikasi.
“Kau bisa turun sekarang.”
Seorang pria berseragam abu-abu bergaris hitam mengulurkan tangannya pada Zyn yang segera dia tepis.
“Aku bisa sendiri.”
“Huaaa jadi ini yang kita tunggu-tunggu sejak tadi, astaga otot lengannya besar sekali! Perutnya juga kotak-kotak! Keren kau benar-benar keren.” Lengan Zyn digelayuti seorang wanita bersurai merah muda bertingkah seperti bocah, tangannya dengan lancang menyelinap masuk ke dalam baju Zyn sementara mata hijaunya menatap iris biru milik Zyn lekat-lekat, gadis itu bernama Xexy.
Zyn yang kesal serta jijik mendapat perlakuan seperti itu segera menyentak tubuh gadis itu hingga ia terpental. Sontak pandangan semua orang yang ada di sana menuju kearahnya.
“Oi bukankah itu terlalu kasar?” tatapan mata sinis mengarah pada Zyn, “Kau tak apa Nona?” tanya Jake lembut sambil mengulurkan tangannya, sosoknya penuh pesona membuat gadis manapun yang melihatnya menaruh hati, rambutnya berwarna biru terang namun iris matanya hitam segelap malam.
“Aduh...duh... tadi itu benar-benar kasar ya, tapi...” Xexy bangkit tanpa mengacuhkan uluran tangan pria yang membelanya tadi seraya berjalan kearah Zyn, ia menarik leher pria itu mendekat ke bibirnya “but that will make me even more interested,” sambungnya dengan tersenyum penuh ambisi.
Ia melepas leher Zyn yang menatapnya dingin tak terpengaruh dengan rayuan gadis itu. Tubuhnya yang sintal melenggang penuh kepercayaan diri membuatnya lebih cocok berada di panggung fashion daripada di distrik hancur seperti ini.
Suara burung gagak yang bebas berkeliaran dan bertengger di reruntuhan bangunan menggema di sekitar mereka, seakan menyiratkan peringatan bahwa mereka diawasi. Tak ada yang memulai pembicaraan masing-masing dari anggota divisi saling menilai satu sama lain tanpa benar-benar melakukan eye contact.
“Karena semua anggota sudah berkumpul aku akan mulai mengabsen kalian semua,” tutur salah seorang tentara membuat semua orang menoleh padanya, kepalanya dibalut topi berwarna abu-abu senada dengan bajunya begitu pula dengan rekan disebelahnya,“Aira Distrik 7, Steven Distrik 3, Exel Distrik 9, Hazel Distrik 2, Xexy Distrik 1, Jake Distrik 8, Katsuji Distrik 5, , Mikha Distrik 4, dan Zyn Distrik 6, Yorie Distrik 10.”
Semua nama yang dipanggil menyahut atau bahkan hanya menganggukkan kepala saja, suasana dingin masih kental terasa di antara mereka.
“Aku Leo dan rekanku Pard hanya akan menjadi helper crew selama misi ini berjalan. Tugas kalian dalam misi kali ini adalah menertibkan distrik 11.”
“Hah? Bukannya distrik ini sudah tak berpenghuni?” tanya Exel penasaran, tubuhnya bisa dikatakan paling besar di antara rekannya yang lain meskipun tinggi mereka sama. Kepalanya nyaris botak hanya ditumbuhi rambut sepanjang 1 sentimeter.
“Benar 1 tahun yang lalu distrik ini dikosongkan karena tragedi pemberontakan namun laporan mengatakan bahwa beberapa anggota pemberontak yang berhasil kabur itu kembali dan kini bermarkas di distrik ini, mereka tengah mengatur rencana untuk menghancurkan distrik berikutnya hingga Orion hancur. Oleh karena itu divisi ini dibentuk untuk menertibkan pemberontak itu.”
“Disini? Membuat markas? Mudah sekali misinya,” Aira menyibakkan surai hitam panjangnya, kulitnya putih seperti susu membuatnya terlihat seperti sosok seorang putri kerajaan dalam balutan jaket dengan tutup kepala berwarna coklat serta celana berbahan kulit panjang dengan warna yang sama.
“Aku belum selesai menjelaskan Aira, target mampu menyarukan diri mereka dengan baik,” Leo melontarkan pandangannya pada semua anggota divisi. “Markas yang mereka buat tak dapat dideteksi oleh Menteri Keamanan, markas mereka tak kasatmata,” sahut Pard, hidungnya nampak cacat karena bengkok.
“Jadi yang perlu kita lakukan hanya menyisir distrik ini dan melenyapkan para pemberontak itu kan?” Jake nampak lebih bersemangat daripada yang lainnya, meski ditutupinya sunggingan senyum dari ujung bibirnya yang samar masih terlihat.
“Ya tapi semua itu sepenuhnya tanggung jawab kalian, Leo dan aku hanya akan membantu jika diperlukan. Lokasi basecamp sudah ditandai dengan warna hijau pada peta kalian, kami akan berada di sana menjaga perbekalan.”
“Hah? Jadi kalian akan bersantai-santai sementara kami semua bekerja? Itu tidak adil pemalas.” cibir Xexy.954Please respect copyright.PENANAsx2Q5NAqfd
Leo dan Pard tak memperdulikannya mereka masuk kembali kedalam mobil yang melaju menuju lokasi basecamp yang dikatakan Pard.
“Jadi sekarang apa ?” tanya pria berambut coklat ikal, Mikha dengan wajah bingung.
“Pertama kita harus memilih siapa yang akan memimpin divisi ini sementara. Ada relawan ?” tanya Steven, surai abu-abu metalik miliknya nampak silau diterpa sinar matahari.
Hampir semua anggota menggeleng mereka merasa pekerjaan sebagai pemimpin akan merepotkan hingga tak satupun mau dipilih.
“Kenapa tak kau sendiri saja?” Pria berambut merah itu, Katsuji mengacungkan dagger nya pada Steven.
“Aku? Tidak-tidak terlalu merepotkan, dia saja.” Steven menunjuk gadis mungil yang terlihat paling tak pantas berada di sana.
“A-aku ?” suara gugup itu keluar dari mulut Rie.
Zyn membalikkan tubuhnya dan ternyata di sanalah anggota kesepuluh yang bertubuh mungil dengan surai silver yang dibelit menjadi satu, tingginya dibawah rata-rata anggota divisi yang lain. Jujur saja mereka semua memang merasa heran mengapa ada gadis sepertinya di dalam divisi pilihan seperti ini. Divisi 101 diisi oleh 10 orang pilihan dari distrik di Orion, mereka semua terlatih baik secara fisik, mental maupun fikiran namun melihat gadis itu gemetar hanya karena melihat wajah-wajah anggota divisi lain membuatnya tak pantas berada di sana.
“Kau siapa?” tanya Zyn untuk pertama kalinya membuka mulut.
“Akira Yorie dari distrik 10! J-jika m-me-memang...,” Rie berseru sambil memejamkan matanya entah apa yang ia gugupkan namun tingkahnya benar-benar seperti anak kecil, “Jika memang aku bisa berguna sebagai pemimpin sementara aku bersedia melakukannya! Siap!” sambung Rie sambil memberi hormat.
“Kau? Memimpin? Berdiri saja belum becus.” Zyn menatap kaki Rie yang masih gemetar menandakan betapa lemas tubuhnya saat ini. Beberapa anggota lain tertawa kecil menyetujui ucapan Zyn.
Rie merasa tersudutkan dengan perasaan malu dan kesal namun ia mengontrol dirinya untuk tak termakan provokasi dari Zyn namun gagal, “Aku memang tak memiliki tangan sekuat besi sepertimu, tapi hey! Setidaknya aku mau menawarkan diri memikul tanggung jawab tak sepertimu. Aku tahu siapa kau namamu Zyn, asalmu dari distrik 6 dan juga kau sudah di skors selama 2 tahun terakhir dari segala misi karena percobaan pembunuhan kepada wakil pemimpin Departemen Keamanan di distrikmu serta bahkan gagal melaksanakan misi pengawalan menteri di distrik 6 hingga menyebabkan masuknya teroris dalam deretan pasukan pengawal menteri. Dengan track record seperti ini rasanya kau tak berhak mengomentari orang lain, k-kan ?” penjabaran panjang lebar dari berkas data yang telah dia hafal membuat Rie menahan nafasnya saat berbicara agar tak terdengar gugup namun diakhir kalimat tetap saja ia tak bisa membendung getar tubuhnya.
Zyn tersulut emosi saat itu, ia kembali diingatkan akan kegagalannya 2 tahun silam yang susah payah ia lupakan. Tangannya bergerak dengan sendirinya menampar Rie hingga bibirnya berdarah.
“Sialan kau benar-benar tangan besi ya!” Jake menarik bahunya hendak melayangkan tinju di wajah Zyn namun tanpa perlu berbalik Zyn menendang dada pria ia dengan kaki kanannya, ia yang tak menyangka akan diserang secepat itu tersungkur memegangi dadanya.
Zyn memutar kepalanya 90 derajat pandangannya seakan menyalakkan emosi yang meluap-luap, “Kupastikan kalian mati,” suaranya begitu dalam penuh tekanan ia berjalan menjauhi kerumunan kelompoknya mencari tempatnya sendiri di distrik gersang ini.
Rie mencoba bangkit dan membersihkan bajunya, tamparan Zyn tadi seakan menjadi sengatan bagi dirinya yang mengurangi rasa gugupnya, meski pipinya masih membiru baginya itu hal yang biasa terjadi selama pelatihan di distriknya sebelumnya.
“Heee jadi kita punya seorang veteran disini, nanti kupanggil dia sensei.” Hazel tersenyum sinis membayangkan ekspresi Zyn yang murka namun justru itu yang ia inginkan.
“Oh my god, isn’t he so hot?” Xexy menatap punggung Zyn yang berlalu menjauh dari mereka, ia sebenarnya ingin mengejar Zyn namun membujuk singa yang mengamuk sama saja menyerahkan nyawa.
“Tapi kau tak apa Rie jika harus memimpin orang-orang seperti mereka?” tatapan teduh Jake membuat Rie merasa lebih baik.
“Tak apa kok, justru aku senang jika berguna.”
Rie mengangguk yang disambut senyuman ramah dari Jake.
“Ayolah hari mulai sore setidaknya bagi dulu kelompoknya sekarang lalu kita bisa membuat perapian,” usul Mikha kesal.
“Ah iya kalau begitu akan kubagi. Katsuji bersama Mikha, Jake bersama Aira, Xexy dengan Steven, Hazel dengan Exel dan aku dengan Zyn.”
“Hah? Kenapa juga aku harus dengan si dungu ini ?! Sementara kau dengan Zyn, aku mau dengan Zyn!” Xexy menuntut dipasangkan dengan pria yang ia sukai itu.
“Aku tidak dungu dan juga kalau kau dengan Zyn bisa-bisa kalian cuma bermesraan kan.” bantah Steven merasa terhina.
“Tentu saja tidak,” Xexy menggigit sebagian bibirnya, pandangannya ia alihkan bersebrangan dengan Steven dalam kepalanya momen-momen mesra khayalannya sudah terputar.
“Aku mencium bau prostitusi disini,” sindir Aira ia menyibakkan surai hitam panjangnya yang dibiarkan tergerai.
“Apa maksudmu?” Xexy mengerutkan keningnya
“Ya sepertinya ada hewan lepas dari kebun binatang prostitusi,” Aira menatap Xexy langsung.
“Lancang juga kau, bagaimana jika sedikit pelajaran?”
Xexy menyambar pisau yang diselipkan dimata kakinya dan menghunuskannya dengan tangan kanan, Aira dengan santai menghindarinya namun gerakan itu hanyalah fake, Xexy memutar tubuhnya dan mengeluarkan pisau keduanya yang menggores leher Aira jika ia tak meloncat menjauh pisau itu sudah berhasil menggorok lehernya. Tak mau kalah Aira menghentakkan sepatu boots miliknya dan menerjang Xexy dengan kaki kirinya, Xexy mengelak ke kanan yang justru disambut dengan tendangan dari dengkul Aira yang dibalut pelindung lutut dari besi membuatnya membungkuk kesakitan. Aira mendarat dengan ringan diatas puing bangunan, darah yang meleleh dari leher diusapnya dengan telapak tangannya.954Please respect copyright.PENANAYVDkNjC0wj
“Masih terlalu cepat 10 tahun bagimu untuk melawanku,” tutur Aira datar menatap dingin Xexy yang memegangi perutnya.
“Hey! Sudahi omong kosong kalian dasar bocah tengik, cepat lihat kemari,” Exel yang kini memanjat salah satu bangunan yang sudah setengah runtuh berteriak pada rekan-rekannya.
Beberapa dari mereka memanjat batang pohon atau bangunan lain untuk melihat apa yang Exel saksikan. Mereka terperangah melihat pemandangan menjijikan yang disajikan di hadapan mereka.
“Ini semakin bagus, kita disambut dengan hamparan bangkai,” Hazel tersenyum, adrenalinnya mulai terpacu melihat tantangan nyata yang terbentang di hadapannya.
ns18.116.241.0da2