
******
Chapter 1 :
Invisible Red Thread
******
40Please respect copyright.PENANAIrd2JEaMbt
SEBUAH tirai berwarna merah tua yang tergantung di pintu masuk rumah panggung itu tersibak. Pintu rumah itu tidak tertutup, tetapi sebagai gantinya, tirai merah tua itulah yang menutupi bagian dalam rumah itu.Airellmembuka tirai yang tidak terlalu tebal itu dan menemukan Eric, kakak kandungnya, tengah duduk bersandar pada tiang kayu penopang atap rumah seorang tabib yang tengah mereka kunjungi.
Eric memiliki warna rambut yang sama dengan Ai, yaitu warna vermillion. Akan tetapi, berbeda dengan Ai yang rambutnya dicepol dua, rambut panjang Eric hanya ia kepang satu di belakang. Warna mata mereka juga sama, yaitu warna biru laut. Warna rambut dan mata mereka ini terbilang begitu langka, terutama di negara yang tengah mereka tempati. Namun, mereka meneruskan gen dari ibu kandung mereka. Wajah mereka cukup mirip.
Sebelah kaki Eric terjuntai dan sebelahnya lagi ia angkat hingga lututnya berada di di depan dadanya. Lengan kanan Eric yang diperban itu tampak bertumpu pada lututnya yang terangkat, kemudian ia menoleh tatkala mendengar suara tirai yang tersibak.
Eric lantas menemukan Ai di sana; gadis itu tengah berjalan mendekatinya.
“Halo, Sayang,” sapa Eric, ia tersenyum sangat manis kepada Ai hingga matanya tertutup seolah ikut tersenyum. Ia terlihat luar biasa polos, seperti tak berdosa atau tak bersalah sama sekali.
Mendengar sapaan dari kakaknya itu, Ai justru berdecak kesal. Alisnya bertaut dan ia langsung berkacak pinggang di depan Eric. “Sayang?! Bisa-bisanya kau masih bercanda, Kak! Lihat lenganmu itu! Bisa tidak, sih, sekali saja kau pulang dalam keadaan normal? Kalau begini, bisa-bisa besok kau datang padaku dengan anggota tubuh yang sudah terpotong! Untung saja tabib tadi bisa mengobatinya, astaga!”
Mendengar ocehan dari adiknya itu, Eric masih tersenyum manis. Ia suka sekali mendengar ocehan dari Ai. Adik kesayangannya.
Eric lalu memiringkan kepalanya, matanya kini membulat polos. “Eehh? Aku tidak sedang bercanda kok,Sayang.”
Sontak saja Ai menganga. Ia heran bukan main; matanya melebar. Astaga. Eric memang selalu bisa membuatnya pusing tujuh keliling. Dia mengenal Eric, tetapi di sisi lain, ia juga tidak mengerti dengan jalan pikiran Eric. Meski mereka hanya bergantung pada satu sama lain selaku saudara sedarah yang tersisa, Ai terkadang masih tak habis pikir dengan Eric.
Mereka berdua sejak kecil diasuh oleh Gin Shuuji, seorang pemilik bar di Edo. Mereka menjadi anak angkat Gin, tinggal bersama Gin, diurusi oleh Gin, tetapi pada suatu hari, Eric pergi untuk mengasah kemampuan berpedangnya. Bertahun-tahun yang lalu, kakak laki-laki Ai itu pergi bertualang sendirian; dia mengasah ilmu pedangnya sekaligus memperkuat dirinya.
Eric jarang mengunjungi Ai. Namun, delapan puluh persen dari kunjungan-kunjungan yang Eric lakukan itu adalah kunjungan yang tak terduga. Kunjungannya hampir selalu di malam hari. Kakak kandung Ai itu terkadang tiba-tiba datang dan mengetuk jendela kamar Ai malam-malam. Kelakuan anehnya itu kontan membuat Ai melompat kaget dari kasur; Ai kira ada seorang stalker atau penjahat kelamin yang mau mencelakainya. Kadang-kadang juga, Eric tiba-tiba terlihat tengah duduk di atap rumah Gin tatkala Ai sedang membuang sampah di halaman rumah. Maksudnya, sampah-sampah yang telah dikumpulkan di dalam plastik. Dengan senyuman manisnya itu, Eric terlihat melambaikan tangannya pada Ai dari atap—di bawah bintang-bintang—hingga membuat Ai terkesiap dan nyaris terjatuh ke belakang. Kalau saja Ai sempat terjatuh, niscaya ia akan menimpa tumpukan plastik-plastik sampah yang bau itu. Kunjungan dari Eric hampir selalu aneh dan tak terduga.
Seperti hari ini. Sekitar dua jam yang lalu, Eric datang padanya dengan membawa lengan yang terluka parah. Lengan pria itu berdarah-darah. Wajah Ai langsung pucat, dengan panik ia langsung menarik Eric untuk pergi ke rumah seorang tabib. Namun, Eric justru kelihatan baik-baik saja; pria itu terus tersenyum seakan tidak merasakan sakit sama sekali. Dia malah terlihat senang karena Ai khawatir padanya dan menarik lengannya untuk dibawa ke rumah seorang tabib. Lengan berototnya yang terluka parah itu agaknya belum mampu membuatnya mengerang kesakitan.
Mengingat Eric yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran—buronan polisi—Ai sebetulnya tidak terlalu heran. Kakaknya itu sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini.
Akan tetapi, tidak bagi Ai. Melihat Eric terluka sudah cukup untuk membuatnya panik bukan kepalang. Mungkin bagi Eric reaksi Ai itu terlihat lucu dan imut, tetapi bagi Ai hal itu sanggup membuatnya kalang kabut.
Lihatlah lengan Eric sekarang. Lengan itu dipenuhi dengan perban. Oke, sebenarnya Eric sering terlihat memakai perban. Dia terkadang sampai memenuhi kedua lengannya, jemarinya, lehernya, hingga wajahnya, dengan perban. Ini sering ia lakukan karena ia adalah pembunuh yang paling dicari oleh Shinsengumi, korps kepolisian negara yang dibentuk oleh Shogun Tokugawa untuk menjaga keamanan Edo. Dia sering menutupi wajah atau anggota tubuhnya agar dapat menyamarkan eksistensinya. Akan tetapi, sekarang perban di lengan kanannya itu jadi tebal sekali karena darahnya akan merembes ke luar apabila tidak ditutup dengan benar.
Mendengar jawaban Eric, Ai pun menghela napas. Ia memijit keningnya sejenak, kemudian ia melangkah lagi, semakin mendekati Eric. “Ya ya ya, terserah Kakak saja. Ayo kita pulang. Kalau kedepannya aku melihatmu pulang dengan terluka parah lagi, Kak, aku akan membunuhmu sekalian.”
Eric tertawa. Wajahnya yang tampan itu terlihat semakin menawan tatkala tengah tertawa lepas. Ai tak mau melihat wajah kakaknya yang tengah tertawa itu; dia tak mau kagum dengan wajah tampan kakaknya karena ia sekarang sedang merasa kesal. Dia harus menunjukkan kekesalannya pada Eric.
Ai pun menarik sebelah lengan Eric yang tak terluka, mengajak Eric untuk berdiri dan pergi dari rumah tabib itu. “Ayo pulang, Kak.”
“Oke, Sayang,” ujar Eric, kemudian pria itu berdiri dan Ai harus mendongak untuk melihat sosoknya. Ia bertubuh tinggi dan tegap. Dadanya bidang dan tubuhnya berotot. Meskipun Ai kini sudah besar, ukuran tubuhnya sebagai seorang gadis tentu kalah jauh dari Eric.
Eric menggenggam tangan kanan Ai dengan erat tatkala mereka menuruni tangga rumah panggung tersebut. Satu per satu tangga mereka lewati…hingga akhirnya mereka sampai di tanah lapang depan rumah tabib tersebut. Eric tak melepaskan tangan Ai sedetik pun; ia menggenggam tangan lembut milik adiknya itu dengan posesif, meremasnya dengan penuh kasih sayang dan penuh dengan kerinduan.
Ai sudah terbiasa dengan perlakuan dari kakak kandungnya ini. Sebenarnya, semakin Ai dewasa, semakin Ai sadar bahwa perlakuan Eric padanya terasa agak berbeda dengan perlakuan normal seorang kakak kepada adiknya. Namun, apabila Ai menyelisiknya sekali lagi, mungkin saja Eric bersikap seperti itu karena mereka hanya memiliki satu sama lain. Mereka tidak memiliki keluarga kandung yang lain lagi. Gin adalah keluarga mereka, tetapi dia bukan keluarga kandung.
Tatkala sudah berjalan cukup jauh dari rumah tabib tersebut, mereka melewati sebuah jalan tanah yang cukup luas. Jalannya sedikit berdebu—hanya sedikit—karena cuaca tadi siang yang amat panas. Saat ini cuacanya tidak terlalu panas berhubung sudah sore, tetapi jalanan itu masih sedikit berdebu.
Ai dan Eric berjalan berdua di jalanan yang luas dan sepi itu. Sebetulnya, Ai bersyukur saat ini tidak ada orang yang melewati jalan itu karena bisa gawat apabila orang itu melihat Eric dan mengenali wajah atau rambut pria itu. Akan tetapi, karena suasananya sepi, Ai jadi bisa mendengar suara sekecil apa pun.
Ini termasuk suara angin, suara napas Eric, suara langkah kaki mereka berdua, dan suara napas Ai sendiri.
Namun, tiba-tiba saja, dalam waktu kurang dari satu kedipan mata, sesuatu terjadi.
Tepat di belakang Ai.
Semuanya terjadi terlalu cepat, bagaikan sekelebat angin. Helaian rambut Ai tampak bergerak—akibat terkena embusan angin yang sekelebat itu—dalam waktu sepersekian detik, menandakan bahwa ada pergerakan dari samping tubuhnya.
Eric.
Benar. Itu adalah gerakan cepat Eric; Eric telah melepaskan genggaman tangan Ai dan pria itu bergerak ke belakang tubuh Ai dalam waktu yang supercepat bagaikan secepat kilat. Ai belum sempat mengedipkan matanya ataupun bernapas; mata Ai terbelalak,
…karena ia mendengar ada suara tusukan katana dari belakang tubuhnya. Suara tusukan katana yang terdengar tengah merobek perut seseorang. Menusuk hingga menembus daging dan organ tubuhnya.
Napas Ai tertahan. Jantungnya bagai berhenti berdetak. Semuanya terjadi dalam waktu yang sesingkat itu, secepat cahaya.
Tubuh Ai mematung. Kaku. Ada sesuatu yang membuat dirinya seakan membeku.
Setelah menemukan napasnya kembali, Ai refleks langsung melihat ke belakang. Napasnya jadi terengah-engah, dia buru-buru melihat apa yang sebetulnya tengah terjadi di belakang tubuhnya. Melihat apa yang sebenarnya sedang Eric lakukan.
Begitu Ai benar-benar membalikkan tubuhnya dan melihat keadaan di sana, Ai spontan terperanjat. Mulutnya menganga dan napasnya tertahan. Matanya melebar penuh; dadanya jadi terasa sesak.
Di sana ia melihat Eric, tangan pria itu tengah memegang sebuah katana miliknya yang selalu ia bawa. Eric berdiri di sana dengan posisi menyamping; tangan dan katananya dipenuhi oleh darah segar. Darah itu menetes dari katananya, dari jemarinya, lalu jatuh ke tanah. Di bawah Eric ada sebuah jasad dari seorang laki-laki. Laki-laki itu memakai topi lebar samurai dan kimono lusuh yang berwarna abu-abu. Laki-laki itu tampak sedang memegang sebuah katana, tetapi katana itu justru dibasahi oleh darahnya sendiri. Darah itu mengucur keluar dari bagian jantungnya yang ditusuk oleh Eric.
Tubuh Ai gemetar. Ia melihat semua itu dengan kedua matanya sendiri. Dia tahu bahwa inilah dunia yang Eric jalani, inilah kekejaman dunia yang sedang mereka hadapi, tetapi baru kali ini Ai melihat jasad yang ditusuk oleh katana dan mengucurkan begitu banyak darah di depan matanya sendiri.
Ai pernah melihat Eric membunuh seseorang di depan matanya, tetapi tidak dengan katana dan tidak dengan darah yang sebanyak ini.
Ai bahkan tak bisa berteriak, napasnya seolah tersekat di tenggorokan. “K—Kak—"
Mendengar panggilan dari adiknya itu, Eric pun menoleh. Dengan penuh darah—bahkan ada darah yang memuncrat ke pipi pria tampan itu—Eric tersenyum manis pada Ai. Pria itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Seperti dia tidak baru saja membunuh seseorang beberapa saat yang lalu.
“Ya, Sayang?” jawabnya pada Ai, masih dengan senyumannya yang amat manis, yang kini justru terlihat mengerikan karena beberapa bagian tubuhnya telah dipenuhi oleh darah.
Ai menggeleng, wajahnya tampak pucat. “A—apa—yang—”
“Aaah, ini?” ujar Eric, pria itu lalu melihat ke bawah, tempat di mana jasad itu tergeletak dengan begitu mengenaskan. “Ini serangga, Sayang. Terkadang ada serangga yang suka mengganggu waktu luangku.”
Alis Ai bertaut. Apakah lelaki itu merupakan salah satu orang yang mengenali Eric dan ingin mencoba untuk membunuh Eric?
“Apakah—apakah dia mencoba untuk membunuhmu?” tanya Ai, jantungnya berdetak kencang. Dadanya bergemuruh tak keruan, ia belum bernapas dengan normal. “Kakak baik-baik saja, ‘kan…?”
“Uh-hm!” jawab Eric dengan riang tatkala ia melihat ke arah Ai lagi dengan senyuman. Setelah itu, Eric menatap jasad itu lagi. “Aku akan membiarkannya dengan satu tusukan di perut apabila dia hanya mengincarku. Namun, dia mengincarmu.”
Kontan saja mata Ai membeliak. Mengincar Ai?
Napas Ai semakin tertahan. “A—ku…?”
Apakah samurai ini memilih untuk menyerang Ai karena tahu bahwa Eric akan kehilangan akal sehatnya apabila Ai mati?
Untuk menenangkan adik perempuannya itu, Eric pun mendekat. Ia berjalan ke arah Ai dengan santai, lalu tatkala ia sudah berdiri tepat di depan Ai, ia pun mulai mengelus pipi Ai dengan sebelah tangannya yang tidak sedang memegang katana.
Elusannya terasa lembut. Menenangkan. Penuh cinta.
Jari telunjuknya mulai mengangkat dagu Ai agar gadis itu menatap ke arahnya. Ia lalu tersenyum lembut dan berkata, “Jangan khawatir, Sayang. Aku akan melindungimu.”
Dengan jantung yang masih berdegup kencang serta segala rasa terkejut, panik, dan takut yang tersisa, Ai pun langsung memeluk tubuh Eric dan menenggelamkan kepalanya di dada bidang milik kakaknya itu. Dia kontan berteriak; matanya memerah; air mata sudah siap meluncur dari pelupuk matanya. Setelah itu, bagaikan sebuah tali yang terus menerus ditarik, segala perasaan yang ia tahan pun akhirnya terlepas. Tumpah. Ia lantas meneriaki Eric.
“Aku kira seseorang baru saja menusukmu dengan katana!! Jantungku hampir berhenti, aku—aku kira—aku kira barusan—”
Meskipun Ai tahu bahwa yang ia khawatirkanitu tak mungkin terjadi, mengingat Eric adalah pembunuh bayaran tersadis yang selalu menjadi simbol kengerian di Edo, Ai tetap kalah pada rasa cemasnya. Ia takut kakaknya terbunuh. Ia takut ada sesuatu yang terjadi pada kakaknya.
Eric pun balas memeluk Ai menggunakan sebelah tangannya. Dengan senyuman lembut di bibirnya, Eric pun memejamkan mata dan membenamkan wajahnya di helaian rambut berwarna vermillion milik Ai. “Sshh… Aku tidak apa-apa, Sayang. Aku tidak apa-apa.”
Ai sadar; gadis itu sudah sadar bahwa kemungkinan besar…Eric telah berhenti melihatnya sebagai adik, entah sejak kapan. Kakaknya itu sering menciumnya, memeluknya, memanggilnya dengan penuh cinta, menatapnya dengan intens, menatapnya dengan penuh hasrat, dan memperlakukannya bukan seperti seorang adik kandung. Ai tidak tahu pasti sejak kapan Eric berhenti melihatnya sebagai seorang adik,tetapi…
…tidak mungkin sejak awal sudah seperti itu, ‘kan?
40Please respect copyright.PENANALNwbNOpU9u
******
40Please respect copyright.PENANAGNVvvxpAuM
Di balik barisan pepohonan yang tinggi dan lebat, ada sebuah rumah besar yang hampir bisa disebut sebagai mansion. Rumah itu memiliki desain yangbergaya Eropa; rumah itu milik seorang saudagar kaya yang ada di luar Edo. Rumah itu sebagian besar terbuat dari kayu dan bata lumpur. Warna rumah itu didominasi oleh warna coklat. Banyak jendela yang berjajaran di rumah yang tinggi itu dan mungkin saja karena malam telah larut, sebagian besar lampu di dalam rumah itu telah dimatikan.
Rumah sebesar itu dikelilingi oleh susunan pepohonan yang cukup besar dan cukup lebat, bagaikan istana yang tersembunyi di dalam sebuah hutan. Ada juga pos penjaga di depan rumah itu; rumah itu dipagari dengan beton yang tinggi. Pemiliknya betul-betul menjaga hartanya dengan baik.
Namun, meski dengan penjagaan yang ketat begitu, di sinilah Eric dan Atsushi, tengah bertengger di sebuah ranting dari salah satu pohon yang ada di samping rumah tersebut. Pohon itu tumbuh di barisan terdepan dari hutan yang ada di sisi kiri rumah tersebut. Atsushi sudah membunuh seluruh penjaga yang sedang bertugas di sekitar rumah tersebut dalam diam. Sekarang di sinilah dia, tengah berjongkok di sebuah ranting pohon yang besar dan kokoh, memperhatikan rumah itu dari samping bersama Eric.
Atsushi yang bertubuh tinggi dan besar itu pun menoleh kepada Eric, menemukan bahwa pria yang lebih muda darinya itu tengah berdiri di ranting yang sama dengannya. Sebelah tangan Eric tengah memegang sebuah ranting yang ada di atas kepala pria itu, ranting dari pohon yang sama.
Atsushi, pria berusia empat puluh tahun itu, kemudian berbicara dengan kesal pada Eric. Pria yang bernama Eric Shou itu jauh lebih muda darinya, tetapi jauh lebih sadis dan lebih sinting darinya. Meskipun ia lebih tua, ia benar-benar tak mau berurusan dengan Eric. Namun, apa boleh dikata, bos mereka sering menugaskannya untuk mendampingi Eric. Meski Eric adalah pria pembangkang yang bergerak sesukanya saja, bos mereka tak bisa berbuat banyak karena Eric adalah andalan di dalam organisasi mereka.
…padahal semua orang pun tahu bahwa Eric tak perlu didampingi! Yang ada, Atsushi malah jadi budaknya saja di sini!
“Apa kau gila? Aku bisa mati duluan kalau kau tak membantuku; penjaganya banyak sekali!” ujar Atsushi. “Aku belum mau mati. Aku masih mau belajar membuat mi soba!”
Eric, pria yang ada di sampingnya itu, hanya menoleh kepadanya dan tersenyum manis. Itu adalah senyuman biasanya—senyumannya yang paling dikenal—di mana matanya jadi tertutup seolah ikut tersenyum. Atsushi bahkan tak yakin apakah itu benar-benar sebuah senyuman atau bukan, sebab entah mengapa lama-kelamaan senyuman itu jadi terlihat seperti seringai. Mungkin Atsushi sedang mengantuk atau apa, penglihatannya harus ia perjelas lagi setelah ini.
Setelah itu, mata Eric membulat polos. Dengan nada bicara yang terdengar seperti anak-anak, Eric pun menjawab, “Waah, seraaam. Jangan begitu, dong, Sushi-kun. Kau, kan, belum mati.”
“Siapa itu ‘Sushi-kun’?!!” teriak Atsushi tak terima. “Berhentilah memanggilku Sushi! Aku terlalu besar dan terlalu tua untuk disamakan dengan sushi, astaga!”
Eric memiringkan kepalanya. “Bukannya namamu memang Sushi? Jadi, aku harus memanggilmu dengan apa lagi?”
“Kau—!” geram Atsushi. Eric itu masih muda, tetapi dia betul-betul tidak sopan pada Atsushi. Eric memang agak sinting. Atsushi ingin memukul kepala Eric yang mengesalkan itu, tetapi ia betul-betul masih sayang dengan nyawanya sendiri. Eric adalah psikopat gila dan Atsushi tidak mau mengambil risiko.
Akhirnya, Atsushi menghela napas. Mencoba untuk melupakan saja ejekan mengesalkan dari Eric itu, lalu bertanya, “Jadi, apa yang kau rencanakan?”
Kedua mata Eric beralih melihat ke depan—ke rumah itu lagi—dan senyuman manisnya pun kembali. “Aku akan masuk ke sana. Kau tunggu di sini.”
Mendengar jawaban dari Eric itu, kontan saja mata Atsushi terbelalak. “Kau gila?! Aku yakin di dalam sana penjaganya lebih banyak! Aku akan membantumu untuk mengalihkan perhatian sebagian penjaganya. Bukankah kau tidak suka dibuat lelah oleh pekerjaan simpel seperti ini?”
Pria ini benar-benar sinting, pikir Atsushi. Mereka memang ditugaskan untuk membunuh pemilik rumah besar itu, tetapi orang itu bukanlah orang sembarangan. Di dalam sana pasti ada banyak penjaga dan pelayan. Kemungkinan besar, pemilik rumah itu juga memiliki beberapa pengawal yang kuat untuk melindunginya. Atsushi tahu bahwa Eric memang sangat kuat, dia membunuh dengan begitu sadis dan tak berperasaan. Jika kau tengah berperang, memasukkan satu manusia bernama Eric akan jauh lebih menguntungkan daripada memasukkan seribu pasukan biasa. Dia adalah pion terkuat, monster tak terkendali, yang sebetulnya tidak memerlukan siapa pun untuk membantunya. Namun, tetap saja, bukankah Atsushi ada di sini untuk membantunya?
“Kau sudah membunuh penjaga di luar, Sushi-kun,” jawab Eric dengan polos, atau lebih tepatnya, polos yang dibuat-buat. Membuat Atsushi kesal saja.
“Iya, aku memang sudah membunuh mereka—oi! Namaku bukan Sushi!!” teriak Atsushi dongkol.
“Eeeh? Katamu kau mau memasak mi soba, ‘kan? Ini tidak akan lama, Sushi-kun.” Eric tersenyum manis, tetapi entah mengapa Atsushi merasa seperti sedang diejek habis-habisan. Setelah itu, tanpa ba bi bu lagi, tanpa menunggu reaksi dari Atsushi, tiba-tiba saja Eric melompat.
Kontan saja Atsushi panik, dia langsung berdiri dari posisi jongkoknya dan langsung meneriaki Eric. “Hei! Hei—hei!!! Oi, apa kau gila?!! Tunggu seben—"
Gila! Eric, pria sinting itu, melompat dari atas pohon dan mendarat di pagar beton rumah tersebut, lalu dengan entengnya melompat masuk ke area rumah itu!Apa dia bahkan seorang manusia?
Atsushi kontan menepuk jidatnya. Sial. Seperti biasa Eric menjadikannya sebagai budak sekaligus kambing congek saja di sini. Lain kali, dia betul-betul akan menolak perintah bosnya untuk menemani Eric. Psikopat gila itu jelas-jelas tak butuh ditemani. Dia adalah orang sadis yang sesat akal. Makhluk yang mengerikan. Tidak normal.
Biarlah binatang buas itu menggila sendirian, Atsushi tak mau ikut-ikutan. Dia sudah tua, dia juga tak mau mati cepat.
40Please respect copyright.PENANAicwh0ghqqd
******
40Please respect copyright.PENANAnqGQOIPD2W
Siang itu, Ai tengah meletakkan pesanan seorang pelanggan ke atas meja tatkala Sora, seekor kucing berwarna kuning yang biasa main di bar milik Gin, tiba-tiba mengeong keras dan berlari keluar dari bar. Semua orang kontan menoleh ke asal suara, yang mana di depan sana terlihat Sora yang sedang berlari keluar melalui pintu depan bar.
“Sora!!” teriak Ai.
“Eh, ada apa??” tanya Shin, pria itu berjalan dengan cepat ke ujung counter seraya mengelap sebuah gelas. Ia terlihat agak kaget, kedua matanya terlihat melebar di balik kacamatanya. “Sora, ya?”
“Iya! Aku akan mengejarnya!” ujar Ai dengan suara yang agak keras. Gadis itu langsung berlari ke luar bar, sukses membuat Shin kaget bukan main. Shin langsung buru-buru berteriak, “EH? AI-CHAN!!!”
Shin panik. Gin sedang pergi ke luar sebentar karena ada urusan, jadi mereka berdua harus menjaga bar dan melayani pelanggan.
“Sebentar!!!” teriak Ai, suaranya mulai terdengar menjauh karena ia berteriak seraya berlari ke luar. “Sepertinya dia terluka!!”
Akhirnya, Shin pun menghela napas. Dia harus mengatasi ini—menjaga bar—sendirian untuk beberapa waktu sampai Ai kembali. Kasihan juga kalau misalnya kucing yang sudah biasa jadi tamu di bar ini tiba-tiba terluka.
Di sisi lain, Ai tengah berlari mengejar Sora hingga ia sampai di sebuah jalan besar. Di sisi kanan dan kiri jalan tersebut terdapat berbagai toko yang berjajar. Toko-toko itu memiliki bentuk yang kurang lebih sama, yakni bentuk bangunan khas Edo. Bisa dibilang area tersebut merupakan area perdagangan di sana; ada juga beberapa penjual makanan yang berjualan di pinggir jalan. Terkadang area ini mengingatkan Ai pada barisan yatai saat festival musim panas. Banyak kios-kios makanan, tetapi bedanya adalah: yang ini rata-rata menjual dagangannya di dalam toko. Toko ramen, okonomiyaki, bahkan ada toko-toko lain seperti toko penjahit, toko kuas, toko bumbu, toko benda tajam, dan lain-lain. Jalan ini biasa disebut dengan jalan pedagang oleh masyarakat Edo.
Ai melihat Sora yang masih berlari di depan sana, lalu Sora belok ke kanan. Spontan saja Ai ikut belok ke kanan. Tak lama kemudian, Sora berhenti di sebuah toko kecil yang menjual dango. Ada sebuah kursi kayu panjang dan sebuah meja panjang yang diletakkan di depan toko tersebut. Kursi itu biasanya diduduki oleh para pelanggan yang ingin memakan dango di bagian luar toko. Ai melihat ada beberapa orang yang sedang duduk di sana, tetapi Ai hanya melihat mereka sekilas karena Ai sedang fokus kepada Sora. Rupanya Sora berlari masuk ke bawah meja panjang yang ada di depan toko dango tersebut.
Tanpa tedeng aling-aling, Ai langsung berlari ke arah toko dango tersebut dan mulai merundukkan tubuhnya. Ia lantas mencari celah untuk masuk ke kolong meja tersebut, berjongkok, lalu diam-diam mendekati Sora yang sedang duduk di ujung sana, membelakanginya. Ai memang tidak anggun sama sekali; dia tak tahu bahwa pelanggan dango yang biasanya duduk di sana adalah laki-laki. Namun, masa bodoh. Lagi pula, sepertinya pelanggan yang duduk di sana hanya sekitar tiga orang.
Ai pun berjalan jongkok pelan-pelan…dan hap! Dia berhasil meraih Sora. Gadis itu pun langsung bernapas lega dan menarik Sora ke dalam pelukannya. Sora hanya mengeong di dalam pelukannya. “Nah, dapat kau! Akhirnyaaa!! Oi, Sora, kau ini! Mengapa larimu kencang sekali?! Kau sedang kesurupan atau apa?!!”
Ai pun tersenyum lega. Dia harus keluar dari sini terlebih dahulu dan memeriksa tubuh Sora, kalau-kalau ada luka. Namun, tatkala Ai baru saja ingin berbalik dan keluar dari kolong meja tersebut, tiba-tiba Ai mendengar sebuah suara.
40Please respect copyright.PENANAgvNdTggmwe
“Oi. Apa yang kau lakukan di sini?”
40Please respect copyright.PENANARXuYkQG8f1
Ai kontan menoleh ke asal suara. Ternyata di samping kirinya ada seorang pria yang tengah merundukkan tubuhnya hingga Ai dapat melihat kepalanya, lehernya, dan sebelah tangannya yang bertumpu di kursi agar bisa melihat ke bawah meja. Rupanya sedari tadi kedua kaki pria itu ada di samping Ai.
Namun, tatkala melihat wajah pria itu dan mengenali siapa dia, kedua mata Ai kontan memelotot.
Sialan! Mengapa pria ini ada di sini?!!
Ah, sompret. Ai sedang malas bertengkar dengan pria ini.
“Bukan urusanmu,” jawab Ai ketus. Ai langsung lanjut berbalik dan berencana untuk keluar dari kolong meja tersebut.
“Hah?” ucap pria itu, betul-betul tak habis pikir. Dahinya berkerut; dia mendadak jadi merasa kesal. Perempuan ini selalu saja bisa memancing emosinya. Pria yang bernama Kei Arashi itu mulai menegakkan tubuhnya kembali, lalu menatap dengan sinis ke arah Ai yang sedang berusaha untuk keluar dari kolong meja tersebut seraya menggendong seekor kucing.
“Aku hanya ingin tahu perempuan mana yang cukup serampangan untuk masuk ke kolong meja di sebuah toko dango, padahal ada beberapa laki-laki yang tengah duduk di dekat sana,” ujar Kei sarkastis. “dan ternyata itu adalah kau. Danna, tolong berikan beberapa dango untuk perempuan berbaju cheongsam ini. Dia sepertinya sangat kelaparan sampai-sampai bersembunyi di bawah meja.”
Ai yang baru saja berhasil mengeluarkan dirinya dari kolong meja itu lantas berdiri dan menghadap ke arah Kei. Dia mendengar Kei yang sedang mengolok-oloknya dengan cara memesankan dango untuknya. Sialnya pria paruh baya pemilik toko tersebut mendengar pesanan itu dan berkata, “Oke, Tuan!”
Bedebah!
Gadis itu kontan berdecak kesal; ia langsung memelototi Kei dengan tajam. “Diam kau, Sadis! Urusi pekerjaanmu sendiri sana! Apa yang polisi sepertimu lakukan di sini, siang bolong begini? Pergi sana kau! Danna, jangan dengarkan pesanan dari si Sadis ini!!”
Mendengar itu, emosi Kei spontan tersulut. Urat-urat di sekitar pelipis Kei tampak nyaris mencuat. “Kau pikir polisi tidak ada jam istirahatnya?! Aku sudah ada di sini sejak tadi, mengapa jadi kau yang mengusirku?!!”
Ai tahu benar betapa sadis, sombong, dan menyebalkannya pria itu. Kalau ditelusuri, sebetulnya dahulu Ai takkan benar-benar mengenal pria itu apabila dia bukan salah satu pelanggan di bar milik Gin. Pria itu memang terkenal; dia adalah kapten divisi satu Shinsengumi. Shinsengumi memiliki sepuluh divisi yang saat ini tiap-tiap divisinya memiliki ratusan anggota. Divisi satu atau divisi pertama Shinsengumi merupakan divisi yang terkuat. Mereka akan selalu berada di barisan terdepan saat terjadi sebuah peperangan. Akibat kemampuan berpedangnya yang luar biasa, Kei Arashi dicap sebagai pendekar pedang terbaik dan langsung diangkat sebagai kapten divisi pertama saat dia baru berusia 22 tahun. Namun, kata Gin…Kei itu seumuran dengan Eric. Jadi, seharusnya mereka berdua sekarang berusia 26 tahun. Berarti Kei telah menjabat sebagai kapten divisi satu Shinsengumi selama kurang lebih empat tahun.
Kei memiliki nama lain, yaitu Kapten Iblis Shinsengumi, akibat kekejamannya di medan perang dan sifatnya yang sadis bukan main. Dia adalah monster mengerikan yang tak memiliki empati. Makhluk abnormal yang menakutkan. Dia selalu menjadi orang yang membantai habis semua lawannya seperti tengah haus darah.
Dia adalah psikopat gila yang kurang lebih sama saja dengan Eric. Mereka sama-sama monster.
Satu hal lagi yang membuatnya sama gilanya dengan Eric, yaitu dia suka melihat orang lain menderita. Jika masokis adalah orang yang suka disakiti, maka sadis adalah keterbalikannya. Mereka suka melihat orang lain merasa sakit, terluka, dan menderita. Seperti ada kepuasan tersendiri.
Kei dan Eric dua-duanya adalah sadis, setidaknya di mata Ai. Mereka sama-sama punya kelainan. Sama-sama sinting. Namun, setidaknya Eric tidak pernah menyakiti Ai.
Beda dengan yang satu ini. Agaknya, dia senang sekali membuat Ai dongkol setengah mati. Kalau dipikir-pikir…meskipun Kei terkenal (terutama di kalangan wanita), kalau saja Kei bukan pelanggan Gin, maka mereka tidak akan saling mengenal dan jadi bertengkar terus-menerus seperti ini.
“Diam atau kupenggal kepalamu,” ancam Ai dengan tatapan tajam. Matanya memelotot sampai-sampai terlihat seperti mau lepas dari soketnya. Urat-urat di lehernya jadi keluar semua. “Anak buahmu tidak ada yang berani melakukan itu, ‘kan? Biar aku saja yang melakukannya. Oh, atau aku akan mengirimkan paket berisi tahi sapi ke Markas Shinsengumi, khusus untukmu.”
Setelah mengucapkan itu, Ai langsung menyodorkan jari tengahnya ke arah Kei, lalu ia berlari kencang dan menjauhi toko dango itu. Kei yang sedang kesal setengah mati itu spontan membalikkan badan, matanya melebar penuh tatkala menatap Ai yang tengah berlari menjauh. “KAU—OI!! KEMARI KAU!! MAU LARI KE MANA KAU SETELAH MENGHINA SEORANG POLISI?!!”
Sialan. Perempuan itu benar-benar sialan.
Ini benar-benar membuat Kei kehabisan akal. Kehabisan cara. Kehabisan kesabaran.
Dia melihat Airell Shou untuk pertama kalinya ketika mengunjungi bar milik Gin bersama dengan Jun beberapa bulan yang lalu. Apabila malam itu Jun tidak iseng-iseng ingin minum bir karena baru saja menyelesaikan tugas yang melelahkan, maka Kei tidak akan melihat sosok Ai yang malam itu tengah memakai piama panjangnya, masih membantu Gin untuk mengantarkan pesanan mereka meskipun wajahnya terlihat mengantuk. Gadis itu tampak menguap berkali-kali.
Gin, pemilik bar yang mereka kunjungi, terlihat masih cukup muda. Rasanya tidak mungkin gadis itu adalah anak kandungnya. Mereka juga memiliki warna rambut yang jauh berbeda; wajah mereka tidak mirip. Namun, gadis itu sepertinya juga bukan karyawan bar tersebut, mengingat dia membantu Gin untuk mengantarkan pesanan dengan hanya mengenakan piama. Gin malah sempat memarahi gadis itu karena hampir tertidur di bar counter. Gin tampak seperti sedang memarahi anaknya sendiri.
Apa gadis itu anak angkatnya?
Saat itu, baik Jun maupun Kei, mereka berdua sama-sama belum mengenal Gin. Setelah beberapa kali berkunjung, barulah mereka tahu bahwa pemilik bar itu bernama Gin Shuuji dan biasa dipanggil Gin. Namun, karena sudah kebiasaan, Kei tetap memanggil Gin dengan panggilan Danna yang berarti tuan rumah atau tuan pemilik toko.
Kei tak ingin mengakuinya, tetapi perempuan serampangan yang ia temui di bar malam itu telah sedikit menggelitik rasa penasarannya. Namun, Kei adalah jenis pria sadis yang tidak bisa memulai konversasi dengan normal. Dia mahir dalam menekan atau menghina orang lain. Kedua mata berwarna merah tuanya itu selalu menatap orang lain dengan keji. Seperti tatapan binatang buas. Alhasil, semakin sering Kei berkunjung ke bar itu, semakin Kei menjadi pelanggan di bar itu, percakapan yang ia lakukan dengan Ai justru berubah menjadi pertengkaran sengit.
Dari rasa penasaran yang awalnya hanya ‘sedikit’, setelah beberapa bulan berlalu, rasa penasaran itu berubah menjadi perasaan yang ambigu. Membingungkan. Bercampur aduk. Membuat pikiran Kei terasa kalut.
Antara penasaran, kesal, benci, serta…
…perasaan ingin meraih.
Dia jadi punya sebuah asa yang terpendam.
Dia ingin melihat perempuan itu diam. Mengerti isi pikirannya. Melihat dirinya. Menatapnya lurus-lurus. Terkurung di dalam penjaranya. Terjebak di bawah kuasanya. Menangis di bawah kungkungannya.
Dia ingin perempuan itu mendengarnya; dia ingin berhenti bermain kucing dan anjing dengan perempuan itu. Kalau begini caranya, mereka akan bertengkar selama-lamanya. Mereka tidak akan pernah akur. Bisa jadi suatu hari nanti Ai akan menodongkan pisau ke arahnya. Kucing dan anjing tidak mungkin bisa bersetubuh, bukan?
Perempuan itu harus tahu bahwa mereka bukanlah seekor kucing dan anjing. Mereka berdua sama-sama manusia. Manusia yang berbeda jenis kelamin. Seorang pria dan wanita.
Kei menggeram. Rahangnya mengeras; giginya bergemeletuk. Ia menatap Ai yang sudah berada jauh di depan sana, masih berlari seraya menggendong kucing yang seingat Kei sering bermain di bar milik Gin. Cahaya merah tua yang begitu kelam seakan terpancar dari kedua mata Kei yang menatap sosok Ai dengan begitu dalam. Intens. Tajam. Memenjarakan gadis itu dari jauh dengan tatapan matanya. Iris berwarna merah tuanya itu tampak seperti cairan gelap yang mampu menelan apa pun. Membuat setiap orang yang menatapnya merasa seolah-olah tenggelam, terjebak, dan takkan mampu kembali lagi ke permukaan. Layaknya black hole.
Malam ini, Kei akan membuat perempuan itu mengerti. []
40Please respect copyright.PENANAVHAQIv84zv
40Please respect copyright.PENANAs5QZvMCitQ
40Please respect copyright.PENANAtiaQbeTkNJ
40Please respect copyright.PENANANNGuevVKHk
40Please respect copyright.PENANADMBr9SO0ed
40Please respect copyright.PENANANuRB11bow9
******
Characters: https://jihanseptiveliaa.blogspot.com/2025/02/sadistics-lover-characters.html
40Please respect copyright.PENANA23Wbm0xZll