Semalaman aku tak bisa tidur, teringat saat aku bertemu Rijal kemarin. Tak pernah terbayangkan, akan secepat ini. Padahal aku sempat putusasa saat aku ingin mencari Rijal. Karena ini bukan sinetron atau drama China, yang penuh kebetulan yang tak masuk akal. Untung saja, kemarin aku bertemu Pak Ahmad, andai saja aku tak mencoba mendekati Pak Ahmad dan memutuskan silaturahim di rumahnya. Mungkin sampai detik ini pun, aku belum berhasil bertemu Rijal. Apalagi aku hanya ingat wajahnya, tanpa mengetahui namanya.
Meski perasaanku kini sudah lega, karena yang aku cari sudah aku temukan. Namun, aku bingung bagaimana aku harus memulainya. Bagaimana tidak, berdiri di depannya saja tubuhku terasa membeku. Lidahku pun kelu, saat ingin mengucapkan kata. Untuk mengenalnya lebih jauh, mungkin akan jauh lebih sulit tak seperti yang aku bayangkan.
Sekarang aku berada di atas ranjangku, dengan pikiran mengawang-awang kemana-mana. Aku senang, apa yang aku inginkan tercapai. Namun, ada sekat yang seakan membatasinya. Sesuatu yang membuat keringat dinginku keluar dari telapak tanganku.
Memang aneh, keinginanku menemukan Rijal menggebu-gebu. Saat aku sudah menemukannya, justru merasa menyesal. Bukan karena penyesalan karena keinginan yang tak seharusnya. Melainkan perasaan yang timbul karena hatiku belum siap untuk bertemu Rijal secepat ini.
Saat fajar menyingsing, aku bersiap menjalankan salat subuh. Setelah mendengar adzan subuh berkumandang. Aku turun dari atas ranjang, lalu merapikan pakaianku. Tak lupa mengenakan outer lengan panjangku untuk menutupi gaun tidurku yang pendek, sebatas paha. Berkali-kali aku menguap. Rasa kantukku belum sepenuhnya mereda, karena perasaan cemasku yang membuatku insomnia.
Di depan meja riasku, aku duduk sambil menyisir rambut panjangku. Setelah itu, aku mengikat rambutku yang panjang, sebelum aku memakai hijab bergoku. Sesekali aku menghela nafasku, berat karena menatap wajahku di depan cermin, yang terlihat pucat. Dengan lingkaran hitam di mataku, yang menandakan aku tak sedang baik-baik saja.
Selesei merapikan penampilanku, sekarang aku turun ke lantai bawah. Sepi, nampak lengang. Tenang memang, suara adzan pun terdengar sayup-sayup. Aku pun melangkahkan kakiku ke dapur, untuk mengambil air minum, sekedar untuk membasahi tenggorokanku.
"Eh, Cici udah bangun?" Mbok Rumini mengagetkanku. Dan sekarang ia berdiri di belakangku.
"Iya Mbok, barusan. Icha sholat subuh dulu ya Mbok?"
"Oh iya, Ci. Kalo begitu Mbok tinggal ke belakang dulu ya Ci?"
"Iya, Mbok."
Setelah selesai berwudhu, aku kembali naik ke lantai atas. Saat kakiku baru saja melangkah, terdengar suara aneh di lantai bawah. Dengan mengendap-endap, aku mencari sumber suara itu. Betapa terkejutnya aku, saat aku tak sengaja mengintip tukang kebunku sedang bersetubuh dengan Mbok Rumini.
Perlahan kakiku melangkah mundur, lalu aku kembali naik ke lantai atas. Dengan perasaan tak menentu, berulangkali aku memegang dadaku dengan jantung yang berdetak kencang, karena menyaksikan persetubuhan untuk pertamakalinya dalam hidupku.
Apa aku marah? Jelas aku marah. Karena mereka adalah orang yang merawatku sejak kecil. Namun, tubuhku terasa membeku saat aku hendak menghampiri mereka untuk menegurnya. Pada akhirnya, aku putuskan untuk meninggalkan tempat itu diam-diam.
Di dalam kamar, aku buru-buru mengenakan mukenaku untuk melaksanakan salat. Saat aku membaca surat pendek, persetubuhan itu terbayang. Sampai aku ruku, bayangan itu tetap saja mengganggu. Lalu aku mempercepat salatku dan aku akhiri dengan dua salam di duduk tasyahud akhir.
Sambil melipat mukenaku, aku termenung. Aku kecewa, merasa dikhianati kepercayaanku. Namun, aku bisa apa? Aku ketakutan saat melihat Mbok Rumini mengerang-ngerang kesakitan.
Aku pun menghambur ke atas ranjang dengan tangis yang meledak. Lalu aku bangun, sambil sesekali mengusap air mataku. Dengan isakan yang belum mereda, aku mengambil obat anti depresanku, menenggaknya agar perasaanku lebih tenang.
Sekarang aku menatap langit-langit kamarku dengan tatapan kosong. Saat aku melamun, bayangan tak senonoh Mbok Rumini dan Pak Hadi pun lenyap, berganti dengan wajah Pak Ahmad. Namun aku kembali bersedih, memikirkan nasib Pak Ahmad. Ingin rasanya membantu Pak Ahmad untuk merenovasi rumahnya.
Pikiranku melompat, beralih memikirkan Rijal. Saat aku membantu, merenovasi rumah Pak Ahmad, peluangku untuk mendekati Rijal terbuka lebar. Rencanaku,145Please respect copyright.PENANAViMqhEtjHQ
aku ingin membujuk Pak Ahmad agar Rijal diikut sertakan membantu merenovasi rumahnya. Entah bagaimana pun caranya.
Tanpa sadar waktu bergerak begitu cepat, mentari pagi pun mulai menyingsing. Bayangan tak senonoh dari persetubuhan Mbok Rumini dengan tukang kebunku kembali terbayang. Tubuhku merespon bayangan itu dengan aneh.
Apa yang terjadi padaku? Dadaku mengencang di balik gaun tidurku. Berulangkali aku menggelengkan kepalaku, agar ingatan itu menghilang. Agar aku tak terjebak ke dalam perasaan aneh yang tak aku mengerti.
Sekarang tak hanya dadaku, aku pun merasakan gatal di area selangkanganku. Aku bingung, kenapa tubuhku meresponnya seperti ini.
Karena aku tak paham, apa yang terjadi. Pada akhirnya, untuk meredam gatal di selangkanganku yang menyiksa, aku memeluk erat gulingku. Dengan menjepit gulingku dengan pangkal pahaku yang aku tekan kuat, menempel erat gulingku.
Rasanya tak bisa aku gambarkan, gatal yang aku rasakan menggelitik selangkanganku. Dan aku merasakan sesuatu yang baru, yang mampu meredam depresiku. Tubuhku mengejang, selangkanganku pun basah.
Kenapa bisa begini? Aku memegang celana dalamku. Aku terkejut, karena aku mengompol yang membuat celana dalamku basah. Meski tak ada yang tahu, perasaan maluku menyelimuti hatiku. Bagaimana tidak, usiaku sudah menginjak 19 tahun, namun aku kembali mengompol seperti balita.
Pipiku memanas, karena menahan malu. Dan aku pun melangkah ke kamar mandi, untuk mengganti celana dalamku yang basah oleh air seniku. Sesampainya di kamar mandi, aku pun melepas celana dalamku. Karena aku merasakan kandung kemihku kembali penuh, aku pun jongkok. Air seniku memancar, perasaan aneh yang aku rasakan kembali muncul. Bedanya tak senikmat saat aku mengompol di celana dalamku, sampai-sampai aku memejamkan mataku.
Tak hanya sensasi aneh, yang menenggelamkanku. Namun imajinasiku juga menyeretku lebih dalam. Seperti munculnya bayangan Pak Ahmad yang sedang jongkok di depanku, dengan wajahnya yang berada di selangkanganku.
Berulangkali aku menggelengkan kepalaku, menepis khayalan yang tak semestinya. Namun, gatal di selangkanganku masih terasa, justru semakin menggelitik bersamaan dengan imajinasiku yang semakin liar.145Please respect copyright.PENANAxJ6pfe6EhC
Selesai buang air kecil, aku membasuh bekas air seniku di selangkanganku. Gatal di selangkanganku semakin menjadi saat air mengguyur selangkanganku, sampai tubuhku mengejang. Dan aku pun meringkuk di atas lantai kamar mandi.
Nafasku tersengal, kebingungan menyisakan pertanyaan yang tak aku mengerti.
Aku kenapa? Dengan tubuh yang masih lemas, aku mulai berdiri. Melangkah ke dalam kamarku yang menyatu dengan kamar mandiku. Untuk mengalihkan pikiranku, aku mengambil laptopku untuk sekedar mengedit video kontenku.
Kemudian, aku membuka pintu geser di dalam kamarku, untuk menerbangkan droneku. Saat droneku mulai terbang, aku kembali terkejut karena merekam Mbok Rumini sedang disetubuhi tukang kebunku dan satpamku bersamaan. Mataku membelalak tak percaya. Karena aku takut ketahuan, aku menerbangkan droneku terbang lebih tinggi. Saat aku merasa, droneku sudah berada di ketinggian yang tepat. Aku perbesar shoot kamera droneku yang mengarah ke Mbok Rumini.
Nafasku kembali memburu, karena melihat shoot kamera droneku. Bagaimana tidak, untuk pertamakalinya, aku melihat kemaluan lawan jenisku. Tak hanya itu, namun aku juga melihat dua kemaluan menyatu, sedang keluar masuk. Yang membuat aku kembali terkejut untuk kesekian kalinya, kemaluan satpamku menyatu dengan lubang pembuangan asisten rumah tanggaku. Keluar masuk, sama seperti dua kemaluan yang menyatu.
Mataku tak hanya fokus ke arah tumbukan itu. Melainkan juga, ekspresi wajah asisten rumah tanggaku. Apakah itu ekspresi rasa sakit ataukah menikmati? Aku pun tak tahu. Setiap entakan, menumbuk lubang pembuangan asisten rumah tanggaku, selalu diiringi dengan erangan keras. Sampai aku menggigit bibir bawahku, membayangkan seperti apa rasanya saat depan, belakang dimasuki secara bersamaan. Terbayang rasa sakit, ketika satpamku memasuki asisten rumah tanggaku dari belakang. Dan anehnya, selangkanganku pun kembali gatal. Kakiku lemas, namun mataku tak bisa lepas menatap pemandangan yang membuatku bergairah.
Tak lagi kemarahan yang menguasaiku, karena aku pun menikmatinya. Sesekali aku memejamkan mataku membayangkan Mbok Rumini adalah aku. Jantungku berdetak kencang, sampai aku kembali mengejang. Sekali lagi, aku mengalami perasaan aneh yang tak aku mengerti. Begitu nikmat, melambungkan hasratku, melayang.
Dan aku pun terjatuh, meringkuk di atas lantai. Dengan nafas tak beraturan, aku mengatur nafasku, perlahan. Setelah nafasku mulai teratur, aku kembali menerbangkan droneku lebih tinggi.
Sambil melamun, aku shoot droneku yang merekam pemandangan kompleks perumahanku.
Apa yang terjadi padaku? Yang baru saja terjadi padaku tak bisa aku mengerti. Seperti dadaku yang mengencang, selangkanganku yang basah, sampai aku terhanyut menyaksikan adegan tak senonoh melalui layar.
Aku teringat saat aku masih SMA dulu. Saat teman-temanku bercerita tentang video bokep, lalu mereka menonton bersama-sama di layar ponsel dan laptopnya. Sebenarnya aku penasaran, namun karena aku satu-satunya murid bercadar di kelasku. Akhirnya aku hanya bisa menahan diri dari rasa penasaranku.
Sekarang, aku justru menyaksikan adegan yang selalu diceritakan teman-teman SMAku. Yang dulu, aku hanya bisa mengkhayal, sampai keringat dinginku membasahi seragam SMAku. Saat ini, aku justru melihatnya di depan mataku, meski melalui layar remote droneku. Namun tetap saja, apa yang aku alami tak
Sekarang aku turun ke lantai bawah, pura-pura tak terjadi apa-apa. Aku pun tak mengubah kebiasaanku, dengan selalu sarapan bersama pegawaiku.
Setelah sarapan selesei, aku buru-buru naik ke lantai atas. Lalu masuk ke dalam kamarku. Hari ini rencanaku, aku ingin berkunjung ke rumah Pak Ahmad. Ya sekedar untuk melupakan kejadian di rumah. Karena semakin aku mengingat, selangkanganku selalu basah. Dan aku tak mau itu, makanya daripada aku tersiksa. Lebih baik, aku mengalihkan pikiranku dengan pergi ke rumah Pak Ahmad.
Aku ingin mengajaknya jalan-jalan hari ini. Dan aku ingin membelikannya baju baru. Selintas aku teringat Rijal, gara-gara Mbok Rumini aku sampai melupakan pria yang kehadirannya mampu menghapus kesepianku. Pikiranku pun melompat ke Pak Ahmad, terbersit ide untuk membelikan Pak Ahmad ponsel. Selain untuk mempermudah, agar aku bisa komunikasi dengan Pak Ahmad. Selain itu, saat aku ingin menanyakan Rijal ke Pak Ahmad pun juga semakin mudah.
Selanjutnya aku menutup laptopku, lalu melangkah, turun dari ranjang. Aku buka hijabku yang panjang menutupi lekuk tubuhku. Kemudian ciputku yang menutupi rambutku, sampai rambutku yang aku ikat dengan poni kuda terlihat. Dan aku pun melepas ikatannya, sampai rambutku tergerai.
Di dalam kamar mandi, aku meletakkan hijab dan ciputku ke tempat pakaian kotorku. Sekarang giliran dressku, dengan melepas kancing yang berada di depan.
Usai melepas dressku, selanjutnya bra dan celana dalamku yang menutupi bagian intimku. Sekali tarik, kaitan braku terlepas. Perlahan aku mengangkat cup braku yang menutupi bongkahan dadaku, sampai dadaku yang tak begitu besar mengayun ke bawah. Sesudah itu, aku meletakkan braku di atas tempat pakaian kotorku.
Saat aku melihat tubuh telanjangku di depan cermin, aku berpose. Dengan menaruh tanganku di pinggang. Sesekali aku merapikan rambutku yang panjang menutupi dadaku yang telanjang.
Tak tahu kenapa aku merasa berbeda hari ini, entah apa sebabnya. Aku menggigit bibir bawahku, teringat bayangan yang kembali melintas. Tanpa mempedulikan itu, aku melepas celana dalamku. Lalu aku meletakkannya di atas tumpukan pakaian kotor.
Aku mulai mengguyur tubuhku yang telanjang. Tangan kiriku memegang shower, sedangkan tangan kananku mengusap dadaku yang basah oleh guyuran air. Lalu aku mengarahkan air yang memancar ke organ intimku. Air yang merembes, membasahi bulu pubikku.
Mataku pun terpejam, menikmati sensasi yang membuatku melayang. Tanganku yang berada di selangkanganku mengusap-usap lembut, sampai aku merasakan guyuran air yang masuk ke sela-sela organ intimku.
Setelah aku mengguyur tubuhku, sekarang aku berendam ke dalam bathtub. Sabun cairku meleleh masuk ke dalam bathupku, sampai air di dalam bathupku penuh busa. Aku basuh, usap, busa ke tubuhku, terasa begitu lembut. Yang membuatku terbang bersama khayalanku. Dan aku pun mabuk ke dalam imaji, membayangkan tubuhku disentuh oleh tangan-tangan jahil.
Bibirku mendesah perlahan. Sedangkan jariku mengusap lembut selangkanganku. Sampai tubuhku mengejang di dalam bak mandi.
Aku atur nafasku, kemudian aku melanjutkan mandiku. Tak ingin berlama-lama, karena tubuhku mulai menggigil. Usai mengeringkan rambutku dengan handuk. Selanjutnya, aku menghanduki tubuhku yang penuh bulir-bulir air.
Dan aku keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuhku, yang panjangnya sebatas paha.
Sesampainya di dalam kamar, aku melepas handuk yang melilit tubuhku. Kemudian aku membuka lemari untuk mengambil pakaian. Dari bra berwarna merah berenda, celana dalam dengan warna serupa.
Ketika aku mematut diriku di depan cermin, aku tersenyum. Rasanya aku ingin berlama-lama, memakai pakaian dalam.
Berikutnya, aku menyisir lembut rambutku yang terurai menutupi dadaku. Kemudian aku mengikat rambutku. Ketika aku mengikat rambutku, aku tak mengubah poseku cukup lama, yang sedang mengikat rambutku dengan siku terangkat ke atas yang menampakkan ketiakku. Melihat poseku di depan cermin, aku tersenyum.
Setelah itu, aku memakai tanktop sebelum aku memakai dress panjangku yang berwarna putih-maroon dengan kancing berada di depan. Selanjutnya, aku mengancingkan kancing dressku, kemudian aku memakai handshock untuk menutupi pergelangan tanganku sampai telapak tanganku.
Sekarang aku mengambil kaos kaki, untuk menutupi kulit kakiku yang telanjang. Selesei memakai kaos kaki, aku memakai celamis yang menutupi kakiku yang berbalut kaos kaki.
Sekiranya sudah selesei, aku memakai ciput untuk menutupi rambutku dan setelah itu baru cadar taliku. Yang terakhir, hijabku yang panjang menjuntai sampai menutup pantatku.
Tak lupa, aku kembali mematut penampilanku, aku memoles mataku menggunakan eye shadow. Dan melukis alisku tipis-tipis karena aku tak mau mencolok.
Sebelum keluar kamar, aku menyiapkan drone miniku, laptop yang aku masukkan ke dalam tas selempangku. Yang terakhir, aku memakai sepatu kanvasku.
Sesekali aku berpose di depan cermin, aku rasa sudah cukup rapi. Sekarang aku turun ke lantai bawah, bersiap untuk berangkat ke rumah Pak Ahmad.
Di lantai bawah aku berpapasan dengan Mbok Rumini, namun tak kutunjukkan gelagatku yang mencurigakan karena aku memergokinya sedang bersetubuh dengan satpam dan tukang kebunku.
"Mbok, aku berangkat dulu ya!"
"Kok buru-buru, Ci?" Mbok Rumini menatapku heran.
"Aku sarapan roti aja, Mbok." Sambil duduk, aku makan roti yang aku oles menggunakan selai kacang. Lalu dengan buru-buru, aku meneguk segelas susu sampai cadarku belepotan susu.
"Jangan buru-buru, Ci! Nanti kesedak lho!"
"Hehehe, iya Mbok. Aku berangkat dulu ya Mbok?" Aku tak mau mengubah kebiasaanku, seperti mengecup punggung tangan Mbok Rumini.
"Hati-hati ya, Ci!"
"Iya, Mbok. Assalamualaikum!"
"Wa'alaikum salam!"
Aku pun melangkah ke garasi sambil memakai hoodie hitamku, kemudian naik ke atas motor sportku yang berwarna hitam, serupa dengan outfitku yang serba hitam. Bahkan helmku pun juga berwarna hitam.
Motorku pun mulai kunyalakan, suara beratnya mulai berderum. Aku kendarai motorku keluar dari garasi menuju gerbang.
Satpamku pun tergopoh-gopoh untuk membukakan gerbang rumahku yang tinggi.
"Terima kasih ya, Pak!"
"Sama-sama, Ci." Setelah aku mengendarai motorku melewati gerbang. Satpamku kembali menutup gerbang rumahku.
Meski aku nampaknya baik-baik saja, apalagi saat bertemu pegawaiku. Namun, dalam hatiku aku tersenyum kecut.
Aku merasa kecewa, karena mereka seenaknya bersetubuh di rumahku. Gara-gara mereka pun, bayangan tak senonoh itu masih melekat di pikiranku.
Bahkan saat ini, aku belum mampu menghapus pikiran kotor yang seakan menginjeksiku dengan adegan-adegan yang meracuni ingatanku.
Untung saja, pikiran kotor itu meski belum sepenuhnya hilang. Mampu aku alihkan dengan mengingat Pak Ahmad.
Hari ini aku ingin mengajak Pak Ahmad ke mall, untuk membeli pakaian dan ponsel untuk mempermudah kita berkomunikasi.
Sekarang motorku sudah sampai di samping Masjid. Dengan suara berderum, aku mengendarai motorku berbelok melewati gang sempit.
Sebelum memasuki perkampungan pemulung, aku melewati jembatan yang mulai reot. Saat aku melewati jembatan tua ini, terasa berayun. Dengan bunyi kaitan besi yang menahan beban.
Sungai-sungai di sekitarku berwarna kehitam-hitaman, dengan biawak yang berlarian saat aku mengendarai motorku, melintas melewati jembatan.
Saat motorku sudah melewati jembatan, kepulan debu bercampur sampah berterbangan. Kulihat anak-anak kecil pun berlarian mengejarku. Sesampainya di depan rumah Pak Ahmad, aku dikelilingi anak-anak dengan penampilan kucel.
Menatap mereka aku sedih, di umur mereka yang masih belia, mereka harus menjalani hidup yang tak mudah. Tanpa aku sengaja, aku membandingkan mereka denganku saat aku masih seumuran mereka. Betapa timpang perbedaannya, namun aku selalu tak pernah bersyukur dengan previllage yang aku miliki.
Aku menyesal karena tak pernah mau menuruti permintaan mamaku. Meski Mama selalu jauh dariku, namun Mama tak pernah lupa dengan tanggungjawabnya padaku. Hidupku tak pernah kekurangan, aku pun tak merasakan teriknya matahari dan dingin saat hujan turun melanda.
"Kak... uangnya dong, Kak."
"Aku juga Kak..."
Ketika aku melepas helmku, anak-anak itu terkejut. "Kakak cewek?" Dua anak cewek yang tadi meminta uang padaku, menggelendot di pahaku.
"Harumnya… mata Kakak cantik deh."
Lalu aku menunduk. “Siapa nama kamu?” Aku usap-usap rambut anak perempuan itu.
"Rina Kak. Kalo Kakak siapa?" Melihat mereka hatiku menghangat.
"Kakak Icha. Mau coklat nggak?"
"Mau Kak!" Anak-anak di dekatku tak lagi memaksaku untuk memberinya uang.
"Jangan rebutan ya!" Aku bagikan coklat yang aku ambil dari tas selempangku.
"Terima kasih Kakak cantik."
"Sama-sama, Rina." Dengan lembut, aku mengusap rambut Rina yang berwarna merah terbakar matahari.
Aku menoleh ke belakang, melihat Pak Ahmad berlari mendorong gerobaknya. Lalu aku melambaikan tangan. "Pak..."
Sesampainya di depanku, Pak Ahmad mengusap wajahnya yang berkeringat menggunakan handuk lusuh yang terselempang di lehernya.
"Udah lama, Cha?"
"Baru aja kok, Pak."
Rasanya bahagia banget, aku bisa bertemu Pak Ahmad untuk kedua kalinya.
Bersambung.
ns216.73.216.25da2