Namaku Vania Rahma Nissa, orang-orang terdekatku, dari orang tuaku, asisten rumah tanggaku dan teman-temanku biasa memanggilku dengan panggilan Icha. Umurku sekarang 19 tahun. Aku anak tunggal dari pengusaha pertambangan yang kini berdomisili di Singapura. Meski begitu, kedua orang tuaku bukanlah warga Singapura. Sama sepertiku, yang bukan warga negara Singapura. Dan sekarang tinggal di perumahan elite yang berada di Jakata Selatan.
Namun, hidup sebagai anak konglomerat terkaya nomor lima di Indonesia tak membuatku bahagia. Mungkin orang yang mendengar pernyataanku akan memicingkan matanya mendengar pengakuanku, karena aku sejak kecil hidup bergelimang harta. Dengan kemudahan yang kumiliki, orang akan berpikir pernyataanku sekedar igauanku saja. Karena banyak orang di luaran sana, yang tak seberuntung aku. Yang terlahir sebagai anak semata wayang dari pengusaha kaya raya.
Hanya saja, anggapan itu semua salah. Karena aku sejak kecil kurang kasih sayang dari orang tuaku. Yang ada di pikiran orang tuaku hanyalah bisnis, bisnis dan bisnis. Karena waktu adalah uang bagi mereka. Bukannya aku naif, prinsip yang dianut kedua orang tuaku kadang mengabaikan kehangatan sebuah keluarga. Dan itu tecermin dari wajah kedua orang tuaku. Tak ada sedikit pun, senyum di wajah mereka. Wajah serius mereka yang membuatku kesepian.
Tak hanya keseriusan yang tergurat di wajahnya, sikapnya kepadaku yang adalah anak kandungnya sendiri begitu dingin. Mereka tak peduli dengan perasaanku, sampai mereka menelantarkanku di rumah sebesar ini hanya ditemani seorang pembantu.
Sempat aku mengeluh kepada orang tuaku, karena kesepian yang menderaku. Aku ingin kedua orang tuaku berada di sisiku, yang setiap bertemu denganku memelukku.
Perasaanku semakin menyiksa saat aku berpikir memiliki orang tua bagiku, seperti layaknya tak memiliki orang tua. Aku hidup sebatangkara sejak kecil, karena orang tuaku jauh dariku. Yang kupeluk saat itu, saat aku masih membutuhkan pelukan hangat dari orang tuaku hanyalah asisten rumah tanggaku.
Ia seperti orang tuaku sendiri, yang membesarkanku sampai sebesar ini. Namun tak kupungkiri, kesepian selalu menderaku. Aku merindukan kedua orang tuaku, yang minimal sekedar say hallo lewat telepon.
Sekarang aku yang terduduk lesu di atas kursi sofa, berencana untuk menelepon mamaku.
"Ma... kapan pulang? Icha kangen!"
"Mama sibuk, Cha... kamu harusnya ngerti dong! Lagian kamu udah gede kan? Bisa ngurus hidup kamu sendiri?" Suara Mama terdengar acuh tak acuh, seperti biasanya.
"Tapi Icha kangen sama Mama... Salah ya Icha kangen sama orang tuanya sendiri?" Tak bisa kutahan dadaku yang bergemuruh.
"Kan ada Mbok Rumini disana! Udah ah, nggak usah kolokan!"
"Ma... Mama kenapa sih? Icha itu anak Mama... Tau begini, mending Icha nggak usah dilahirkan saja."
"Kok kamu bilang gitu Cha? Mama fokus bisnis, karena demi kamu Cha. Kenapa sih kamu nggak bisa mengerti?" Suara Mama terdengar tendesius.
"Mama yang nggak bisa ngerti. Icha juga butuh kehadiran orang tua Icha, yang bisa menyayangi Icha, Ma. Cuma itu yang Icha mau, Ma." Tanpa bisa kucegah, air mataku menetes.
"Loh, kok kamu mikirnya begitu sih, Cha? Mama itu sayang banget sama kamu, Cha. Dan semua yang Mama lakuin demi kamu juga. Papa pun juga begitu, jadi kamu harus paham itu!"
"Tapi Mama dan Papa jarang ada di dekat Icha, Ma. Apa Mama lupa, sejak kecil Icha harus hidup jauh dari Mama dan Papa?" Tangisku meledak.
"Udah, udah! Jangan nangis! Mama akui Mama salah. Tapi Mama nggak ada niat sedikit pun nelantarin kamu. Mama cuma mau kamu bahagia, Cha. Nggak hidup susah dan semua terpenuhi."
"Tapi itu nggak cukup, Ma. Icha juga pengen dipeluk Mama. Tapi Mama nggak pernah ada di sisi Icha. Apa Icha nggak berhak Ma berharap seperti itu sama orang tua Icha sendiri?" Air mataku tak bisa kubendung.
Kudengar Mama mengehela nafasnya, begitu berat. Lalu menjawab dengan suara bergetar, "Maafin Mama. Kamu bisa kan maafin Mama, Cha?" Terdengar isakan pelan.
"Icha selalu maafin Mama kok. Yang Icha mau, Mama berada di sisi Icha."
"Terima kasih Cha. Kalo Mama bisa, Mama bakal temanin kamu di Jakarta. Tapi Mama nggak bisa, Maafin Mama." Terdengar suara berat Mama dari telepon.
Kuusap air mataku, dalam hati Mama selalu begitu. Banyak alasan yang dibuatnya karena Mama lebih mikirin bisnisnya daripada anaknya.
"Mama jahat..." Suaraku bergetar karena perasaan kecewa.
"Kamu kok gitu, Cha sama Mama? Mama nggak bisa ninggalin kerjaan Mama."
"Kenapa nggak bisa? Mama bukan buruh yang terikat kontrak Ma, seharusnya Mama bisa meluangkan sedikit waktu untuk anaknya."
"Kamu nggak ngerti, Cha. Apa yang Mama lakuin ini penting buat Mama. Kamu harusnya bisa ngertiin Mama."
"Penting? Jadi bisnis Mama lebih penting daripada Icha?" Isakku semakin menjadi.
"Bukan begitu maksud, Mama. Jelas yang terpenting buat Mama itu kamu, makanya Mama pengen yang terbaik buat kamu. Dan perusaan ini, suatu saat juga bakal jadi milik kamu, Cha. Makanya kamu kudu meneruskan pendidikan kamu, Mama nggak mau pendidikan kamu mentok SMA saja."
"Kok melebar ke pendidikan sih Ma? Yang Icha bahas itu soal Mama yang nggak pernah luangin waktu Mama, buat Icha. Itu saja, nggak lebih."
"Mama itu sayang sama kamu, Cha. Makanya Mama pengen kamu meneruskan pendidikan. Toh itu demi kebaikan kamu kan?"
"Mama emang nggak peka ya. Suka banget maksain ke anak yang anaknya nggak suka. Dan Mama mengalihkan topik pembicaraan."
"Kamu selalu saja salah paham sama Mama ya, Cha. Bahkan kepedulian Mama pun, kamu salah artikan."
"Tapi Mama kenyataannya nggak peduli sama Icha. Kalo Mama peduli sama Icha, Mama pulang. Apa salahnya sih?" Kuusap air mataku.
"Nggak ada yang salah. Cha... daripada kamu jadi konten kreator nggak jelas begitu, kenapa sih kamu nggak kuliah saja?" Nada suara Mama terdengar memaksa.
"Aku nggak mau, Ma. Kenapa sih Mama mesti maksa? Aku bikin konten menghasilkan uang, Ma. Icha bukan pengangguran."
"Mama nggak bilang kamu pengangguran, Cha. Nah, kamu salah paham lagi kan?"
"Itu gara-gara Mama, yang melebar kemana-mana. Apa susahnya sih, Mama meluangkan waktu buat Icha?"
"Udah! Udah! Mama nggak mau berdebat!" Suara embusan nafas Mama terdengar dari telepon.
"Ma... please Ma! Mama pulang! Icha kangen sama Mama." Aku kembali terisak-isak lagi.
"Maaf Mama nggak bisa, kecuali kamu mau kuliah."
"Icha nggak bisa... lagian buat apa sih kuliah kalo Icha udah bisa cari duit sendiri?"
"Ya jelas buat masa depanmu, Cha... Mama nggak mau, saat kamu mimpin perusahaan, kamu masih berpendidikan SMA... Mama malu."
"Oh jadi Mama maksa Icha buat kuliah karena Mama malu karena anak kandung Mama pendidikannya cuma SMA?"
"Jadi kamu nggak mau nurutin permintaan Mama?"
"Ya, Icha nggak mau!"ucapku dengan suara tinggi.
"Keras kepala banget kamu, Cha!" Helaan nafas Mama terdengar begitu berat.
"Mama pulang dulu, kalo Mama pulang Icha bakal turutin permintaan Mama!"
Panggilan teleponku terputus. Kakiku terasa begitu lemas, karena Mama keukeuh dengan keinginannya tanpa mengindahkan perasaanku. Yang kuinginkan sederhana, hanya kehadiran Mama di sisiku. Tak perlu lama, beberapa hari pun, aku sudah sangat bahagia. Namun Mama tetap egois, mementingkan dirinya sendiri. Permintaanku yang sederhana, terasa begitu sulit bagi Mama.
Disaat seperti ini, aku hanya bisa meringkuk seorang diri di pojok kamar. Aku hanya ingin lepas dari perasaan sepiku. Semakin aku tenggelam ke dalam kesedihan, duniaku semakin lengang.
Tok tok tok... pintu kamarku diketuk.
"Iya siapa?"
"Ini Mbok Rumini, Ci. Cici belum sarapan lho sejak tadi pagi, ayok turun! Udah Mbok siapin Makanan kesukaan, Cici."
Kuusap air mataku, meski perasaanku hambar karena perasaan kecewaku pada mamaku. Kehadiran Mbok Rumini, setidaknya mampu menjadi pelipur laraku.
"Iya, Mbok. Sebentar lagi Icha turun!" Kuambil hijab bergoku lalu aku turun ke lantai bawah.
"Mbok tunggu di bawah ya, Ci! Udah Mbok siapin soto Betawi kesukaan Cici."
"Wah kesukaanku banget itu." Aku buru-buru merapikan outerku yang menutupi gaun tidurku.
Sesampainya di lantai bawah, aku berjalan ke arah meja makan. Seperti tradisi di rumah ini, lebih tepatnya tradisiku. Tak hanya aku yang sarapan, namun semua pegawaiku di rumah ini termasuk tukang kebunku. Mereka seperti keluarga bagiku, yang sebenarnya kehadiran mereka membuat rumah ini tak lagi sepi.
Namun, kesepian hatiku bukanlah sepi tanpa keriuhan. Karena di rumah ini, tak lengang oleh canda tawa pegawaiku. Melihat kebersamaanku dengan pegawaiku, aku teringat masa kecilku. Hanya ditemani Mbok Rumini, aku tumbuh sampai sebesar ini. Tanpa ada orang tuaku di sisiku, rasanya begitu menyesakkan.
Sekarang aku sarapan bersama dengan semua pegawaiku. Aku sangat menyukai suasana seperti ini, suasana yang egaliter. Tak ada batasan antara majikan dan asistennya.
Kulihat satpamku menyantap makanan dengan lahapnya. Saat aku menatapnya, tukang kebunku menyadari, aku sedang mengamati satpamku. Tukang kebunku pun menyenggol lengan satpamku.
"Heh, dilihat Cici Icha tuh." Tukang kebunku memberi kode pada satpamku karena mengambil nasi sampai penuh dan tumpah-tumpah. Kuahnya pun, ikut tumpah, meluber keluar dari mangkuk.
Satpamku pun menatapku dengan salah tingkah.
"Nggak apa-apa Pak. Kalo mau nambah, nambah aja nggak perlu sungkan!"
"Hehe, iya Ci. Terima kasih." Satpamku menggaruk-garuk kepalanya.
Lalu kulirik Mbok Rumini, "Ambil lagi Mbok, kalo kurang!"
"Duh, Ci... Mbok udah kekenyangan."
Setelah sarapan selesei, aku membantu Mbok Rumini mengangkat mangkuk-mangkuk bekas sarapan ke dapur.
"Udah, Ci! Biar Mbok aja!"
"Nggak apa-apa Mbok!" Mbok Rumini pun menggelengkan kepalanya.
Aktivitasku setiap hari seperti ini. Ibadah, sarapan bersama, bantu-bantu Mbok Rumini di dapur. Setelah itu aku siap-siap mengedit video yang akan aku buat konten. Bukan podcast atau semacam review film dan sejenisnya. Aku lebih suka merekam skyline dari atas gedung menggunakan drone.
Meski kontenku hanya berisi landscape skyline, skyscrapper dari atas gedung di Jakarta dan yang lebih seringnya aku merekam pemandangan hutan, pantai dari atas. Viewerku cukup banyak juga, apalagi saat mereka mengetahui, aku adalah konten kreator muslimah bercadar.
Mereka pikir, aku laki-laki karena biasanya yang hobby menerbangkan drone itu laki-laki. Makanya mereka langsung suka setelah mengetahui aku perempuan. Tak hanya merekam pemandangan dari atas menggunakan drone, aku juga sering review tentang produk drone terbaru. Meski begitu, untuk membuat konten aku menggunakan drone yang biasa. Rasanya aneh saja, saat aku menerbangkan drone VR karena aku bisa melihat pemandangan di depanku secara real time.
Ah, hobbyku dan pekerjaanku sedikit banyak menekan kesepianku. Seperti yang aku katakan sebelumnya, meski di rumah aku tak sendirian. Dengan rumah yang tak pernah lengang dari canda tawa pegawaiku. Ada sesuatu yang hampa di hatiku, kesepian yang aku tak mengerti. Awalnya memang karena kerinduanku pada kedua orang tuaku. Aku ingin mereka selalu berada di sisiku, lama kelamaan aku tak mengerti dengan apa yang aku rasakan. Kekecewaan yang selalu ditorehkan orang tuaku padaku, membuatku terjerembab ke dalam lumpur isap. Yang menjebakku ke dalam ruang kosong, yang menyiksa batinku. Saat perasaan itu muncul, aku selalu ingin berlari. Namun, tetap saja terjatuh. Dengan tangan-tangan yang keluar dari tanah, menarikku sampai nafasku tercekat. Begitu sesak, sampai aku menangis tertahan.
Hanya di bawah hujan aku bisa menyamarkan tangisku. Dan aku pun menangis tanpa ada orang yang mengetahuinya. Yang ingin aku tampakkan di depan orang-orang yang aku kenal adalah Icha yang kuat. Perempuan bercadar independen, yang mampu berdiri sendiri meski hatinya rapuh. Mungkin orang-orang di sekitarku selalu melihatku selalu riang penuh energi, kenyataannya kusembunyikan diriku yang sebenarnya ke dalam benakku yang terdalam.
Aku tak mau, orang lain ikut merasakan kesedihanku. Terbawa ke dalam arus depresiku yang setiap saat menghantuiku. Di bawah air yang mengguyur melalui shower, aku meringkuk dengan terisak-isak. Ingin rasanya melepas beban-beban di kepalaku yang mencekik leherku sampai aku susah bernafas.
Dengan air mata yang tak berbekas, mataku terlihat sembab. Dan penyamaranku berhasil. Polesan glosh on pada wajahku, menutupi kesedihanku.
Dadaku masih sesak hari ini, namun aku tetap harus tegar. Di depan cermin kupoles dengan eye shadow, lalu kulukis alisku menggunakan pensil alis. Setelah semua selesei, rambutku yang panjang aku tutup menggunakan ciput sebelum aku memakai cadarku. Yang terakhir aku memakai hijabku yang panjang menjuntai sampai menutup pantatku.
Hari ini aku ingin keluar rumah hanya sekedar menghirup udara segar. Ya meski biasanya aku selalu keluar malam hari, untuk merekam skyline menggunakan drone. Namun, aku butuh healing hari ini. Tak muluk-muluk, dengan mengitari jalanan menggunakan motor sportku, depresiku mampu kuredam.
"Mbok aku keluar dulu ya?" Sambil memakai hoodie hitamku, aku melangkah ke arah garasi. Outfitku serba hitam saat ini, bahkan motor sportku pun juga berwarna hitam.
"Oh iya, hati-hati di jalan ya Ci!"
"Iya Mbok..." Kucium punggung tangan Mbok Rumini layaknya seorang anak pada orang tuanya.
Motorku mulai berderum, suaranya seakan menipu setiap mata. Dengan penampilannya yang gagah, menyiratkan sesuatu yang tak goyah. Namun kenyataannya, si pengendara, aku adalah perempuan rapuh yang tenggelam ke dalam depresi.
Mama tak tahu, apalagi papaku jika aku harus menenggak obat yang tak kuharapkan setiap hari. Paitnya seakan menyekat tenggorokanku sampai aku hanya bisa meranggai-ranggai agar aku tak tersedot ke dalam kehampaan yang menyiksa.
"Pagi Pak!" kusapa satpam rumahku.
"Selamat pagi juga, Cici!" Gerbang pun digeser, motor besarku mulai berderum membuat setiap mata terpana.
Dengan deruman yang berat, motorku kukendarai mengitari jalanan. Kususuri jalan ibu kota, memasuki gang-gang sempit. Bahkan sampai ke kawasan kumuh di ibu kota.
Kupotret kawasan kumuh itu, sekedar ingin kuabadikan di dalam akun media sosialku. Dari kebiasaanku memotret kawasan kumuh atau rekaman video kawasan kumuh. Banyak komentar yang kadang tak menyukai aktivitasku. Namun, tak kupedulikan komentar miring itu karena aku sama sekali tak punya niat buruk.
Aku menyukai photography yang bernuansa realis seperti ini. Yang jujur menggambarkan realitas. Kadang aku heran dengan orang-orang yang malu dengan kenyataan di depannya. Jika itu menjadi aib, seharusnya bukan ditutupi. Namun, diakui sebagai kelemahan yang bisa diperbaiki.
Saat aku sedang memotret, kulihat pemulung yang tampaknya seusiaku. Entah kenapa hatiku berdesir melihatnya. Ada semacam sesuatu yang mengetuk-ngetuk benakku. Wajahnya cukup tampan, hanya saja pakaiannya lusuh. Dari gurat wajahnya tergambar sosok pekerja keras, yang tak menyerah oleh kerasnya hidup. Keringatnya bercucuran membasahi keningnya, aromanya menyebar masuk ke dalam cuping hidungku.
Ya, aroma kulit yang terbakar matahari. Semakin kuhirup lebih dalam, jantungku berdetak kencang. Ingin rasanya aku mendekatinya, untuk sekedar berkenalan dengannya. Karena aku setelah lulus SMA, tak punya teman sama sekali. Makanya saat aku melihat pemulung seusiaku, rasanya ingin berkenalan dengannya.
Namun, tubuhku tak bergerak. Hanya sorot mataku seperti layaknya kamera auto fokus yang membidik sasarannya dengan mata yang mengunci kuat. Huh, kehela nafasku, keinginanku pupus saat pemulung itu semakin jauh dari pandanganku. Ia mendorong gerobaknya memasuki gang-gang sempit. Kucoba mengikutinya, dengan berkendara perlahan.
Sesampainya di depan gang, aku berhenti mengendarai motorku. Karena gang sempit ini tak memungkinkan aku mengendarainya untuk memasuki gang karena terlalu sempit.
Dari kejauhan, kulihat pemulung tampan itu mendorong gerobaknya. Semakin jauh, sampai pemulung tampan itu berbelok dan lenyap dari pandanganku.
Kuembuskan nafasku, aku menyesal karena aku tak kunjung berkenalan dengannya. Namun, aku juga berpikir seandainya berkenalan akan banyak mata yang menatapku aneh. Seorang perempuan bercadar sedang mengobrol dengan pemulung tanpa sekat, tanpa ditemani oleh mahromnya.
Namun apa peduliku? Toh aku hanya ingin berkenalan, tak lebih. Hanya orang-orang kolot yang selalu memandang sesuatu dengan pandangan negatif. Tak ada salahnya jika sekedar bercengkerama.
Aku pun punya niat, jika suatu saat aku bertemu dengannya lagi. Tak hanya mengobrol dengannya, aku juga ingin berbagi kebahagiaan. Seperti kuajak makan bersama di pinggir jalan. Minum es krim bersama, sambil bercerita tentang lika-liku hidup. Kuyakin, ia akan menyukainya. Dan akan aku jadikan teman, agar aku tak kesepian lagi. Sayangnya ia sudah pergi jauh, aku tak tahu apakah takdir akan mempertemukanku kembali.
Cukup lama aku berhenti di depan gang sempit ini, aku dikagetkan oleh seseorang yang tiba-tiba menegurku.
"Eh eneng, ada apa ya disini?" Bapak-bapak tua yang mendorong gerobak bubur ayam memasuki gang sempit, berhenti di sampingku.
"Hehe, nggak Pak. Nggak ada apa-apa, cuma tersesat aja sampai sini." Terpaksa aku berbohong karena aku menahan malu karena aku melamun sendiri disini.
"Oh, emangnya eneng mau kemana?" Kuceritakan dengan jujur dimana domisiliku, lalu Bapak penjual bubur itu menunjukkan arah dengan ramah.
"Terima kasih ya Pak!" Kuanggukan kepalaku sebagai tanda takzim.
"Sama-sama neng, hati-hati di jalan!" Setelah Bapak penjual bubur ayam itu pergi, aku meninggalkan gang sempit ini.
Sekarang aku sudah kembali berada di jalanan, dengan motorku yang aku kendarai berderum gagah. Embusan angin mengenai tubuhku dengan hijab yang berkibar-kibar, membuat suasana hatiku sedikit berubah. Apalagi saat aku mengingat pemulung tampan yang melintas di dekatku tadi, hatiku yang sepi seperti disiram air yang melegakan.
Padahal aku tak mengenalnya. Namun, ada sesuatu yang memikatku yang memantik rasa penasaranku untuk mengenalnya. Sayang, aku kehilangan jejaknya. Meski aku kecewa pada diriku sendiri, di dalam hatiku ingin kucari laki-laki yang menyembuhkan kesepianku.
Aku bahagia, sepiku terasa menguap. Dan kuharap Tuhan mempertemukanku dengannya suatu saat nanti. Karena aku percaya, ada alasan mengapa aku bertemu dengan pemulung tampan tadi.
Dan misi awalku adalah pencarianku pada seseorang yang menyembuhkan perasaan hampaku, dengan kehadirannya yang selintas.
Bersambung.
ns216.73.216.25da2