Arman membuka pintu rumah kecil mereka dengan langkah lelet, sepatu kerjanya berderit pelan di lantai kayu yang sudah tua. Bau masakan kari ayam menyambutnya, hangat dan familiar, bercampur dengan aroma lilin aroma terapi yang Zahra nyalakan setiap malam. Di sudut ruang tamu, radio kecil memutar lantunan shalawat, suara merdu penyanyi mengalun lembut, mengisi keheningan rumah yang sederhana. Dua kamar, satu ruang tamu merangkap ruang makan, dan dapur kecil di belakang—ini adalah dunia mereka, kecil tapi cukup.
“Assalamu’alaikum,” panggil Arman sambil meletakkan tas kerjanya di sofa lusuh berwarna cokelat. Ia melonggarkan dasi, keringat membasahi keningnya setelah seharian bekerja sebagai staf administrasi di kantor kelurahan.
“Wa’alaikumsalam, Mas,” jawab Zahra dari arah dapur. Suaranya lembut, tapi ada nada lelah yang terselip di ujungnya. Arman melangkah ke dapur, mendapati istrinya sedang mengaduk panci dengan sendok kayu. Rambut Zahra tersembunyi di balik jilbab sederhana warna krem, ujungnya sedikit basah oleh cipratan air dari wastafel. Gamis biru muda yang ia kenakan longgar, tapi tetap membentuk lekuk tubuhnya yang ramping. Arman tersenyum kecil, merasa hangat setiap kali melihat Zahra seperti ini—sederhana, tapi penuh kelembutan yang membuat hatinya tenang.
“Capek, Mas?” tanya Zahra tanpa menoleh, fokus pada panci di depannya. Uap mengepul, membawa aroma rempah yang kian kuat.
“Biasa aja. Tadi cuma ngurus laporan bulanan. Kamu sendiri apa kabar? Masak apa ini, harum banget.” Arman mendekat, berdiri di samping Zahra, mencium aroma kari yang kini bercampur dengan wangi sabun mandi yang masih menempel di kulit istrinya.
Zahra tersenyum tipis, matanya tetap tertuju pada panci. “Kari ayam, tadi ibu sebelah kasih ayam kampung. Katanya biar kita coba, soalnya anak-anaknya pada nggak suka. Aku tambahin kentang biar nggak terlalu pedas.”
Arman mengangguk, tangannya refleks menyentuh pinggang Zahra, ingin merasakan kehangatan tubuhnya setelah seharian di kantor yang dingin. Zahra menegang sedikit, tapi tidak menolak. Ia hanya menggeser tubuhnya perlahan, seolah memberi ruang untuk Arman tanpa benar-benar membalas sentuhan itu.
“Udah selesai ngaji tadi?” tanya Arman, mencoba mengalihkan perhatian dari ketegangan kecil yang ia rasakan.
“Iya, tadi habis Maghrib sama ibu-ibu di masjid. Mereka ngajak ikut majelis taklim besok, katanya ada ustaz baru dari kota. Namanya Habib Albar, katanya ilmunya dalam.” Zahra akhirnya menoleh, matanya berbinar sekilas saat menyebut nama itu, tapi segera kembali ke panci.
“Oh, bagus dong. Kamu kan suka yang beginian. Aku sih nggak keberatan, asal nggak lupa sama suami di rumah,” canda Arman, tapi ada nada serius di baliknya. Ia menarik tangannya dari pinggang Zahra, merasa sentuhannya tadi tidak benar-benar diinginkan.
Zahra terkekeh pelan, tapi tidak menjawab. Ia mematikan kompor, mengangkat panci, dan membawa ke meja makan kecil di sudut ruangan. Arman mengikutinya, membantu mengambil piring dan sendok dari rak. Mereka makan dalam diam, hanya sesekali bertukar cerita ringan tentang hari itu. Shalawat dari radio terus mengalun, mengisi kekosongan percakapan mereka.
Setelah makan, Zahra membersihkan meja sementara Arman duduk di sofa, memainkan ponselnya. Ia membaca berita lokal, tapi pikirannya melayang ke Zahra. Sudah hampir dua bulan ini ia merasa ada jarak di antara mereka, terutama di ranjang. Zahra selalu punya alasan—lelah, haid, atau sedang fokus beribadah. Arman tidak pernah memaksa, tapi keinginannya untuk menyentuh istrinya, untuk merasakan keintiman seperti dulu, semakin sulit ditahan.
Malam itu, setelah Zahra selesai salat Isya, ia duduk di tepi ranjang dengan sajadah masih terlipat di pangkuannya. Cahaya lampu kamar yang temaram menyinari wajahnya, membuat kulitnya tampak lembut dan sedikit berkilau karena keringat tipis. Arman keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan celana pendek dan kaus oblong. Rambutnya masih basah, dan ia mengelap lehernya dengan handuk kecil.
“Zahra, kamu nggak capek? Udah malem, ayo istirahat,” kata Arman, suaranya pelan, tapi ada nada penuh harap di dalamnya. Ia duduk di samping Zahra, tangannya menyentuh pundak istrinya dengan lembut.
Zahra menoleh, tersenyum kecil, tapi matanya tidak benar-benar bertemu dengan mata Arman. “Iya, Mas. Tapi tadi aku baca doa-doa dulu. Mau istirahat kok.” Ia meletakkan sajadah di meja kecil di samping ranjang, lalu merebahkan diri, masih mengenakan jilbab dan gamisnya.
Arman menatap tubuh Zahra, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia merindukan saat-saat dulu, ketika Zahra masih suka memeluknya di ranjang, ketika ciuman mereka penuh gairah dan tawa. Sekarang, setiap kali ia mencoba mendekat, ada dinding tak terlihat yang membuatnya ragu. Tapi malam ini, ia ingin mencoba lagi.
“Zahra,” bisik Arman, tangannya merayap ke pinggang istrinya, menarik tubuhnya lebih dekat. Ia mencium leher Zahra, tepat di bawah jilbab, merasakan kehangatan kulitnya yang lembut. Aroma sabun dan sedikit wangi minyak kayu putih dari tubuh Zahra membuat penis Arman mulai mengeras di balik celana pendeknya.
Zahra menegang lagi, tapi tidak menolak. “Mas, aku capek tadi ngaji lama,” katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan. Tapi ia tidak menyingkirkan tangan Arman, malah memejamkan mata, seolah pasrah.
Arman mengabaikan nada lelah itu, berharap Zahra hanya perlu dipancing. Ia menarik jilbab Zahra perlahan, membiarkan rambut hitamnya yang panjang terurai di atas bantal. Wajah Zahra tampak cantik di bawah cahaya lampu, bibirnya sedikit terbuka, dan Arman tidak bisa menahan diri untuk menciumnya. Bibir mereka bertemu, lembut pada awalnya, tapi Arman mulai menekan lebih dalam, lidahnya mencari respons dari Zahra. Payudara Zahra yang penuh terasa lembut saat Arman memeluknya lebih erat, putingnya mengeras di balik kain gamis yang tipis.
“Mas…” Zahra bergumam di sela ciuman, tangannya memegang lengan Arman, tapi tidak jelas apakah ia ingin mendorong atau menariknya lebih dekat. Arman memilih menganggapnya sebagai undangan. Ia menarik gamis Zahra ke atas, memperlihatkan paha istrinya yang putih dan lembut. Jembut hitam yang rapi di antara kedua paha itu membuat darah Arman berdesir. Ia menelusuri paha Zahra dengan jari-jarinya, perlahan mendekati vagina istrinya yang sudah sedikit basah, tapi Zahra tetap diam, hanya sesekali menghela napas pelan.
Arman mencium leher Zahra lagi, kali ini lebih dalam, giginya menggigit kecil kulit di dekat tulang selangka. Ia menarik gamis lebih tinggi, hingga pinggang Zahra, memperlihatkan pantatnya yang bulat dan lembut. Dengan gerakan hati-hati, Arman menempatkan diri di antara kedua kaki Zahra, penisnya yang sudah keras menekan lembut bibir vagina istrinya melalui celana dalamnya. Ia menggesekkan dirinya perlahan, mencoba membangkitkan gairah Zahra, tapi responsnya tetap minim—hanya napas yang sedikit lebih cepat dan tangan yang mencengkeram sprei.
“Zahra, aku kangen kamu,” bisik Arman, suaranya penuh keinginan. Ia menarik celana dalam Zahra ke bawah, memperlihatkan vagina yang kini terlihat lebih basah, bibirnya sedikit membuka mengundang. Arman menunduk, mencium bagian dalam paha Zahra, lalu perlahan menjilat bibir vagina istrinya, merasakan kehangatan dan sedikit rasa asin yang membuatnya semakin bergairah. Zahra menggeliat pelan, tapi tidak ada suara erangan seperti yang Arman harapkan.
Dengan hati-hati, Arman memposisikan diri di atas Zahra, menempatkan penisnya di depan vagina istrinya. Ia masuk perlahan, merasakan kehangatan yang menyelimuti dirinya, tapi gerakan Zahra tetap pasif. Arman mencoba mengatur ritme, keluar masuk dengan lembut, tangannya meremas payudara Zahra yang masih tertutup gamis. Putingnya terasa keras di bawah jari-jarinya, tapi wajah Zahra tetap datar, matanya terpejam, seolah ia sedang berada di tempat lain.
“Zahra, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Arman di sela napasnya yang memburu, berharap mendengar sesuatu yang bisa menghidupkan momen ini.
“Iya, Mas. Lanjut aja,” jawab Zahra, suaranya datar, hampir mekanis.
Arman merasa ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, tapi ia terus bergerak, mencoba mencari kenikmatan yang dulu pernah mereka bagi. Ia mengubah posisi, menarik Zahra agar berbaring miring, memeluknya dari belakang. Penisnya masuk kembali, kali ini dari sudut yang berbeda, menggesek dinding vagina Zahra dengan lebih dalam. Pantat Zahra menempel erat di pangkal paha Arman, dan ia mencium tengkuk istrinya, berharap merasakan keintiman yang hilang. Tapi Zahra hanya diam, sesekali menghela napas, tangannya mencengkeram bantal.
Akhirnya, Arman mencapai klimaks, cairan hangatnya mengisi tubuh Zahra, tapi tidak ada respons dari istrinya. Ia menarik diri perlahan, napasnya masih tersengal, dan melihat Zahra yang tetap memejamkan mata. Gamisnya masih tersingkap di pinggang, tubuhnya basah oleh keringat, tapi wajahnya tidak menunjukkan apa-apa—tidak ada senyum, tidak ada kehangatan.
Arman berbaring di sampingnya, menatap langit-langit kamar. Rasa bersalah menyerangnya. Ia ingin bertanya apa yang salah, apa yang membuat Zahra begitu jauh, tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Zahra bangkit, menarik gamisnya kembali ke bawah, lalu mengambil jilbabnya dan mengenakannya tanpa berkata apa-apa.
“Aku mau minum dulu, Mas,” katanya pelan, lalu berjalan keluar kamar.
Arman menatap pintu yang tertutup, mendengar suara shalawat dari radio yang masih menyala di ruang tamu. Rumah kecil mereka penuh doa, tapi malam ini, doa-doa itu terasa hampa baginya.
164Please respect copyright.PENANA47RtjxJcvh