
Pikiranku mulai berpacu. Apa aku salah memilih?
Di satu sisi, ada rasa bersalah karena meninggalkan pengajian. Tapi di sisi lain… ada sesuatu yang menggelitik rasa penasaranku. Selama ini, hidupku berjalan di rel yang sama: kerja, mengaji, kumpul dengan Nisa dan Fatmah—jarang sekali aku mencoba hal baru.
Mungkin… sekali ini tak apa?
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah gedung karaoke mewah, lampu neon berkedip-kedip menyambut.
"Welcome to your turning point, Shaniya," bisikku dalam hati sebelum melangkah keluar, mengikuti tawa riang Ghea dan yang lain.
Begitu pintu ruang karaoke terbuka, gelombang musik dan tawa langsung menyambut kami. Lampu-lampu LED berwarna-warni berkedip mengikuti irama, memantulkan bayangan kami di dinding yang dipenuhi poster artis terkenal. Meja di tengah ruangan dipenuhi keripik, kue, dan minuman bersoda, sementara layar besar di dinding menampilkan lirik lagu dengan animasi yang energik.
"Kita baru mulai, nih! Yuk, langsung nyanyi!" teriak Cheryl bersemangat, menyodorkan mikrofon ke tanganku dengan mata berbinar.
Aku menerimanya dengan senyum geli. Ini benar-benar di luar kebiasaanku.
Tapi saat musik mulai mengalun dan suara Ghea melengking tinggi menyanyikan lagu populer, sesuatu yang aneh terjadi. Aku—yang biasanya hanya diam di pengajian atau membaca buku sendirian—tiba-tiba ikut bernyanyi dengan lantang, mengikuti irama, bahkan tertawa lepas saat itu.
Tak beberapa lama muncul dua orang lelaki yang ternyata teman Ghea dan Cheryl. Kami diajak berkenalan dan lagi-lagi aku mau berjabat tangan dengan mereka yang bernama Frans dan Albert. Suasana makin seru dan aku mulai bisa tertawa lepas saat Frans mencoba meniru suara penyanyi rock dan gagal total.
Suasana semakin panas. Layar karaoke berganti dari lagu pop kekinian hingga hits lawas tahun 90-an yang bikin kami semua ikut bernostalgia. Suaraku yang awalnya malu-malu kini pecah tanpa beban, bersahutan dengan Ghea yang tak pernah kehabisan energi.
"Kok lo bagus banget nyanyinya, Shan? Sering nyanyi di kamar mandi ya?" goda Albert sambil menyikutku lembut.
Aku hanya tertawa, tapi di tengah keriangan itu—
Alarm berisi suara Azzan Maghrib berkumandang di ponselku.
Segera, refleksku bekerja. "Tunggu sebentar, guys. Aku mau sholat dulu," kataku sambil meletakkan mikrofon.
"Oh, iya, silakan!" balas Ghea cepat, meski matanya masih berbinar karena euphoria nyanyi.
Aku melangkah keluar, meninggalkan gemuruh musik dan tawa yang seketika mereda begitu pintu tertutup. Mushola kecil di ujung lorong terasa seperti dunia lain—hening, sepi, hanya diterangi lampu temaram.
Inikah yang mereka sebut "dunia dua alam"?
Saat sujud, bunyi bass dari ruang karaoke masih samar-samar terdengar, berdetak seperti jantung yang tak mau berhenti. Aku mencoba fokus, tapi pikiran ini tak bisa diam:
"Apa aku masih di jalan yang benar?"
Usai sholat, aku berdiri di depan pintu ruang karaoke lagi. Dari balik pintu, terdengar Cheryl sedang menyanyikan lagu sedih dengan suara fals yang lucu, diikuti gelak tawa semua orang.
Jarikuku menggenggam erat. Haruskah aku masuk lagi? Atau… pulang saja?
"Shan! Kok lo di situ aja? Ayo, kita nyanyi lagi!" Tiba-tiba, Ghea muncul dari dalam, menarik tanganku dengan semangat.
Dan sekali lagi, dunia musholla dan riuh rendah karaoke bertabrakan di kepalaku.
Apa yang akan kulakukan?
3409Please respect copyright.PENANA3QfJHIFGPw
"Huaaaahhh capeee nyanyi teruuusss...." erang Cheryl sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi, pose yang tanpa sadar membuat lekuk tubuhnya semakin mencolok.
"Aku udah pesan makan. Bentar lagi datang. " Ucap Ghea.”Rangga juga dikit lagi nyampe bawa minuman.”
Rangga? Teman kantor kami mau datang? What minuman? Bukankan di meja sudah banyak minuman dari air mineral sampai minuman bersoda. Hmmmmm pasti ini maksudnya minuman beralkohol.
Makanan yang dipesan telah datang dan tak lama kemudian Rangga tiba membawa tas rangselnya. Dan dari tas itu dia mengeluarkan beberapa botol minuman.
“Wow Shan lo ikut juga?” Ucap Rangga antusias.
“Eh iya..” Sahut aku malu-malu.
Kami pun segera makan. Saat aitu aku duduk bersebelahan dengan Cheryl yang tiba-tiba bertanya, "Lu gak gerah pake hijab terus, Shan?"
Aku mengunyah sebentar sebelum menjawab, "Udah biasa kok kayak gini, dari kecil gue udah diajarin berjilbab. Lagian AC-nya nyala, jadi gak gerah deh.”
Cheryl tertawa kecil. "Gua aja gak pake hijab gerah pengen lepas seragam kantor ini. Entar kalau udah habis minum gua bakal lepas juga nih seragam."
"Ih dasar lo."
Kata-kata Cheryl bikin aku kaget. Kelar makan mereka kembali menyanyi tapi sebagian mulai menegak minuman keras. Suasana pun semakin cair. Obrolan yang awalnya biasa saja perlahan berubah menjadi lebih vulgar—topik-topik yang selama ini aku anggap tabu kini dibicarakan dengan santai. Aku dan Sari, sampai sejauh ini yang tidak ikut minum, hanya saling pandang dengan wajah serba salah.
"Shan, mau nyoba?" tanya Ghea tiba-tiba, menyodorkan gelas berisi cairan bening itu padaku.
Aku menggeleng cepat. "Aduh, gue gak bisa deh, maaf."
"Gapapa, sekali-kali coba!" Cheryl menambahkan dengan nada menggoda.
Tekanan itu semakin kuat ketika Sari, yang awalnya menolak, akhirnya menyerah dan ikut mencicipi. "Coba deh, Shan. Gak enak sih, tapi lumayan bikin relax," bisiknya.
Aku termangu. Ini jelas haram. Tapi di tengah tawa dan bujukan mereka, perlahan-lahan, pertahananku goyah.
"Ya udah deh... sekali aja," akhirnya aku mengalah.
Cairan itu membakar tenggorokanku, tapi anehnya... ada rasa lega yang mengikutinya. Pikiranku yang tadinya tegang kini terasa ringan, seolah beban-beban yang kusimpan selama ini menguap begitu saja.
Astaghfirullah... apa yang baru saja aku lakukan?
Tapi di saat yang sama, ada bisikan kecil di kepalaku: Kalian benar... ini memang membuatku tenang.
Suasana di ruang karaoke semakin meriah seiring berjalannya waktu. Layar karaoke terus berganti lagu, dari yang populer hingga lawas. Suaraku yang awalnya malu-malu kini sudah mulai lantang mengikuti irama, bersahutan dengan tawa riang Cheryl dan Ghea. Botol-botol minuman sudah hampir kosong, dan aku makin hanyut sambil terus mendengar obrolan yang sangat vulgar.
"Nih, gue cerita pengalaman pertama gue," ucap Cheryl sambil tertawa terkekeh, matanya sudah berkaca-kaca karena mabuk. "Waktu SMP, gue udah nggak perawan lagi. Pacar gue yang SMA yang ngajarin. Dan itu... wow!"
Ghea langsung menyahut, "Sama! Gue juga! Dan enggak cuma sama pacar doang, loh. Kalau suka sama suka, why not?"
Aku terdiam sejenak, mencerna kata-kata mereka. Mereka berbicara tentang perselingkuhan seperti hal yang biasa.
"Bahkan sekarang pun, meski udah nikah, kadang kami masih gitu kalau ada yang menarik," lanjut Ghea sambil tersenyum genit, seolah itu adalah hal yang lucu.
Di dalam hati, aku merasa jijik. Betapa hinanya kalian, pikirku tentu saja tanpa aku ucapkan kepada mereka. Aku hanya memaksakan untuk ikutan tertawa. Tapi anehnya, aku tetap duduk di situ, mendengarkan, seolah ini hanyalah obrolan biasa kayak ngobrolin soal resep makanan.
Efek alkohol mulai menggerogotiku. Badanku mulai terasa panas. Keringat mengalir di pelipisku, dan napasku berat. Minuman haram itu benar-benar mempengaruhiku. Tapi di balik ketidaknyamanan itu, ada perasaan aneh—nyaman. Seperti beban-beban yang selama ini menindihku tiba-tiba menguap.
Bersambung3409Please respect copyright.PENANAP3Co7QMu8R