
"Kamu jadi dekat ya sama Ghea dan Cheryl?" tanya Fatmah suatu siang, saat kami bertiga janjian makan siang di sebuah resto yang dekat dengan kawasan perkantoran Pemda. Suaranya terdengar penasaran, tapi ada sedikit nada was-was di dalamnya.
Aku tersenyum sambil menyeruput es teh manis yang baru saja kuminum. "Iya, ternyata mereka baik kok, Fat. Awalnya aku juga ragu, tapi setelah kenal lebih dalam, mereka asyik banget."
Nisa, yang duduk di sebelah Fatmah, langsung mengerutkan kening. "Asyik? Apa kamu gak khawatir kamu jadi kayak mereka—pakai baju ketat, rok mini, dan dekat dengan yang bukan muhrim meski udah punya suami." ujarnya dengan nada menggurui.
Aku menggeleng sambil tertawa kecil. "Santai aja, Fat. Gue—eh, aku nggak akan kayak mereka kok."
"Lho, tuh kan! Kamu mulai 'lu-gue' ngomongnya! Pasti gara-gara pengaruh mereka!" Nisa memotong dengan suara yang semakin tinggi, matanya menyala tanda kesal. "Seriusan, Shan, jangan terlalu deket-deket sama mereka. Mereka tuh pasti bawa pengaruh buruk!"
Aku menghela napas. Rasanya agak kesal mendengar penilaian mereka yang terkesan gegabah. "Apaan sih, Nis. Aku bisa jaga diri kok. Lagian, kalian bahkan belum pernah ngobrol lama sama mereka. Mereka baik, jauh dari gambaran yang selama ini kalian bayangkan."
Fatmah dan Nisa saling pandang, seolah tidak yakin dengan pembelaanku. Tapi aku sudah memutuskan untuk tidak terjebak dalam prasangka. Aku percaya bahwa setiap orang punya sisi baik, dan Ghea serta Cheryl telah membuktikan bahwa stereotip tidak selalu benar.
Setelah selesai makan siang bersama Fatmah dan Nisa kami kembali dengan naik taksi online ke kawasan perkantoran. Kami berhenti di Dinas Sosial. Setelah bercakap-cakap sejenak, aku pun bergegas meninggalkan kantor Dinas Sosial dan menuju gedung Dinas Keuangan tempatku bekerja sekarang. Jaraknya tidak terlalu jauh jadi bisa jalan kaki. Pikiranku masih sedikit penuh dengan percakapan tadi—tentang Ghea, Cheryl, dan kekhawatiran kedua sahabat lamaku. Tapi aku mencoba mengabaikannya. Bagaimanapun, aku punya hak untuk memilih teman sendiri.
Baru saja aku melangkah masuk ke lobi kantor, tiba-tiba suara familiar memanggil namaku.4199Please respect copyright.PENANAxHo3jOimxG
"Shan, sini duluuu!"
Aku menoleh dan melihat Ghea sedang berdiri di dekat sofa lobi bersama Cheryl. Mereka dikelilingi oleh beberapa rekan kerja pria—sekitar lima orang—yang tampak asyik mengobrol. Aku menghampiri mereka dengan senyum kecil.
"Nih, gue kenalin temen baru gue yang sering gue ceritain ke kalian," kata Ghea sambil menepuk pundakku. "Namanya Shaniya!"
Mereka semua langsung menatapku, dan satu per satu mulai memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Aku mengenal wajah mereka, tapi belum pernah benar-benar berinteraksi sebelumnya. Biasanya, aku selalu menghindari bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram. Tapi entah mengapa, kali ini, tanpa pikir panjang, aku justru menjabat tangan mereka satu per satu.
Ada Rangga, Bram, Teguh, Rully, dan Anwar—masing-masing menyebutkan namanya dengan ramah.
"Gue Shaniya," balasku tanpa sadar.
Wait—what? "Gue"?
Aku sendiri kaget mendengar kata itu keluar dari mulutku. Lagi-lagi, aku terpengaruh gaya bicara Ghea dan Cheryl. Ternyata benar kata Nisa—pergaulanku dengan mereka sedikit demi sedikit mengubah kebiasaanku. Tapi anehnya… aku sama sekali tidak merasa terganggu. Malah, ada rasa lega karena bisa lebih santai.
Obrolan pun mengalir begitu cair. Aku, yang biasanya canggung di antara banyak orang, kini justru ikut tertawa lepas mendengar lelucon Rangga dan Bram yang memang terkenal humoris. Bahkan, tanpa kusadari, kata "gue-lu" sudah begitu natural keluar dari mulutku.
Tapi ada satu hal yang membuatku agak tersadar—beberapa kali, Rangga, salah satu dari mereka, melirik ke arahku dengan tatapan yang agak berbeda. Aku tahu itu bukan sekadar tatapan biasa. Padahal, aku sudah bersuami. Aku hanya bisa berharap dia tidak salah paham.
Kami begitu larut dalam obrolan sampai-sampai aku sedikit melupakan Fatmah dan Nisa—dua sahabat lamaku yang alim, yang mungkin saat ini sedang menggeleng-gelengkan kepala jika melihatku seperti ini.
Setelah cukup lama ngobrol "ngalor-ngidul", akhirnya kami berpisah. Aku, Ghea, dan Cheryl berjalan bersama menuju ruang kerja kami. Di sepanjang koridor, kami terus bercanda dan tertawa, layaknya sahabat yang sudah bertahun-tahun akrab.
Tapi ada satu hal yang tiba-tiba membuatku tersenyum sendiri—pemandangan kami bertiga pasti terlihat sangat unik di mata orang lain.
Aku, dengan jilbab lebar dan rok panjang yang rapi, berjalan di antara Ghea dan Cheryl, yang berseragam ketat dan terlihat begitu percaya diri. Dulu, aku, Fatmah, dan Nisa selalu memandang rendah gaya berpakaian mereka. Tapi sekarang? Aku sama sekali tidak merasa risih.
Aku bahkan tidak lagi memikirkan pakaian ketat mereka. Yang kurasakan hanyalah kebahagiaan karena punya teman-teman yang menyenangkan.
Dan sekali lagi, aku menyadari—aku benar-benar sudah berubah.
Tapi apakah perubahan ini buruk?
Aku belum tahu jawabannya. Tapi satu hal yang pasti: hidup terasa lebih berwarna dengan keberadaan mereka. Dan untuk saat ini, itu saja sudah cukup.
4199Please respect copyright.PENANAGMfPw00RAc
Sore itu, matahari tergantung malas di ufuk barat, menghangatkan udara lebih dari biasanya. Aku baru saja menutup laptop setelah menyelesaikan laporan keuangan yang bikin pusing, ketika Ghea muncul di depan mejaku dengan senyum mengembang seperti pemenang lotere.
"Shan! Kita dan beberapa temen mau ke tempat karaoke habis pulang kantor. Lo ikut, dong!" godanya sambil menyenderkan badan di meja kerjaku, matanya berbinar penuh harap.
Aku mengerutkan kening. Karaoke? Biasanya, sore-soreku diisi dengan buku-buku atau duduk tenang di pengajian. Tapi entah kenapa, kali ini ada sesuatu yang menarik—mungkin energi liar Ghea dan Cheryl yang selalu berhasil menularkan kebahagiaan mereka.
"Hmm… boleh juga. Gue ikut!" jawabku sebelum sempat mempertimbangkan konsekuensinya.
“Nah gitu dong. Kirain lo bakal nolak diajak karaokean!” Ujar Ghea.
“Sesekali bolehlah.” Sahutku.
"Yes! Langsung gas setelah jam pulang, ya!"
Belum sempat kurapikan dokumen terakhir, brring! Ponselku bergetar. Pesan dari Nisa:
[Nisa]: Assalamualaikum, Shan! Nanti ba’da Maghrib ada pengajian Ustadz Fahmi di Masjid Al-Ikhlas. Fatmah juga ikut. Yuk, kita bareng!
Jempolku membeku di atas layar. Ustadz Fahmi. Namanya saja sudah bikin hati adem. Biasanya, aku takkan pernah melewatkan kesempatan mendengar ceramahnya yang selalu menyentuh kalbu.
Tapi… ada janji dengan Ghea.
Aku menarik napas dalam sebelum membalas:
[Aku]: Waalaikumsalam, Nis. Maaf, aku udah ada janji sama temen kantor nanti. Lain kali ya, insya Allah kita bareng.
Aku sengaja tak menjelaskan detailnya. Nisa pasti bakal geleng-geleng kepala kalau tahu aku memilih karaoke ketimbang pengajian. Untungnya, balasannya singkat:
[Nisa]: Oke, gapapa. Next time!
Jam 16.00 – Aku berdiri di depan kantor, menatap jalan sambil memainkan ujung jilbabku. Bersamaku ada Cheryl dan Sari. Mobil Ghea yang berjalan dari tempat parkir kantor akhirnya muncul, meluncur pelan ke arahku.
[Aku]: Assalamualaikum…Pah, aku pulang agak telat ya. Ada acara kantoran sampe malem," kukirim pesan singkat pada Halid, suamiku.
Balasannya cepat masuk: "
[Halid]:Oke, hati-hati di jalan. Jangan terlalu malam."
Mobil Ghea berhenti, dan aku melompat masuk ke dalam mobil bersama Sari dan Cheryl. Begitu pintu mobil tertutup, musik pop menggelegar dari speaker mobil, dan Ghea langsung menyanyi dengan suara fals yang bikin telinga berdecak.
Bersambung
ns216.73.216.24da2