
Kabut tipis perlahan menari di lereng Gunung Pangrango, seolah membalut malam dalam sunyi yang penuh misteri dan magis. Api unggun menyala redup di tengah lingkaran tenda, cahayanya memantul lembut pada wajah Dina, perempuan berusia 27 tahun yang duduk anggun di atas tikar anyaman. Ia adalah seorang guru ASN di salah satu SMA di Kota Bandung, dengan kulitnya yang putih mulus bagaikan porselen yang berkilau diterpa sinar rembulan. Rambut hitam sebahunya, sedikit bergelombang, membingkai wajahnya yang lembut sekaligus menggoda. Kacamata tipis berbingkai emas bertengger di hidungnya, memberikan sentuhan kecerdasan yang berpadu apik dengan aura sensualnya. Blus katun putih yang membalut tubuhnya agak ketat, jelas menonjolkan lekuk payudara yang pas di genggaman pria dewasa, sementara putingnya yang mengeras samar terlihat melalui helaian kain tipis itu. Celana kain longgar membungkus pinggulnya, namun tetap tidak mampu menyembunyikan lekukan tubuhnya yang memikat. Mengelilinginya, enam pria dengan tatapan penuh gairah duduk mengitari api unggun. Benvolio yang berusia 30 tahun, Berdy dan Bernard yang sama-sama 27 tahun, Bernardo 26 tahun, Bertie 28 tahun, dan Berto 28 tahun—mereka semua adalah sahabat lama Dina dari masa kuliah, masing-masing membawa sejuta kenangan tawa, godaan, dan ketegangan yang tak pernah selesai. Benvolio, kakak tingkat dengan senyum nakal dan mata penuh arti, duduk paling dekat dengannya. Berdy, berpenampilan atletis dan sorot mata penuh percaya diri, menatap Dina dengan nafsu membara. Bernard yang biasanya pendiam kini menatap dengan intensitas yang sanggup membuat bulu kuduk Dina berdiri. Bernardo, yang paling muda, menampilkan aura polos namun matanya menyala dengan hasrat tersembunyi. Bertie dan Berto, dengan sikap santai namun penuh perhitungan, menambah panas suasana malam itu. Dina tahu malam ini bukan sekadar acara berkemah biasa. Ia telah membohongi Beck, suaminya, mengatakan bahwa ini adalah kegiatan sekolah. Pagi tadi, ia mencium pipinya dengan senyuman manis yang menyembunyikan denyut jantung liar di dadanya. Kini, di tengah keheningan hutan, ia merasakan kebebasan yang terlarang. Teh hangat dalam cangkir-cangkir yang dulu dihidangkan kini telah dingin, dan tawa mereka mulai berubah menjadi bisikan penuh arti. Udara malam yang dingin menyentuh kulitnya, tapi panas dalam tubuhnya membara, disulut oleh tatapan keenam pria yang menelusuri setiap lekuk tubuhnya dengan penuh nafsu.
Benvolio memecah sunyi malam dengan suara dalam dan sedikit serak, seperti desiran angin di antara pepohonan. "Ci, kamu masih ingat malam saat di rooftop kampus? Kita bicara sampai fajar, dan kamu... kamu membuat semua orang tidak bisa tidur," kata Benvolio dengan mata berkilat penuh kenangan dan nafsu. Dina tersenyum, pipinya merona merah, bibirnya yang berkilau dalam cahaya api menyahut, "Kamu yang membuat malam itu hidup, Ben." Suaranya lembut namun penuh godaan.
Berdy, yang duduk di sisi kanan Dina, berani menggeser tubuhnya lebih dekat. Jari-jarinya menyentuh lengan Dina dengan hangat, meninggalkan jejak hangat di kulitnya. "Kamu nggak berubah, Ci. Tetap bisa membuat jantung berhenti berdetak sejenak," bisiknya rendah hampir seperti berbisik. Sentuhannya ringan, tapi cukup untuk membuat napas Dina tersendat. Dina mengalihkan pandangannya, bertemu mata Berdy, dan seketika dunia terasa hanya milik mereka. Ia membiarkan tangan Berdy tetap di sana, tak mengusirnya.
Bernard, duduk di seberang, berbicara dengan keberanian yang tidak biasa. "Beck tahu kamu di sini, Ci? Atau ini rahasia kita?" ejekannya bercampur rasa ingin tahu. Dina menggeleng pelan, jari-jarinya bermain dengan ujung blus, perlahan menarik kain itu hingga memperlihatkan bahunya yang mulus. "Ada hal yang dia tak perlu tahu," jawabnya, suaranya seperti angin malam yang penuh misteri.
Api unggun mulai meredup, namun panas antara mereka semakin memuncak. Bernardo, dengan wajah memerah karena gairah, berlutut di samping Dina. Tangan gemetarnya menyentuh rambut hitam yang lembut, jari-jarinya tersangkut di gelombang halus itu. "Kamu... kamu membuat kami semua di sini gila, Ci," katanya dengan kejujuran mentah. Dina menatapnya, kemudian melempar pandang ke arah lain; Bertie tersenyum tipis, Berto mengigit bibir bawah, dan Benvolio matanya berkata, malam ini milik kita.
Bulan purnama menyelinap di balik awan, sinarnya menyoroti Dina seperti bintang panggung. Ia merasa seperti dewi yang dipuja dan diinginkan. Blusnya melorot dari pundak, memperlihatkan kulit putih berkilau. Bra tipis yang dikenakannya tak sanggup menyembunyikan puting yang menegang karena udara dingin dan tatapan penuh hasrat di sekelilingnya. Napas para pria terdengar berat, dan Dina merasakan aliran listrik dari perhatian mereka menusuk di nadinya.
Benvolio
Benvolio mengambil inisiatif pertama. Ia merangkak mendekat, tangan hangatnya mengangkat dagu Dina, menghadapkan wajahnya hingga mata mereka bertemu. "Kamu yakin, Ci?" tanyanya lembut tapi berduri hasrat. Dina tak menjawab dengan kata, melainkan mencondongkan tubuhnya, bibir mereka bertemu dalam ciuman lambat penuh bara. Ciumannya bagaikan kunci yang membuka semua pintu yang selama ini terkunci. Tangannya merayap ke leher Benvolio, menariknya lebih dekat, air liur mereka menari riang mengikuti irama api gairah.
Benvolio memulai pemanasan dengan sentuhan lembut. Tangan menelusuri bahu Dina, mendorong blus hingga jatuh ke pinggangnya. Bibirnya membelai leher dengan ciuman panas, meninggalkan jejak bara yang membakar. Jari-jarinya membuka kait bra dengan perlahan, memperlihatkan payudara putih dengan puting coklat muda yang menegang sempurna, pas di genggaman tangannya. Ia menunduk, mengecup puncak payudara, lidahnya mengelilingi puting dengan pola melingkar, membuat Dina mengigit bibir menahan desahan. Tangannya meremas lembut, sementara bibirnya turun ke perut, menelusuri pinggulnya dengan penuh kekaguman. Dengan gerakan hati-hati, Benvolio melepas celana kain Dina, menyingkap tubuh telanjangnya yang berkilau diterpa sinar bulan. Ia mencium paha dalamnya, napas hangatnya membuat Dina bergeliat. Jari-jarinya menjelajah dengan penuh perhatian, memastikan Dina siap sebelum mulai mengarahkan penis tegangnya ke pintu kenikmatan. Perlahan, penis itu masuk sepenuhnya, matanya tak lepas dari wajah Dina. Setiap dorongan ia lakukan dengan ritme lambat namun dalam, menyebarkan gelombang kenikmatan yang mengaliri seluruh tubuh Dina. Tangannya mencengkram lengan Benvolio, desah lembut bercampur gairah terdengar, dan saat puncak klimaks muncul, tubuh Dina bergetar hebat, diikuti napas tersengal Benvolio. Pelan, Benvolio menarik diri, mencium kening Dina sebelum mundur, memberi ruang bagi yang lain. Dina terbaring tanpa selimut, napas berat tapi matanya tetap berkilat dengan hasrat yang membara.
Berdy
Dengan tatapan penuh nafsu yang telah lama membara, Berdy melangkah pelan namun pasti mendekati Dina. Ia berlutut di sampingnya, tangan kuatnya menyentuh lembut pipi Dina, menarik wajahnya ke ciuman yang penuh semangat dan gairah membara. Bibir Berdy menekan kuat, seperti mengklaim dan menuntut, membuat detak jantung Dina memuncak. Perlahan, ia menurunkan ciumannya ke leher, giginya menggigit perlahan kulit lembut itu, meninggalkan jejak kenikmatan yang samar namun menggoda. Tangannya menjelajahi tubuh Dina dengan sentuhan penuh perhatian, jari-jarinya menyusuri lekuk pinggulnya yang sensual sebelum meremas payudara dengan sentuhan tegas namun terkendali. Ia mencium puting coklat muda, menghisap dan melumat perlahan, membangkitkan gelombang kenikmatan hingga Dina membungkuk, suaranya berubah menjadi erangan yang dalam. Dari perut hingga paha dalam, lidah dan tangan Berdy terus menari di atas kulit sensitif Dina, memunculkan sensasi berlapis yang membuat Dina terengah. Saat Berdy perlahan memasukkan batangnya ke dalam lubang hangat itu, ritmenya berubah menjadi lebih kuat dan energik. Tubuhnya yang atletis bergerak dengan intensitas yang menyesuaikan, setiap dorong membawa gelombang kebahagiaan yang mendalam. Dina mencengkeram erat selimut di bawahnya, kakinya mengepang erat pinggang Berdy, suaranya memenuhi udara malam di antara pepohonan. Klimaks datang dengan cepat, tubuhnya gemetar hebat, sementara Berdy menyelesaikan tugasnya, melepaskan air mani ke dalam rahim Dina, bercampur dengan sisa-sisa milik Benvolio. Dengan napas berat, Berdy menarik dirinya keluar, menyapu bibir Dina dengan ciuman terakhir sebelum mundur, meninggalkan Dina tergeletak di atas selimut, kedua pahanya terbuka lebar, memperlihatkan bukti penuh gairah dari malam yang baru saja berlangsung.
Bernard
Bernard, pria yang selama ini pendiam dan penuh misteri, mendekat dengan langkah hati-hati, matanya penuh dengan perasaan kagum yang tersembunyi. Duduk perlahan di samping Dina, ia mengangkat tangan dengan ragu, menyentuh pipi Dina dengan lembut sebelum menciumnya secara halus, seperti memohon izin untuk lebih dekat. Ciumannya penuh kelembutan, namun menyimpan bara nafsu yang dalam. Dari pundak yang basah oleh keringat, bibir Bernard perlahan menuruni lekukan tubuh Dina yang hangat, menyapu kulit payudara yang menggoda. Jarumnya melingkari puting yang mengeras, memutar pelan hingga memancing desahan halus dari bibir Dina. Bernard terus menjelajahi tubuhnya dengan perhatian khusus, dari tulang selangka, sisi tubuh hingga paha dalam yang membuat bulu kuduk Dina meremang. Napasnya hangat menyapu kulit sensitif itu, membuat Dina bergolak dalam gelora kenikmatan. Setelah memastikan Dina siap, ia dengan lembut mengangkat tubuhnya ke pangkuannya, dan mulai memasukkan batang kelaminnya ke dalam kenikmatan yang basah dan terbuka. Gerakannya lambat, penuh kesabaran dan gairah yang tersembunyi, sementara mulutnya sibuk mengecap puting yang makin tegang. Tangan Bernard meremas payudara yang lain, membuat punggung Dina melengkung dalam kegairahan. Puncak kenikmatan akhirnya menyapa dengan lembut namun penuh kuasa, cairan hangat miliknya tercurah di dalam rahim Dina, menambah barisan jejak pria-pria sebelumnya. Dina menggigit bibirnya, menikmati gelombang sensasi itu sambil mengerang pelan. Setelah badai hasrat reda, Dina perlahan bangkit dari pangkuan Bernard, penisnya yang tegak perlahan terlepas, suaranya yang teredam kembali terdengar, memicu antisipasi untuk giliran berikutnya. Dina kembali tergeletak di atas selimut, kedua pahanya terbuka lebar, menantikan sambutan panas berikutnya.
Bernardo
Bernardo mendekat dengan wajah yang menunjukkan keheranan dan rasa ingin tahu yang mendalam. Langkahnya gemetar saat berlutut di samping Dina, tangan dinginnya menyentuh tangan Dina yang basah oleh keringat, sebelum mengangkat tangan itu untuk mencium setiap jari dengan rasa hormat yang tulus. Dina, dengan mata terpejam menikmati sentuhan itu, berbisik lirih, "Ah, enak banget Do...". Ciumannya begitu lembut, namun terselip rasa penasaran membara saat bibirnya menyentuh bibir Dina yang merekah. Ia menurunkan ciumannya ke leher yang basah, menjilati setiap titik peluh dengan penuh gairah. Dina mengerang pelan, "Aku nggak tahan, Do, cepet masukin...". Bernardo tak menggubris permintaan itu, ia lebih memilih menjelajahi setiap lekuk tubuh putih tanpa busana itu, menyentuh payudara yang kencang dan puting coklat muda yang menggoda. Tangannya meremas, lidahnya menjilat dan menghisap dengan penuh dilema yang membakar, membuat Dina menggelinjang tak tertahankan. Tangan Bernardo menelusuri perut mulus, menyusuri garis pinggul mulus sebelum mencapai bagian dalam paha yang lembut. Dina menggigit bibir bawahnya, matanya melirik ke arah Benvolio yang tersenyum tipis dari kejauhan, merasakan rangsangan yang hampir tak tertahankan dari sentuhan Bernardo. Dengan suara hampir terdengar seperti teriakan, "Masukin sekarang! Pliss… Bernardo!", Dina menggapai batang penis yang menegang itu, membimbingnya masuk ke lubang kenikmatan yang sudah diisi oleh cairan dari tiga pria sebelumnya. Batang itu meluncur penuh kehangatan dan kelembutan, Bernardo menggerakkannya dengan ritme perlahan, membuat Dina terpaku pada sensasi lembut yang membanjiri seluruh tubuhnya. Tangannya mencengkeram kuat lengan Bernardo, dan mereka mencapai puncak bersama, melepas desahan lembut yang penuh kenikmatan. Bernardo menelungkupkan tubuhnya di atas badan telanjang Dina, sementara kaki Dina melingkar erat di pinggangnya. Sebagai penutup malam itu, mereka berbagi ciuman penuh kasih dengan kehangatan yang membara di antara keduanya.
Bertie
Dengan senyum percaya diri yang terpancar jelas di wajahnya, Bertie melangkah mantap mendekati Bernardo, menepuk pundaknya dengan santai, "Udah bro, giliran gue nih," ucapnya penuh semangat. Bernardo bergerak perlahan dan menarik keluar batangnya yang masih terperangkap di dalam tubuh Dina, desahan Dina kembali muncul saat penis Bernardo bergesekan lembut dengan dinding vagina sebelum terlepas. Bertie menarik Dina ke posisi duduk di pangkuannya, tangannya menyentuh dan menahan pipi Dina, lalu membawanya ke ciuman penuh gairah yang terasa seperti tarian berirama. Setelah beberapa saat, Bertie mengarahkan kepala Dina ke antara pahanya. Dina, paham akan maksudnya, dengan lembut mulai merasakan dan melahap kepala batang Bertie dengan lidahnya yang gesit dan penuh keahlian. Sementara itu, tangan Bertie mulai menjelajahi payudara Dina, meremas dan memainkan puting yang sudah sangat tegang, menimbulkan desahan yang bergantian antara mereka berdua, meskipun mulut Dina sibuk dengan penis Bertie. Kemudian Dina melepaskan ciuman dari batang itu, sambil berkata pelan, "Masukin yah, Ber!" Dengan posisi duduk, ia membimbing kepala penis Bertie ke gerbang kewanitaannya yang sudah basah oleh bercampurannya berbagai cairan. Tanpa ragu, penis Bertie masuk ke dalam vagina Dina, diiringi suara desahan bergantian yang semakin meningkat. Dina menggerakkan pantat bulatnya maju mundur, berputar, dan sesekali naik turun dengan ritme penuh nafsu. Mulut mereka bertemu dalam ciuman yang penuh nafsu dan kedalaman gairah. Tangan Bertie tak pernah lepas dari pantat dan payudara Dina, meremas sesuka hati, sementara tangan Dina memeluk erat tubuh Bertie yang kini penuh keringat. Beberapa menit pergumulan gairah berlangsung hingga mereka berdua mengerang keras merasakan puncak kenikmatan yang luar biasa. Cairan mani Bertie disemburkan di dalam rahim Dina, tetap dalam posisi berpelukan sambil duduk, mereka pun beristirahat. Penis Bertie masih tertancap kuat di dalam kemaluan Dina yang mencengkeram erat akibat orgasme luar biasa yang baru saja dialaminya.
Berto
Berto, yang dikenal paling sabar dan penuh pengendalian, mendekat terakhir. Bertie yang menyadari kedatangannya segera memberi isyarat dengan menepuk pantat Dina pelan, tanda agar Dina bangkit dan memberikan tempat untuk Berto beraksi. Dina memahami kode itu dan berdiri dengan perlahan, melepas penis Bertie dari pelukan vagina hangatnya. Desah mereka berdua terdengar samar, namun jelas menandakan gelora yang belum padam. Saat Berto berdiri tepat di samping Dina, keduanya telanjang bulat, Dina memancarkan aura menggoda dengan tubuh basah oleh keringat dan bercampur dengan cairan peju yang menetes perlahan di antara pahanya. Tanpa menunggu lama, Berto memburu bibir Dina dengan ciuman penuh hasrat sambil berdiri, membungkusnya dengan seluruh keberanian dan nafsu yang telah lama ditahan. Bibir mereka bertemu, penuh dan berdenyut dalam ritme yang memabukkan. Tangan Berto merayapi tubuh Dina, meremas payudara yang memukau dengan penuh gairah, membuat Dina mengerang dan berdiri dengan jinjitan kaki, memperlihatkan betapa dalam dia menikmati sentuhan itu. Ciumannya turun perlahan ke payudara, mengecap puting yang mengeras dan seksi itu, memberikan sentuhan penuh cinta dan nafsu. Tangan Dina dengan penuh rasa ingin memeluk rambut ikal Berto, sambil mengeluarkan desahan panjang, "To, tolong enak banget ini, ah...". Mendengar suara penuh kenikmatan itu, Berto semakin bergairah, tangannya yang sedang bermain di bibir vagina sejenak berhenti, seolah lubang kenikmatan yang merah dan lengket oleh cairan peju para pria sebelumnya masih menginginkan lebih. Ciuman Berto berpindah kini menuju bibir vagina yang mengembang, tanpa rasa jijik sedikitpun, ia mencium, menjilat, dan memainkan lidahnya dengan penuh kehangatan dan gairah membara. "To, gak jijik emang sayang? Ah... tapi aku suka banget, jangan berenti," desah Dina dengan suara berlinang gairah. Dengan permainan lidah Berto yang memukau, Dina mencapai puncak kenikmatan, tangannya mencengkeram kuat rambut Berto sambil menjerit lega tanpa peduli di mana ia berada. Berto kemudian membaringkan Dina di atas selimut, membuka lebar paha putih mulus itu yang kini menjadi ladang gairahnya. Tanpa kendali lagi, ia menancapkan batangnya ke lubang hangat Dina dengan penuh hasrat yang tak terbendung. Mata Dina terpejam erat, bibirnya menggigit bawah, tangannya mencengkram erat selimut yang semula menjadi alas bercinta. Tiap dorongan Berto menyalurkan gelombang kenikmatan yang dalam ke seluruh tubuh Dina. Tanpa jeda, mereka mencapai klimaks bersamaan. Tubuh Dina bergetar hebat, desahnya bergema merayapi hutan sepi di bawah langit bertabur bintang. Berto menarik batangnya keluar, meninggalkan cairan peju yang menambah koleksi air mani di rahim Dina, sementara lelehan peju terlihat jelas di bibir vagina, menetes membasahi selimut yang kini tak berbentuk lagi. Malam magis itu, di bawah cahayanya bulan dan bintang, Dina menjadi pusat jagat mereka. Setiap pria menyerahkan kejantanannya dan Dina menyambutnya dengan keberanian dan gairah membara. Tubuhnya memancarkan kilau keringat dan sinar bulan, saksi bisu dari malam penuh kenikmatan yang tak terlupakan. Ia melupakan Beck, sang suami setianya, melupakan dunia luar, hidup semata untuk sensasi panas yang membakar itu. Dina berbaring telanjang di atas selimut, tubuh terpapar penuh pesona, menampilkan lekuk payudara pas dalam genggaman pria dewasa, puting menegang berwarna coklat muda yang masih keras, dan pinggul menggoda yang melengkung indah. Di sekelilingnya, enam pria terengah menatap dengan napas berat, tubuh mereka basah oleh sisa gairah setelah giliran mereka bersama Dina. Dina telah berbohong kepada Beck, mengatakan ini hanya acara sekolah biasa. Kini, di tengah hutan yang sunyi, ia menyerahkan seluruh dirinya pada kebebasan liar dan hasrat. Berto, yang baru saja selesai, berlutut di samping Dina dengan napas tersengal setelah membimbingnya ke puncak kenikmatan. Tiba-tiba, suara ranting patah memecah keheningan. Semua mata menoleh, dan dari balik pepohonan muncul Beldiq, teman kuliah Dina yang datang terlambat. Matanya melebar, mulut ternganga menyaksikan pemandangan di depannya: Dina yang terbaring telanjang, memperlihatkan payudaranya yang kencang dengan kedua paha terbuka lebar, dikelilingi oleh enam pria setengah telanjang, kecuali Berto yang juga masih telanjang bulat. Napas Beldiq tersendat, tubuhnya membeku sejenak. Namun dalam matanya menyala kilatan liar, campuran keterkejutan dan hasrat tak tertahankan. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah mendekat, matanya terpaku pada tubuh Dina yang masih terengah-engah. Berto, menyadari kehadirannya, mengangguk kecil sebelum bangkit dan mundur memberi ruang. Dina, yang menangkap tatapan baru itu, mengangkat kepala dan menatap mata Beldiq. Ada hasrat mentah yang berbeda di tatapan Beldiq, jauh dari kelembutan Benvolio dan tarian sensual Bertie. Jantung Dina berdetak lebih kencang, tapi ia tak menolak. Malam ini sudah menjadi miliknya, dan kehadiran Beldiq hanya menambah api gairah yang membakar. Beldiq berlutut di samping Dina, membuka pakaiannya hingga telanjang bulat seperti Dina, dengan tangan penuh percaya diri menyentuh pinggulnya. Tanpa kata, ia membalikkan tubuh Dina dengan gerakan kuat namun lembut, menempatkannya dalam posisi menungging. Paha Dina terbuka lebar, tubuh bertumpu pada sikut, rambut jatuh menutupi wajah sebagian, sementara payudara indahnya bergelayut bebas, menambah aura liar yang memikat. Kulit putih berkilau Dina memantulkan cahaya bulan, lekuk pinggulnya seperti undangan terbuka. Beldiq menggenggam punggungnya, jarinya menekan lembut tulang belakang, memancing Dina menggelinjang pelan. Tangannya merayap ke paha dalam, jari-jarinya sibuk menjelajah penuh tujuan, memastikan gelombang kenikmatan tetap berlangsung. Ia mencium punggung Dina, bibir menyapu kulit hangat lalu turun ke pinggang, giginya menggigit ringan dekat pinggul, meninggalkan tanda kecil yang membuat Dina mendesah pelan. Napasnya panas menyentuh kulit Dina, tangannya meremas bokong dengan kekuatan terkendali, membuka pintu kenikmatan lebih lebar. Dengan satu gerakan penuh hasrat, Beldiq memasukkan penisnya yang tegang ke lubang kenikmatan Dina, membuatnya tersentak dan mengeluarkan erangan keras. Ritmenya cepat dan liar, tangan Beldiq mencengkeram pinggul Dina menggiringnya ke ritme semangat. Tubuh Dina bergoyang menyesuaikan irama, desahnya bergema di hutan, keringat menetes membaur aroma maskulin malam. Puncak kenikmatan datang cepat dan hebat, tubuh Dina menggigil hebat, kaki bergetar, erangannya mencapai puncak sebelum melunakkan suara menjadi desahan lembut. Beldiq menghela napas panjang, dorongannya melambat dan akhirnya menuntaskan, menarik batangnya keluar dari cengkraman vagina yang menegang. Ia membantu Dina berbaring kembali di selimut, terlentang dengan paha terbuka lebar, matanya penuh campuran kepuasan dan kekaguman. Sebelum bangkit, Beldiq mencium kening Dina, lalu bergabung dengan yang lain menatap penuh napas berat. Keenam pria lainnya menunggu dengan napas penuh birahi, menatap Dina dengan perpaduan kekaguman dan kelembutan. Malam itu mengubah dinamika di antara mereka, menciptakan ikatan yang tak akan pernah mereka ungkap di luar hutan ini. Dina menghela napas panjang, tubuh berat namun terasa ringan, seolah melepaskan beban yang lama tertahan. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesaat merasakan kebebasan dari dunia Beck, tanggung jawab istri, dan kehidupan guru SMA di Bandung. Desahan kecil keluar dari bibirnya saat tubuhnya bergeser, merasakan sensasi lengket di antara pahanya. Ia tak merasa malu, melainkan merasakan kuasa atas pilihan menyerahkan dirinya pada malam penuh gairah yang telah ia kendalikan sepenuhnya.
Benvolio, yang menjadi orang pertama bertindak, perlahan melangkah mendekat. Dengan penuh kelembutan, ia mengambil jaketnya dan membungkus Dina, menutupi kulitnya yang terbuka dari hembusan angin malam yang semakin menggigit. Suaranya rendah dan penuh perhatian saat ia bertanya, "Kamu baik-baik saja, Ci?" — berbeda jauh dari nada nakal yang sebelumnya ia tunjukkan. Dina menganggukkan kepala pelan, senyum kecil menghiasi bibirnya. "Lebih dari baik," jawabnya, suaranya serak namun memancarkan kepuasan yang dalam.
Berdy, yang duduk tak jauh dari mereka, mengulurkan sebotol air dengan senyum yang lembut. "Minum dulu, Ci. Kamu kelihatan kelelahan," ucapnya, matanya memancarkan rasa bersalah sekaligus kekaguman. Dina menerimanya, menyesap air dingin itu perlahan, rasanya menyegarkan tenggorokannya yang kering. Tatapan mereka terasa hangat, bukan beban, tapi sekadar rasa hormat dan keintiman yang baru saja terjalin.
Bernard, pria yang biasanya pendiam, mengangkat suara pelan tanpa mengurangi kesungguhan, "Malam ini takkan terlupakan, Ci." Ada kejujuran yang mentah dalam ucapannya, dan Dina hanya membalas dengan anggukan, menatap matanya sebentar. Bernardo, si termuda, tampak ingin menyampaikan sesuatu tapi hanya mampu senyum malu-malu, pipinya merona merah. Bertie dan Berto, yang duduk agak jauh, menatap dengan senyum tipis seolah mereka menyimpan rahasia yang sama.
Beldiq, yang baru saja bergabung, masih tampak takjub. "Aku nggak nyangka bakal ngalamin... ini," katanya setengah bercanda, setengah terpukau. Dina tertawa pelan, suaranya seperti lonceng kecil yang berdering lembut di tengah hutan malam. "Kamu datang di waktu yang pas, Bel," balasnya, nada main-main menghangatkan suasana. Dina duduk perlahan, jaket Benvolio masih membalut tubuhnya. Rasa nyeri lembut mengalir di otot-ototnya, tapi disertai kepuasan mendalam. Cairan yang mengalir dari tubuhnya menjadi bukti nyata dari pengalaman barunya, namun ia tidak merasa kotor. Ia merasa hidup, bahkan lebih hidup dari sebelumnya. Matanya menatap wajah-wajah pria di sekelilingnya, setiap pria yang menjadi bagian dari malam itu, dan sejenak ia merasa mereka miliknya, dan dirinya milik mereka.
Malam semakin larut, bara api unggun mulai meredup menjadi abu. Dina menarik napas panjang, udara dingin malam mengisi paru-parunya. Ia sadar pagi segera datang, dan dengan itu ia harus kembali ke kehidupan nyata di Beck, ke rutinitas di Bandung. Namun untuk saat ini, ia memilih tetap berada di hutan Pangrango, dikelilingi tujuh pria yang telah menyaksikan dan merasakan sisi paling mentah dan paling indah dirinya. Rahasia mereka terkunci rapat di antara kabut dan pohon-pohon yang tinggi, menjadi kenangan yang akan terus membakar jiwa mereka. Kabut masih menggulung di kaki Gunung Pangrango, bara api tinggal asap tipis, dan udara dingin menyentuh kulit Dina yang terbuka saat ia bangkit dari selimut kusut. Tubuhnya lelah, tapi tetap memancarkan keindahan alami; kulit putihnya berkilauan oleh keringat yang membasahi, bercampur dengan tumpahan air mani yang terus mengalir dari lubang kenikmatannya. Cairan itu, sisa dari tujuh pria yang bergantian memenuhi dirinya, menetes di paha bagian dalam, seolah rahimnya tak mampu menampung semua kenikmatan itu. Rambut hitam sebahunya kini basah oleh keringat dan acak-acakan, menempel lembut di leher dan bahunya. Payudaranya yang menawan, kencang dengan puting coklat muda yang tegang, naik turun mengikuti ritme nafasnya yang masih tersengal. Kacamata tipisnya tergeletak di samping selimut, memperlihatkan mata setengah terpejam yang sarat kepuasan dan sisa hasrat yang membara. Dina meraih kacamata itu, memakainya, lalu bangkit dengan langkah lemah namun penuh percaya diri menuju tenda terdekat. Tubuhnya tetap telanjang, tak peduli pandangan tujuh pria yang mengelilinginya. Air mani yang masih menetes di pahanya meninggalkan jejak mengkilap, dan setiap langkahnya seakan menegaskan dominasi yang ia miliki malam itu. Sensasi lengket itu terasa di selangkangannya, di bibir vaginanya, namun tak ada rasa malu—hanya rasa hidup yang menyala-nyala. Ia masuk ke dalam tenda, tirai kain jatuh di belakangnya, meninggalkan siluet samar tubuhnya yang masih terlihat melalui kain tipis diterpa sinar bulan.
Di luar tenda, ketujuh pria—Benvolio, Berdy, Bernard, Bernardo, Bertie, Berto, dan Beldiq—mulai mengenakan pakaian mereka yang tadi dilepas dalam gairah. Jaket, kaus, dan celana kembali menutupi tubuh-tubuh berotot mereka, namun aroma keringat dan kenikmatan masih menguar kuat. Mereka duduk melingkar di sekitar sisa bara api unggun, beberapa menyalakan rokok dan menghembuskan asap putih yang membumbung ke udara malam. Suara mereka rendah, berisi tawa kecil dan bisikan, mengingat kembali kenangan malam yang baru berlalu. Gelo oge si Dina nya, teu nyangka bisa jiga kitu, awakna nyieun nafsu pisan deui (Gila juga Dina, gak nyangka bisa sejauh itu, badannya nafsuin banget lagi)" ucap Berdy sembari mengisap rokoknya dalam-dalam. Benvolio hanya mengangguk pelan, matanya menatap pintu tenda dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran kepuasan dan nafsu yang belum padam. Beldiq, yang masih terpukau, hanya menggelengkan kepala, "Gila, aku datang telat tapi nggak nyesel."
Pagi masih jauh; langit tetap gelap dengan taburan bintang yang cerah. Namun ketegangan di udara belum sepenuhnya reda. Di dalam tenda, Dina berbaring sesaat di atas matras, tubuhnya berat oleh kelelahan namun sarat sensasi. Nafasnya mulai menenangkan diri, tapi jantungnya berdetak kencang saat mendengar langkah mendekat. Pintu tenda terbuka, dan empat pria—Bernard, Beldiq, Berto, dan Benvolio—masuk dengan tatapan membara. Di belakang mereka berdiri Berdy, Bernardo, dan Bertie, yang memilih untuk jadi penonton, mata mereka bersinar oleh rasa penasaran dan sisa hasrat. Dina, tanpa kata, mengerti apa yang akan terjadi. Tubuhnya yang lelah masih merespons dengan getaran halus saat menatap wajah-wajah serius penuh nafsu itu. Ia menggeser badan, beringsut ke posisi menungging, siap untuk babak berikutnya. Paha dalamnya yang lengket terbuka, pinggulnya melengkung mengundang. Cairan putih yang masih berkilauan mengalir dari lubang kenikmatannya, diterpa cahaya bulan yang masuk melalui celah tenda. Rambutnya jatuh menutupi sebagian wajahnya, menambah aura liar yang memesona. Tatapannya keempat pria itu penuh tantangan dan keberanian, seolah berkata, aku masih di sini dan siap. Bernard, dengan tatapan penuh gairah namun pendiam, bergerak pertama. Berlutut di belakang Dina, tangannya lembut menyentuh pinggulnya, jari-jarinya menelusuri kulit basah oleh keringat. Foreplay dimulai dengan ciuman lembut di punggungnya, bibirnya menyapu tulang belakang, membuat Dina menggeliat kecil. Tangannya menjelajah ke paha dalam dengan penuh perhatian, memastikan kesiapan Dina. Nafas hangatnya menyapu kulitnya, bibirnya mengecup lekuk pinggang, dan giginya menggigit tipis, meninggalkan tanda kecil. Ketika Bernard masuk ke vagina Dina, dorongannya lambat dan dalam, setiap gerakan penuh keintiman seolah ingin mengabadikan tiap detik kenikmatan tersebut. Dina mendesah keras, tangannya mencengkeram matras, tubuhnya bergoyang mengikuti irama Bernard. Cairan putih bercampur panas tubuh mereka menciptakan rasa licin yang memperkuat setiap dorongan. Sementara Bernard memimpin dari belakang, Beldiq berlutut di depan Dina, matanya terpaku pada wajah memerahnya. Ia menyentuh dagu Dina, mengangkat wajahnya perlahan sebelum menyerahkan penisnya untuk mulutnya. Dina, dengan mata setengah terpejam, menerima tanpa ragu. Bibirnya melingkupi Beldiq dengan gerakan lambat tapi penuh hasrat, lidahnya menari mengikuti ritme yang membuat Beldiq menghela napas berat. Tangannya menggenggam rambut Dina, menariknya lembut untuk mengatur tempo, desahan kecil keluar dari tenggorokannya. Meskipun Beldiq hanya memberikan ciuman di awal dan sentuhan lembut di pipi dan leher, intensitas di mulut Dina membuatnya tak perlu banyak persiapan. Gerakan Dina yang meski lelah tetap berani, serta setiap sentuhan bibirnya membuat tubuh Beldiq menegang, napasnya makin cepat.
Benvolio, yang tak pernah kehilangan pesonanya, berbaring di samping Dina, tangannya langsung meraih payudaranya yang berkilau. Ia mulai dengan mencium puncak payudara Dina, lidahnya mengelilingi putingnya yang menegang dengan gerakan melingkar lambat, membuat Dina membiarkan desahan kecil menyelinap di sela-sela ritme bersama Beldiq. Tangannya meremas dengan kekuatan terkontrol, jari-jarinya menggoda puting, menarik dan memutarnya dengan lembut hingga tubuh Dina bereaksi dengan gelinjang kecil. Benvolio bergeser mencium sisi payudara, giginya menggigit lembut kulitnya, meninggalkan bekas kecil yang membuat Dina tersenyum di tengah desahannya. Ia berbisik di telinga Dina dengan suara serak, "Kamu nggak pernah habis, Ci," sebelum kembali fokus pada payudaranya, memastikan sentuhan setiap kali memicu gelombang kenikmatan baru.
Berto, berdiri di sisi lain, meraih tangan Dina perlahan, membawanya ke penisnya yang sudah mengeras. Dina, meski tetap menungging dan sibuk dengan tiga pria lainnya, merespons dengan kepekaan luar biasa. Jari-jarinya melingkari penis Berto, gerakannya lambat tapi penuh tujuan, memberikan kenikmatan berirama. Berto menghela napas panjang, tangannya menyentuh bahu Dina untuk menjaga keseimbangan, matanya setengah terpejam menikmati setiap sentuhan. Suaranya mendesah pelan, bersatu dengan napas berat pria lain. Di luar, Berdy, Bernardo, dan Bertie mengintip dari pintu tenda yang sedikit terbuka; mata mereka berkilat, napas berat, namun memilih diam—karena hormat atau mungkin sudah merasa puas sebelumnya. Berdy mengisap rokoknya dengan cepat, asap membumbung ke udara, sementara Bernardo menatap dengan wajah memerah, tangannya menggenggam lutut. Bertie tersenyum tipis, menggeleng tak percaya pada pemandangan itu. Mereka diam, menyimpan tiap detik dalam ingatan mereka. Di dalam tenda, ritme keempat pria menciptakan simfoni liar penuh kenikmatan. Bernard mempercepat dorongan, membawa Dina ke puncak pertama, tubuhnya bergetar hebat dengan desahan yang hampir tertahan oleh Beldiq di mulutnya. Beldiq mencapai klimaks tak lama, menarik diri sambil tangan masih membelai rambut Dina dengan lembut, cairan mani berhamburan di wajah dan lehernya, bercampur dengan keringat. Benvolio, fokus merayakan payudara Dina, mempercepat gerakan lidah hingga ia pun mencapai puncak, cairan putih menyemprot di payudara dan perut Dina, menambah kilau kulit basahnya. Berto, menikmati sentuhan dari tangan Dina, mencapai klimaks terakhir, cairannya memercik ke tangan dan sisi tubuh Dina, menyatu dengan aroma malam. Dina benar-benar kelelahan, ambruk ke matras dengan tubuh bergetar sisa kenikmatan. Keringat bercucuran membasahi tubuh, bercampur cairan dari Berto dan Benvolio yang menyebar di payudara, perut, dan sisi tubuh, membentuk pola mengilap berkilau dalam cahaya bulan. Cairan yang mengalir dari lubang hasrat Dina menetes ke matras, menambah sensasi lengket di paha dalamnya. Napasnya tersengal, namun bibirnya membentuk senyum kecil—tanda kepuasan dan kuasa yang dirasa. Empat pria itu mundur, napas berat, saling bertukar pandang dengan ekspresi campuran kagum, puas, dan sedikit lelah. Di luar, Berdy, Bernardo, dan Bertie menutup celah pintu tenda, memberikan privasi untuk Dina. Mereka kembali duduk mengelilingi bara api, rokok menyala, suara pelan dipenuhi tawa kecil yang menyembunyikan intensitas malam itu. Langit masih gelap, pagi belum tiba, namun udara terasa sarat dengan rahasia yang kini mengikat mereka. Di dalam tenda, Dina terbaring di matras, tubuhnya yang sangat lelah tetap memancarkan keindahan liar. Kulit putihnya berkilau oleh keringat bercampur cairan putih dari Benvolio, Berto, serta sisa kenikmatan Bernard dan Beldiq yang mengalir di payudara, perut, dan sisi tubuhnya. Cairan mani dari lubang kenikmatannya terus merembes ke paha dalam, meninggalkan jejak lengket yang berkilauan di bawah sinar bulan yang menembus celah tenda. Rambut hitam sebahunya basah dan acak-acakan menempel di leher dan bahu. Payudaranya yang mantap naik turun perlahan mengikuti napas tersengal, dengan puting coklat muda yang menegang. Kacamata tipisnya tergeletak di samping, memperlihatkan mata separuh terpejam penuh kepuasan namun di ambang batas fisiknya. Di luar, Berdy yang sebelumnya hanya menjadi penonton bersama Bernardo dan Bertie, berdiri gelisah. Napasnya berat, matanya berkaca-kaca oleh hasrat yang tak tertahankan. Melihat Dina disetubuhi empat pria sekaligus membakar sesuatu dalam dirinya, dan ia tak mampu lagi menahan diri. Dengan langkah ragu namun mantap, ia mendekati pintu tenda, menoleh ke arah lain seolah meminta izin tanpa kata. Benvolio mengangguk pelan, yang lain hanya tersenyum kecil, paham dorongan yang kini menguasai Berdy.
Berdy membuka pintu tenda dan masuk, matanya langsung tertuju pada Dina yang terbaring, tubuhnya berkilau diterpa cahaya bulan. Ia berlutut di sampingnya, tangan gemetar menyentuh bahunya dengan lembut. "Ci… aku… aku nggak tahan," katanya, suaranya serak, penuh campuran hasrat dan sesal. "Boleh… boleh aku?" Dina, walau tubuhnya terasa habis tenaga, membuka mata perlahan. Tatapannya bersentuhan dengan mata Berdy, dan meski lelah, ia tak ingin mengecewakan teman lamanya. Dengan susah payah, ia mengangguk pelan, bibirnya membentuk senyum kecil lemah tapi penuh keberanian. "Ayo, Dy," bisiknya hampir tak terdengar tapi cukup untuk membuat jantung Berdy berdegup lebih cepat.
Berdy membantu Dina bergeser ke posisi menyamping, memastikan tubuhnya tak terlalu terbebani. Ia berbaring di belakang Dina, tubuhnya menempel erat pada punggungnya yang basah keringat. Foreplay dimulai perlahan, tangan Berdy mengusap sisi tubuh Dina, jari-jarinya menelusuri lekuk pinggang dengan penuh perhatian. Bibirnya mengecup pundak, lembut menyapu kulit hangat, turun ke leher meninggalkan ciuman kecil yang membuat Dina mendesah pelan walau lelah. Tangannya merayap ke payudara, meremas lembut, jari-jari menggoda puting sensitif, membangkitkan gelombang kenikmatan di tubuh yang hampir habis tenaga.
Dengan hati-hati, Berdy memposisikan dirinya, memastikan Dina nyaman. Ia masuk ke lubang kenikmatan dari belakang, dorongan lambat dan penuh perhatian, menghormati kelelahan tubuhnya. Setiap gerakan seperti tarian penuh kasih, dan Dina, walau lelah, merespons dengan desahan kecil, tangan mencengkeram matras menahan sensasi. Cairan mani pria sebelumnya bercampur panas mereka, menciptakan rasa licin yang membuat setiap dorongan terasa halus. Berdy menjaga ritme stabil, tangan memeluk pinggang Dina, napasnya hangat mengusap lehernya, dan bisikan lembut, "Kamu luar biasa, sayang," menambah keintiman momen.
Puncak kenikmatan datang perlahan tapi kuat. Tubuh Dina bergetar lembut, desah mereda menjadi erangan kecil, dan Berdy mencapai klimaks segera, napas terengah saat cairannya bergabung dengan yang lain di dalam lubang kenikmatan Dina. Mereka diam sejenak, napas berpadu dalam keheningan tenda. Berdy tak menarik diri; penisnya masih tertancap di vagina Dina. Dalam kelelahan mendalam, mereka tertidur bersama. Tubuh Dina yang masih telanjang dan berkilau oleh keringat dan cairan mani menempel erat pada tubuh Berdy, tangan memeluk lengan Berdy yang melingkari pinggangnya. Dalam tidur, ada ketenangan aneh, seolah malam itu menyatukan mereka dalam cara yang tak bisa diungkapkan. Di luar, enam pria lain—Benvolio, Bernard, Bernardo, Bertie, Berto, dan Beldiq—pindah ke tenda lain untuk beristirahat. Mereka tidur dalam keheningan, tubuh lelah usai malam penuh gairah, namun pikiran mereka dipenuhi bayangan Dina. Rokok telah habis, obrolan mereda, diganti dengkuran pelan dan desir angin di hutan. Langit masih gelap, pagi belum tiba, namun udara penuh rahasia yang kini mengikat mereka semua. Dina dan Berdy tidur nyenyak dalam tenda, tubuh mereka menempel, penis Berdy masih tertancap di lubang kewanitaan Dina sebagai simbol ikatan malam itu. Keringat dan cairan mani di tubuh Dina mengering perlahan, meninggalkan jejak berkilau samar di bawah sinar bulan. Dalam mimpinya, Dina merasa ringan, bebas dari dunia nyata—dari Beck, dari tanggung jawab sebagai istri, dari kehidupan sebagai guru SMA di Bandung. Malam ini, ia adalah dewi, dipuja dan diinginkan, meski tubuh lelah, jiwanya hidup. Pagi akan segera tiba, menandai akhir malam yang tak terlupakan ini.
Bersambung…
ns18.216.147.211da2