Lampu kristal di ballroom hotel bintang lima memantulkan kilau ke gaun-gaun mewah dan jas-jas pengusaha yang berbaur di acara gala. Salma melangkah masuk, gaun muslimah emerald-nya mengalir elegan, hijab sutra senada membingkai wajahnya yang memikat. Matanya cokelat tua berkilat waspada, menyapu ruangan penuh wajah berpengaruh. Undangan Ardi untuk “kerjasama lebih lanjut” bergema di benaknya, membawa adrenalin bercampur rasa bersalah yang kini jadi bayangannya. Malam ini, dia tahu, adalah panggung di mana pesonanya akan diuji, dan imannya akan kembali dihantam.
Ardi berdiri di sudut dengan segelas sampanye, kemeja hitamnya mempertegas tubuh atletis. Dia melambaikan tangan, matanya mengunci Salma dengan senyum penuh maksud. Salma menarik napas dalam, menapaki karpet merah, high heels-nya berbunyi pelan. Tatapan orang-orang menyapu dirinya—kagum, iri, atau penuh nafsu. Rina, dengan gaun merah ketat yang memamerkan lekuk tubuh, berdiri di samping Ardi, tersenyum sinis saat Salma mendekat. Salma menguatkan hati, tahu malam ini bukan hanya soal kontrak, tapi juga permainan kekuasaan.
“Salma, akhirnya datang,” sapa Ardi, suaranya hangat tapi licik. Dia mencondongkan tubuh, mencium pipi Salma sekilas, membuatnya menegang. “Kamu kelihatan… menggoda malam ini.”
“Aku cuma pengen bikin kesan baik, Pak,” jawab Salma, tersenyum tipis, jantungnya berdetak kencang.
“Kesan baik? Atau kesan yang bikin orang lupa diri?” sindir Rina, mendengus, matanya menyipit.
Salma menatapnya dingin, memilih diam, tahu Rina mencari celah untuk menyerang.
Ardi mengajak Salma berkeliling, memperkenalkannya pada klien potensial. Lila, istri pengusaha tekstil berusia awal 40-an, muncul dengan gaun silver yang memeluk tubuh rampingnya. Rambutnya pirang kecokelatan, matanya hijau menatap Salma dengan intensitas yang menggelisahkan. “Jadi ini Salma yang Ardi ceritain,” kata Lila, suaranya lembut seperti beludru, tangannya menyentuh lengan Salma. “Kamu… luar biasa.”
“Makasih, Bu. Aku cuma sales biasa,” jawab Salma, tersenyum kaku, merasakan nada aneh di suara Lila.
Malam dipenuhi tarian, tawa, dan obrolan bisnis penuh basa-basi. Salma berusaha fokus, mencatat nama-nama penting, tapi pikirannya melayang ke Umar. Di rumah, dia mungkin sedang menyiapkan kajian, suaranya yang lembut membaca Al-Qur’an. Rasa bersalah menusuk, tapi senyum Ardi dan pujian Lila menariknya lebih dalam ke dunia ini. Dia merasa seperti wayang, cantik tapi rapuh, digerakkan oleh ambisi yang tak bisa ditolak.
Rina mendekati Salma saat dia sendiri di dekat meja minuman. “Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu lakuin sama Ardi di apartemennya?” bisiknya, matanya penuh ancaman. “Satu kata ke Bima, dan kamu selesai, Sal.”
“Coba aja, Rin. Tapi aku juga tahu rahasia kamu,” balas Salma, menegakkan bahu, suaranya rendah tapi tajam.
Rina terkekeh, tapi matanya gelisah saat berjalan pergi. Salma menggenggam gelas airnya erat, tahu ancaman itu nyata.
Ardi kembali dengan Lila. “Salma, ada ruang VIP di atas. Kita bisa ngobrol lebih… bebas,” kata Ardi, matanya berkilat nakal.
“Aku pengen tahu lebih banyak soal mobil itu. Dan… soal kamu,” tambah Lila, tangannya menyentuh punggung Salma, suaranya penuh godaan.
Salma menelan ludah, jantungnya berdegup. Kontrak besar dari Lila menggantung di depan matanya, tapi dia tahu ini bukan cuma bisnis. “Oke, Pak, Bu. Aku ikut,” jawabnya, suaranya goyah, mencoba membohongi diri sendiri.
Ruang VIP adalah sarang kemewahan: sofa beludru merah, lampu temaram, meja kaca dengan minuman mahal. Pintu ditutup, meninggalkan Salma, Ardi, dan Lila dalam keheningan penuh muatan. Salma duduk di sofa, tangannya mencengkeram gaun, mencoba mengabaikan suara batin yang menyuruhnya lari. Wajah Umar muncul, tapi bayangan promosi dan kekuasaan lebih kuat. Dia seperti lalat di jaring laba-laba, sadar tapi tak mampu kabur.
Ardi duduk di sampingnya, tangannya langsung ke paha Salma. “Kamu tegang, Salma. Santai aja, biar aku bikin nyaman,” katanya, jarinya menelusuri kain gaun.
“Aku… cuma mau bahas bisnis, Pak,” gumam Salma, tubuhnya menegang, suaranya gemetar.
Lila berlutut di depan Salma, tangannya menyentuh ujung hijab. “Hijabmu bikin aku penasaran. Apa yang kamu sembunyiin di bawah ini?” bisiknya, matanya penuh nafsu.
“Jangan, Bu… aku nggak gitu,” kata Salma, menggeleng, tapi tubuhnya diam, terpaku oleh rasa takut dan godaan.
Ardi terkekeh, tangannya naik ke pinggul Salma. “Kamu tahu kenapa kamu di sini. Jangan main polos,” katanya, napasnya panas di leher Salma.
“Aku punya suami… ini salah,” gumam Salma, menutup mata, rasa bersalah membakar, tapi tangannya tak menolak saat Lila mencium pergelangan tangannya, bibirnya lembut.
“Aku lebih lembut dari Ardi, Salma. Kamu bakal suka,” bisik Lila, senyumnya licik, jarinya menelusuri lengan Salma.
“Memekmu pasti udah basah mikirin kita bertiga,” kata Ardi, tangannya menyelinap ke bawah gaun, meraba paha dalam Salma.
“Jangan bilang gitu… aku benci,” gumam Salma, menggeleng keras, tapi vaginanya mulai lembap, celana dalam sutranya terasa lengket.
“Kulitmu kayak sutra, Salma. Aku pengen nyanyi di setiap inci tubuhmu,” kata Lila, menarik gaun Salma ke atas, memperlihatkan paha mulus, jarinya mendekati selangkangan.
Salma mengerang pelan, mencoba menahan, tapi desahannya lolos, tubuhnya menikmati meski hatinya menjerit.
Ardi menarik Salma ke pangkuannya, gaunnya tersingkap hingga pinggul, memperlihatkan celana dalam hitam yang tipis. “Aku pengen ngentot memekmu sambil hijabmu masih nempel. Bikin aku keras banget,” katanya, membuka ritsleting celananya, penisnya yang besar dan berurat menegang di udara. Salma menatap, matanya melebar, takut bercampur rasa ingin tahu. “Aku nggak mau… ini dosa besar,” katanya, suaranya malu-malu, tapi tubuhnya tak menolak saat Ardi menggosokkan ujung penisnya ke celana dalamnya, membuatnya mengerang.
“Payudaramu kenceng banget, Salma. Aku suka,” bisik Lila, berlutut di samping, tangannya menyelip ke dalam gaun, meremas payudara Salma di atas bra, jarinya mencubit puting yang mulai mengeras.
“Ya Allah, aku nggak kuat,” desah Salma, matanya basah, pikirannya penuh Umar, tapi vaginanya basah kuyup, pinggulnya bergoyang tanpa sadar.
Ardi menarik celana dalam Salma ke bawah, memperlihatkan vaginanya yang berkilat, bulu-bulu halus di sekitarnya basah. “Memekmu minta kontol, Salma. Lihat, udah banjir gini,” katanya, jarinya menelusuri bibir vaginanya, menggosok klitoris dengan gerakan melingkar hingga Salma mengerang keras, kakinya gemetar.
“Jangan… aku nggak suka kata-kata kotor,” gumamnya, tapi vaginanya mengerut, tubuhnya menikmati meski dia menolak.
Lila menarik bra Salma ke bawah, memperlihatkan payudaranya yang bulat, putingnya cokelat muda menonjol keras. “Putingmu cantik banget, Salma. Aku pengen isep sampe kamu jerit,” katanya, lalu menjilat puting kiri Salma, lidahnya berputar lambat, lalu mengisap kuat hingga Salma mengerang liar, punggungnya melengkung.
“Jangan… aku nggak boleh nikmatin,” desahnya, tapi desahannya semakin keras, tubuhnya berkhianat.
Ardi mendorong penisnya ke vaginanya, ujungnya membelah bibir vaginanya perlahan, lalu masuk dalam, mengisi penuh hingga Salma menjerit kecil. “Pelan… aku sakit,” gumamnya, tangannya mencengkeram lengan Ardi, tapi vaginanya mengerut erat, menyesuaikan dengan ukuran penisnya.
“Memekmu ketat banget, Salma. Enak banget buat dientot,” erang Ardi, mulai bergerak, keluar-masuk dengan ritme yang membuat sofa berderit, tangannya meremas pinggul Salma.
“Aku benci… jangan bilang gitu,” katanya, tapi pinggulnya naik-turun menyambut, desahannya tak terbendung.
Lila pindah ke sisi lain, mencium bibir Salma, lidahnya menyelami mulutnya dengan lembut, kontras dengan dorongan keras Ardi. “Kamu manis banget, Salma. Aku pengen ngerasain memekmu pake lidahku,” bisiknya, tangannya turun ke klitoris Salma, menggosok cepat hingga Salma menjerit, vaginanya mengerut kuat, orgasme pertama mendekat.
“Aku nggak boleh… ini salah,” desahnya, tapi tubuhnya meledak, orgasme pertamanya menghantam, kakinya gemetar, cairannya membasahi penis Ardi.
Ardi menarik Salma ke lantai, membuatnya berlutut, pinggulnya diangkat tinggi, pantatnya yang bulat terpampang. “Pantatmu bikin aku pengen entot sampe pagi,” katanya, menampar pantat Salma keras hingga kulitnya memerah, membuatnya mengerang.
“Jangan… aku malu,” gumamnya, tapi vaginanya semakin basah, tubuhnya menikmati kekasaran itu. Ardi masuk dari belakang, penisnya menghantam dengan sudut yang lebih dalam, setiap dorongan membuat Salma mengerang liar, sofa bergoyang.
“Memekmu ngisap kontolku, Salma. Kamu suka dientot kasar, ya?” tanyanya, tapi Salma hanya mengerang, menolak menjawab, tangannya mencakar beludru sofa.
Lila berbaring di depan Salma, kakinya terbuka lebar, vaginanya yang merah muda berkilat di bawah lampu. “Cium memekku, Salma. Aku pengen lidahmu di sini,” katanya, tangannya menarik kepala Salma.
“Aku nggak pernah… aku nggak bisa,” gumam Salma, menggeleng, tapi Lila menekan kepalanya, dan Salma, dengan ragu, menjilat bibir vaginanya, rasanya manis dan asing, lembut dibandingkan kekerasan Ardi.
“Ya Allah, aku kotor banget,” desahnya, tapi lidahnya bergerak, menelusuri klitoris Lila, membuatnya mengerang keras, pinggulnya bergoyang.
“Lidahmu enak banget, Salma. Jilat lebih dalam,” bisik Lila, tangannya mencengkeram rambut Salma di bawah hijab.
Ardi menarik Salma berdiri, menekannya ke dinding ruangan, kaca dingin menyentuh punggungnya. “Aku pengen ngentot sambil lihat matamu pas kamu ngerasa kontolku,” katanya, mengangkat kaki kiri Salma, penisnya masuk dengan sudut yang membuatnya menjerit, vaginanya terasa penuh.
“Cukup… aku capek,” gumamnya, tapi vaginanya mengerut, orgasme kedua mendekat, tubuhnya gemetar.
“Kamu cantik banget pas dientot, Salma. Memekmu laper banget,” bisik Lila, berdiri di samping, mencium leher Salma, tangannya menggosok klitorisnya dengan gerakan cepat, membuat Salma mengerang liar, orgasme keduanya meledak, cairannya membasahi paha Ardi.
Ardi belum puas. Dia membaringkan Salma di sofa, kakinya diangkat ke bahunya, memperlihatkan vaginanya yang merah dan basah. “Memekmu masih haus, Salma. Aku kasih kontolku lagi,” katanya, masuk dengan dorongan keras, penisnya menghantam hingga Salma menjerit, tangannya mencengkeram bantal.
“Jangan… aku nggak tahan,” desahnya, tapi tubuhnya menikmati, pinggulnya naik menyambut, desahannya semakin liar.
“Kontolku pas banget buat memekmu, Salma. Aku pengen entot sampe kamu lupa suamimu,” erang Ardi, gerakannya semakin brutal, sofa bergoyang keras.
Lila berlutut di samping, menjilat puting Salma lagi, tangannya merayap ke anus Salma, jarinya mengelus lubangnya dengan lembut. “Pantatmu juga cantik, Salma. Aku pengen main di sini,” bisiknya, jarinya masuk sedikit, membuat Salma mengerang panik.
“Jangan di situ… aku takut,” gumamnya, tapi sensasinya aneh, vaginanya mengerut lebih kuat, orgasme ketiga mendekat.
“Kamu bohong, Salma. Tubuhmu suka banget,” kata Lila, jarinya bergerak pelan di anus Salma, lidahnya menari di putingnya.
Ardi menarik Salma ke atas, membuatnya duduk di pangkuannya, penisnya masih di dalam. “Goyangin memekmu, Salma. Aku mau lihat kamu entot aku,” katanya, tangannya memandu pinggul Salma.
“Aku nggak mau… ini salah,” desahnya, tapi tubuhnya bergerak, vaginanya naik-turun di penis Ardi, setiap gerakan mengirimkan gelombang kenikmatan yang dia tolak.
“Ya Allah, aku nggak kuat,” mengerangnya, matanya basah, tapi pinggulnya terus bergoyang, orgasme keempat menghantam, tubuhnya ambruk ke dada Ardi.
Lila menarik Salma ke lantai lagi, kali ini membuatnya berbaring telentang, kakinya terbuka lebar. “Aku pengen ngerasain memekmu, Salma,” katanya, menurunkan wajahnya ke vagina Salma, lidahnya menjilat klitorisnya dengan lembut, lalu masuk ke dalam, menelusuri setiap lipatan.
“Jangan… aku nggak suka sama cewek,” gumam Salma, tapi desahannya liar, pinggulnya naik menyambut lidah Lila, tubuhnya menikmati kelembutan yang asing.
“Memekmu manis banget, Salma. Aku bisa jilat sepanjang malam,” bisik Lila, jarinya masuk ke vagina Salma, bergerak seirama dengan lidahnya.
Ardi berdiri di atas Salma, mengarahkan penisnya ke mulutnya. “Isap kontolku, Salma. Aku pengen ngerasain mulutmu,” katanya, ujung penisnya menyentuh bibir Salma.
“Aku nggak pernah… aku nggak mau,” gumamnya, tapi Ardi menekan pelan, dan Salma, dengan ragu, membuka mulut, lidahnya menyentuh ujung penisnya, rasanya asin dan aneh.
“Isap lebih dalam, Salma. Mulutmu enak banget,” erang Ardi, tangannya mencengkeram hijab Salma, mendorong kepalanya maju-mundur.
Salma mengerang, mulutnya penuh, tapi vaginanya mengerut di bawah lidah Lila, orgasme kelima mendekat, tubuhnya gemetar hebat.
Akhirnya, Ardi mencapai puncak. “Aku mau ngecrot di memekmu, Salma,” katanya, menarik penisnya dari mulut Salma, lalu masuk ke vaginanya lagi, menghantam keras hingga dia melepaskan, cairannya membanjiri vaginanya.
“Kamu luar biasa, Salma,” bisik Lila, mencium bibir Salma, lidahnya menjilat sisa cairan Ardi dari sudut mulutnya, lalu kembali ke vagina Salma, menjilat campuran cairan dengan rakus.
“Jangan… aku kotor,” desah Salma, tubuhnya lunglai, tapi masih bergetar dari kenikmatan yang dia benci.
Saat semuanya selesai, Salma duduk di sofa, gaunnya dirapikan, hijabnya masih menempel, tapi matanya kosong.
“Kita bakal kerja sama lagi, Salma. Aku suka kamu,” kata Lila, menyerahkan kartu nama dan kontrak yang ditandatangani, senyumnya penuh maksud.
“Kamu hebat, Sal. Ini baru permulaan,” kata Ardi, menepuk bahu Salma, suaranya penuh kemenangan.
“Makasih, Bu, Pak,” gumam Salma, tangannya gemetar memegang kontrak, suaranya datar.
Mereka keluar dari ruang VIP, dan Salma merasakan tatapan tajam. Rina berdiri di koridor, matanya menyipit, ponsel di tangannya seolah menyimpan rahasia. “Hati-hati, Sal. Dunia ini kecil,” katanya, suaranya penuh ancaman, lalu berjalan pergi. Salma menegakkan bahu, tapi dadanya sesak. Kontrak dari Lila adalah kemenangan, tapi dosa baru menumpuk, bayangan Umar semakin samar. Di luar, Jakarta berkilau dalam gelap, tapi Salma merasa seperti berjalan di tepi jurang yang kian curam.
ns3.129.17.245da2