Aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana caranya bisa mewujudkan hasratku yang timbul sejak kunjungan ke rumah Tante Sofiah. Setiap melalukan kegiatan apapun, mau itu saat aku mencuci piring, saat mandi, bahkan ketika menyuapi Alena—pikiranku terus berputar-putar mencari cara agar aku dan Om Albert bisa saling memuaskan tanpa membuatku terlihat seperti wanita murahan. Lebih gila lagi saat sholat pikiran itu terlintas juga.
Aku ingin dia yang memulai. Aku ingin dia yang merayuku. Aku ingin bisa pura-pura menolak sebelum akhirnya pasrah. Tapi kenapa dia tidak juga membuat langkah jelas?
Di depan kaca kamar mandi, aku memeriksa diriku. Hijab kupasang sedikit lebih longgar, membiarkan leherku yang halus terlihat. Aku memakai body lotion beraroma vanilla—parfum favorit suaminya Tante Sofiah, kata Tante suatu hari.
"Untuk apa semua ini, Anindya? Kamu kok jadi murahan kayak gini." bisik suara hati kecilku.
Tapi aku sudah terlalu jauh. Mungkin suami Tanteku itu butuh sinyal yang jelas sebelum berani melangkah. Bisa saja dia berpkir kalau nekad melakukan sesuatu dan kalau dia salah melangkah bisa bikin masalah yang rumit buat keluarga mereka.
***
Minggu pagi itu suasana terasa berbeda. Matahari mulai merangkak naik. Aku berdiri di depan rumah Tante Sofiah, jari-jariku yang gemetar mengepal erat tas kecil yang kubawa.
Aku sengaja memilih hari ini karena tahu Tante Sofiah dan anak-anaknya pasti sedang pergi ibadah di Gereja. Karena Tante Sofiah sejak ikut agama Om Albert sangat rajin ibadah dan Om Albert justru lebih suka bermalas-malasan di rumah. Aku beberapakali mendapati kondisi itu saat mengunjungi rumah Tante Sofiah hari minggu sekitaran jam 8 sampai jam 12 siang.
“Pagi,” Aku mengucapkan salam di depan pintu, suaraku sengaja kubuat agak keras.
Beberapa detik berlalu sebelum pintu terbuka, dan di baliknya, berdiri Om Albert dengan wajah yang tersenyum ramah diselingi tatapan cenderung mesumnya. Benar dugaanku Om Albert tidak ke Gereja.
"Anindya!"
Mata lelaki paruh baya itu perlahan—terlalu perlahan—menelusuri tubuhku dari atas ke bawah. Aku bisa merasakan pandangannya seperti api yang membakar setiap inci pakaian yang kupakai. Kaos olahraga ketat tangan panjang berwarna sage yang menempel sempurna di tubuhku, celana leggings hitam yang memperlihatkan setiap lekuk kakiku. Aku masih mengenakan jilbab, tentu saja, tapi kupilih yang tipis dan berwarna senada, sehingga tidak terlalu menutupi bentuk bahu dan leherku.
"Tante Sofiah ada, Om," ucapku sambil sedikit memiringkan kepala, senyum kecil mengembang di bibir. "Aku cuma mau pinjam blender."
Kata-kata itu keluar dengan lancar, seolah memang begitulah niatku sejak awal. Padahal, blender di rumahku masih berfungsi sempurna, bahkan baru kugunakan semalam untuk membuat smoothie. Tapi Om Albert tidak perlu tahu itu.
Dia terdiam sejenak, matanya masih menatapku dengan ekspresi yang sulit kubaca. Ada sesuatu di sana—kejutan, kebingungan, atau mungkin sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam.
"Blender?" akhirnya dia mengulang, seolah memastikan bahwa dia tidak salah dengar.
"Iya, Om. Aku mau bikin jus buat besok," jawabku sambil melangkah sedikit lebih dekat, cukup untuk mencium aroma sabun mandinya yang maskulin, bercampur dengan sedikit bau kopi yang selalu menempel padanya.
Om Albert menghela napas, lalu membuka pintu lebih lebar. "Yaudah, masuklah. Blender ada di dapur. Tante Sofiah ke Gereja sama anak-anak."
Aku melangkah masuk, sengaja berjalan perlahan, membiarkan dia melihat dari belakang. Aku tahu apa yang kulakukan. Dan entah mengapa, perasaan itu—campuran antara rasa bersalah dan kepuasan—membuat dadaku berdebar lebih kencang.
Dapur terasa sunyi ketika aku memasukinya. Aku berpura-pura mencari blender, padahal mataku justru lebih sering melirik ke arah Om Albert yang berdiri di ambang pintu, tangannya bersedekap di dada, wajahnya masih penuh pertanyaan.
Udara di antara kami tiba-tiba terasa lebih panas. Dan di saat itu, aku tahu—permainan ini baru saja dimulai.
Dia mengedipkan mata, seolah mengerti permainanku. "Apa tadi yang mau kamu pinjam? Blender ya? ya, tentu. Masuklah."
Saat aku berjalan melewati Om Albert, sengaja kuperlambat langkahku, membiarkan aroma vanilla dan sedikit kayu manis dari parfumku menyapu wajahnya. Aku bisa melihat pupil matanya membesar, napasnya yang tiba-tiba tercekat.
"Kamu... kamu terlihat sangat cantik hari ini," bisiknya, suaranya serak seperti seseorang yang baru bangun dari mimpi panjang.
Dadaku berdegup kencang, tapi aku hanya berpura-pura tersipu, memainkan ujung jilbabku dengan gemulai. "Ih, Om... Udah berani ngerayu. Awas aja ketahuan Tante."
Kutahu ini permainan berbahaya. Tapi justru bahaya itulah yang membuat darahku mengalir lebih deras.
“Gak bakal deh Tante kamu tahu,” godanya sambil melirik ke sekeliling, memastikan kami benar-benar sendirian. “Lagian emang bener kamu cantik.”
“Dasar lelaki sama saja suka ngegombal,” jawabku sambil memalingkan wajah, tapi tidak cukup cepat untuk menyembunyikan senyum kecil yang mengembang.
‘Tapi kamu suka kan di gombali?”
Aku menatapnya lewat sudut mata, “Kalau menurut Om aku suka digombali atau gimana?”
“Kelihatannya kamu suka deh.”
“Ih asal. Aku gak suka digombali,” protesku sambil memainkan rambut palsu yang menyembul dari jilbab.
“Terus kamu sukanya apa?”
“Tau ah… heheheheh,” tawaku bergetar, tiba-tiba gugup dengan arah percakapan ini. “Btw mana blendernya?”
“Oh iya hampir lupa. Ada di dapur. Yuk.”
Om Albert mengajakku masuk ke dapur dengan cara yang membuat jantungku berdebar tidak karuan. Dia memilih untuk berjalan berdempetan denganku, bahunya yang kekar sesekali menyenggol pundakku. Aku bisa merasakan panas tubuhnya melalui lapisan baju tipis yang kukenakan. Tapi aku tidak menjauh.
Dapur yang sempit membuat kami harus berdiri sangat dekat. Aroma kopi dan rempah masih menggantung di udara, bercampur dengan ketegangan yang semakin memadat. Ketika Om Albert menggapai blender di rak atas, lengannya yang terangkat membuat bajunya tertarik, memperlihatkan otot lengan yang terlatih.
Dan kemudian itu terjadi.
Tangannya "tidak sengaja" menyentuh pinggangku. Sentuhan itu hangat, kuat, dan sengaja. Aku berpura-pura terkejut, mengeluarkan suara kecil, tapi tidak berusaha menghindar.
"Maaf," katanya, tapi tangannya tidak bergerak dari pinggangku. Suaranya rendah, berat, seperti guruh yang bergulung di kejauhan.
Aku menahan napas. Rasanya seperti seluruh tubuhku terbakar di tempat itu. Kulihat matanya yang gelap, penuh dengan pertanyaan dan janji-janji berbahaya.
"Blendernya..." bisikku, suaraku hampir tidak keluar.
"Ya, blender," gumamnya, tapi tidak juga bergerak mengambil alat itu. Tangannya justru semakin erat memeluk pinggangku, menarikku sedikit lebih dekat.
Di saat itu, aku tahu kami sudah melewati batas. Tapi entah mengapa, aku tidak bisa—tidak ingin—berhenti.
Aku menatap mata Om Albert dia menatap aku juga dengan tatapan penuh hasrat. Penuh dengan nafsu terlarang. Dengan sengaja, aku menggigit bibir bawahku perlahan
"Om Albert... kita... kita tidak boleh..." Aku seolah menolak suasana ini.
Tapi tubuhku membeku, kaki bagai tertanam kuat di lantai keramik yang dingin.
Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Tangannya yang besar kini merangkul pinggangku yang membuat lututku lemas. "Kamu tahu berapa lama aku memimpikan ini?" suaranya parau, seperti pecahan kaca yang menggores kulit.
Aku berpura-pura terkejut, memainkan peran wanita baik-baik. Seorang istri solehah yang ingat suami dan anak-anak. "Om, jangan... aku ponakan istrimu… aku juga udah punya suami."
Tapi omonganku tidak sesuai dengan gerakan tubuhku, tanganku yang pura-pura menolak mulai merayap naik ke dadanya, meraba otot-otot keras di balik kemeja kotak-kotak birunya. Kemejanya itu basah oleh keringat, membuktikan bahwa dia sama gelisahnya denganku.
"Tapi kamu juga wanita," bisiknya, nafasnya membakar kulit telingaku yang sensitif. "Wanita cantik yang butuh kepuasan." Ujarnya dengan penuh percaya diri bahwa aku tak akan menolak dia dengan sungguh-sungguh. Aku menghela napas dramatis, dada naik turun dengan sengaja. "Aku... aku tidak bisa..."
Tapi ketika bibirnya mendekat, aku menutup mata... dan menyerah pada nasib.
"Kita tidak boleh!" teriakku tiba-tiba, mendorongnya dengan lemah. Dorongan yang tidak berarti apa-apa untuk lelaki gagah seperti Om Albert.
Om Albert tersenyum, garis-garis di sudut matanya berkerut seperti orang yang menemukan rahasia tersembunyi. Dia mengerti permainanku—dan dia ahli dalam permainan ini.
"Kamu yakin?" Tangannya yang panas sekarang meraba pahaku, jempolnya menggambar lingkaran-lingkaran kecil di balik kain leggings tipis. "Aku bisa memberimu apa yang tidak bisa diberikan suamimu."
baca cerita lengkapnya 21 chapter di sini
https://karyakarsa.com/elevensanger/anindya-wanita-cantik-yang-baik-hati-full-chapter
dan di sini https://victie.com/app/works/332
ns18.117.132.79da2