"Kamu merendah. Aku yakin kamu pintar masak dan tentu pintar menyenangkan suami." bisiknya, suaranya serak.
Aku diam tak bergerak dengan elusan di pundakku. Untung saja dia tidak meneruskan ke hal-hal yang lebih dari itu. Karena aku tak tahu apa aku sanggup menolak.
Tiba-tiba Om Albert mengubah topik. "Kamu tahu, Sofiah akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Aku jadi khawatir juga ngeliatnya. Semoga bukan sakit yang serius."
"Iya, aku juga dengar. Mungkin Tante butuh istirahat lebih banyak," jawabku, berusaha fokus pada percakapan yang 'aman'.
Tapi matanya... Ya Allah, matanya seperti wajah penuh harap untuk dilayani di ranjang. Tatapannya seolah menunjukan hasrat yang tak tertahankan. Aku merasa kasihan—pada dirinya, pada Tante Sofiah, dan pada diriku sendiri yang tiba-tiba membayangkan hal-hal yang tidak seharusnya.
Andai saja...Pikiran aneh tiba-tiba muncul tanpa diundang.
Andai saja bercinta itu bisa dilakukan dengan siapa saja tanpa dosa, aku mungkin akan memenuhi hasrat lelaki ini meski dia adalah suami tanteku sendiri. Aku menggeleng halus, berusaha mengusir bayangan itu. Itu sesuatu yang tidak mungkin. Tapi semakin kucoba melawan, semakin jelas gambaran itu muncul.
Aku tiba-tiba membayangkan Om Albert, dengan tubuh tegapnya yang masih perkasa di usia 42 tahun, menindihku dengan penuh nafsu. Tangannya yang besar meraba setiap lekuk tubuhku yang selama ini tersembunyi di balik hijab. Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya—
"Anindya? Kok bengong? Tambah lagi kuenya. Masih enak kok. Natalkan belum lama lewat jadi kuenya masih enak."
Suaranya memecah lamunanku. Aku tersentak, pipiku memanas.
"I-Iya, Om. Cuma... cuma kepikiran sesuatu."
Dia mendekat lagi, aroma aftershave-nya yang maskulin memenuhi ruang antara kami. Aku merasakan wajah aku memanas. Pasti terlihat kemerahan.
Aku adalah wanita yang suka berbagi. Dalam beberapa kesempatan aku sering berbagi makanan untuk orang tak mampu, pakaian layak pakai untuk yang membutuhkan, bahkan aku berbagi waktu untuk mendengarkan curhat kerabat atau teman-teman. Tapi ini...Andai berbagi kenikmatan bukan dosa… Pikiran liar itu kembali mengganggu kepalaku.
Aku melirik sekilas ke arahnya. Di balik kemeja lengan pendeknya, otot-ototnya yang padat terlihat jelas. Tante Sofiah pernah bercanda bahwa suaminya masih "segar dana kuat seperti pemuda 25 tahun" di ranjang. Aku jadi membayangkan bagaimana rasanya?
Bayangan itu semakin nyata, Kontol dia pasti lebih besar dari punya Ramli. Lebih kuat. Lebih berpengalaman tentu saja. Aku bisa membayangkan bagaimana tangannya akan menggenggam erat pinggulku, mendorong kontolnya maju mundur memompa memek aku hingga aku sampai ke puncak kenikmatan.
"Kamu berkeringat, Anindya," ujarnya tiba-tiba, jarinya menyentuh pelipisku yang basah.”Aku ambil tisu ya.”
"Eh iya om entah kenapa udara hari ini teras gerah banget." ucapku.
Om Albert pergi sejenak dan kembali membawa kotak tisu. Entah kenapa hari ini aku jadi sangat berhasrat. Ada perasaan takut sekaligus ingin dalam diri. Aku takut dengan hasrat yang tiba-tiba muncul dalam diri. Hasrat yang menginginkan Om Albert melakukan kenakalan tehadapku. Dan yang paling menakutkan aku menginginkan itu terjadi sekarang juga.
Kehidupan ranjangku dengan Ramli biasa saja. Kadang memuaskan saat dia fit, tapi lebih sering berakhir dengan dia yang kelelahan dan tertidur pulas setelah klimaks yang terlalu cepat.
Tapi Om Albert… Aku yakin dia bisa membuat aku kelojotan. Belum sempat aku mengusir pikiran mesum itu, terdengar suara pagar rumah dibuka.
"Albert? Aku pulang!"
Suara Tante Sofiah.
Wajah Om Albert berubah seketika. Dia berdiri dari kursi sofa ruang tamu dengan cepat, ekspresi mesumnya hilang digantikan senyum polos.
"Di sini, Sayang! Anindya mampir mau ketemu kamu!"
Aku menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri yang masih berdebar-debar.
Tapi satu hal yang aku tahu aku memiliki hasrat liar yang berbahaya.
Tante Sofiah masuk dengan beberapa kantong belanjaan. Wajahnya terlihat pucat dan lelah.
"Nindya! Maaf tante baru pulang," ujarnya sambil meletakkan barang-barang di meja.
Aku segera berdiri membantu. "Gak apa-apa, Tan. Aku kebetulan lewat aja."
"Iya, udah lama juga kamu gak kesini." jawabnya sambil duduk di kursi.
Om Albert dengan sigap mengambil alih tas belanjaan. "Kamu harus istirahat, Sayang. Aku yang akan masak hari ini."
Aku memperhatikan mereka. Om Albert tiba-tiba berubah menjadi suami penyayang yang sempurna—jauh berbeda dari pria bernafsu yang tadi terlihat begitu penuh hasrat padaku. Tidak, Anindya. Jangan lanjutkan pikiran itu, kata hatiku.
"Nindya, kamu makan siang di sini aja, yuk?" ajak Tante Sofiah.
"Waduh maaf banget Tan. Aku harus jemput Rasya di Paud," jawabku sambil melihat jam.
Om Albert yang sedang di dapur tiba-tiba muncul. "Kapan-kapan bawa Ramli main ke sini, ya. Sudah lama kami tidak bertemu."
"Iya, Om. Nanti aku sampaikan," jawabku singkat.
***
Malam itu, ketika Ramli pulang kerja, aku memperhatikannya dengan seksama—seolah melihatnya untuk pertama kali. Dia melepas sepatu di teras dengan gerakan lamban, bahunya yang dulu tegap sekarang sedikit membungkuk di bawah beban kerja. Seragam kantornya yang dulu pas di tubuh sekarang terlihat agak kekecilan di bagian perut. "Dia sudah mulai berlemak," pikirku, mataku mengamati bagaimana kemejanya mengencang di sekitar pinggang saat dia membungkuk untuk mencium keningku.
"Lelah?" tanyaku, sudah tahu jawabannya.
"Hari ini meeting dari pagi sampai sore," keluhnya sambil menjatuhkan diri ke sofa. Aroma keringat bercampur minyak wangi murah menyengat hidungku. "Makan malam sudah siap?"
Aku mengangguk, tapi mataku masih menelusuri setiap perubahan pada tubuh suamiku. Tangannya yang dulu kuat sekarang terlihat lembek, diam diam aku mulai membandingkannya dengan om Albert. Pikiran itu muncul tanpa diundang, dan aku segera merasa bersalah.
“Tadi aku lewat rumah Tante Sofiah, aku sempat mampir. Om Albert nitip salam buat papah. Dia kangen kamu datang kapan-kapan ke sana.”
“Oh iya aku udah jarang ke sana ya. Terakhir hampir tiga bulan lalu.”
Seperti biasa, hari kamis malam adalah saat kami bercinta. Itu sudah menjadi jadwal tak tertulis sejak anak kedua kami lahir—Kamis malam dan Senin malam. Dia membuka bajuku dengan tergesa-gesa, tangannya menyentuh kulitku dan meremas-remas bagian-bagian yang menarik baginya.
"Kamu cantik," bisiknya.
Kemudian dia mulai memasukan kontolnya. Aku menutup mata ketika kontol dia mulai bergerak maju mundur dalam liang memek aku. Aku membayangkan Om Albert, seolah dia yang sedang menyetubuhiku, aku membayangkan tangan-tangan besar berotot itu menggenggam pinggangku, meremas payudaraku. Kontol besarnya yang sedang menghujam memek aku. Aku membayangkan gerakan tubuh perkasanya yang begitu gagah dan kuat.
"Anindya... aku mau.. keluar." erang Ramli, menyadarkan aku dari khayalan liar..
Aku mengangguk, membiarkan tubuhku bergerak mengikutinya. Saat dia mencapai klimaks, aku memejamkan mata lebih kuat, membayangkan suara yang berbeda, tubuh yang berbeda—
"Ah! Om Albert!" Desahku dalam hati.
Dan selesai.
Seperti biasa. Ramli terkapar dan akhirnya tidur kelelahan. Ketika dengkuran Ramli mulai terdengar, aku menyelinap keluar dari kasur. Tubuhku masih panas, tapi bukan dari hasrat yang terpenuhi—melainkan dari hasrat yang terbakar tak tersalurkan.
Di kamar mandi, aku mengunci pintu dengan hati berdebar. Air pancuran mengalir deras, menutupi suara lain yang mungkin keluar dari mulutku.
Tanganku meraba tubuhku sendiri—payudara yang mulai kendang setelah dua anak, pinggang yang masih ramping, dan kemudian turun ke antara pahaku.
Aku membayangkan Om Albert. Aku membayangkan bagaimana dia akan menyentuhku—dengan kekuatan fisiknya yang terlihat dan kontolnya yang aku yakin pasti besar terlihat dari tonjolan celananya setia aku diam-diam meliriknya. Aku membayangkan bibirnya yang tebal mencium setiap inci kulitku, bukan ciuman terburu-buru suamiku.
"Om Albert..." desahku pelan, jemariku bergerak cepat.
Di kepalaku, aku terlintas bayangan Om Albert dengan mata penuh nafsu, tubuhnya yang lebih besar dan lebih kuat menindihku, memuaskanku dengan cara yang tidak pernah bisa dilakukan Ramli.
"Aku ingin... aku ingin Om Albert… Punya Om Albert pasti gede dan kuat ahhhhh."
Gelombang kenikmatan menerpaku lebih kuat dari biasanya. Lututku gemetar, dan aku harus menahan mulutku dengan tangan agar tidak berteriak.
Ketika selesai, aku merosot di lantai kamar mandi, air hangat membasahi tubuhku yang masih bergetar.
Aku baru saja mencapai klimaks dengan memikirkan suami tanteku sendiri. Dan yang paling mengerikan—Aku tidak menyesal.
ns18.117.132.79da2