Setelah mengantar Rasya ke PAUD dengan ciuman perpisahan di pipinya yang montok, aku segera menuju dapur rumah ibu Susi—ketua RT kami yang mengkoordinasi program Jumat Berkah.
"Anin, tepat sekali waktunya!" sambut ibu Susi dengan riang. Dia sudah berdiri di antara tumpukan ratusan nasi bungkus yang sudah siap untuk dibagikan. Aku menjadi donatur tetap dalam kegiatan sedekah berbagi nasi bungkus kepada yang membutuhkan. Karena aku sangat suka berbagi kepada orang-orang yang punya kesulian di luar sana.
Aku segera menggulung lengan baju kaus panjangku dan mengikat erat jilbab warna salmon yang kupakai hari ini. "Berapa bungkus yang harus kita bagikan pagi ini, Bu?"
"200 nasi bungkus, ditambah 100 kotak susu untuk anak-anak jalanan," jawabnya sambil menunjuk ke tumpukan kardus di sudut.
Tanganku segera bekerja, mengemas nasi berlauk ayam kecap dengan telur rebus dan sambal terpisah ke dalam plastik bening. Setiap bungkus kuikat dengan simpul rapi, seolah dalam setiap ikatan itu kuselipkan doa-doa tersembunyi.
Di tengah kesibukan, mataku menangkap bayangan seorang anak kecil mengintip dari balik pagar. Badannya kurus, baju lusuh, tapi matanya berbinar melihat tumpukan nasi.
"Sayang, kemari," panggilku lembut.
Dia mendekat dengan ragu. Aku segera meraih satu bungkus nasi plus kotak susu. "Ini untukmu. Jangan lupa berdoa sebelum makan, ya."
Senyumnya melebar, menerima bungkusan itu dengan kedua tangan seperti menerima harta karun. "Makasih, Tante!" Lalu dia berlari kecil, mungkin untuk berbagi dengan keluarganya.
Dadaku terasa hangat. Inilah yang selalu kusukuri—bukan hanya memberi, tapi melihat langsung kebahagiaan itu bersemi di mata mereka.
Dengan membawa box besar berisi 50 nasi bungkus, aku dan beberapa ibu lain berjalan menyusuri trotoar dekat pasar. Di sini, banyak pekerja serabutan yang belum sarapan.
"Pak, mau terima nasi bungkus?" tanyaku pada seorang kakek tua yang duduk di pinggir jalan, tangannya penuh kapalan memegang perkakas tukang sol sepatu.
Matanya berbinar. "Alhamdulillah... Jumat berkah memang berkah. Semoga ibu diberikan rejeki lebih oleh Allah."
“Aamiiin!” Sahut aku.
Aku kemudian duduk sebentar mendengarkan ceritanya—tentang bagaimana di usianya yang sudah 70 tahun, dia masih harus bekerja untuk menghidupi cucunya yang yatim. Tanpa berpikir dua kali, kuberikan tiga bungkus nasi untuknya.
"Bu, boleh minta dua? Satu untuk temanku yang sakit di kolong jembatan," pinta seorang pemulung cilik dengan suara malu-malu.
Tangan kecilnya yang kotor menggenggam erat bungkusan nasi itu seperti harta paling berharga. Aku tidak hanya memberinya dua, tapi juga menambahkan susu dan uang saku untuk membeli obat.
Beberapa saat kemudian, aku mampir ke rumah Tante Sofiah karena kebetulan lewat dengan sepeda motorku. Sudah lama juga aku tidak berkunjung ke rumah dia. Rumah mereka selalu rapi, dengan taman kecil di depan yang dipenuhi bunga kamboja. Tante Sofiah memiliki 3 orang anak. Robert yang sulung berusia 15 tahun sekolah di SMA kelas 1, yang kedua Rachel usia 13 tahun kelas 1 SMP, dan yang bungsu lelaki juga namanya Richard kelas 6 SD berusia 11 tahun.
Aku mengetuk pintu rumah. Tak butuh waktu lama pintu terbuka, yang menyambutku bukan Tante Sofiah, melainkan Om Albert.
"Oh Anindya!" sambutnya dengan senyum lebar. "Mari, masuk!"
“Tante Sofiah ada Om?” Tanyaku.
“Oh dia lagi ke pasar. Gak lama lagi dia pulang.” Ucap Om Albert.” Kamu duduk aja dulu, Om siapkan minum ya. Kamu mau teh apa kopi?”
“Gak usah repot-repot om!”
“Ah gapapa gak bikin repot kok!”
“Teh aja Om kalau gitu.”
“Siap kamu tunggu ya..”
Aku hanya bisa tersenyum, sebuah reaksi sederhana yang keluar begitu saja, tanpa rencana. Tapi entah mengapa, senyum itu terasa berbeda hari ini—seperti ada getaran halus di ujung bibirku, sesuatu yang membuat jantung berdegup sedikit lebih cepat.
Tiba-tiba, aku jadi peduli dengan pakaian yang kupakai. Biasanya, aku tak terlalu memikirkannya, asalkan nyaman dan sopan, itu sudah cukup. Namun hari ini, setiap lipatan kain seolah memiliki arti. Bajuku—lengan panjang berbahan katun yang lembut, menyerap hangatnya mentari tanpa membuat gerah. Celana linen longgar yang mengikuti gerak tubuh, memberikan kebebasan sekaligus kesan anggun. Jilbabku, dipilih dengan warna yang senada, seakan menyempurnakan keseluruhan penampilan.
Tidak ada yang aneh, sebenarnya. Ini adalah gaya yang biasa kukenakan, sederhana tapi cukup rapi. Tapi tatapan Om Albert... ah, tatapan itu. Matanya seolah menembus lapisan-lapisan pakaianku, membuatku merasa seakan-akan aku hanya mengenakan handuk atau bahkan terbuka, polos, tanpa sehelai benangpun.
Seharusnya aku risih, ditatap seperti itu. Tapi anehnya, yang kurasakan justru kebalikannya. Ada kebanggaan yang mengalir pelan dalam dadaku, seperti bunga yang mekar di bawah sinar matahari pagi. Mungkin karena dalam tatapan itu, aku tak hanya melihat penilaian, tapi juga pengakuan. Sebuah pengakuan bahwa aku menarik bagi lelaki itu. Bahwa penampilanku, keberadaanku, berarti.
Dan di tengah segala perasaan itu, senyumku tetap mengembang, tak bisa kutahan.
Tak butuh waktu lama Om Albert kembali dengan membawa secangkir teh, uapnya mengepul lembut. Tangannya yang besar namun terampil menaruh cangkir di hadapanku dengan hati-hati, seolah khawatir akan tumpah.
"Makasih, Om," jawabku singkat, suaraku lebih kecil dari yang kukira. Jari-jariku melingkari cangkir, menyerap kehangatannya, mencoba menenangkan diri dari sesuatu yang tak bisa kujelaskan.
“Btw Om gak masuk kerja ya?” tanyaku agak heran karena hari ini kan masih hari kerja tapi Om Albert ada di rumah padahal sudah jam 9 pagi.
“Oh Om kan kemarin dinas luar tiga hari sampai hari ini. Pelaksanaannya sih realnya cuma dua hari jadi hari ketiganya Om bisa santai di rumah heheheheh!” Jawab Om Albert.
“Wah senang dong bisa santai dan terima duit perjalan dinas hehehehe!” Sahut aku.
“Ya gitulah hehehehe. Ngomong-ngomong ada perlu ya sama Tante kamu?” tanya Om Albert sambil duduk di kursi di seberangku. Matanya menatapku dengan tatapan yang seperti tatapan seorang lelaki yang berhasrat terhadap wanita.
Aku menggeleng, tersenyum kecil. “Oh, enggak. Cuma mampir aja. Udah lumayan lama juga gak ketemu. Kebetulan lewat jadi sekalian mampir.”
"Kamu baik banget masih peduli ama tante kamu," ujarnya, suaranya dalam dan aku paham maksudnya.
Aku mengangkat bahu, mencoba bersikap santai meski aku tahu bahwa mungkin kalimatnya itu terkait dengan sebagian besar keluargaku yang menjauhi Tante Sofiah karena dia pindah agama.
"Iya, soalnya Tante Sofiah tuh deket banget ama aku dari kecil, Om." Kenangan masa kecil berkelebat—Tante Sofiah yang adik bungsu ibuku yang lebih mirip sebagai kakak bagi aku dan kami begitu dekat.
”Oh iya, ini ada kue sisa hari Natal.” Om Albert tiba-tiba berdiri, berjalan ke meja buffet di sudut ruangan, dan mengambil toples kue berwarna merah. Tangannya membuka tutupnya dengan cekatan, menawarkan isinya padaku.
“Makasih, Om.” Aku mengambil sepotong kue natal berbentuk bintang, lapisan gula halusnya meleleh di ujung jari. Baru kusadari, Natal dua minggu lalu. Tante Sofiah, sejak menikah dengan Om Albert selalu merayakannya dengan khidmat, pasti telah mengadakan pesta kecil seperti biasa.
Ketika aku sedang asyik mengunyah, Om Albert tiba-tiba berkata, "Sofiah sering cerita tentang kamu," matanya tak lepas dariku, seakan menatap aku memberi kesenangan baginya.
Aku berhenti mengunyah, membalas tatatpan dengan tatapan bertanya-tanya.
"Dia bilang kamu istri yang sempurna," lanjutnya, senyum kecil mengembang di bibirnya yang tipis. "Cantik, pintar masak, baik sama anak-anak… dan pasti juga baik sama suami, ya?"
Aku tersipu, karena malu. Ini berlebihan. Aku tahu diri. Karena aku merasa tidak cantik. Wajahku biasa saja, tak ada yang istimewa. Dan masakanku? Aku hanya sekedar bisa masak standar saja bukan masak makanan enak ala chef.
"Hahahaha, biasa saja, Om," jawabku sambil menunduk, memainkan ujung hijab yang terjuntai di bahu. Kulitku terasa panas, tapi entah kenapa, aku tak ingin Om Albert melihat kegelisahan ini. "Aku cuma berusaha melakukan yang terbaik aja."
Tapi Om Albert terus menatapku seakan ingin menikmati kesempatan jarang melihat wajah dan tubuhku sepuas hatinya. Apa aku sedemian cantik dan menarik bagi suami tanteku ini.
Om Albert seolah ingin mengambil kesempatan untuk menyentuh aku. Sekedar sentuah kecil di bahu atau punggung aku. Aku mencoba sedapat mungkin menghindari. Tapi Om Albert tidak membiarkanku menghindar. Tangannya yang besar tiba-tiba mengelus pundakku saat aku sedang memegang gelas teh.
ns18.117.132.79da2