
Namaku Anindya, wanita muslimah berusia 29 tahun yang kesehariannya memakai jilbab. Aku adalah seorang istri dari seorang PNS bernama Ramli berusia 34 tahun dan ibu dari dua orang anak. Yang sulung bernama Rasya usianya empat tahun dan adiknya, Alena, yang baru dua tahun. Keseharianku hanyalah menurus rumah tangga. Aku tidak bekerja sejak menikah.
Pagi itu, seperti biasa, aku sudah sibuk sejak azan Subuh berkumandang. Rambutku yang tertutup rapat dengan hijab warna krem, masih sedikit basah karena wudhu. Di dapur kecil kami, aroma tumis buncis dan ikan goreng mulai menyeruak.
"Rasya, nak, jangan lari-lari. Adiknya masih tidur," seruku lembut sambil membalik ikan di atas wajan.
"Ma, Rasya mau bantu!" teriaknya sambil menarik kursi kecil ke dekat meja makan.
Aku tersenyum. Anak ini tak pernah kehabisan semangat.
"Boleh, bantu Mama susun piring, ya. Tapi pelan-pelan," kataku sambil mengelus kepalanya.
Ramli suamiku muncul dari kamar, masih mengenakan sarung dan kaus putih.
"Pagi, Sayang." Suaranya parau tapi hangat, seperti biasanya.
"Pagi juga. Sarapan sebentar lagi siap," jawabku sambil mencuri pandang ke arahnya. Dia tersenyum dan menghampiriku, mencium keningku pelan.
Ramli selalu begitu. Tak banyak bicara, tapi tindakannya tak pernah mengecewakan. Aku tahu, dalam diamnya, ia mencintai aku dan anak-anak lebih dari apapun. Setelah sarapan, Ramli bersiap ke kantor dengan sepeda motor sekalian menitipkan anak bungsu kami Alena di rumah mertua. Aku melepas mereka di depan pintu, seperti rutinitas setiap hari. Setelah itu aku akan mengantar Rasya dengan sepeda motor juga ke sekolah PAUDnya. Karena Rumah mertua dan Sekolah PAUD Rasya berlawanan arah jadi kami berbagi tugas.
"Nin, nanti siang aku pulang agak telat. Ada rapat dadakan," katanya sebelum menghidupkan sepeda motor.
"Baik, hati-hati ya, Mas. Dadah Alena!"
Dia mengangguk dan melangkah pergi. Alena membalas lambaian tanganku. Aku masih berdiri di ambang pintu, menatap punggungnya hingga menghilang di tikungan jalan.
Hari itu berjalan seperti biasa. Setelah mengantar Rasya ke PAUD kau balik ke rumah. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Setelah semua berers aku sempat keluar sebentar untuk mengantar makanan ke rumah Bu Rasti, tetangga kami yang suaminya baru saja dirumahkan dari pekerjaannya.
"Masya Allah, Anindya... kamu baik sekali. Ini makanan untuk kami?" tanya Bu Rasti dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, Bu. Nggak banyak, cuma nasi, sayur asem, dan tempe goreng. Tapi semoga bisa cukup buat makan siang," jawabku sambil tersenyum.
Ia menggenggam tanganku erat. "Kamu ini seperti malaikat. Allah pasti balas kebaikanmu, Nak."
Aku hanya tersenyum. Aku tak pernah merasa luar biasa atas apa yang kulakukan. Aku hanya merasa... kalau kita bisa membantu, kenapa tidak? Aku memang sangat senang berbagi.
***
Hujan turun perlahan sore itu. Rintik-rintiknya menari di kaca jendela, mengiringi aroma seduhan teh chamomile yang baru saja kubuat. Alena, putri bungsuku yang berusia dua tahun, tertidur lelap di pangkuanku dengan bibir mungilnya yang sesekali mengisap dalam mimpi. Rasya, si sulung yang berusia empat tahun, asyik mencorat-coret buku gambarnya di ruang tengah dengan krayon warna-warni.
"Ibu, lihat! Aku gambar dinosaurus!" teriak Rasya tiba-tiba, mengacungkan karyanya yang lebih mirip kucing berkaki delapan.
Aku tersenyum. "Bagus sekali, Sayang. Tapi dinosaurusnya kenapa pakai antena?"
"Itu bukan antena, Bu! Itu duri-durinya, kayak di film!"
Aku menggeleng sambil menahan tawa. Dunia anak-anak memang selalu penuh kejutan.
Getaran halus dari ponsel di meja mengalihkan perhatianku dari kesibukanku mengurus anak-anak. Layar menyala, dan nama "Tante Sofiah" muncul dengan latar belakang foto kami berdua—gambar yang diambil setahun lalu saat kami makan siang di sebuah kedai kopi kecil. Tanpa sadar, senyumku melebar.
Tante Sofiah adalah adik bungsu ibuku. Dia selalu punya tempat khusus di hatiku. Usianya hanya terpaut tujuh tahun di atasku, membuat hubungan kami lebih seperti kakak-adik atau sahabat daripada hubungan tante dan keponakan. Sejak kecil, dialah yang selalu menghiburku saat dunia terasa berat. Saat aku gagal di lomba mewarnai kelas 3 SD, dialah yang membelikanku es krim dan berkata, "Nanti kita gambar bersama, pasti lebih bagus!" Saat aku patah hati pertama kali di SMA, dialah yang datang tengah malam dengan wajah lelah tapi tetap setia mendengarkanku mengoceh berjam-jam.
Tapi segalanya berubah setelah dia menikah dengan Albert. Albert adalah pria baik—ramah, pekerja keras, dan sangat mencintai Tante Sofiah. Masalahnya? Dia berbeda keyakinan dengan keluarga kami. Ketika Tante Sofiah memutuskan untuk mengikuti agama suaminya, gempa kecil terjadi dalam keluarga besar kami. Beberapa anggota keluarga mulai menjauh, bahkan ada yang secara terang-terangan memutuskan hubungan. Aku ingat betul bagaimana wajah nenek berubah pucat saat pengumuman itu keluar, dan bagaimana Ibu diam-diam menangis di kamar.
Tapi aku? Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kehadirannya.
Meski banyak yang tidak setuju, aku tetap menjalin komunikasi dengannya. Kami masih bertemu seperti biasa, kadang aku berkunjung ke rumahnya, kadang dia yang datang ke rumah kami. Aku tidak peduli apa kata orang—bagiku, dia tetap Tante Sofiah yang sama, orang yang selalu ada untukku.
Namun, belakangan ini, kami jarang berbicara. Sudah hampir sebulan tidak ada kabar darinya. Biasanya, dia yang rajin mengirim pesan atau menelepon duluan. Mungkin dia sibuk dengan kegiatan gerejanya karena aku dengan dia sudah jadi pengurus gereja.
Kupencet tombol hijau, berusaha menahan suara agar tidak membangunkan Alena.
"Sore, Tante…" sapaku pelan.
"Sore juga, Nindya," balasnya. Suaranya tetap cerah seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda—sedikit getar yang hanya bisa kukenali karena aku sudah mengenalnya selama puluhan tahun.
"Gimana kabarnya, Tante?" tanyaku sambil menyesap teh hangat.
"Puji Tuhan baik, kamu gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah baik juga, Tan."
Aku menggeser posisi dudukku, membiarkan Alena bersandar lebih nyaman di bahuku.
"Nin, Tante mau curhat, boleh gak? Gak sibuk kan?"
Suaranya terdengar ragu, dan itu membuatku langsung berpikiran aneh-aneh. Tante Sofiah bukan tipe orang yang mudah meminta bantuan.
"Oh, boleh, Tan. Aku enggak sibuk kok. Btw, soal apa nih?"
Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya mengeluarkan kalimat yang membuatku membeku.
"Albert…"
Nama itu diucapkan dengan nada lelah, seolah mengandung seribu keluh kesah.
"Aku merasa udah mulai gak kuat melayani dia. Akhir-akhir ini aku mudah capek, Nin. Apa aku kena gejala-gejala diabetes atau gimana ya?"
Aku mengerutkan kening. "Umur Tante kan belum kepala empat. Setahu aku, usia rentan diabetes itu 40-an. Jangan mikir yang enggak-enggak Tan, nanti malah jadi beban."
"Iya, tapi bukan tidak mungkin usia seperti Tante bisa kena juga. Soalnya gejala-gejalanya mirip kalau aku baca di internet. Aku jadi mudah capek akhir-akhir ini. Dan…" Dia berhenti sejenak, seolah ragu. "Aku udah gak kuat melayani Albert."
Aku diam. Ini bukan sekadar keluhan kesehatan. Ini tentang sesuatu yang lebih dalam.
"Mending Tante ke dokter aja untuk memastikannya. Karena kalau cuma baca lewat internet, itu belum bisa dijadikan patokan," saranku, berusaha netral.
"Iya. Cuma… yang aku mau curhat itu soal Albertnya." Suaranya semakin kecil. "Kasian dia, karena aku gak bisa maksimal melayani suamiku itu. Kamu tahu kan, dia laki-laki Ambon, penuh semangat, selalu aktif, tenaganya luar biasa meski kini usianya sudah lewat empat puluh tahun. Sebelumnya aku bisa layani kapan saja. Tapi sekarang… ya Tuhan, aku kadang cuma pengin tidur. Tapi dia butuh buat dilayani. Aku jadi takut dia nyari yang lain."
Dadaku sesak. Aku tahu persis apa yang dia rasakan. Ketakutan dan kekhawatiran bahwa cinta tidak akan bertahan jika hasrat tidak terpenuhi.
"Gak usah mikir gitu, Tan. Aku yakin Om Albert orangnya setia," kataku, mencoba meyakinkannya—dan mungkin juga diriku sendiri.
"Iya sih. Tapi kalau hasratnya gak terpenuhi, gimana?"
Aku menggigit bibir. Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan tidak nyaman.
"Semoga saja dia bisa mengendalikan hasratnya, Tan."
"Iya, semoga aja."
Tapi suaranya terdengar tidak yakin.
ns18.117.132.79da2