Prolog
Ada momen dalam hidup yang nggak pernah benar-benar hilang. Bukan karena kita nggak mau melupakan, tapi karena kenangan itu sudah jadi bagian dari kita—seperti goresan di kayu yang nggak bisa dihapus meski waktu terus berjalan.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIFiEofuAXz
Desi Wulandari. Nama itu selalu muncul di sudut hati Havis, meski bertahun-tahun berlalu. Kenangan mereka dulu, dari rebahan bareng sambil nonton TV, ngerjain tugas kuliah sambil saling goda, sampai momen-momen kecil penuh tawa—semuanya seperti potongan puzzle yang nggak pernah lengkap lagi.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXEynS0fVFh
Tapi cinta nggak pernah sekadar manis. Di balik tawa dan harapan, ada luka, ada perpisahan, dan ada keputusan yang terlalu berat untuk diambil. Havis masih ingat bagaimana ia berdiri di depan pintu rumah Desi, menatap wajah ayahnya yang dingin dan tak ramah. "Akhiri semuanya," kata itu seperti palu yang menghancurkan impian Havis untuk membawa hubungan mereka ke tahap yang lebih serius.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡg8R46Ght2H
Namun, hidup nggak pernah berhenti di satu titik. Waktu terus berjalan, dan meski hati pernah terluka, Havis tahu satu hal: dia harus berdamai dengan masa lalu.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkwXAXv3TWN
Tapi, siapa sangka, tiga tahun lalu, nama Desi kembali muncul di hidupnya. Bukan untuk membawa kabar bahagia, tapi dengan cerita penuh air mata dan luka yang baru. Hidup Desi diuji, dan di tengah kekacauan itu, ia memilih untuk kembali ke satu orang yang pernah ia percayai—Havis.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡaZG0X1evju
Dan di sinilah semua dimulai kembali.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYims1XXOJZ
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCsH2QEb1dY
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXGdMLP7pr2
Bab 3: Ketika Waktu Mulai Menjauhkan
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrnezzKJffR
Hubungan Havis dan Desi masih bertahan setelah penolakan ayah Desi. Tapi keduanya tahu, ada sesuatu yang berubah. Ketegangan itu terasa seperti dinding tak terlihat yang makin lama makin tebal di antara mereka.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0ohcS2SIr9
Hari-hari yang dulu penuh tawa kini terasa lebih sunyi. Tugas kuliah, pekerjaan, dan rutinitas mereka masing-masing mulai mengambil alih waktu yang dulu mereka habiskan bersama. Intensitas pertemuan menurun drastis. Mereka masih saling BBM, tapi obrolannya nggak lagi sepanjang dulu. Kadang hanya pertanyaan standar: “Udah makan?” atau “Tugas lo udah selesai?”
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpTLsvejqqC
Havis berusaha untuk tetap seperti biasa. Dia mencoba bikin obrolan tetap hidup, mengirim lelucon receh seperti dulu, tapi respon Desi seringkali cuma pendek. Bukan karena dia nggak peduli, tapi karena dia sendiri terlihat kelelahan oleh situasi.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsx8Gz2UqCe
Suatu sore, Havis memutuskan untuk berkunjung ke rumah Desi tanpa memberi tahu. Dia rindu momen-momen mereka dulu, saat semuanya terasa ringan. Tapi yang menyambutnya bukan Desi, melainkan ayahnya.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEaxpRrbsGl
"Ada apa lagi kamu ke sini?" suara ayah Desi tegas, dingin, seperti palu yang memukul hati Havis.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbtXUf47dWE
"Saya cuma mau ketemu Desi, Pak. Nggak lebih," jawab Havis dengan suara yang mencoba tetap tenang.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1VNLHr1gHC
Ayah Desi memandang Havis lama, lalu menggeleng. "Kamu nggak perlu terus datang. Saya sudah bilang, akhiri semuanya."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6cJc4WRrXh
Havis tidak membalas. Dia hanya menunduk, berbalik, dan melangkah pergi. Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Desi yang baru pulang dari tempat les.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡejc9AYYCyn
"Vis, kamu ngapain ke sini?" tanya Desi, terlihat terkejut tapi juga bingung.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡb14PFooQPL
"Rindu," jawab Havis singkat, senyumnya tipis. "Tapi kayaknya gue nggak boleh ke sini lagi."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡn8L5dSuSHM
Desi menatapnya, dan untuk pertama kalinya Havis melihat rasa bersalah di wajah Desi. "Maaf, Vis. Aku beneran nggak tahu harus gimana," katanya pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡH4kuWAIPLP
Havis hanya mengangguk, menahan semua rasa kecewa di dadanya. "Gue cuma pengen lo tahu kalau gue masih ada di sini," katanya sebelum pergi.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4WGFHtrPpn
Setelah itu, hubungan mereka benar-benar mulai terasa berbeda. Bukan hanya waktu yang makin terbatas, tapi juga energi untuk mempertahankan semuanya. Malam-malam mereka yang dulu penuh cerita kini berganti dengan jeda panjang.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXQZ8IxNZQy
Sampai suatu malam, Havis mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡO9LzprXJu4
"Des," katanya lewat BBM, "kita masih kayak dulu nggak sih?"
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5OqXIsWWCX
Butuh beberapa menit sebelum Desi membalas. "Maksud kamu apa, Vis?"
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSBNqLa2YMq
"Lo nggak ngerasa kalau kita makin jauh? Gue ngerasa kayak ada yang hilang dari kita."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeB9rGIZLBz
Pesan itu diikuti oleh keheningan yang panjang. Desi akhirnya membalas, "Aku juga ngerasa gitu, Vis. Tapi aku nggak tahu harus gimana. Aku capek sama semuanya."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUShXPJmj2y
Havis terdiam lama membaca pesan itu. Kata-kata Desi menusuk hatinya. Bukan karena dia marah, tapi karena dia tahu Desi juga merasa sama rapuhnya.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡG7prCXWB8Q
"Kalau lo capek, apa artinya gue di hidup lo sekarang?" tanya Havis akhirnya.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡT36RYWWFFk
Desi hanya menjawab, "Aku nggak tahu."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuGyWNSZND7
Dan seperti itu, semuanya perlahan memudar. Hari demi hari berlalu tanpa pesan, tanpa pertemuan. Sampai akhirnya, tanpa ada kata resmi, hubungan mereka benar-benar berhenti.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2WRGYhcQXa
Setahun kemudian, saat rasa rindu mengalahkan egonya, Havis mencoba mencari Desi lagi. Dia bertanya ke teman-teman lama mereka, mencoba menemukan cara untuk menghubungi Desi. Tapi yang dia temukan justru sebuah fakta yang menghancurkannya lebih dalam.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ97REtZRZDX
Desi sudah bersama orang lain.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfn70xHNumc
Foto mereka bersama terlihat di media sosial, dengan caption penuh kebahagiaan. Havis hanya bisa menatap layar ponselnya dengan senyum pahit. Dia nggak marah, nggak juga iri. Tapi ada rasa perih yang nggak bisa dia jelaskan.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡk3Tf4RU23b
Dia menutup ponselnya, menarik napas panjang, dan berkata pada dirinya sendiri, "Mungkin sekarang, gue yang harus belajar pergi."
Bab 4: Kembali ke Arah yang Tak Terduga
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvfelB0NoxS
Tiga tahun setelah perpisahan yang perlahan, nama Desi Wulandari kembali muncul di layar ponsel Havis. Sebuah pesan singkat dari nomor yang tak pernah lagi dia lihat.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2LwxQvyWU8
"Vis, boleh ngobrol?"
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCE0gsz9gj7
Havis menatap layar itu lama. Ada rasa ragu bercampur penasaran. Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua yang berlalu? Tapi akhirnya, jarinya bergerak untuk membalas.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgsb4r42zzF
"Tentu, Des. Ada apa?"
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ24vc08hVhS
Jawaban dari Desi tidak langsung datang. Beberapa menit berlalu, lalu akhirnya muncul.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmRDrF2Eo2W
"Aku butuh tempat cerita. Hidup aku lagi berantakan, Vis."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUFSyFcMleM
Havis tahu dia seharusnya berhati-hati. Tapi rasa peduli yang dulu ada—dan mungkin masih ada—membuatnya setuju untuk mendengar. Mereka akhirnya sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat yang cukup jauh dari keramaian.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡI1OQlGxbcD
Saat Desi muncul, Havis hampir tak mengenali sosoknya. Wajahnya tampak lebih dewasa, tapi matanya yang dulu bersinar penuh semangat kini terlihat lelah. Rambutnya tergerai rapi, tapi ekspresinya seperti menyimpan beban yang berat. Dia tersenyum tipis saat melihat Havis.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9K695MQDKQ
"Vis," katanya pelan.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡK9exkUrpnU
"Des," jawab Havis singkat, mencoba menahan gelombang emosi yang datang tiba-tiba.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDy6QKsFXz8
Mereka duduk berhadapan. Desi memesan teh hangat, sementara Havis hanya memilih air putih. Suasana canggung mengisi udara di antara mereka sampai akhirnya Desi mulai bercerita.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡK0nQ85HgS8
"Aku nggak tahu harus mulai dari mana," katanya, menatap cangkir tehnya yang masih penuh. "Hidup aku nggak berjalan seperti yang aku kira."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ97BY2JEYQU
Havis mengangguk pelan, memberi ruang untuk Desi melanjutkan.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWw6UZ4zByr
"Pernikahan aku..." Dia berhenti sejenak, mencoba menahan air matanya. "Aku nggak bahagia, Vis."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡku57tb8wHH
Havis terdiam. Dia tahu cerita ini tidak akan mudah didengar. "Apa yang terjadi?" tanyanya akhirnya.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2lnfKk9jyz
Desi menghela napas panjang. "Suamiku... dia ditangkap karena kasus narkoba. Semua orang tahu, Vis. Keluarga aku hancur, anak aku jadi korban."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ83cJPIJGwP
Kalimat itu seperti pisau yang menusuk hati Havis. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa mendengar saat Desi melanjutkan ceritanya.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFwyOWcxOvO
"Aku ngerasa sendiri, Vis. Aku nggak tahu harus gimana. Aku ngerasa... semua ini nggak akan terjadi kalau dulu aku nggak ninggalin kamu."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGzCcsHPOta
Havis menatap Desi dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apa maksud kamu?"
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSOf8t6dhmG
Desi menatapnya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kalau aku tetap sama kamu, hidup aku nggak akan seberantakan ini. Kamu selalu tahu cara buat aku bahagia. Tapi aku malah pilih jalan yang salah."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfk7EMyeXMG
Kata-kata Desi membuat Havis terdiam. Ada rasa pedih mendengar dirinya disalahkan secara tidak langsung, tapi di sisi lain, dia juga merasakan kesedihan Desi.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡTKq6F1d41s
"Des, gue nggak tahu apa yang harus gue bilang," kata Havis akhirnya. "Tapi hidup lo adalah pilihan lo. Lo nggak bisa terus nyalahin diri lo atau orang lain."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1ZVcbRjd8G
Desi menatap Havis lama, seperti mencoba mencari jawaban di matanya. "Kamu masih sayang sama aku, Vis?" tanyanya pelan.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4trDMpO8Yp
Havis tertegun. Pertanyaan itu membuat dadanya sesak. "Des, ini bukan soal gue masih sayang atau nggak. Ini soal lo. Gue cuma pengen lo bisa berdiri lagi, buat lo sendiri, buat anak lo."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZlZy3My3I3
Desi terisak, menyembunyikan wajahnya di balik tangannya. Havis ingin mengulurkan tangan, ingin meyakinkannya bahwa dia nggak sendirian. Tapi dia tahu, ini bukan momen untuk membicarakan perasaan masa lalu.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZDTPTbSdzV
Hari itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, berbicara tentang masa lalu, tentang penyesalan, tentang semua hal yang tak bisa mereka ubah. Havis mencoba memberikan dukungan semampunya, tapi di dalam hatinya, dia tahu: cerita ini belum selesai.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7Jia0ieXoS
Saat Desi akhirnya pulang, Havis duduk sendirian di kafe itu, memandang cangkir kopi yang kosong. Dia menarik napas panjang, mencoba meresapi semua yang baru saja terjadi.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbqz53xlSOK
"Kenapa harus gue lagi?" pikirnya pelan.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdmTopfWZNQ
Bab 5: Beban yang Tak Pernah Diminta
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuXMTMpJmwO
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan dengan rasa campur aduk di hati Havis. Desi mulai sering menghubunginya, lebih sering daripada yang dia duga. Awalnya hanya pesan singkat seperti, "Apa kabar?" atau "Gimana kerjaan lo, Vis?" Tapi perlahan, obrolan mereka berubah jadi percakapan panjang tentang kehidupannya yang penuh luka.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOZWbgdxunq
Desi sering bercerita tentang suaminya yang kini di penjara, tentang perjuangannya membesarkan anak sendirian, dan tentang rasa kesepian yang terus menghantui. Havis mendengar semuanya dengan sabar, mencoba menjadi tempat dia bersandar, meskipun di dalam hatinya, dia tahu ini adalah beban yang berat.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1CORTbCvym
Suatu malam, Desi menelepon Havis. Suaranya terdengar serak, seperti habis menangis lama.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVjOfx37P9H
"Vis, aku nggak tahu harus gimana lagi," katanya pelan. "Aku capek banget. Kadang aku mikir, apa hidup aku bakal lebih baik kalau dulu aku tetep sama kamu."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoXNoJiKkfz
Kata-kata itu membuat Havis terdiam. Dia menatap langit-langit kamarnya, mencoba merangkai jawaban yang tepat.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsh4gv2aVsn
"Des," katanya akhirnya, "hidup lo sekarang memang berat. Tapi lo nggak bisa terus nyalahin masa lalu buat semua ini. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kita tetap bareng. Yang jelas, sekarang yang penting adalah lo fokus buat bangkit."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2LJtLg8OMj
Desi terisak di telepon. "Tapi aku ngerasa gagal, Vis. Aku bahkan nggak bisa jadi ibu yang baik buat anak aku."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡarpCZTessi
Havis menghela napas panjang. "Lo nggak gagal, Des. Lo cuma lagi diuji. Anak lo butuh lo, dan gue yakin lo lebih kuat dari yang lo pikir."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjBNRjswAqM
Malam itu, mereka berbicara selama hampir dua jam. Havis mencoba menyemangati Desi, meskipun di dalam dirinya, ada rasa frustrasi yang mulai tumbuh. Dia peduli pada Desi, tapi dia juga tahu, dia nggak bisa terus menjadi sandaran tanpa batas.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmSTTXJPqbN
Beberapa minggu berlalu, dan hubungan mereka semakin intens. Desi mulai membuka luka-luka yang lebih dalam, termasuk rasa penyesalannya yang mendalam karena memilih suaminya daripada Havis.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡC96Y6FHg7C
"Aku tahu aku nggak bisa balik ke masa lalu," kata Desi di suatu malam. "Tapi aku bener-bener ngerasa kehilangan kamu, Vis. Kamu satu-satunya orang yang selalu ngerti aku."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVUdGuIDFOd
Havis menatap layar ponselnya, membaca pesan itu berulang kali. Di satu sisi, dia merasa tersentuh. Tapi di sisi lain, ada rasa marah yang tak bisa dia jelaskan.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhKPtXXYRCx
"Kalau gue satu-satunya yang ngerti lo, kenapa lo ninggalin gue dulu?" pikir Havis dalam hati. Tapi dia nggak pernah mengucapkannya. Dia tahu, kata-kata itu nggak akan membawa mereka ke mana-mana.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5wBNfelZyn
Hingga suatu hari, Desi menelepon Havis dengan nada yang lebih serius dari biasanya.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcYcP5LS66d
"Vis, aku mau coba rujuk sama suami aku," katanya tanpa basa-basi.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqeCmsrEcu0
Kata-kata itu menghantam Havis seperti ombak besar. Dia terdiam beberapa detik, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Rujuk? Lo yakin itu yang terbaik buat lo, Des?"
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡL07W3uUK4R
Desi menghela napas. "Aku nggak yakin. Tapi aku nggak mau anak aku kehilangan ayahnya. Kalau masih ada sedikit harapan, aku mau coba."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6Pp6V8Re9q
Havis hanya bisa mengangguk pelan, meskipun Desi nggak bisa melihatnya. "Kalau itu keputusan lo, gue cuma bisa doain yang terbaik. Tapi lo juga harus siap sama konsekuensinya, Des."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCNQMUfSW2s
Setelah telepon itu berakhir, Havis duduk diam di kamarnya. Ada rasa lega, tapi juga luka. Dia tahu, hubungannya dengan Desi nggak akan pernah kembali seperti dulu.
Bab 6: Melepaskan yang Tak Pernah Mudah
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEm4lBBHIHG
Setelah Desi memutuskan untuk mencoba rujuk dengan suaminya, Havis tahu waktunya untuk benar-benar melangkah mundur. Meski dia tidak pernah mengucapkannya, ada bagian dari dirinya yang merasa kosong. Seolah-olah semua usahanya untuk ada di samping Desi selama ini hanya menjadi bayangan yang akan perlahan menghilang.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqpsL63H4aP
Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Desi tidak lagi sering menghubungi, dan Havis pun mencoba untuk tidak memulai percakapan. Bukan karena dia tidak peduli, tapi karena dia tahu, semakin dia terlibat, semakin sulit baginya untuk melepaskan.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpp0uY7V96O
Namun, dalam diamnya, ada malam-malam panjang yang penuh dengan pertanyaan. Apa dia sudah melakukan hal yang benar? Apa Desi akan benar-benar bahagia dengan keputusannya? Atau justru, dia akan kembali terluka?
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0vGHhgmovt
Havis mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih keras. Setiap hari, dia menyibukkan diri dengan rutinitas yang melelahkan, berharap rasa hampa itu bisa tertutup oleh kesibukan. Tapi nyatanya, saat malam datang dan semuanya sunyi, pikirannya kembali ke satu nama: Desi.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4SaQl7QfXB
Suatu malam, Havis duduk di balkon rumahnya sambil memandang langit yang penuh bintang. Secangkir kopi hitam dingin di tangannya, dan gitar akustik tergeletak di sampingnya. Dia memetik gitar pelan, mencoba merangkai melodi yang mewakili apa yang dia rasakan.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡt7WKg2AfJ0
"Mungkin kita terlalu percaya pada cinta yang tak sempurna.
Mungkin kita hanyalah dua hati yang terjebak dalam waktu yang salah."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡU5c1ryVJVz
Kata-kata itu keluar begitu saja, mengikuti petikan gitarnya. Havis tahu, dia tidak bisa terus-terusan hidup dalam bayangan masa lalu. Dia harus mulai menerima bahwa beberapa hal tidak akan pernah kembali seperti dulu.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfnU7LvAKwW
Waktu berlalu, dan Havis perlahan mulai menemukan ritme hidupnya lagi. Dia bertemu orang-orang baru, menjalani hari-harinya tanpa ekspektasi. Tapi di sudut hatinya, ada doa kecil yang selalu dia panjatkan setiap kali nama Desi melintas di pikirannya:
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQmN2Pq0fNH
"Semoga lo bahagia, Des, di mana pun lo berada. Meskipun gue bukan lagi bagian dari cerita lo."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡtifYbCj36k
Suatu hari, Havis menemukan keberanian untuk menghapus pesan-pesan lama dari Desi di ponselnya. Itu adalah langkah kecil, tapi bagi Havis, itu adalah simbol bahwa dia siap untuk benar-benar melepaskan.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOsow2vztFS
Namun, meskipun dia berusaha melupakan, kenangan itu tidak akan pernah benar-benar hilang. Seperti melodi yang pernah dia mainkan di gitar, kenangan tentang Desi akan selalu menjadi bagian dari hidupnya.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2rEIwmylAo
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Havis merasa damai.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9raRtRDV1k
Bab 7: Menemukan Jalan yang Baru
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡz6jwSjpp3n
Waktu terus berjalan. Havis sudah tidak lagi memandangi ponselnya, menunggu pesan dari Desi. Tidak ada lagi rasa cemas atau harapan samar yang pernah mengisi hari-harinya. Sebaliknya, dia mulai menemukan kebahagiaan sederhana dalam hidupnya—dari pekerjaannya, musik yang dia mainkan, hingga pertemuan singkat dengan teman-teman lama.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡE0khKAvGNx
Namun, sesekali, bayangan tentang Desi masih muncul. Bukan sebagai luka, tapi sebagai kenangan yang membawa pelajaran. Havis tahu, dia tidak akan pernah benar-benar melupakan Desi, tapi dia juga tidak ingin terus hidup di masa lalu.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡiEHBG3L74J
Suatu sore, Havis sedang duduk di taman dekat rumahnya, memetik gitar sambil menikmati udara segar. Dia memainkan lagu-lagu favoritnya, sampai tiba-tiba seorang anak kecil mendekatinya.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUtDB3KrZY8
"Om, boleh aku dengerin?" tanya anak itu polos.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFz0hE4Jnod
Havis tersenyum dan mengangguk. "Tentu. Kamu suka musik, ya?"
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpVNVsxhkVZ
Anak itu mengangguk antusias. "Iya! Mama juga suka dengerin lagu."
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpjI55ut19C
Sambil memainkan gitar, Havis bertanya, "Mama kamu di mana?"
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAdcwNhk6nL
Anak itu menunjuk seorang wanita yang berdiri tidak jauh, memperhatikan mereka dengan senyum lembut. Wanita itu melambaikan tangan, dan Havis membalasnya dengan anggukan kecil.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNlNmvZGEFA
Ada sesuatu yang berbeda tentang pertemuan singkat itu. Wanita itu terlihat ramah, dengan aura yang menenangkan. Setelah beberapa menit, dia mendekati Havis sambil memanggil anaknya.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡq33WE4jB5O
"Maaf, anak saya ganggu, ya," katanya sambil tersenyum.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrmu0o1LMrP
"Nggak apa-apa," jawab Havis, mencoba tetap santai.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgFJClzUUx0
Wanita itu memperkenalkan dirinya. Namanya Nadya. Percakapan mereka dimulai dari hal-hal ringan, tentang musik, taman, hingga cerita kecil tentang anaknya. Dalam waktu singkat, Havis merasa ada sesuatu yang hangat dalam cara Nadya berbicara—sederhana, tapi tulus.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUesMMh3Avp
Hari itu berakhir dengan pertukaran nomor telepon, sesuatu yang tidak pernah Havis duga akan terjadi. Tapi dia tidak ingin terburu-buru. Dia tahu, semua hal butuh waktu.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡi7PEwnRl0E
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlDbMRprWgs
---
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGSNBIVFGfi
Epilog: Melodi yang Tak Pernah Hilang
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8hJxY0rQdm
Beberapa bulan berlalu, dan hidup Havis perlahan berubah. Pertemuannya dengan Nadya membawa warna baru dalam hidupnya. Mereka tidak langsung menjadi dekat, tapi setiap percakapan dan pertemuan kecil membangun rasa yang baru.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFvbNc3Idxe
Di malam yang tenang, Havis duduk di kamarnya, memetik gitar sambil merenungkan perjalanan hidupnya. Dia menyadari, hidupnya penuh dengan melodi—beberapa lembut, beberapa keras, tapi semuanya adalah bagian dari cerita yang membentuk dirinya.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWoSNuUzgcs
Desi akan selalu menjadi bagian dari lagu itu, sebuah bait yang pernah mengisi hatinya. Tapi sekarang, dia siap untuk melanjutkan ke refrain yang baru, dengan nada-nada yang belum pernah dia mainkan sebelumnya.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhZh9YexMn8
Dan untuk pertama kalinya, dia tidak hanya merasa damai, tapi juga merasa benar-benar siap untuk melangkah ke depan.
157Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuMoZ3yBDVW
